Anda di halaman 1dari 20

TUGAS ETIKA BISNIS

Kewajiban Perusahaan dan Karyawan

Dosen Pengampu :
Sri Rahayu Tri Astuti, S.E,. M.M.

Disusun Oleh :
1. Amir Lestanto 12010115130183
2. Devina Septia H 12010115130185
3. Wulan Surya Wijayanti 12010115130186
4. Muhammad Arif Naufal 12010115130232

JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2017
1. KEWAJIBAN KARYAWAN TERHADAP PERUSAHAAN
1.1 Tiga kewajiban karyawan yang penting
a. Kewajiban Ketaatan
Pada dasarnya,karyawan harus mematuhi perintah dan petunjuk
atasannya. Meskipun demikian, bukan berarti karyawan tidak harus mentaati
semua perintah yang diberikan oleh atasannya.
Pertama, karyawan tidak perlu bahkan tidak boleh mematuhi perintah
untuk melakukan sesuatu yang tidak bermoral, seperti membunuh musuh
atau pesaing, melakukan penipuan. Dalam suasana bisnis yang kurang sehat,
karyawan sering terlibat ke dalam praktek tindakan tidak bermoral tersebut
karena melaksanakan perintah atasan atas dasar takut dipecat atau dijanjikan
mendapat sebagian keuntungan.
Kedua, karyawan tidak wajib mematuhi perintah atasannya yang tidak
wajar, walaupun dari segi segi etika tidak ada keberatan. Maksudnya,
karyawan hanya diwajibkan untuk melakukan tugas-tugas yang berkaitan
dengan kepentingan perusahaan, dan bukan kepentingan pribadi atasan,
misalnya memperbaiki mobil pribadi atasan, merenovasi rumah pribadi
atasan, dll.
Ketiga, karyawan tidak wajib mematuhi perintah atasan yang tidak
sesuai dengan kontrak kerja meskipun demi kepentingan perusahaan, atau
dengan kata lain karyawan tidak harus mematuhi perintah atasan yang tidak
sesuai dengan job description karyawan tersebut.\

b. Kewajiban konfidensialitas
Kewajiban konfidensialitas kewajiban untuk menyimpan informasi
yang bersifat rahasia yang telah diperoleh dengan menjalankan suatu profesi,
misalnya dokter, psikolog, pengacara, akuntan. Kewajiban menjaga rahasia
perusahaan tidak saja berlaku selama karyawan bekerja di perusahaan
tersebut, tetapi berlangsung terus menerus bahkan setelah karyawan tersebut
pindah kerja. Yang termasuk rahasia perusahaan misalnya, teknik
memproduksi suatu produk, hasil penelitian, resep rahasia, program
computer, keadaan finansial perusahaan, data pelanggan, mailing list
perusahaan, data sales atau volume sales dan tingkat pertumbuhannya, data
pangsa pasar dan tingkat pertumbuhannya, informasi waktu dan jenis
peluncuran produk baru, rencana ekspansi perusahaan, kebijakan top
manajemen, masalah intern perusahaan, dll.
Karyawan wajib menyimpan rahasia perusahaan karena membuka
rahasia atau memberikan informasi yang bersifat rahasia kepada pihak lain
merupakan tindakan yang tidak etis, terlebih dalam pasar bebas. Kewajiban
konfidensialitas sangat penting salam sistem ekonomi pasar bebas karena
kompetisi antar perusahaan yang ketat. Memiliki atau membuka rahasia
suatu dapat merubah posisi perusahaan tersebut secara drastis, dan hal
tersebut akan mengganggu kompetisi yang adil.

