Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH AKUNTANSI PERPAJAKAN

ASET TAK BERWUJUD

Dosen Pengampu :
Rahmat Kurniawan, SE, MA, Akt

Kelompok 6 :
CITA SETIA RAHMI (1710532037)
WIDYA SANIA (1710533036)
RAHIMAH RAMADHANI P (1910536050)

AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ANDALAS

BAB I
PENDAHULUAN

Menurut PSAK No. 16 Revisi Tahun 2011 menyebutkan bahwa definisi dari
pengertian aset yaitu semua kekayaan yang dipunyai individu ataupun kelompok yang
berwujud maupun yang tidak berwujud, yang memiliki nilai akan memiliki manfaat bagi
tiap orang atau perusahaan. Aset merupakan sumber daya yang dikuasai oleh perusahaan
sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi di masa depan
diharapkan akan diperoleh oleh perusahaan.
Aset tidak berwujud telah menjadi isu dalam memperkuat posisi kompetitif
perusahaan dan dalam mencapai tujuannya. Tujuan perusahaan adalah mengoptimalkan
nilai perusahaan. Entitas sering kali mengeluarkan sumber daya maupun menciptakan
liabilitas dalam perolehan, pengembangan, pemeliharaan atau peningkatan sumber daya
tidak berwujud, seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, desain dan implementasi
sistematau proses baru, lisensi, hak kekayaan intelektual, pengetahuan mengenai pasar dan
merek dagang.
Dalam perpajakan perlakuan akuntansi atas aset tidak berwujud tidak seluruhnya
sama dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dikarenakan dalam perpajakan terdapat
Undang-Undang yang lebih mengikat atau memaksa sehingga akuntansi perpajakan tidak
mengikuti PSAK secara keseluruhan. Oleh karena itu, kami akan membahas aktiva tetap
dalam perpajakan.

BAB II
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN ASET TAK BERWUJUD


Menurut SAK 19, aset tidak berwujud adalah aset nonmoneter yang dapat
diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam
menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau
untuk tujuan administratif. Unsur-unsur pada asset tak berwujud menurut PSAK 19:
a. Keteridentifikasian
b. Pengendalian
c. Adanya keuntungan ekonomis di masa depan
Ciri utama asset tidak berwujud adalah asset ini tidak berupa benda yang dapat dilihat
ataupun dipegang. Contoh asset yang termasuk asset tidak berwujud adalah hak paten, hak
cipta, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak penambangan, hak pengusahaan hutan,
waralaba (franchise), goodwill, merek, dan lain lain. Selain dari jenis-jenis tersebut,
penyewaan yang dibayar sekaligus untuk lebih dari satu tahun dan pengeluaran biaya
promosi untuk masa manfaat lebih dari satu tahun juga termasuk ke dalam asset tak
berwujud.
Berdasarkan masa manfaat, asset tidak berwujud dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Aset tidak berwujud dengan masa manfaat yang dibatasi oleh undang-undang,
peraturan atau persetujuan atau sifat asset itu sendiri, seperti hak paten, hak cipta,
dan waralaba (franchise).
2. Aset tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak terbatas seperti merek dan
goodwill.

2. KLASIFIKASI ASET TAK BERWUJUD


Pengklasifikasian asset tak berwujud dapat dilihat dari beberapa sudut pandang :
a) Dapat atau tidaknya aset tersebut diidentifikasikan secara spesifik dengan hak/jenis
aktivitas tertentu
 Dapat diidentifikasi : Hak Paten, Hak Cipta
 Tidak dapat diidentifikasi : Goodwill
b) Cara bagaimana aset tersebut didapat
 Dari pembelian : Hak Paten, Hak Cipta
 Dari riset dan pengembangan : Resep / formula rahasia (secret process)
c) Masa kegunaan
 Terbatas : Hak Paten, Hak Cipta, Waralaba
 Tidak Terbatas : Goodwill
d) Dapat atau tidaknya aset tersebut dipisahkan dari eksistensi perusahaan
 Dapat dipisahkan dan dijual sendiri : Hak Cipta (Copyright)
 Tidak dapat dipisahkan : Goodwill

