Hukum Perikatan

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 9

HUKUM PERIKATAN

A. PENGERTIAN HUKUM & PERIKATAN


a. Pengertian Hukum
Hukum adalah ketetapan , peraturan , ketentuan yang telah disepakati
oleh masyarakat dan para penegak hukum , yang harus dilaksanakan dengan
sebaik – baiknya . Hukum mengandung sanksi-sanksi tertentu untuk
diterapkan pada para pelanggar hukum.

b. Pengertian Perikatan
KUH Perdata tidak memberikan secara rinci tentang Pengertian atau
Definisi Perikatan, sehigga Perumusan mengenai Pengertian atau Definisi
Perikatan pada umumnya diberikan oleh para sarjana. Dengan demikian
Pengertian atau definisi Perikatan adalah merupakan doktrin atau ajaran atau
hanya ada dalam lapangan Ilmu Pengetahuan, bukan merupakan ketentuan
yang mengikat yang meliputi baik dari segi kreditur maupun dari segi debitur
(subyek dalam perikatan)

B. ISTILAH HUKUM PERIKATAN


Dalam Buku III BW yang berjudul “van Verbintenissen”, di mana istilah ini
juga merupakan istilah lain yang dikenal dalam Code Civil Perancis, istilah mana
diambil dari hukum Romawi yang terkenal dengan istilah “obligation”. Istilah
verbintenis dalam BW (KUHPerdata), ternyata diterjemahkan berbeda-beda dalam
kepustakaan hukum Indonesia. Berkaitan dengan itu, Soetojo Prawirohamidjojo, di
dalam salah satu bukunya menegaskan bahwa :
“Istilah verbintenis, ada yang menterjemahkan dengan “perutangan”,
perjanjian maupun dengan “perikatan”. karena masing-masing para sarjana
mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menterjemahkan dan
mengartikannya, walaupun pengertian yang dimaksudkan perikatan tersebut dapat
tidak terlalu jauh berbeda. Istilah perikatan dimaksud pada dasarnya berasal dari
bahasa Belanda yakni “verbintenis”, diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
berbeda-beda, sebagai bukti, di dalam KUHPerdata digunakan istilah “perikatan”
untuk “verbintenis”. R. Subekti, mempergunakan istilah “verbintenis” untuk
perkataan “perikatan”, demikian juga R. Setiawan, memakai istilah “perikatan”
untuk “verbintenis”. Selanjutnya Utrecht, memakai istilah perutangan

ASPEK HUKUM DALAM BISNIS : HUKUM PERIKATAN


1
untuk “verbintenis”. Sebaliknya Soediman Kartohadiprodjo, mempergunakan istilah
“hukum pengikatan” sebagai terjemahan dan“verbintenissenrecht, sedangkan.
Sementara itu R. Wirjono Prodjodikoro, memakai istilah “het
verbintenissenrecht” diterjemahkan sebagai “hukum perjanjian” bukan hukum
perikatan, demikian juga Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, memakai istilah “hukum
perutangan” untuk “verb intenissenrecht” .(R. Soetojo , 1979; 10).
Dari uraian di atas, maka dapat dikatakan, bahwa untuk
istilah “verbintenis”dikenal adanya tiga istilah untuk menterjemahkannya yakni;
“perikatan, perutangan, dan perjanjian”, akan tetapi dalam berbagai perkuliahan di
Fakultas Hukum yang ada di Indonesia, penggunaan terjemahan istilah
“verbintenis” tersebut lebih cenderung menggunakan istilah perikatan untuk
verbintenis tersebut, demikian juga halnya dalam tulisan ini digunakan istilah
perikatan untuk menterjemahkan verbintenis dimaksud. Beranjak dari uraian di atas,
jika dikaitkan dengan adanya ketidak samaan pendapat tentang terjemahan istilah
verbintenis tersebut, hal ini berpengaruh terhadap perumusan perikatan, karena di
dalam KUHPerdata sendiri tidak ditemui pngertian perikatan secara yuridisnya, oleh
karena untuk merumuskan tentang perikatan dapat dipedomani beberapa pendapat
para ahlinya.