c. Kewajiban loyalitas
Kewajiban loyalitas merupakan konsekuensi dari status seseorang
sebagai karyawan perusahaan. Karyawan harus mendukung tujuan-tujuan
perusahaan, karena karyawan harus melibatkan diri untuk turut
merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, menghindari apa yang bisa merugikan
kepentingan perusahaan.
Faktor yang menghalangi terwujudnya loyalitas yaitu konflik
kepentingan (kepentingan pribadi dan kepentingan perusahaan). Karyawan
tidak boleh menjalankan kegiatan pribadi yang bersaing dengan kepentingan
perusahaan. Contoh, karyawan pabrik kecap yang memproduksi kecap
sendiri berdasarkan resep dan teknik membuat kecap dari pabrik lalu
menjualnya dengan harga yang lebih murah. karena bahaya konflik
kepentingan, beberapa jenis pekerjaan tidak boleh dirangkap agar tidak
timbul konflik di kemudian hari.
Pemberian dan penerimaan komisi juga termasuk dalam masalah etis.
Namun, istilah “komisi” juga dapat memiliki arti yang tidak menimbulkan
masalah etika karena termasuk imbalan yang sah. Untuk beberapa jenis
pekerjaan, komisi diberikan sebagai insentif khusus di samping gaji pokok.
Misalnya salesman yang mendapat komisi karena berhasil menjual beberapa
unit produk.
Di sisi lain, masalah komisi memiliki kaitan dengan tindakan korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN). Jika terjadi masalah komisi yang berkaitan
dengan tindakan KKN, maka perusahaan akan melakukan penyelesaian yang
sesuai dengan peraturan yang ada di perusahaan tersebut. Maka dari itu,
untuk menghindari masalah omisi yang berkaitan dengan KKN, beberapa
perusahaan membuat aturan yang ketat dan jelas dalam pemberian dan
penerimaan komisi karyawan. Selain komisi,pemberiandan penerimaan
berupa hadiah juga dibatasidi beberapa perusahaan, misalnya karyawan
tidak boleh menerima hadiang yang berharga di atas jumlah uang tertentu.
Di dalam konteks kewajiban loyalitas ini juga terdapat faktor
kesetiaan. Jika seorang karyawan pindah kerja dengan alasan gaji yang lebih
tinggi, maka bukan berarti karyawan tersebut tidak memenuhi kewajiban
loyalitasnya. Setiap karyawan memiliki hak untuk memutuskan kontrak
kerja dengan alasan yang jelas dan memutuskan kontrak kerja secara baik-
baik. Maka, hal tersebut tidak akan dinilai sebagai tindakan yang kurang etis.
Namun, karyawan yang terlalu sering berpindah-pindah perkerjaan
dengan alasan finansial cenderung tidak memiliki etos kerja yang baik,
kurang memiliki rasa kesetiaan atau loyalitas terhadap perusahaan, dan
hanya mengejar gaji yang lebih tinggi. Meskipun tidak melakukan kesalahan
saat bekerja, karyawan tersebut tidak memiliki moral yang benar karena
dalam bekerja diliputi rasa matrealistis dan hedonistis.

1.2 Melaporkan Kesalahan Perusahaan


Terdapat dua macam dalam pelaporan perusahaan atau whistle blowing,
secara internal dan eksternal. Dalam pelaporan internal, pelaporan kesalahan
dilakukan di dalam perusahaan sendiri dengan melewati atasan langsung.
Misalnya seorang karyawan yang jabatanya rendah melaporkan sebuah
kesalahan langsung kepada direksi, dengan melewati kepala divisi dan general
manager . Pada pelaporan eksternal, karyawan melaporkan kesalahan perusahaan
kepada instansi pemerintah atau kepada masyarakat melalui media komunikasi.
Misalnya karyawan melaporkan bahwa perusahaannya tidak dapat memenuhi
kontribusinya kepada Jamsostek atau juga bisa tidak membayar pajak melalui
media massa atau pihak eksternal yang lain
Terdapat sebuah pertanyaan etika dalam melakukan pelaporan kesalahan
perusahan ini, “apakah whistle blowing ini boleh dilakukan karena pada
prinsipnya bertentangan dengan kewajiban loyalitas karyawan terhadap
perusahaannya?” Namun setelah didiskusikan lebih mendalam, jawabnya adalah
boleh karena karyawan tidak hanya mempunyai kewajiban loyalitas kepada
perusahaan tetapi ia juga mempunyai kewajiban kepada masyarakat umum
apabila perusahaan tersebut melakukan kesalahan.

Pelaporan bisa dibenarkan secara moral, bila lima syarat berikut terpenuhi:

a. Kesalahan perusahaan harus besar.


Kesalahan ini hanya dapat dilaporkan jika perusahaan menyebabkan
kerugian bagi pihak ketiga, terjadi pelanggaran hak asasi manusia, dan
kegiatan yang dilakukan perusahaan berlawanan dengan tujuan perusahaan.
b. Pelaporan harus didukung oleh data data dan fakta yang jelas dan benar
c. Pelaporan harus dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya
kerugian bagi pihak ketiga, bukan karena motif lain.
Misalnya karyawan memutuskan berhenti dari suatu pekerjaan karena
kecewa dengan atasannya. Setelah ia pergi dari perusahaan itu, ia membuka
praktek kurang etis dari perusahaan seperti tidak membayar pajak. Motif
pelaporan ini adalah untuk balas dendam.
d. Penyelesaian masalah secara internal harus dilakukan dulu, sebelum
kesalahan perusahaan dibawa ke luar.
Jika karyawan merasa bertanggungjawab, ia diharuskan berusaha terlebih
dahulu untuk menyelesaikan masalah di dalam perusahaan sendiri melalui
jalur yng tepat. Hal ini juga sesuai dengan kewajiban loyalitasnya. Baru
setelah upaya penyelesaian secara internal gagal, ia boleh memikirkan
whistle blowing.
e. Harus ada kemungkinan nyata bahwa pelaporan kesalahan akan
mencatat sukses.
Jika sebelumnya orang tahu bahwa pelaporan kesalahan tidak akan
menghasilkan apa apa lebih baik untuk tidak melapor. Tentunya sebelum
berlangsung tidak pernah ada kepastian bahwa pelaporan akan mecapai
sasaranya, yaitu mencegah terjadinya kerugian untuk pihak ketiga

