Anda di halaman 1dari 10

GCS

Kesadaran merupakan fungsi utama susunan saraf pusat. Kesadaran dapat didefinisikan sebagai keadaan
yang mencerminkan pengintegrasian impuls eferen dan aferen. Semua impuls aferen disebut input dan
semua impuls eferen dapat disebut output susunan saraf pusat. Untuk mempertahankan fungsi kesadaran
yang baik, perlu suatu interaksi yang konstan dan efektif antara hemisfer serebri dan formasio retikularis
di batang otak yang intak.

Aktivitas neuron digalakkan oleh neuron-neuron yang menyusun inti talamik yang dinamakan nuclei
intralaminares. Oleh karenaitu, neuron-neuron tersebut dapat dinamakan neuron penggalak
kewaspadaan. Apabila terjadi gangguan sehingga kesadaran menurun sampai derajat yang terendah,
maka koma yang dihadapi dapat terjadi oleh sebab neuron pengemban kewaspadaan sama sekali tidak
berfungsi (disebut koma bihemisferik) atau oleh sebab neuron penggalak kewaspadaan (impuls aferen
non-spesifik) tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban kewaspadaan (koma diensefalik).
Koma bihemisferik antara lain dapat disebabkan oleh hipoglikemia, hiperglikemia, uremia, koma
hepatikum, hiponatremia, dan sebagainya. Koma diensefalik antara lain dapat disebabkan oleh: strok,
trauma kapitis, tumor intracranial, meningitis, dan sebagainya.

Penilaian derajat kesadaran secara kuantitatif yang sampai saat ini masih digunakan adalah Glasgow Coma
Scale (GCS). GCS adalah suatu skala neurologik yang dipakai untuk menilai secara obyektif derajat
kesadaran seseorang. GCS terdiri dari 3 pemeriksaan, yaitu penilaian: respons membuka mata (eye
opening), respons motorik terbaik(best motor response), dan respons verbal terbaik(best verbal
response).

Oleh karena itu maka tingkat kesadaran ini dibedakan menjadi beberapa tingkat yaitu :

1. Composmentis, yaitu kondisi seseorang yang sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun
terhadap lingkungannya dan dapat menjawab pertanyaan yang ditanyakan pemeriksa dengan baik.

2. Apatis, yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya.

3. Delirium, yaitu kondisi seseorang yang mengalami kekacauan gerakan, siklus tidur bangun yang
terganggu dan tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi serta meronta-ronta.

4. Somnolen yaitu kondisi seseorang yang mengantuk namun masih dapat sadar bila dirangsang, tetapi
bila rangsang berhenti akan tertidur kembali.

5. Sopor, yaitu kondisi seseorang yang mengantuk yang dalam, namun masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi tidak terbangun sempurna dan tidak dapat menjawab
pertanyaan dengan baik.

6. Semi-coma yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak
dapat dibangunkan sama sekali, respons terhadap rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi refleks kornea dan
pupil masih baik.

7. coma, yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, memberikan respons terhadap pertanyaan, tidak
ada gerakan, dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.

Penilaian GCS pada orang dewasa adalah sebagai berikut:


1. Eye (respon membuka mata) : (4) spontan (3) dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari) (1) : tidak ada respon

2. Verbal (respon verbal) : (5) : orientasi baik (4) : bingung, berbicara mengacau (berulang-ulang),
disorientasi tempat dan waktu. (3) : kata-kata tidak jelas (2) : suara tanpa arti (mengerang) (1) : tidak ada
respon

3. Motorik (Gerakan) : (6) : mengikuti perintah (5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus
saat diberi rangsang nyeri) (4) : withdraws (menghindar/menarik tubuh menjauhi stimulus saat diberi
rangsang nyeri) (3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat
diberi rangsang nyeri). (2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari
mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri). (1) : tidak ada respon

Penilaian GCS pada bayi/anak adalah sebagai berikut :

1. Eye (respon membuka mata) : (4) : spontan (3) : Patuh pada perintah/suara (2) : dengan rangsangan
nyeri (1) : tidak ada respon

2. Verbal (respon verbal) : (5) : mengoceh (4) : menangis lemah (3) : menangis (karena diberi rangsangan
nyeri) (2) : merintih (karena diberi rangsangan nyeri) (1) : tidak ada respon