C. HUKUM PERIKATAN
Hukum Perikatan pada dasarnya merupakan hubungan hukum yang artinya
hubungan yang di atur dan di akui oleh hukum, baik yang dapat dinilai dengan uang
maupun tidak, yang di dalamnya terdapat paling sedikit adanya terdapat satu dan
kewajiban, misalnya suatu perjanjian pada dasarnya menimbulkan atau melahirkan
satu atau beberapa perikatan, keadaan ini tentu tergantung pada jenis perjanjian yang
diadakan, demikian juga halnya suatu perikatan dapat saja dilahirkan karena adanya
ketentuan undang-undang, dalam arti, undang-udanglah yang menegaskan, di mana
dengan terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan telah melahirkan perikatan atau
hubungan hukum, misalnya, dengan adanya perbuatan melanggar hukum.
Hubungan hukum sebagaimana dimaksudkan, harus dibedakan dengan
hubungan lainnya yang ada di dalam pergaulan masyarakat, seperti pergaulan yang
berdasarkan etika dan kesopanan, kepatutan dan kesusilaan. Penyimpangan terhadap
hubungan tersebut, tidak menimbulkan akibat hukum, misalnya; janji untuk bertemu
dengan pasangan, janji untuk pergi kuliah bersama dan lain-lain yang pada dasarnya

ASPEK HUKUM DALAM BISNIS : HUKUM PERIKATAN


2
berada diluar lingkungan hukum dalam arti, hal ini bukan merupakan perikatan atau
hubungan hukum.
Sebagai perbandingan, dapat dilihat dari tiga contoh kasus berikut :
1) Amir menjual mobilnya kepada Budi, maka dalam hal ini, menimbulkan
perikatan antara kedua orang tersebut, yakni pihak Amir mempunyai
kewajiban untuk menyerahkan mobil yang dijualnya karena hal itu juga
merukan haknya Budi, demikian juga sebaliknya, bahwa pihak Budi juga
mempunyai kewajiban untuk menyerahkan atau membayar harga pada Amir
karena hal itu merupakan haknya Amir, demikian juga dari keadaan tersebut
menimbulkan kewajiban bagi Budi untuk membayar harga yang telah
ditentukan;
2) Joni menitipkan sepeda motornya pada Ali, maka dengan keadaan tersebut
dapat dikatakan telah terjadinya perikatan antara kedua pihak tersebut, di
mana Joni berhak atas sepeda motor yang dititipkan atau menerima kembali
sepeda motor yang telah dititipkannya, demikian juga sebaliknya, Ali
berkewajiban menyerahak sepeda motor yang telah dititipkan oleh Joni.
3) Akhir secara tidak sengaja menabrak seseoran pejalan kaki dengan
kendaraannya, maka hal demikian juga telah melahirkan perikatan antara
Akhir dengan Pejalan kaki tersebut, di mana akhir berkewajiban untuk
mengobati dan sebaliknya si pejalan kaki mempunyai hak untuk menuntut
agar Akhir mengobatinya.

Melihat beberapa pengertian perikatan dan kasus di atas, maka dapat


dikatakan bahwa pada dasarnya perikatan merupakan “suatu hubungan hukum antara
dua pihak, di mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dan pihak yang lain, dan
pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut. Dalam hal mi, dapat
disebutkan, bahwa pihak yang menuntut disebut kreditur (pihak berpiutang) dan pihak
yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi disebut debitur (pihak berutang).
Keadaan tersebut juga dapat diartikan, bahwa adanya suatu hak dan kewajiban yang
harus dilakukan kreditur dan debitur tergantung dan yang diperjanjikan, di mana hak
dan kewajiban kreditur dimaksudkan harus diatur oleh undang-undang, yaitu sebagai
suatu tindakan untuk melakukan tuntutan terhadap pihak yang lalai dalam
melaksanakan suatu prestasi atau kewajibannya.

Hal ini berarti, bahwa secara sederhana perikatan diartikan sebagai suatu hal
yang mengikat antara orang yang satu dengan orang yang lain. Hal yang mengikat itu

ASPEK HUKUM DALAM BISNIS : HUKUM PERIKATAN


3
adalah peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli, hutang-
piutang, dapat berupa kejadian, misalnya kelahiran, kematian, dapat berupa keadaan,
misalnya perkarangan berdampingan, rumah bersusun, jadi peristiwa hukum tersebut
menciptakan hubungan hukum, dalam arti peristiwa hukum tersebut menciptakan
hubungan hukum.

Dalam hubungan hukum itu tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara
timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya. Pihak yang
berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi
tuntutan disebut debitur. Hal ini berarti, menurut Ridwan Syahrani, “bahwa terjadinya
hubungan hukum antara dua pihak tersebut, di mana masing-masing pihak (kretidur)
berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi
itu” (Ridwan Syahrani, 1992; 203). Prestasi sebagaimana di maksudkan dapat
dikatakan sebagai objeknya perikatan, yaitu sesuatu yang dituntut oleh kreditur
terhadap debitur, atau sesuatun yang wajib dipenuhi oleh debitur terhadap kreditur.
Prestasi adalah harta kekayaan yang diukur atau diniali dengan uang. Yang
berkewajiban membayar sejumlah uang berposisi sebagai debitur, sedangkan pihak
yang berhak menerima sejumlah uang berposisi sebagai kreditur.