Whistle blowing merupakan masalah etis yng tidak mengenakan untuk seluruh
pihak yang bersangkutan. Untuk perusahaan ataupun pelaku bisnis, whistle
blowing akan membawakan banyak kerugian secara materil maupun moril.
Mulai dari turunnya pamor perusahaan terhadap produknya, hingga turunya
keuntungan yang didapatkan akibat pelaporan ini. Untuk pelapor, whistle
blowing adalah langkah yang diambil dengan berat hati karena resiko yang akan
didapatkannya cukuplah besar. Di beberapa negara ada kode etik profesi,
contohnya kode etik insinyur yang secara tidak langsung menganjurkan whistle
blowing. Dalam kode etik ini memuat ketentuan bahwa keamanan dan
keselamatan masyarakat harus di tempatkan di atas segalanya. Ada juga beberapa
negara yang melindungi para whistle-blowers melalui jalur hukum,contohnya i
Inggris dengan undang-undang yang disebut The Public Interest Disclosure Act
(1998).

2. KEWAJIBAN PERUSAHAAN TERHADAP KARYAWAN


Perlu ditekankan bahwa kita tidak bisa memperlajari seluruh kewajiban
perusahaan, kita harus membatasi diri pada beberapa kewajiban yang penting yang
memerlukan perhatian khusus
Secara berurut akan dibicarakan, mengenai kewajiban perusahaan untuk tidak
melakukan tindakan diskriminasi, untuk menjamin kesehatan dan keselamatan kerja,
memberikan upah yang layak,dan untuk tidak memberhentikan karyawan secara
seenaknya, dibandingkan dengan pasal sebelumnya, disini menjadi lebih penting
bahwa kewajiban dari pihak satu sering sesuai dari pihak lain, kewajiban perusahaan
haruslah sepadan dengan hak para karyawan secara eksplisit maupun implisit
kenyataan ini secara berulang akan tampak pada pembahasan selanjutnya.

2.1 Perusahaan Tidak Boleh Mempraktekan Diskriminasi.


Diskriminasi merupakan masalah etis yang tampak jelas pada paruh abad ke
20 ini, dalam soal Indonesia diskrimanasi erat hubunganya dengan pribumi dan
non pribumi lalu berhubungan dengan stastus asli atau tidak asli, ditambah seperti
di banyak negara lain, karena alasan agama ras dan jenis kelamin.
a. Diskriminasi dalam konteks perusahaan
Istilah diskriminasi ini berasal dari kata Latin yaitu discernere yang
artinya membedakan, memisahkan, memilah. Dalam hal konteks
perusahaan, dengan diskriminasi dimaksudkan: membedakan antar
karyawan karena alasan tidak relevan yang berdasrkan dalam prasangka.
Hal tersebut bisa terjadi dalam proses perekrtuan karyawan baru, dalam
kesempatan promosi dalam penggajian dan sebagainya. Membedakan
karyawan tentu sering terjadi dalam alasan yang sah. Dalam proses
penerimaan karyawan baru perusahaan seringkali memnentukan syarat
misalkan karyawan yang diterima memeliki ijazah minimal S-1 bahkan
syaratnya kadang ditambah dengan IPK minimal 2,75.
Jika berbicara mengenai diskriminasi, jika perusahaan
memperlakukan karyawan dengn cara yang berbedabeda dengan alasan yang
tidak jelas, biasanya alasan tersebut bisa terjadi karena pandangan stereotip
terhadap suka,agama, dan ras, atau bisa juga karena jenis kelamin. Di
amaerika serikat banyak perusahaan yang tidak mau menerima orang
berkulit hitam dikarenakan pandangan mereka adalah orang kulit hitam
malas bekerja. Contoh lainya bukan hanya di amerika serikat misalkan
perusahaan tidak memberikan promosi kepada orang tertentu karena
beragama x tidak dapat dipecaya. Atau perusahaan tidak menerima wanita
sebagai karyawan dikarenakan pandangan terhadap wanita yang
menagatakan bahwa wanita lebih cocok menjadi ibu rumah tangga.,dengan
demikian diskriminasi biasanya disertai. Prasangka. Sebelum bertemu
seseorang. Ia sudah mengecap orang tersebut yang tidak baik.keseimpulanya
Latar belakang terjadinya diskriminasi adalah pandangan rasisme,
sektarianisme, maupun seksisme.