3. Motorik (Gerakan) : (6) : spontan (5) : menarik (karena sentuhan) (4) : menarik (karena rangsangan
nyeri) : (3) : fleksi abnormal (2) : ekstensi abnormal (1) : tidak ada respon

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E-V-M dan selanjutnya nilai
GCS tersebut dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi atau GCS normal adalah 15 yaitu E V M dan nilai GCS
terendah adalah 3 yaitu E V M . Berikut beberapa penilaian GCS dan interpretasinya terhadap tingkat
kesadaran : Nilai GCS (15-14) : Composmentis Nilai GCS (13-12) : Apatis Nilai GCS (11-10) : Delirium Nilai
GCS (9-7) : Somnolen Nilai GCS (6-5) : Sopor Nilai GCS (4) : semi-coma Nilai GCS (3) : Coma

EPIDURAL HEMATOMA
Epidural Hematom adalah perdarahan intrakranial yang terjadi karena fraktur tulang tengkorak dalam
ruang antara tabula interna kranii dengan duramater. Hematoma epidural merupakan gejala sisa yang
serius akibat cedera kepala dan menyebabkan angka mortalitas sekitar 50%. Hematoma epidural paling
sering terjadi di daerah perietotemporal akibat robekan arteria meningea media. Hematoma Epidural
dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja, beberapa keadaan yang bisa menyebabkan epidural
hematom adalah misalnya benturan pada kepala pada kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi
akibat trauma kepala, yang biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi
pembuluh darah.

Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa, padat dapat di gerakkan
dengan bebas, yang memebantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Di antar kulit dan galea terdapat
suatu lapisan lemak dan lapisan membrane dalam yang mngandung pembuluh-pembuluih besar. Bila
robek pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang
berarti pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala. Tepat di bawah galea terdapat ruang
subaponeurotik yang mengandung vena emisaria dan diploika. Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa
infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan betapa pentingnya
pembersihan dan debridement kulit kepala yang seksama bila galea terkoyak.

Epidural hematom utamanya disebabkan oleh gangguan struktur duramater dan pembuluh darah kepala
biasanya karena fraktur.Akibat trauma kapitis,tengkorak retak.Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur
linear.Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau fraktur
impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan
sekaligus melukai jaringan otak (laserasio).Pada pendarahan epidural yang terjadi ketika pecahnya
pembuluh darah, biasanya arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang antara duramater dan
tengkorak.

Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid, kedalam rongga subdural
(hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak (hemoragi ekstradural) atau ke dalam
substansi otak sendiri. Pada hematoma epidural, perdarahan terjadi diantara tulang tengkorak dan dura
mater. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila slaah satu cabang arteria meningea
media robek. Robekan ini sering terjadi buka fraktur tulang tengkorak di daerah yang bersangkutan.
Hematom pun dapat terjadi di daerah frontal dan oksipital. Putusnya vena-vena penghubung antara
permukaan otak dan sinus dural adalah penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi.
Perdarahan ini seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin terdapat sedikit
darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena anak-anak memiliki venavena yang halus ) dan
orang dewasa dengan atropi otak ( karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih panjang ) memiliki
resiko yang lebih besar.

Patofisisiologi

Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan dura meter. Perdarahan ini
lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini
sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah
frontal atau oksipital. Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum
dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi
menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari
tulang kepala sehingga hematom bertambah besar.

Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak kearah
bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran
tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik. Tekanan dari herniasi unkus pda
sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya
kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan
naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau
sangat cepat, dan tanda babinski positif. Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak
akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-
tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-
tanda vital dan fungsi pernafasan.

Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga makin lama
makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera
sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif
memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama
penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena
cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya
hamper selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval
karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.

Sumber perdarahan :

• Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam ) • Sinus duramatis • Diploe (lubang yang mengisis kalvaria
kranii) yang berisi a. diploica dan vena diploica Epidural hematoma merupakan kasus yang paling
emergensi di bedah saraf karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada sutura
sehingga langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah herniasi trans dan infra
tentorial.Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala yang mengeluh nyeri kepala yang berlangsung
lama

Gejala yang sangat menonjol pada epidural hematom adalah kesadaran menurun secara progresif. Pasien
dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar disekitar mata dan dibelakang telinga. Sering juga
tampak cairan yang keluar pada saluran hidung dan telingah. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang
bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang timbul akibat dari cedera kepala. Gejala
yang sering tampak : Penurunan kesadaran , bisa sampai koma ; Bingung ; Penglihatan kabur ; Susah bicara
; Nyeri kepala yang hebat ; Keluar cairan dari hidung dan telingah ; Mual ; Pusing ; Berkeringat ; Pupil
anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau serangan epilepsi fokal.
Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih
positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah
dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga
mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan
tanda kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi
rostrocaudal batang otak. Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak,
interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.

