PENDAHULUAN
1
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005), hlm. 10
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
F. Copleston, Ccontemporary Philisophy, (London: Burns & Oates, 1965), Bab I-IV.
2
ini menemukan logika baru (logistik yang menjabarkan hukum-hukum pikiran
pada tulisan aljabar dan matematika.
Positivisme yang menandai krisis pengetahuan Barat itu sebenarnya
merupakan salah satu dari sekian banyak aliran filsafat Barat, dan aliran ini
berkembang sejak abad ke-19 dengan perintisnya Auguste Comte. Meski dalam
beberapa segi positivisme mengandung kebaruan, pandangan ini bukan barang
yang sama sekali baru, karena sebelum Kant sudah berkembang empirisme yang
beberapa segi bersesuaian dengan positivisme.
Lebih tepatlah bila dipandang bahwa positivisme merupakan peruncing
trend sejarah pemikiran Barat Modern yang telah mulai menyingsing sejak
ambruknya tatanan dunia Abad pertengahan, melalui rasionalisme dan empirisme.
Apa yang baru dalam positivisme adalah sorotan khususnya terhadap metodologi
ilmu pengetahuan, bahkan dapat dikatakan bahwa pandangan ini sangat
menitikberatkan metodologi dalam refleksi filsafatnnya. Kalau dalam empirisme
dan rasionalisme pengetahuan masih direfleksikan, dalam positivisme kedudukan
pengetahuan diganti metodologi, dan satu-satunaya metodologi yang berkembang
secara meyakinkan sejak Renaissance dan subur pada masa Aufklarung adalah
metodologi ilmu-ilmu alam.
Oleh karena itu, positivisme menempatkan metodologi ilmu-ilmu alam
pada ruang yang dulunya menjadi wilayah refleksi epistemologi, yaitu
pengetahuan manusia tentang kenyataan. Sebagai “teori kristis” teori kritis
merupakan teori yang refleksif. Artinya, teori itu tidak langsung saja mengenai
salah satu masalah, melainkan dalan menangani sebuah masalah, ia menyadari
dirinya sendiri, ia merefleksikan perannya sendiri sebagai teori. Sifat reflektif
Teori Kritis menjadi sangat terang dalam apa yang kemudian dinamai
“perselisihan Positivisme dalam sosiologi Jerman”.3
Para pemikir positivisme logis berpendapat bahwa tugas terpenting dari
filsafat adalah untuk merumuskan semacam kriteria penentuan untuk
membedakan antara pernyataan yang memadai dan pernyataan tidak memadai.
Intinya, mereka ingin merumuskan semacam aturan-aturan korepondensi, di mana
3
Uraian lebih terinci dapat dibaca dalam F. Marnis-Suseno, 1992, 191-208.
3
observasi langsung menguji suatu pernyataan dapat langsung dilakukan. Adapun
dua tokoh yang membahas tentang positivisme selain A. Comte adalah Jhon
Stuard Mill dan Herbert Spender sebagai berikut:
4
Muhammad Alfan, Pengantar Filsafat Nilai, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hal. 123.
5
Franz Magnis –Suseno, Tiga Belas Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1997), hal. 199.
6
W. Poespoprodjo, Filsafat Moral (Kesusilaan alam Teori dan Prektek),(Bandung: Remadja
Karya, 1986), hal. 47.
4
terakhir adalah hidup yang sejauh mungkin bebas dari perasaan sakit dan sekaya
mungkin kesenangan, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Tolak ukur untuk
mengukur kualitas dan kuantitas tergantung persepsi cakrawala pengalaman
masing-masing. Dengan demikian tujuan terahkir itu niscaya juga merupakan
norma moralitas.