Dalam hukum hutang-piutang, pihak yang berhutang disebut debitur,


sedangkan pihak yang berhutang disebut kreditur. Dalam hubungan jual beli, pihak
pembeli berposisi sebagai debitur, sedangkan penjual berposisi sebagai kreditur.
Dalam perjanjian hibah, Pemberi hibah disebut debitur, sedangkan penerima hibah
disebut kreditur. Dalam perjanjian kerja, pihak yang melakukan pekerjaan disebut
kreditur, sedangkan pihak yang berkewajiban membayar upah disebut debitur.

Dari uraian yang telah dikemukakan, pada akhirnya perlu juga dipahami
tentang rumusan hukum perikatan, maka dengan melihat beberapa pengertian dan
kasus yang telah dikemukakan, dapat dikatakan bahwa hukum perikatan, pada
dasarnya merupakan “kesemuanya kaidah hukum atau aturan hukum yang mengatur
hak dan kewajiban seseorang yang bersumber pada tindakannya, baik dalam
lingkungan hukum kekayaan yang dapat dinilai dengan uang maupun tidak dapat
dinilai dengan uang.

D. DASAR HUKUM PERIKATAN

ASPEK HUKUM DALAM BISNIS : HUKUM PERIKATAN


4
Sumber-sumber Hukum Perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan
undang undang.
Dasar Hukum Perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah
sebagai berikut.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar
hukum dan perwakilan sukarela

Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :

1. Perikatan (Pasal 1233 KUH Perdata) : Perikatan , lahir karena suatu


persetujuan atau karena undang – undang . Perikatan ditujukan untuk
memberikan sesuatu , untuk berbuat sesuatu , atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan (Pasal 1313 KUH Perdata) : Suatu persetujuan adalah suatu
perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap orang lain
atau lebih.
3. Undang-undang (Pasal 1352 KUH Perdata) : Perikatan yang lahir karena
undang-undang timbul dari undang-undangatau timbul dari undang-undang
sebagai akibat dari perbuatan orang.

E. ASAS – ASAS HUKUM PERIKATAN

Di dalam hukum perikatan, dikenal dengan tiga asas penting yaitu:


I. Asas Konsensualisme
Perkataan konsekualisme berasal dari perkataan latin consensus yang
berarti sepakat. Arti asas konsensualisme pada dasarnya perjanjian dan
perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya
kesepakatan. Sedangkan asas konsensualisme sebagaimana yang telah di
simpulkan dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “Untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Dalam angka satu pasal tersebut, “sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya” mengandung makna bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan
secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan dua belah pihak.

ASPEK HUKUM DALAM BISNIS : HUKUM PERIKATAN


5
II. Asas Pacta Sunt Servanda
Ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Hal ini dapat disimpulkan
dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”. Dalam perkembangannya,
asas Pacta Sunt Servanda diberi arti Pactum yang berarti sepakat tidak perlu
dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan Nudus
Pactum sudah cukup dengan sepakat saja.
III. Asas Kebebasan Berkontrak
Dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang
berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka”. Asas kebebasan Berkontrak adalah suatu asas yang
memberikan suatu kebebasan kepada para pihak untuk:
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian.
2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.
4. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Disamping ketiga asas itu, di dalam lokakarya hukum perikatan yang
diselenggarakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari
tanggal 17-19 November 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum
perikatan Nasional, yaitu:
1. Asas Kepercayaan,
2. Asas Persamaan Hukum,
3. Asas Keseimbangan,
4. Asas Kepastian Hukum,
5. Asas Moral,
6. Asas Kepatuhan,
7. Asas Kebiasaan, dan
8. Asas Perlindungan

F. PENGATURAN HUKUM PERIKATAN


Hukum Perikatan yang dimaksudkan ialah keseluruhan peraturan hukum yang
mengatur tentang perikatan. Pengaturan tersebut meliputi bagian umum dan bagian
khusus. Bagian umum membuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada
umumnya. Sedangkan bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai

ASPEK HUKUM DALAM BISNIS : HUKUM PERIKATAN


6
perjanjian-perjanjian bernama yang banyak dipakai dalam masyarakat. Bagian umum
meliputi bab babI, bab II bab III (hanya pasal 1352 dan 1353) da bab IV, yang berlaku
bagi perikatan pada umumnya. Bagian khusus meliputi bab III (kecuali pasal 1352
dan pasal 1353) dan babV s/d XVIII, yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu
saja, yang sudah ditentukan namanya dalam baba-bab yang bersangkutan. Pengaturan
hukum perikatan dilakukan dengan “sistem terbuka”, artinya setiap orang boleh
mengadakan perikatan apa saja baik yang belum ditentukan namanya dalam undang-
undang. tetapi keterbukaan ini dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-
undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan , dan tidak bertentangan dengan
ketertiban umum.
Sesuai dengan pengunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUH Perdata
menentukan bahwa perikatan dapat timbul baik karena perjanjian maupun karena
undang-undang. Dengan kata lain, sumber perikatan itu ialah perjanjian dan
undang- undang. Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, kedua pihak
debitur dan kreditur dengan sengaja bersepakat saling mengikatkan diri, dalam
perikatan mana kedua pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.
Pihak debitur wajib memenuhi prestasi dan pihak kreditur berhak atas prestasi.
Dalam perikatan yang timbul karena undang-undang, hak dan kewajiban
debitur dan kreditur ditetapkan oleh undang-undang. Pihak debitur dan kreditur wajib
memenuhi ketentuan undang-undang. Undang-undang mewajibkan debitur berprestasi
dan kreditur berhak atas prestasi. Kewajiban ini disebut kewajiban undang-undang.
Jika kewajiban tidak dipenuhi, berarti pelanggaran undang-undang.
Dalam pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang timbul karena undang-undang
diperinci menjadi dua, yaitu perikatan yang timbul semata-mata karena ditentukan
oleh undang-undang dan perikatan yang timbul karena perbuatan orang. perikatan
yang timbul karena perbutan orang dalam pasal 1353 KUH Perdata diperinci lagi
menjadi perikatan yang timbul dari perbuatan menurut hukum (rechtmatig) dan
perikatan yang timbul dari perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
G. MACAM – MACAM HUKUM PERIKATAN

1. Perikatan Bersyarat (voorwaardelijk)


Adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di
kemudian hari, yang belum tentu akan terjadi. Perikatan bersyarat ini dapat
dilihat dalam bagian ke lima tentang perikatan-perikatan bersyarat, pasal 1253
yang berbunyi: “Suatu perikatan adalah bersyarat manakala ia digantungkan

ASPEK HUKUM DALAM BISNIS : HUKUM PERIKATAN


7
pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu terjadi,
baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu,
maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya
peristiwa tersebut.
2. Perikatan dengan Ketetapan Waktu (tijdsbepaling)
Suatu waktu ketetapan tidak menangguhkan perikatan, melainkan
hanya menangguhkan pelaksanaannya. Maksud syarat “ketetapan waktu”
adalah pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada “waktu yang ditetapkan”.
Waktu yang ditetapkan itu adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan
terjadinya itu sudah pasti, atau dapat berupa tanggal yang sudah ditetapkan.
3. Perikatan Manasuka (alternatief)
Objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan manasuka karena
debitur boleh memenuhi prestasi dengan memilih salah satu dari dua benda
yang dijadikan objek perikatan. Tetapi debitur tidak boleh memaksa debitur
untuk menerima sebagian benda yang satu dan sebagian benda yang lain. Jika
debitur telah memenuhi salah satu dari dua benda yang disebutkan dalam
perikatan, ia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih prestasi ada
pada debitur, jika hak ini tidak secara tegas pada kreditur (pasal 1272 dan
1273 KUH Perdata).
4. Perikatan Tanggung-Menanggung (hoofdelijk)
Adalah perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak
yang berhutang berhadapan pada satu pihak yang menghutangkan atau
sebaliknya. Beberapa orang sama-sama berhak menagih suatu piutang dari
satu orang. Perikatan ini diatur dalam pasal 1278 sampai pasal 1296 KUH
Perdata.
5. Perikatan yang Dapat Dibagi dan Tidak Dapat Dibagi
Tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada
hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak
yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi
suatu perikatan barulah tampil ke muka apabila salah satu pihak dalam
perjanjian telah digantikan oleh orang lain.
6. Perikatan dengan Penetapan Hukuman
Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudahnya
melupakan kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian dimana si

ASPEK HUKUM DALAM BISNIS : HUKUM PERIKATAN


8
berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya.
Hukuman ini biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang
sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah
ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.
H. HAPUSNYA PERIKATAN
Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan.
Cara-cara tersebut adalah:
1. Pembayaran
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3. Pembaharuan utang
4. Perjumpaan utang atau kompensasi
5. Percampuran utang
6. Pembebasan utang
7. Musnahnya barang yang terutang
8. Batal atau pembatalan
9. Berlakunya suatu syarat batal, dan
10. Lewatnya waktu.
Sepuluh cara tersebut di atas belumlah lengkap, karena masih ada cara-cara
yang tidak disebutkan berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam suatu perjanjian atau
meninggalnya salah satu pihak dalam beberapa macam perjanjian, seperti
meninggalnya seorang pesero dalam suatu perjanjian firma dari pada umumnya dalam
perjanjian-perjanjian dimana prestasi hanya dapat dilaksanakan oleh debitur sendiri
dan tidak boleh oleh orang lain.

ASPEK HUKUM DALAM BISNIS : HUKUM PERIKATAN


9

Anda mungkin juga menyukai