GAMBARAN RADIOLOGIS

Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah dikenali.

Foto Polos Kepala Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural hematoma.
Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk
mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria meningea media.

Computed Tomography (CT-Scan) Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan
potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula
terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas
darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula
garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU),
ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang
menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih
untuk menegakkan diagnosis.

DIAGNOSIS BANDING

1. Hematoma subdural Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara dura mater dan
arachnoid. Secara klinis hematoma subdural akut sukar dibedakan dengan hematoma epidural yang
berkembang lambat. Bisa di sebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang menyebabkan bergesernya
seluruh parenkim otak mengenai tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya di sertai dengan
perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma subdural, tampak penumpukan cairan
ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan sabit.

2. Hematoma Subarachnoid Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh


darah di dalamnya.

PENATALAKSANAAN

Penanganan darurat :

 Dekompresi dengan trepanasi sederhana

 Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

Terapi medikamentosa

1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir
dan darah yang dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal
dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena : guna-kan cairan
NaC10,9% atau Dextrose in saline

2. Mengurangi edema otak Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:

a. Hiperventilasi. Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh
darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga
dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100 mmHg dan
paCO2 diantara 2530 mmHg.

b. Cairan hiperosmoler. Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk “menarik” air dari
ruang intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk kemudian 11 dikeluarkan melalui diuresis. Untuk
memperoleh efek yang dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu
singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam 1030 menit. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang
menunggu tindak-an bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin
dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya.

c. Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu yang
lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang ber-manfaat
pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar
darah otak. Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi : Dexametason pernah dicoba dengan
dosis sampai 100 mg bolus yang diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah
digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.

d. Barbiturat. Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah
mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif
lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini
hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat.

INDIKASI Operasi di lakukan bila terdapat :

 Volume hamatom > 30 ml  Keadaan pasien memburuk  Pendorongan garis tengah > 5 mm  fraktur
tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm  EDH dan SDH ketebalan lebih
dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan GCS 8 atau kurang  Tanda-tanda lokal dan peningkatan
TIK > 25 mmHg.

Hematoma epidural dapat memberikan komplikasi :

1. Edema serebri, merupakan keadaan gejala patologis, radiologis di mana keadaan ini mempunyai
peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan
intracranial.

2. Kompresi batang otak. Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa : 1.


Hemiparese/hemiplegia. 2. Disfasia/afasia 3. Epilepsi. 4. Hidrosepalus. 5. Subdural empiema 14
PROGNOSIS Prognosis Epidural Hematom tergantung pada :

Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )  Besarnya  Kesadaran saat masuk kamar operasi. Jika ditangani
dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh
dapat dibatasi. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi. Prognosis
dari penderita SDH ditentukan dari:  GCS awal saat operasi  lamanya penderita datang sampai dilakukan
operasi  lesi penyerta di jaringan otak  serta usia penderita pada penderita dengan GCS kurang dari 8
prognosenya 50 %, makin rendah GCS, makin jelek prognosenya makin tua pasien makin jelek
prognosenya adanya lesi lain akan memperjelek prognosenya.

TEKANAN INTRAKRANIAL

Tekanan intrakranial (TIK) didefiniskan sebagai tekanan dalam rongga kranial dan biasanya diukur sebagai
tekanan dalam ventrikel lateral otak. tekanan intrakranial normal adalah 0-15 mmHg. nilai diatas 15
mmHg dipertimbangkan sebagai hipertensi intrakranial atau peningkatan tekanan intrakranial. Tekanan
intrakranial dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu otak (sekitar 80% dari volume total) cairan serebrospinal
(sekitar 10%) dan darah (sekitar 10%). Monro-Kellie doktrin menjelaskan tentang kemampuan regulasi
otak yang berdasarkan volume !ang tetap. Selama volume intrakranial sama, maka TIK akan konstan.
Peningkatan volume salah satu faktor harus diikuti kompensasi dengan penurunan faktor lainnya supaya
volume tetap konstan. Perubahan salah satu volume tanpa diikuti respon kompensasi faktor lain akan
menimbulkan perubahan TIK. Beberapa mekanisme kompensasi yang mungkin antara lain cairan
serebrospinal diabsorpsi dengan lebih cepat atau arteri serebral berkonstriksi menurunkan aliran darah
otak.