b. Argumentasi etika melawan diskriminasi


Mengapa perusahaan tidak seharusnya melakukan diskriminasi? Apa
yang menjadikan dasar Etika untuk menolak praktek diskriminasi?
Argumentasi yang digunakan sering berbeda, karena teori teori Etika yang
punya landasan yang berbeda beda. Akan dijelaskan beberapa argument
yang disajikan oleh utilitarisme deontology lalu teori keadilan.
1) Utilitarianisme dikemukakan argumen bahwa praktek diskriminasi
merugikan perusahaan itu sendiri. Terutama dalam rangka pasar bebas,
menjadi sangat mendesak bahwa perusahaan memiliki karyawan
berkualitas yang menjamin produktivitas terbesar dan mutu produk
terbaik. Sumber daya manusia menjadi kunci dalam kompetisi di pasar
bebas.
2) Deontologi punya argumentasi lain. Disni menggarisbawahi bahwa
praktek diskriminasi melecahkan martabat dari orang yang
didiskriminasi.
3) Alasan yang lain berasal dari Teori keadilan. Praktek diskriminasi
berlawanan dengan teori ini, khususnya keadilan distributif. Keadilan
distributif menuntut kita memperlakukan semua orang dengan cara yang
sama, selama tidak ada alasan khusus untuk memperlakukan mereka
dengan cara berbeda.
Seluruh argumentasi ini dapat diterima sebagai dasar untuk menolak praktek
diskriminasi, jadi disini terdapat konvergensi dari teori teori Etika, tetapi
seluruh argument tidak kuat.

c. Beberapa Masalah Terkait


Penilaian terhadap diskriminasi bisa berubah ubah dikarena kondisi
historis, sosial atau budaya dalam masyarakat. Diskriminasi tentulah berbeda
dengan favoritisme, dalam konteks perusahaan favoritisme merupakan
kecenderungan untuk mengistimewakan orang tertentu (biasanya saudara)
dalam menyeleksi para karyawan, menyediakan promosi, bonus, fasilitas
khusus, dsb. Favoritisme tidak terjadi karena prasangka buruk, melainkan
justru preferensi.
Untuk menanggulangi akibat diskriminasi dulu, kini lebih banyak
dipakai istilah “affirmative action” artinya aksi afirmatif. Melalui aksi ini
orang mencoba mengatasi atau mengurangi ketertinggalan golongan yang
dulunya didiskriminasi.

2.2 Perusahaan Harus Menjamin Kesehatan dan Keselamatan Kerja


Salah satu kewajiban perusahaan terhadap karyawan adalah menjamin
kesehatan dan keselamatan kerja para karyawannya. Tujuan K3 ini salah satunya
adalah melindungi para karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut. Berikut
dibawah ini akan dibahas beberapa hal yang terkait dengan kesehatan dan
keselamatan kerja.
a. Beberapa Aspek Keselamatan Kerja
Keselamatan kerja dapat terwujud apabila tempat kerja terasa aman.
Menciptakan tempat kerja yang aman maka haruslah bebas risiko dari
terjadinya kecelakaan kerja yang dapat mengakibatkan para karyawannya
cidera ataupun meninggal. Tempat kerja dapat dianggap sehat apabila bebas
dari risiko terjadinya gangguan kesehatan atau penyakit (occupational
disease).
Kecelakaan kerja bukanlah suatu hal yang asing lagi, banyaknya kasus
kecelakaan kerja yang terjadi diakibatkan dari faktor manusia, perlatan dan
lingkungan. Di Indonesia masalah keselamatan dan kesehatan kerja dikenal
sebagai K3 dan banyak perusahaan yang yang mempunyai Panitia Pembina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3). Data dari International Labour
Organization (ILO) juga turut mencatat, setiap hari terjadi sekitar 6.000
kecelakaan kerja fatal di dunia.Di Indonesia sendiri, terdapat kasus
kecelakaan yang setiap harinya dialami para buruh dari setiap 100 ribu
tenaga kerja dan 30% di antaranya terjadi di sektor konstruksi. Angka
kecelakaan kerja di Indonesia masih tinggi. Mengutip data Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, hingga akhir 2015
telah terjadi kecelakaan kerja sebanyak 105.182 kasus. Sementara itu, untuk
kasus kecelakaan berat yang mengakibatkan kematian tercatat sebanyak
2.375 kasus dari total jumlah kecelakaan kerja.
Terdapat macam-macam kecelakaan kerja, dari kasus yang berat yang
biasanya terjadi di industri seperti tangki meledak, pekerja terkena mesin,
gang pertambangan yang ambruk, dan rusaknya mata bagi montir las, hingga
yang ringan. Sebenarnya kecelakaan yang sering terjadi dapat dikurangi
dengan menerapakan dan melaksanakan peraturan keselamatan kerja,
contohnya kewajiban untuk memakai sabuk pengaman, helm pengaman,
atau setiap ruang kerja memiliki pintu dan tangga darurat.
Apabila kecelakaan kerja hampir selalu terjadi mendadak dan
mengakibatkan kerugian sedangkan pada occupational disease (penyakit
akibat pekerjaan) baru nampak apabila karyawan telah bekerja cukup lama.
Terdapat beberapa contoh occupational disease yaitu penyakit paru-paru
(pneumocosiosis atau silicosis) yang biasanya terjadi pada pekerja di
pertambangan kapur, batu alam, batu bara, dan sebagainya. Kasus penyakit
yang lebih sulit untuk diiidentifikasi adalah stress on the job: stress (dengan
berbagai akibat fisik seperti sakit kepala, keluhan jantung, dan lain-lain)
yang disebabkan oleh pekerjaan. Penyakit-penyakit yang disebabkan
pekerjaan yang baru muncul dengan waktu periode yang cukup panjang
membuat tanggung jawab perusahaan tidak selalu jelas. Apalagi dengan
hubungan sebab-akibat antara penyakit dan kondisi kerja yang sukar
dibuktikan. Misalnya pada industri tekstil menghirup debu katun dapat
mengakibatkan penyakit byssinosis (brown lung). Tetapi ternyata para
pekerja yang seorang perokok aktif lebih mudah terkena penyakit ini.
Di Amerika Serikat sendiri, peraturan tentang keselamatan dan
kesehatan kerja telah ada sejak 1970 yang disetujui oleh Kongres undang-
undang yang disebut Occupational Safety and Health Act. Sebelum tahun
tersebut keselamatan dan kesehatan kerja ditangani oleh negara-negara
bagian. Undang-undang ini bertujuan "to assure as far as possible every
working man and woman in the nation safe and healthful working
conditions". Sedangkan badan yang mengawasi undang-undang tersebut
adalah Occupational Safety and Health Administration (OSHA). OSHA
menetapkan standar-standar tentang keselamatan dan kondisi kesehatan di
tempat kerja kemudian mengkontrol dengan inspeksi di tempat. Sedangkan
di Indonesia instansinya disebut Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (P2K3) dan undang-undang yang mengatur K3 diantara
lain :
1) Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
2) Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
3) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