2.1. Hak paten


Hak paten (patent) merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pihak
yang menemukan hal untuk menjual, membuat, atau mengawasi penemuannya selama
jangka waktu tertentu. Harga perolehan paten ini terdiri atas biaya-biaya pendaftaran, biaya
membuat percobaan, dan lain sebagainya. Hak paten diamortisasikan selama masa
penggunaannya.
2.2. Hak cipta
Hak cipta (copyright) merupakan suatu hak yang diberikan kepada seorang pengarang
atau pencipta untuk menerbitkan, menjual, atau mengawasi hasil ciptaanya. Pencatatan atas
hak cipta di laporan posisi keuangan sesuai dengan harga perolehan yang terdiri atas semua
biaya yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut. Selain itu, hak cipta dapat pula dibeli.
Amortisasi terhadap hak cipta ini sesuai masa yang ditetapkan atau diamortisasi sekaligus
apabila masanya kurang dari yang ditetapkan dan taksiran masa sesuai jumlah yang akan
terjual.
2.3. Merek dagang
Merek dagang (trade mark) didaftarkan terlebih dahulu dan dilindingi oleh undang-
undang yang penggunaannya tidak terbatas. Cara memperoleh merek dagang ini dapat
dengan pembelian atau dibuat sendiri. Mengingat timbulnya yang tidak terbatas inilah maka
tidak dilakukan amortisasi, tetapi timbulnya asumsi perubahan masa mendatang, maka
merek dagang akan diamortisasi dalam masa yang pendek.

2.4. Waralaba
Waralaba (franchise) merupakan hak yang diberikan oleh pihak tertentu (franchisor)
kepada pihak lain atas penggunaan fasilitas yang dimiliki franchisor. Akuntansi dan hal
yang berkenaan dengan pemajakan atas usaha waralaba diatur sendiri.

2.5. Goodwill
Goodwill adalah aset takberwujud yang tidak dapat didefinisikan secara khusus.
Bahasan dari akuntansi komersial, goodwill sebagai kemampuan perusahaan untuk
memperoleh keuntungan (rate of return) atau kondisi normal sebagai akibat adanya faktor
tertentu yang mendukung, misalnya letak perusahaan, nama yang dikenali masyarkat pada
umumnya, dan lain sebagainya.

3. NILAI PEROLEHAN ASET TIDAK BERWUJUD


Aset tidak berwujud dapat diperoleh dengan cara membeli dari pihak luar dan
dikembangkan sendiri oleh perusahaan. Menurut akuntansi dan perpajakan, nilai asset tidak
berwujud dicatat sesuai dengan harga perolehannya, yaitu semua biaya yang terkait untuk
memperoleh asset tersebut.

4. AMORTISASI
Proses penyusutan asset tidak berwujud dalam akuntansi dan perpajakan disebut
amortisasi. Harga perolehan asset tidak berwujud menurut perpajakan harus diamortisasi jika
asset tersebut dipakai untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Menurut
ketentuan perpajakan, amortisasi atas asset tidak berwujud dilakukan dengan menggunakan dua
metode, yaitu metode saldo menurun dan metode garis lurus. Menurut UU KUP Pasal 11A ayat (2)
dinyatakan tariff amortisasi sebagi berikut :
Kelompok Aset Masa Tarif Amortisasi
Tak Berwujud Manfaat Garis Lurus Saldo Menurun

Kelompok 1 4 Tahun 25 % 50%


Kelompok 2 8 Tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 Tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 Tahun 5% 10%

Kelompok, metode, dan tarif amortisasi seperti disebutkan dalam table diatas berlaku juga
untuk:
1. Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan.
Pengeluaran ini dapat juga dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran.
2. Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi
kelayakan dan biaya produksi percobaan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari
satu tahun. Pengeluaran ini dikapitalisasikan kemudian diamortisasi sesuai table di
atas.

Akuntansi untuk aset tidak berwujud didasasrkan pada usia manfaatnya. Suatu aset
tidak berwujud dengan masa manfaat terbatas diamortisasi, dan aset tidak berwujud
dengan masa manfaat tak terbatas tidak diamortisasi. Untuk metode amortisasi dijelaskan
pada PSAK 19 Paragraf 97 bahwa metode amortisasi yang digunakan harus
menggambarkan pola konsumsi entitas atas manfaat ekonomis masa depan yang
diharapkan. Jika pola tersebut tidak dapat ditentukan secara andal, digunakan metode garis
lurus. “Terdapat berbagai metode amortisasi untuk mengalokasikan jumlah penyusutan
suatu aset atas dasar yang sistematis sepanjang masa manfaatnya. Metode-metode tersebut
meliputi metode garis lurus, metode saldo menurun dan metode unit produksi. Metode
yang digunakan dipilih berdasarkan pola konsumsi manfaat ekonomi masa depan yang
diharapkan dan diterapkan secara konsisten dari periode ke periode lainnya, kecuali
terdapat perubahan dalam perkiraan pola konsumsi tersebut…” (PSAK 19 Paragraf 98)