Bila terjadi kenaikan yang relatif kecil dari volume otak, keadaan ini tidak akan cepat menyebabkan
tekanan tinggi intrakranial. Sebab volume yang meninggi ini dapat dikompensasi dengan memindahkan
cairan serebrospinalis dari ronga tengkorak ke kanalis spinalis dan disamping itu volume darah intrakranial
akan menurun oleh karena berkurangnya peregangan durameter. Hubungan antara tekanan dan volume
ini dikenal dengan complience. Jika otak, darah dan cairan serebrospinalis volumenya terus menerus
meninggi, maka mekanisme penyesuaian ini akan gagal dan terjadilah tekanan tinggi intrakranial.

Salah satu hal yang penting dalam TIK adalah tekanan perfusi serebral/cerebral perfusion pressure (CPP).
CPP adalah jumlah aliran darah dari sirkulasi sistemik yang diperlukan untuk memberi oksigen dan glukosa
yang adekuat untuk metabolisme otak. CPP dihasilkan dari tekanan arteri sistemik rata-rata dikurangi
tekanan intrakranial, dengan rumus CPP = MAP – ICP. CPP normal berada pada rentang 60-100 mmHg.
MAP adalah rata-rata tekanan selama siklus kardiak. MAP = tekanan sistolik + 2Xtekanan diastolik dibagi
3. Jika CPP diatas 100mmHg, maka potensial terjadi peningkatan TIK. Jika kurang dari 60mmHg, aliran
darah ke otak tidak adekuat sehingga hipoksia dan kematian sel otak dapat terjadi. Jika MAP dan ICP sama,
berarti tidak ada CPP dan perfusi serebral berhenti, sehingga penting untuk mempertahankan kontrol ICP
dan MAP.

Otak yang normal memiliki kemampuan autoregulasi, yaitu kemampuan organ mempertahankan aliran
darah meskipun terjadi perubahan sirkulasi arteri dan tekanan perfusi autoregulasi menjamin aliran darah
yang konstan melalui pembuluh darah serebral diatas rentang tekanan perfusi dengan mengubah
diameter pembuluh darah dalam merespon perubahan tekanan arteri. Pada klien dengan gangguan
autoregulasi, beberapa aktivitas yang dapat meningkatkan tekanan darah seperti batuk, suctioning, dapat
meningkatkan aliran darah otak sehingga juga meningkatkan tekanan TIK.

Monitorik TIKpaling sering dilakukan pada trauma kepala dengan situasi:

1.GCS kurang dari 8

2. mengantuk/drowsy dengan hasil temuan CT scan

3. post op evakuasi hematoma

4. klien resiko tinggi seperti usia diatas 40 tahun, tekanan darah rendah, klien dengan bantuan vetilasi,

ETIOLOGI

1.Volume intrakranial yang meninggi dapat disebabkan oleh: • Tumor serebri • Infark yang luas • Trauma
• Perdarahan • Abses • Hematoma ekstraserebral • Acute brain swelling

2. Dari faktor pembuluh darah Meningginya tekanan vena karena kegagalan jantung atau karena obstruksi
mediastinal superior, tidak hanya terjadi peninggian volume darah vena di piameter dan sinus duramater,
juga terjadi gangguan absorpsi cairan serebrospinalis.

3. Obstruksi pada aliran dan pada absorpsi dari cairan serebrospinalis, maka dapat terjadi hidrosefalus

GEJALA KLINIK TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL

• Nyeri Kepala pada tumor otak terutama ditemukan pada orang dewasa dan kurang sering pada anak-
anak. Nyeri kepala terutama terjadi pada waktu bangun tidur, karena selama tidur PCO2 arteril serebral
meningkat. sehingga mengakibatkan peningkatan dari serebral blood flow dan dengan demikian
mempertinggi lagi tekanan intrakranium. Juga lonjakan tekanan intrakranium sejenak karena batuk,
mengejan atau berbangkis akan memperberat nyeri kepala. Pada anak kurang dari 10-12 tahun, nyeri
kepala dapat hilang sementara dan biasanya nyeri kepala terasa didaerah bifrontal serta jarang didaerah
yang sesuai dengan lokasi tumor. Pada tumor didaerah fossa posterior, nyeri kepala terasa dibagian
belakang dan leher.