b. Pertimbangan Etika
Hampir semua negara memiliki hukum tentang keselamatan dan
kesehatan kerja. Peraturan hukum ini dibuat berlatarbelakang alasan-alasan
etika. Apabila dalam situasi tertentu peraturan hukum yang ada belum cukup
melindungi para pekerjanya, maka perusahaan atau majikan masih terikat
kewajiban dengan alasan etika. Dasar dari segi etika bagi kewajiban
perusahaan untuk melindungi keselamatan dan kesehatan para pekerja,
terdapat tiga pendasaran utama diantara lain:
1) Ada yang mencari dasar itu dalam hak si pekerja. Pekerja berhak untuk
merasakan kondisi kerja yang aman dan sehat. Apabila hak tersebut
masih dirasa belum meyakinkan, maka dapat menunjuk hak yang
paling mendasar yaitu hak untuk hidup (the right of survival). Hak
dasar ini merupakan syarat untuk hak-hak lainnya. Para pekerja berhak
untuk mendapat hak tersebut untuk menghindari kecelakaan kerja dan
occupational disease.
2) Ada pengarang lain yang menemukan dasar tersebut dalam deontologi
Kant, bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya
dan tidak hanya sebagai sarana belaka. Apabila perusahaan secara
sengaja mengabaikan keselamatan dan kesehatan kerja sehingga para
pekerjanya merasa kondisi kerja terasa tidak aman, itu artinya bahwa
perusahaan telah memperbudak pekerjanya. Mereka dikorbankan
demi tercapainya tujuan perusahaan yaitu keuntungan ekonomis.
3) Kemungkinan lain yaitu menunjukkan dasar tersebut dengan suatu
argumentasi utilitaristis. Dengan tempat kerja yang aman dan sehat
dapat memberi keuntungan bagi masyarakat dan terutama bagi
ekonomi negara. Kewajiban etis ini sejalan dengan cost-benefit
analysis. Masyarakat sendiri, terutama ekonomi negara akan
mengalami kerugian besar, jika proses produksi tidak berlangsung
dalam kondisi aman dan sehat.

Semua argumentasi diatas ini sah dan saling memperkuat satu sama
lain yang sebagai dasar etika bagi perusahaan untuk melaksanakan
keselamatan dan kesehatan kerja. Namun, hal yang sering terjadi dilapangan
adalah pimpinan perusahaan membela diri terhadap tuduhan bahwa mereka
kurang memperhatikan keselamatan dan kesehatan kerja dengan dua
pertimbangan diantara lain kematian atau kerugian si pekerja tidak secara
langsung disebabkan oleh tindakan pimpinan perusahaan, dan pekerja
menerima risiko kerja dengan sukarela.

Argumen pertama adalah bahwa perusahaan atau pimpinan


perusahaan tidak boleh dianggap sebagai penyebab langsung dari kecelakan
di tempat kerja. Terdapat dua alasan utama pada argumen ini. Pertama,
kecelakaan kerja pada umunya disebabkan oleh banyak faktor sekaligus,
termasuk perbuatan pekerja itu sendiri. Faktor-faktor tersebut bisa berupa
keadaan cuaca ataupun bencana. Bahkan dari pihak pekerja itupun sering
melakukan kecerobohan baik itu yang melanggar atau tidak melanggar
prosedur keamanan yang berlaku. Alasan kedua adalah kemungkinan
terjadinya kerugian untuk pekerja terkadang tidak bisa dihindarkan.
Khususnya terjadi dalam industri manufaktur yang terbiasa menggunakan
zat kimia yang memiliki dampak negatif baik itu jangka pendek atau lama
terhadap pekerja yang mana dampak tersebut tidak dapat dihindari tetapi
masih bisa diminimalisir. Disini tidak berlaku bahwa pekerjaan yang aman
dan sehat itu bebas dari risiko. Pekerjaan dapat dianggap aman atau sehat
apabila risiko yang ada masih dibawah ambang toleransi, setelah
dipertimbangkan terhadap semua faktor lain.