Contoh:
PT A pada tanggal 1 Januari 2014 mengeluarkan uang sebesar Rp200.000.000 (belum
termasuk PPN dan PPh 26) untuk memperoleh waralab dari McDonalds selama 4 tahun.
Perhitungan amortisasinya sebagai berikut:
Metode Garis Lurus
2014 25% x 200.000.000 = 50.000.000  Nilai Sisa Buku = 150.000.000
2015 25% x 200.000.000 = 50.000.000  Nilai Sisa Buku = 100.000.000
2016 25% x 200.000.000 = 50.000.000  Nilai Sisa Buku = 50.000.000
2017 25% x 200.000.000 = 50.000.000  Nilai Sisa Buku = 0

Metode Saldo Menurun


2014 50% x 200.000.000 = 100.000.000  Nilai Sisa Buku = 100.000.000
2015 50% x 100.000.000 = 50.000.000  Nilai Sisa Buku = 50.000.000
2016 50% x 50.000.000 = 25.000.000  Nilai Sisa Buku = 25.000.000
2017 Amortisasi = 25.000.000  Nilai Sisa Buku = 0

Jurnal akuntansi perpajakan untuk PT A jika menggunakan metode garis lurus:


Tanggal Keterangan Debit Kredit
1 Jan 14 Waralaba 200.000.000
PPN Masukan 20.000.000
Utang PPh 26 (20%) 40.000.000
Kas 180.000.000
31 Des 14 Beban Amortisasi 50.000.000
Waralaba 50.000.000
31 Des 15 Beban Amortisasi 50.000.000
Waralaba 50.000.000
31 Des 16 Beban Amortisasi 50.000.000
Waralaba 50.000.000
31 Des 17 Beban Amortisasi 50.000.000
Waralaba 50.000.000

Pajak pertambahan nilai (PPN) dikenakan karena sesuai UU PPN Pasal 4 (d) atas
barang kena pajak tidak berwujud yang berasal dari luar daerah pabean yang dimanfaatkan
oleh siapapun di dalam daerah pabean dikenakan PPN.
Sedangkan sesuai Pasal 26 UU PPh untuk transaksi dengan Wajib Pajak (WP) luar
negri selain BUT di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% atau dengan tariff lain
berdasarkan tax treaty yang berlaku dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan.
Utang PPh 26 yang telah dipungut akan disetorkan ke Kas Negara paling lambat tanggal 10
bulan berikutnya, dengan jurnal:

10 Feb 2014 Utang PPh 26 40.000.000


Kas 40.000.000
Jika PT A membeli waralaba PT B (WPDN) senilai Rp200.000.000, perhitungan
amortisasinya akan sama tetapi untuk jurnalnya, PT A harus melakukan potongan PPh Pasal
23:
Tanggal Keterangan Debit Kredit
1 Jan 14 Waralaba 200.000.000
PPN Masukan 20.000.000
Utang PPh 23 (15%) 30.000.000
Kas 190.000.000
31 Des 14 Beban Amortisasi 50.000.000
Waralaba 50.000.000
31 Des 15 Beban Amortisasi 50.000.000
Waralaba 50.000.000
31 Des 16 Beban Amortisasi 50.000.000
Waralaba 50.000.000
31 Des 17 Beban Amortisasi 50.000.000
Waralaba 50.000.000

Utang PPh 23 akan disetorkan oleh PT A paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya:
10 Feb 2014 Utang PPh 23 30.000.000
Kas 30.000.000

Sedangkan jurnal untuk pihak PT B :


1 Jan 2014 Kas 190.000.000
PPh 23 dibayar dimuka 30.000.000
PPN Keluaran 20.000.000
Pendapatan Waralaba 200.000.000

5. DEPLESI
Deplesi adalah istilah yang digunakan dalam akuntansi untuk menyatakan alokasi
sistematis dan rasional perolehan sumber alam. Perpajakan menggunakan istilah lain untuk
deplesi, yaitu amortisasi. Rumus untuk menghitung deplesi adalah :

Deplesi =

Contoh:
Suatu perusahaan membeli tanah pertambangan dengan harga Rp25.000.000. Diperkirakan
dari tanah pertambangan tersebut dapat ditambang sebanyak 25.000 unit batu bara. Nilai
residu tanah pertambangan diperkirakan Rp2.500.000. Selama tahun pertama batu bara
yang telah ditambang sebesar 45.000 unit.