• Muntah Muntah dijumpai pada 1/3 penderita dengan gejala tumor otak dan biasanya disertai dengan
nyeri kepala. Muntah tersering adalah akibat tumor di fossa posterior. Muntah tersebut dapat bersifat
proyektil atau tidak dan sering tidak disertai dengan perasaan mual serta dapat hilang untuk sementara
waktu.

• Kejang Kejang umum/fokal dapat terjadi pada 20-50% kasus tumor otak, dan merupakan gejala
permulaan pada lesi supratentorial pada anak sebanyak 15%. Frekwensi kejang akan meningkat sesuai
dengan pertumbuhan tumor. Pada tumor di fossa posterior kejang hanya terlihat pada stadium yang lebih
lanjut. Schmidt dan Wilder (1968) mengemukakan bahwa gejala kejang lebih sering pada tumor yang
letaknya dekat korteks serebri dan jarang ditemukan bila tumor terletak dibagian yang lebih dalam dari
himisfer, batang otak dan difossa posterior.

• Papil edem Papil edem juga merupakan salah satu gejala dari tekanan tinggi intrakranial. Karena tekanan
tinggi intrakranial akan menyebabkan oklusi vena sentralis retina, sehingga terjadilah edem papil. Barley
dan kawankawan, mengemukakan bahwa papil edem ditemukan pada 80% anak dengan tumor otak.

• Gejala lain yang ditemukan:

o False localizing sign: yaitu parese N.VI bilateral/unilateral, respons ekstensor yang bilateral, kelainann
mental dan gangguan endokrin

o Gejala neurologis fokal, dapat ditemukan sesuai dengan lokalisasi tumor.

Tumor lobus frontalis adalah ditemukannya gangguan fungsi intelektual. Ada 2 tipe perubahan
kepribadian: - apatis dan masa bodoh - euforia Tetapi lebih sering ditemukan adalah gabungan dari kedua
tipe tersebut. Bila masa tumor menekan jaras motorik maka akan menyebabkan hemiplegi kontralateral.
Tumor pada lobus yang dominan akan menyebabkan afasia motorik dan disartri.

Tumor lobus parietalis dapat menyebabkan bangkitan kejang umum atau fokal, hemianopsia homonim,
apraksia. Bila tumor terletak pada lobus yang dominan dapat menyebabkan afasia sensorik atau afasia
sensorik motorik, agrafia dan finger agnosia.

Tumor lobus temporalis yang letaknya dibagian dalam lobus temporalis dapat menyebabkan hemianopsia
kontralateral, bangkitan psikomotor atau bangkitan kejang yang didahului oleh auraolfaktorius, atau
halusinasi visual dari bayangan yang kompleks. Tumor yang letaknya pada permukaan lobus dominan
dapat menyebabkan afasia sensorik motorik atau disfasia.

Tumor lobus oksipitalis umumnya dapat menyebabkan kelainan lapangan pandang kuadrantik yang
kontralateral atau hemianopsia dimana makula masih baik. Dapat terjadi bangkitan kejang yang didahului
oleh aura berupa kilatan sinar yang tidak berbentuk.

Tumor fossa posterior Tumor pada ventrikel IV dan serebelum akan menggangu sirkulasi cairan
serebrospinalis sehingga memperlihatkan gejala tekanan tinggi intrakranial. Keluhan nyeri kepala, muntah
dan papil edem akan terlihat secara akut, sedangkan tanda-tanda lain dari serebelum akan mengikuti
kemudian.
GAMBARAN RADIOLOGI TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL PADA FOTO POLOS KEPALA

Pada Anak:

1. Sutura melebar Pada umur 7 tahun sutura mulai mendekati dimana hal ini mungkin terlihat setelah
umur 14 atau 15 tahun. Keadaan ini tidak terlihat setelah umur 25 atau 30 tahun. Satura yang melebar ini
terutama jelas terlihat pada sutura koronaria dan sutura sagitalis serta jarang terlihat pada sutura
lambdoidea

2. Ukuran kepala yang membesar Ukuran kepala yang membesar dijumpai pada: • Ventrikel yang
membesar Pada hidrosefalus ditemukan ventrikel yang membesar, misalnya disebabkan oleh suatu
stenosis aquaduktus Sylvii, Arnold Chiari Malfornation atau Dendy Walker Cyst • Ventrikel yang normal
Dijumpai pada edem serebri, space ocuping lesion dan megalencephaly.