Argumen kedua menekankan bahwa pekerja tidak dipaksakan, tetapi


dengan sukarela menerima risiko. Banyak jenis pekerjaan yang memiliki
risiko, tetapi yang penting adalah bahwa pekerja menerima risiko tersebut
dengan sukarela. Seringkali pekerjaan berisiko tinggi diberi imbalan lebih
baik untuk menarik orang agar menerima risikonya. Tentang argumen kedua
perlu diakui bahwa kebebasan si pekerja adalah faktor yang membenarkan
moralitas pekerjaan berisiko. Pekerja sendiri harus mengambil risiko dengan
sukarela. Tetapi agar pekerja bebas dalam hal ini, beberapa syarat perlu
dipenuhi dulu.

1) Harus tersedia pekerjaan alternatif, agar pekerja dapat memilih


pekerjaan lain tanpa resiko khusus, walaupun dengan gaji yang lebih
rendah. Apabila perusahaan hanya menawarkan pilihan yaitu
pekerjaan dengan risiko tinggi tersebut atau tidak sama sekali, maka
pelamar terpaksa memilih pekerjaan tersebut daripada menjadi
pengangguran.
2) Supaya pekerja dapat mengambil keputusan bebas, ia harus diberi
informasi tentang risiko yang berkaitan dengan pekerjaannya.
Informasi tentang pekerjaan harus diberikan sebelum pekerja mulai
bekerja, agar membantu untuk pelamar mengambil keputusan mau
menerima pekerjaan tersebut atau tidak..
3) Perusahaan selalu wajib berupaya, agar risiko bagi pekerja seminimal
mungkin. Perusahaan wajib melaksanakan semua peraturan keamanan
yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau instansi yang berwenang.
Apabila peraturan tersebut masih dirasa kurang, maka perusahaan
dapat menambahkan peraturan sesuai yang dibutuhkan.

c. Dua Masalah Khusus


Di antara banyak masalah yang berkaitan dengan keselamatan dan
kesehatan kerja, dua persoalan boleh disebut lagi. Pertama, akan dibicarakan
pertanyaan apakah pekerja berhak menolak tugas-tugas yang berbahaya.
Kedua, akan dipelajari segi etis dari "risiko reproduktif" atau risiko untuk
keturunan pekerja.
Pada persoalan pertama, apakah pekerja berhak menolak mengerjakan
tugas yang berbahaya bisa dianggap wajar atau tidak. Pada kasusnya,
seorang pekerja apabila merasa kurang wajar terhadap tugas yang diberikan
pimpinan berhak menolak. Namun dengan syarat risiko untuk pekerja harus
tergolong besar seperti kematian atau cedera serius. Risiko kecil tidak pantas
dipermasalahkan. Masalah kedua menarik, karena kerugian kesehatan akibat
kondisi kerja tidak dialami oleh si pekerja bagi dirinya sendiri, tetapi bagi
keturunannya. Pekerja dapat membawa "risiko reproduktif" atau pekerja
menjadi infertil. Bayi yang dilahirkan akan memiliki kelainan seperti cacat,
kelahiran dini, bahkan keguguran. Hal ini biasa terjadi pada pekerja yang
bekerja di industri kimia. Dimana pekerja terus-menerus berkontak dengan
bahan kimia yang berbahaya.