Terkait dengan hal ini, maka moralitas berarti keseluruhan aturan dan
perintah kelakuan manusia yang kalau dituruti, memungkinkan bahwa seluruh
umat manusia dapat memperoleh suatu kehidupan dengan sebanyak mungkin
nikmat yang tertinggi, dan dapat terhindar dari perasaan sakit dengan semaksimal
mungkin.7 Tetapi ada sekelompok yang mengatakan bahwa kebahagiaan dalam
bentuk apapun tidak dapat menjadi tujuan rasional hidup dan tindakan manusia,
dengan alasan. pertama, karena kebahagiaan tidak dapat tercapai dan manusia
dapat hidup tanpa kebahgiaan. Semua orang yang berbudi luhur merasakan hal itu
dan mengetahui bahwa suatu budi yang luhur tidak akan tercapai kecuali
mendalami pelajaran tentang Entsagen (melepaskan) yakni pelajaran ini jika
dipelajari dan diterima dengan sungguh-sungguh merupakan permulaan dan syarat
segala keutamaan yang perlu.
Alasan kedua, agar pendidikan dan pendapat umum yang begitu besar
pengaruhnya atas pembentukan cita-cita manusia, harus memakai pengaruh itu
untuk menjalin, dalam pikiran setiap individu, suatu ikatan tak terceraikan antara
kebahagiaanya sendiri dan kebiyasaan untuk bertindak, baik secara positif
maupun negatif, bersesuaian dengan tuntutan kebahagiaan umum.
Dengan demikian, orang tidak sanggup lagi untuk memikirkan suatu
kemungkinan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dengan sekaligus menggagas suatu
cara bertindak yang bertentangan dengan apa yang baik bagi semua. Lebih dari
itu, dalam setiap orang akan terwujud suatu dorongan langsung untuk memajukan
kesejahteraan umum yang akan menjadi salah satu tempat yang utama dalam
kesadaran setiap orang. Terlepas dari hal itu, utilitarisme tidak hanya menyatakan
bahwa keutamaan pantas diusahakan, melainkan keutamaan tersebut tanpa
pamrih, demi dirinya sendiri. kaum utilitaris bisa saja mempunyai pelbagai
pendapat tentang syarat-syarat munculnya keutamaan. Kaum utilitaris bukan
7
Franz Magnis –Suseno, Tiga Belas Model Pendekatan Etika, hal. 203.
5
hanya menempatkan keutamaan dipuncak hal-hal yang merupakan sarana demi
tujuan terakhir (kebahagiaan), melainkan mereka juga mengakui kenyataan
psikologis, bahwa keutamaan dapat menjadi bagian setiap orang, suatu nilai pada
dirinya sendiri dengan tidak perlu mencari suatu tujuan lebih jauh lagi.
Mereka berpendapat, kesadaran manusia tidak berada dalam keadaan yang
betul, dalam keadaan yang paling sesuai dengan prinsip kegunaan, yang paling
menunjang kebahagiaan umum. Apabila manusia tidak mencintai keutamaan
dengan cara ini sebagai suatu yang pantas diusahakan bagi dirinya sendiri.
keutamaan dalam situasi-situasi tertentu tidak menghasilkan akibata-akibat lain
yang diinginkan itu, pada umumnya dihasilkanya dan yang menjadi sebabnya itu
dianggap keutamaan.
Kebahagiaan mempunyai mempunyai bagian-bagian yang beraneka macam,
masing-masing bagian itu pantas diusahakan demi dirinya sendiri, bukan hanya
sejauh ikut meningkatkan jumlah kebahagiaan seluruhnya. Prinsip kebahagiaan
tidak berarti nikmat tertentu, misalnya, karena kesehatan, harus dipandang sebagai
sarana untuk mencapai suatu yang secara umum disebut kebahagiaan dan
diinginkan.Dua ha itu, diinginkan dan pantas diinginkan demi mereka sendiri,
selain merupakan sarana juga merupakan bagian dari tujuanya sendiri.