3. Craniolacunia Craniolacunia adalah suatu gambaran menyerupai alur yang berbentuk oval atau seperti
jari pada tabula interns dengan diantaranya terdapat bony ridge. Tanda ini terlihat pada neonatus sampai
bayi berumur 6 bulan. Keadaan ini berhubungan dengan myelomeningocele, ecephalecele, stenosis
aquaductus sylvii dan arnold chiari malformation.

4. Erosi dorsum sellae Pada anak-anak erosi dorsum sellae merupakan tanda lanjut dari tekanan tinggi
intrakranial. Untuk terjadinya erosi dorsum sellae membutuhkan waktu beberapa minggu. Keadaan ini
hanya terlihat pada 30% kasus dengan tekanan tinggi intrakranial. Jika erosi dorsum sellae tidak disertai
dengan sutura yang melebar, umumnya hal ini disebabkan oleh lesi fokal pada daerah sella

5. Bertambahnya convolutional marking Untuk suatu tekanan tinggi intrakranial bertambahnya


convolutional marking tidak dapat dipercaya. Dalam keadaan normal keadaan ini bervariasi antara umur
4-10 tahun

Pada dewasa :

1. Erosi dorsum sellae Pada orang dewasa biasanya terjadi erosi dorsum sellae dan merupakan gambaran
yang khas. Pada tekanan tinggi intrakranial yang lama seluruh dorsum sellae mungkin tidak jelas terlihat.
Sebenarnya erosi prossesus posterio dan dorsum sellae disebabkan oleh tekanan dari dilatasi ventrikel III
dan pada umumnya ditemukan pada penderita dengan tumor pada fossa posterior dan hidrosefalus. Erosi
sellae oleh karena tekanan tinggi intrakranial harus dibedakan dari lesi destruksi lokal. Selain daripada
adenoma pituitaria yang terdiri atas meningioma, chordoma, craniopharyngioma dan aneurisma.

2. Pergeseran kelenjar pineal Pada proyeksi Towne dengan kualitas filma yang baik, kelenjar pineal terlihat
terletak di garis tengah. Jika terjadi pergeseran dari kalsifikasi kelenjar pineal lebih dari 3 mm pada satu
sisi garis tengah,menunjukkan adanya massa intrakranial. Pada umumnya sebagai penyebabnya adalah
tumor intrakranial, tetapi lesi seperti subdural hematom dan massa non neoplastik dapat menyebabkan
hal yang sama.

3. Kalsifikasi Patologi Pada space occupying lession dapat terlihat adanya kalsifikasi yang patologik.
Keadaan ini terlihat dengan gambaran radiologik kira-kira pada 5%-10% kasus.

COMPUTERIZED TOMOGRAPHY / CT SCAN CT Scan merupakan pemeriksaan yang aman dan tidak invasif
serta mempunyai ketepatan yang tinggi. Masa tumor menyebabkan kelainan pada tulang tengkorak yang
dapat berupa erosi atau hiperostosis, sedang pada parenkhim dapat merubah struktur normal ventrikel,
dan juga dapat menyebabkan serebral edem yang akan terlihat berupa daerah hipodensiti. Setelah
pemberian kontrast, akan terlihat kontrast enhancement dimana tumor mungkin terlihat sebagai daerah
hiperdensiti. Kelemahan CT Scan menurut Davuis (1976) kurang mengetahui adanya tumor yang
berpenampang kurang dri 1,5 cm dan yang terletak pada basis kranii.

MAGNETIC RESONANCE IMAGING/MRI dapat mendeteksi tumor dengan jelas dimana dapat dibedakan
antara tumor dan jaringan sekitarnya. MRI dapat mendeteksi kelainan jaringan sebelum terjadinya
kelainan morfologi.

Anda mungkin juga menyukai