2.3 Kewajiban Memberi Gaji Yang Adil


Suatu cara penting untuk mengungkapkan penghargaan terhadap pekerja
adalah imbalan yang pantas. Dalam hal ini gaji atau upah berkaitan erat dengan
kepuasan kerja. Bagi pekerja motif mendasar untuk bekerja adalah mendapat
imbalan yang memungkinkan untuk hidup dan menghidupi keluarga. Akhirnya
orang bekerja untuk "mencari nafkah".
a. Menurut Keadilan Distributif
Gaji atau upah merupakan kasus jelas yang menuntut pelaksanaan
keadilan, khususnya keadilan distributif. Terdapat dua pandangan mengenai
sesuatu hal yang bisa dianggap sebagai gaji dan upah yaitu liberalisme dan
sosialisme. Pandangan yang dilatarbelkangi konsep liberalistis berpendapat
bahwa upah atau gaji dapat dianggap adil apabila merupakan imbalan untuk
prestasi. Pandangan ini melihat masalah dari sudut pandang perusahaan.
Perusahaan akan menggaji pekerjanya sesuai dengan prestasi kerja mereka.
Semakin banyak prestasi kerja yang dicapai maka semakin banyak pula gaji
yang didapat, begitu pula sebaliknya semakin rendah prestasi kerja maka gaji
yang didapat juga setimpal. Di samping itu, mereka menganggap pemilik
berhak mendapatkan semua laba.
Pandangan sosialistis melihat masalah berdasarkan sudut pandang
pekerja. Mereka menekankan bahwa gaji baru adil, apabila sesuai dengan
kebutuhan pekerja beserta keluarga. Apabila terdapat dua pekerja yang
memiliki prestasi kerja yang sama, dimana pekerja "A" belum bekeluarga
sedangkan pekerja "B" telah bekeluarga, maka berdasarkan pandangan ini
perusahaan dapat memberikan gaji lebih besar kepada pekerja "B" karena
kebutuhan pekerja "B" lebih banyak. Disamping itu, dalam pandangan ini
pekerja berhak mendapatkan bagian laba dari perusahaan. Jika pekerja tidak
boleh mengambil bagian dalam laba perusahaan, hal tersebut berarti
eksploitasi terhadap tenaga kerjanya.
Di negara modern, dilema antara liberalisme dan sosialisme tidak lagi
dirasakan. Sistem penggajian atau upah telah ditentukan berdasar prestasi,
kebutuhan, mekanisme pasar maupun kebijakan pemerintah. Perusahaan
pasti berani menggaji tinggi pekerja yang memiliki keahlian khusus yang
melalui pendidikan panjang dan mahal yang keahliannya tersebut sangat
diperlukan oleh perusahaan. Sebaliknya pekerja yang memiliki ketrampilan
yang rendah, perusahaan akan menawarkan gaji atau upah yang rendah.
Namun hal ini terkesan para pekerja akan dieksploitasi dan menimbulkan hal
yang tidak etis. Maka dari itu kebijakan pemerintah sangat diperlukan untuk
mengoreksi mekanisme pasar.
Adil tidaknya gaji menjadi lebih kompleks lagi, jika kita akui bahwa
imbalan kerja lebih luas daripada take-home pay saja. Fasilitas khusus
seperti rumah, kendaraan, bantuan beras, dan lain-lain harus dipandang juga
sebagai sebagian dari imbalan kerja. Lebih penting lagi adalah asuransi
kerja, jaminan kesehatan, prospek pensiun, dan sebagainya. Gaji yang relatif
rendah dapat mencukupi apabila terdapat kompensasi berupa jaminan sosial
yang baik dan fasilitas-fasilitas yang lainnya.

b. Enam Faktor Khusus


Menurut pendapat Thomas Garret dan Richard Klonoski agar gaji atau
upah dapat adil, maka terdapat enam kriteria berikut yang dapat menjadi
pegangan yaitu:
1) Peraturan hokum
Peraturan hukum membantu untuk menentukan upah atau gaji secara
adil. Dalam hal ini ketentuan hukum membantu menetapka upah
minimum yang didapat oleh pekerja. Walaupun telah ditentukan upah
minimun, namun masih ada perusahaan yang memberi upah atau gaji
dibawah upah minimum.
2) Upah yang lazim dalam sektor industri tertentu atau daerah tertentu
Dalam semua sektor industri, gaji atau upah tidak sama. Untuk
menentukannya ditentukan jika rata-rata diberikan dalam sektor
industri bersangkutan. Sedangkan pada segi regional, upah atau gaji
ditentukan berdasar biaya hidup yang mempengaruhi daya beli. Di
Indonesia sendiri upah minimum ditetapkan sebagai Upah Minimum
Regional (UMR).

3) Kemampuan perusahaan
Disini berlaku pandangan sosialisme dimana pekerja berhak mendapat
sebagian laba yang diperoleh perusahaan. Besar kecilnya gaji atau
upah berdasarkan margin laba perusahaan, semakin besar laba yang
didapat maka semkin besar pula gaji yang didapat, begitupun
sebaliknya. Prinsip ini dapat diterapkan dengan apabila terdapat
transparansi finansial oleh perusahaan.

4) Sifat khusus pekerjaan tertentu


Beberapa pekerjaan menuntut perusahaan untuk memiliki pekerja
yang memiliki ketrampilan khusus dengan pendidikan yang
terspesialisasi. Terkadang juga ada pekerjaan yang membutuhkan
pengalaman lebih besar atau memiliki risiko yang tinggi. Kelangkaan
tenaga kerja dapat diimbangi dengan pemberian gaji atau upah yang
tinggi.

5) Perbandingan dengan upah/gaji lain dalam perusahaan


Di sini berlaku prinsip "equal pay for equal work". Jadi perusahaan
harus menggaji pekerja sama besar untuk pekerjaan yang sejenis,
dimana pekerjaan tersebut tidak membutuhkan keahlian khusus,
pengalaman khusus dan risiko yang tinggi. Apabila sistem penggajian
tidak adil, maka perusahaan mempraktekan diskriminasi.
6) Perundingan gaji/upah yang fair
Di negara-negara industri maju, penentuan gaji atau upah lebih adil
dengan melakukan perundingan langsung antara arasan dan bawahan.
Melalui perundingan dapat ditentukan hal-hal khusus seperti fasilitas
yang didapat pekerja. Perundingan membutuhkan keterbukaan cukup
besar bagi perusahaan.