Deplesi =

= Rp90/unit

Deplesi untuk tahun tersebut adalah = Rp90 x 45.000 = Rp4.050.000

Menurut ketentuan perpajakan, hak penambangan dan pengusahaan hutan termasuk


asset yang tidak berwujud. Oleh karena itu, harga perolehannya dapat diamortisasi
berdasarkan metode satuan produksi dengan pembatasan sebagai berikut :

1. Biaya untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi serta
pengusahaan hutan dapat diamortisasikan dengan presentasi yang tidak lebih dari
20% setahun. Ketentuan ini dapat dinyatakan dengan rumus:

Amortisasi per tahun =


Contoh:
Perusahaan pertambangan batu bara telah mengeluarkan biaya sebesar
Rp1.000.000.000 untuk mendapatkan hak pengelolaan penambangan tersebut selama
lima tahun. Pada tahun pertama produksinya adalah sebesar Rp2.000.000.000.
Besarnya amortisasi atas biaya untuk mendapatkan hak penambangan tersebut dalam
tahun bersangkutan adalah sebesar 20% x Rp1.000.000.000 = Rp200.000.000

2. Biaya untuk memperoleh hak dan atau biaya lain-lain yang mempunyai masa manfaat
lebih dari satu tahun dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi tanpa
pembatasan presentase tertentu. Ketentuan ini dapat dinyatakan dengan rumus :

Amortisasi per tahun =

Amortisasi menggunakan metode satuan produksi berarti presentase amortisasi dari


biaya tersebut dalam setiap tahun pajak harus sama dengan presentase penambangan atau
penebangan yang dihasilkan setiap tahun. Angka ini diperoleh dengan membandingkan
taksiran jumlah hasil produksinya. Amortisasi menggunakan metode satuan produksi dapat
dirumuskan sebagai berikut:

Metode satuan = (jumlah penambangan / penebangan yang dihasilkan setahun


produksi : taksiran jumlah seluruh produksi) x 100%

Suatu konsesi pertambangan ditaksir jumlah depositnya sebanyak 100.000 ton, hasil
produksi satu tahun adalah 10.000 ton. Presentase hasil produksi satu tahun adalah
(10.000 : 100.000) x 100% = 10%
Dengan demikian, hak penambangan tersebut dalam setahun diamortisasikan sebesar
10%. Apabila biaya untuk memperoleh hak penambangan dan hak pengusahaan hutan pada
akhir masa produksi belum habis diamortisasikan, maka sisa biaya tersebut tidak boleh
dibebankan sekaligus sebagai biaya dalam tahun pajak yang bersangkutan. Sisa tadi harus
diamortisasikan setinggi-tingginya 20%. Sebaliknya apabila ternyata jumlah produksi
sebenarnya lebih kecil daripada jumlah cadangan yang diperkirakan sehingga masih
terdapat sisa biaya untuk memperoleh hak yang belum habis diamortisasikan, sisa biaya
tersebut boleh dibebankan sekaligus sebagai biaya dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Perbedaan utama antara deplesi dan amortisasi adalah nilai residu tidak
dipertimbangkan dalam menghitung presentase amortisasi hak penambangan dan
pengusahaan hutan. Jurnal untuk mencatat deplesi :

Beban deplesi XXX


Akumulasi deplesi XXX

BAB III
PENUTUP

Berdasarkan pembahasan pada bab 2, menurut SAK 19, aset tidak berwujud adalah
aset nonmoneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki
untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan
kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif. Dalam perpajakan perlakuan
akuntansi atas aset tidak berwujud tidak seluruhnya sama dengan Standar Akuntansi
Keuangan (SAK) dikarenakan dalam perpajakan terdapat Undang-Undang yang lebih
mengikat atau memaksa sehingga akuntansi perpajakan tidak mengikuti PSAK secara
keseluruhan.
Ada beberapa contoh aset tak berwujud diantaranya hak paten, hak cipta, merek
dagang, waralaba, goodwill. Aset tak berwujud dicatat sesuai dengan harga perolehan yang
didapat. Proses penyusutan asset takberwujud dalam akuntansi dan perpajakan disebut
amortisasi
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Sukrisno. 2007. Akuntansi Perpajakan. Jakarta : Salemba Empat


Gunadi. 1997. Akuntansi Pajak. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Mardiasmo. 2016. Perpajakan. Yogyakarta : CV Andi Offset

Anda mungkin juga menyukai