Menurut ajaran utilitarisme keutamaan secara alami, pada awalnya bukan
bagian dari tujuan. Orang yang mencintai keutamaan tanpa pamrih, maka
keutamaan menjadi tujuan. Diinginkan dan dihargai bukan sebagai sarana untuk
menjadi bahagia, melainkan sebagai bagian dari kebahagiaan mereka. Dari
pertimbangan tersebut, dapat dijelaskan bahwa sebenarnya tidak ada sesuatu yang
diinginkan, kecuali kebahagiaan. Segala apa yang tidak diinginkan sebagai sarana
demi suatu tujuan dan akhirnya sebagai sarana untuk menjadi bahagia sendiri,
merupakan bagian kebahagiaan itu. Adapun tokoh selanjtunya yaitu:
6
pentingnya prinsip evolusi dan terdorong pula oleh buku baru karangan Darwin
yang terbit pada tahun 1859, ia memutuskan untuk menulis karya yang
menerapkan prinsip evolusi secara sistematis-pada semua lapangan ilmu
pengetahuan. Hasilnya ialah karya yang berjudul A system of synthetic philosophy,
yang terdiri dari sepuluh jilid (1862 - 1896).
Menurut Spencer kita hanya bisa mengenal fenomena-fenomena atau gejala-
gejala saja. Memang benar, di belakang gejala-gejala terdapat suatu dasar absolut,
tetapi yang absolut itu tidak dapat dikenal. Secara prinsipfil pengenalan kita
menyangkut tidak lebih daripada relasi-relasi antara gejala-gejala. Di belakang
gejala-gejala tinggallah apa yang disebut Spencer "the great Unknowable". Sudah
nyata kiranya bahwa dengan demikian Spencer menganggap mustahil tiap-tiap
percobaan untuk merancang suatu metafisika. Dan dalam bidang religius ia
menolak baik teisme, maupun panteisme, maupun juga ateisme. Sebaiknya ia
dipanggil agnostisis, artinya ia berpendapat bahwa dalam bidang religius secara
prinsipfil kebenaran tidak dapat dicapai.
Setiap ilmu harus membatasi diri pada pengertian tentang gejala-gejaIa.
Tugas filsafat ialah mempersatukan pengertian kita tentang gejala-gejala. Jika
setiap ilmu menggunakan prinsip-prinsip yang berlaku pada lapangan masing-
masing, maka filsafat harus mencari suatu prinsip yang berlaku untuk segala
macam gejala. Prinsip filosofis itu adalah hukum evolusi. Hukum ini bersifat
sama sekali umum dan diterapkan Spencer pada berbagai lapangan ilmiah
(biologi, psikologi, sosiologi, dan etika).
Spencer mengartikan evolusi secara mekanistis, berarti bahwa hukumhukum
gerak mengakibatkan bagian-bagian materfil mencapai diferensiasi dan integrasi
yang semakin besar. Tetapi ia tidak mengakui adanya titik tujuan untuk evolusi
sebagai keseluruhan. Menurut dia tidak dapat dikatakan bahwa evolusi dunia
terarah kepada suatu tujuan tertentu. la berpendapat bahwa "evolution" selalu
merupakan puncak suatu proses, lalu menyusul "dissolution" (penghancuran).
Kenyataan yang konkret dapat dianggap sebagai suatu proses tak henti-hentinya di
mana materi dan gerak yang sama selalu disusun kembali, jika puncak evolusinya
sudah dilewati.
7
Perbedaan materialisme dengan positivisme dapat diterangkan sebagai
berikut. Di atas sudah diuraikan bahwa positivisme membatasi diri pada
faktafakta. Yang ditolaknya ialah tiap-tiap keterangan yang melampaui fakta-
fakta. Karena alasan itulah dalam rangka positivisme tidak ada tempat untuk
metafisika. Materialisme mengatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri dari
materi. Itu berarti bahwa tiap-tiap benda atau kejadian dapat dijabarkan kepads
materi atau salah satu proses materfil. Kiranya sudah jelas bahwa materialisme
mengakui kemungkinan metafisika, karena materialisme sendiri berdasarkan suatu
metafisika.
8
BAB III
PENUTUP
9
DAFTAR PUSAKA
10