c. Senioritas dan Imbalan Rahasia


Dalam topik penggajian terdapat dua masalah khusus yaitu senioritas
sebagai kriteria untuk menentukan gaji dan praktek pembayaran khusus atau
kenaikan gaji yang dirahasiakan terhadap teman-teman sekerja. Yang
pertama yaitu masalah senioritas, dimana orang yang bekerja lebih lama
pada suatu perusahaan atau instansi mendapat gaji yang lebih tinggi. Hal ini
bertentangan dengan prinsip pembayaran gaji yang sama dengan pekerjaan
yang sama. Tetapi hal ini tidak dapat dikatan tidak adil, karena gaji yang
tinggi dianggap sebagai penghargaan terhadap loyalitas pekerja. Namun
disisi lain, perusahaan juga tidak harus menggaji lebih tinggi pekerja senior,
karena terdapat orang muda yang biasanya memiliki wawasan yang lebih
dinamis dan segar, fleksibel, up-to-date, dan sikapnya lebih dinamis. Namun
di era sekarang, perusahaan-perusahaan lebih banyak menggunakan prinsip
gaji yang sama untuk pekerjaan yang sama, dimana lebih memperhatikan
prestasi dan hak.
Masalah kedua yaitu praktek pembataran khusus arau kenaikan gaji
yang dirahasiakan terhadap teman-teman sekerja. Bagi para manajer cara ini
dirasa fleksibel dan mudah diterapkan, akan tetapi ternyata cara ini tidak
efektif. Dengan memberi intensif secara diam-diam, maka pekerja lain tidak
akan memiliki motivasi untuk meningkatkan produktivitas kerja, dimana
intensif dianggap sebagai stimulan. Dari segi etika, hal ini tidak fair apabila
orang-orang tidak diberitahukan dengan jelas tentang kriteria untuk
mendapat kenaikan gaji atau bonus. Selain itu, dapat dianggap pemberian
intensif dinilai tidak obyektif. Hal ini dapat membuat suasana kerja
memburuk. Maka dari itu harus dilakukan secara terbuka.

2.4 Perusahaan Tidak Boleh Memberhentikan Karyawan Dengan Semena-mena


Menurut Garrett dan Klonoski, dengan lebih konkret kewajioan majikan
dalam memberhentikan karyawan dapat dijabarkan ke dalam tiga butir berikut
a. Majikan hanya boleh memberhentikan karena alasan yang tepat
Kalau karyawan diberhentikan karena alasan ekonomis, seperti
mendesaknya pelangsingan untuk memperbaiki kinerja perusahaan,
pimpinan harus sungguh-sungguh yakin akan perlunya tindakan itu.
Kalau karyawan diberhentikan karena kesalahannya, keputusan itu
seluruhnya tergantung pada kemauan si majikan, asalkan alasannya tepat.
Namun juga tidak boleh ekstrem, sebaiknya diberi peringatan dulu jika
karyawan bersalah.

b. Majikan harus berpegang pada prosedur yang semestinya


Dalam hal ini peraturan hukum harus dipegang dengan seksama. Di
samping itu perusahaan besar sebaiknya mempunyai aturan-aturan internal
yang menjamin prosedur pemberhentian yang jelas dan terbuka.
Dari perusahaan kecil tidak bisa diharapkan bahwa mereka memiliki
aturan-aturan yang rinci tentang pemberhentian karyawan yang bersalah.
Pimpinan perusahaan harus berpegang pada kearifan pribadi, selain pada
peraturan hukum atau peraturan organisasi majikan, atau sebagainya.

Bagi perusahaan besar atau kecil, berlaku prinsip-prinsip berikut:

1) Tuduhan terhadap karyawan harus dirumuskan dengan jelas dan


didukung oleh pembuktian yang meyankinkan
2) Karyawan harus diberi kesempatan untuk bertatap muka dengan orang
yang menuduhnya, untuk membantah tuduhan dan memperlihatkan
bahwa pembuktiannya tidak tahan uji, kalau ia memang tidak bersalah.
3) Harus tersedia kemungkinan untuk naik banding dalam salah satu
bentuk, sehingga keputusan terakhir diambil oleh orang atau instansi
yang tidak secaara langsung berhubungan dengan karyawan
bersangkutan.

c. Majikan harus membatasi akibat negatif bagi karyawan sampai


seminimal mungkin
Di banyak negara, kepada karyawan yang diberhentikan karena
kesalahannya pun, menurut peraturan hukum harus diberikan pesangon. hal
itu tidak enak baagi majikan bersangkutan, tetapi tidak dapat dinilai
kurang adil, karena karyawan yang bersalah pun tidak boleh dibiarkan
terlantar
Satu cara yang banyak membantu untuk meringankan efek-efek buruk
dari PHK adalah memberitahukan prospek itu kepada karyawan beberapa
waktu sebelumnya. Sengan demikian diberikan kesempatan kepada
karyawan untuk mencari pekerjaan lain.

Anda mungkin juga menyukai