Anda di halaman 1dari 58

BAB I

HUKUM BENDA

(ZAKENRECHT)

A. Pengertian Benda

Pengertian benda (zaak) secara yuridis adalah segala

sesuatu yang dapat dihaki atau yang dapat menjadi obyek hak milik

(Pasal 499 BW). Ketentuan tersebut memberikan gambaran

kepada kita bahwa segala yang dapat dimiliki manusia itulah

benda, dengan demikian yang tidak dapat dimiliki misalnya laut,

bulan, bintang, dan lain-lain bukanlah benda. Di dalam hukum

perdata, benda lazimnya disebut sebagai objek hak (zaak)

berhadapan dengan subjek hak, yaitu badan pribadi (persoon).

Pengertian benda ialah pertama-tama tidak hanya tertuju pada

barang yang berwujud yang dapat ditangkap panca indera tetapi

juga pada barang yang tidak berwujud.

Tetapi, kalau kita membaca pada ketentuan Pasal 580 dan

511 KUHPerdata/BW, ternyata memberikan gambaran yang lain

lagi. Zaak (benda) di sini bukan hanya barang yang berwujud saja,

tetapi juga meliputi bunga, perhutangan dan penagihan, hak pakai

atas benda bergerak , obligasi dan lainnya. Di sini zaak dalam arti

bagian daripada harta kekayaan (vermogens bestanddeel).

1
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa zaak (benda)

dalam sistem hukum perdata (KUHPerdata/BW) mempunyai dua

arti :

1. Barang yang berwujud

2. Barang daripada harta kekayaan. Termasuk dalam hal ini

ialah barang berwujud dan beberapa hak tertentu sebagai

barang tidak berwujud.

Di luar KUHPerdata/BW (Buku II KUHPerdata/BW) zaak

dipakai dalam arti yang lain lagi, yaitu:

1. Kepentingan (belang). Pasal 1354 KUHPerdata/BW

mengatur mengenai pengurusan kepentingan orang lain

(zaakwarneming). Zaakwarneming ada jika orang

sukarela tanpa mendapat pesanan untuk itu,

menyelenggarakan zaak orang lain dengan atau tanpa

diketahui orang tersebut, dan lain sebagainya.

2. Perbuatan Hukum (Rechtshandeling). Pasal 1792

KUHPerdata/BW mengatur mengenai pemberian kuasa

(lastgeving). Pemberian kuasa adalah perjanjian dengan

mana seseorang memberikan kuasa kepada orang lain,

dan orang tersebut menerimanya untuk melakukan suatu

zaak (perbuatan hukum) bagi pemberi kuasa.

3. Kenyataan Hukum (Rechsfeit). Pasal 1263

KUHPerdata/BW tentang perhutangan dengan syarat

2
menunda ialah perhutangan yang tergantung atas suatu

kejadian yang akan datang dan tidak pasti, atau dari

suatu zaak (kenyataan hukum) yang sudah terjadi, tapi

belum diketahui para pihak.1

B. Pembedaan Macam-Macam Benda

Menurut sistem Hukum Perdata Barat sebagaimana diatur dalam

BW, benda dapat dibedakan atas:

1. Benda tidak bergerak (lihat Pasal 506, 507, dan 508 BW).

Ada 3 golongan benda tidak bergerak, yaitu:

a. Benda yang menurut sifatnya tidak bergerak, yang

dibagi lagi menjadi 3 macam:

1) Tanah.

2) Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah

karena tumbuh dan berakar serta bercabang

seperti tumbuh-tumbuhan, buah-buahan yang

masih belum dipetik dan sebagainya.

3) Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah

karena didirikan di atas tanah itu yaitu karena

tertanam dan terpaku.

b. Benda yang menurut tujuan pemakaiannya supaya

bersatu dengan benda tidak bergerak, seperti:

1F.X. Suhardana (et.al.), Hukum Perdata I Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta: PT Prenhallindo,
2001, hlm. 148.

3
1) Pada pabrik: segala mesin, ketel-ketel, dan

alat-alat lain yang dimaksudkan supaya terus-

menerus berada di situ untuk digunakan dalam

menjalankan pabrik.

2) Pada suatu perkebunan: segala sesuatu yang

digunakan sebagai pupuk bagi tanah, ikan

dalam kolam, dan lainnya.

3) Pada rumah kediaman: segala kaca, tulisan-

tulisan, dan lain-lain serta alat-alat untuk

menggantungkan barang-barang itu.

4) Barang-barang reruntuhan dari suatu

bangunan apabila dimaksudkan untuk dipakai

guna mendirikan lagi bangunan itu.

c. Benda yang menurut penetapan undang-undang

sebagai benda tidak bergerak, seperti:

1) Hak-hak atau penagihan mengenai suatu

benda yang tidak bergerak.

2) Kapal-kapal yang berukuran 20 m3 ke atas

(dalam hukum perniagaan).

2. Benda bergerak (lihat Pasal 509, 510, dan 511 BW). Ada 2

golongan benda bergerak, yaitu:

a. Benda yang menurut sifatnya bergerak dalam arti

benda itu dapat berpindah / dipindahkan dari suatu

4
tempat ke tempat lain. Misalnya, sepeda, kursi, meja,

buku, pena, dan lainnya.

b. Benda yang menurut penetapan undang-undang

sebagai benda bergerak ialah segala hak atas benda-

benda bergerak. Misalnya, hak memetik hasil dan hak

memakai; hak atas bunga yang harus dibayar selama

hidup seseorang; hak menuntut di muka hakim

supaya uang tunai / benda-benda bergerak

diserahkan kepada penggugat; saham-saham dari

perseroan dagang; dan surat-surat berharga lainnya.

Perbedaan antara benda bergerak dan benda tidak bergerak

tersebutpenting artinya, karena adanya ketentuan-ketentuan

khusus yang berlaku bagi masing-masing golongan benda

tersebut, misalnya:

a. Mengenai hak bezit. Misalnya Pasal 1977 ayat (1) BW

menentukan, barangsiapa yang menguasai benda

bergerak dianggap sebagai pemilik. Jadi bezitter dari

benda bergerak adalah eigenaar dari benda tersebut.

b. Mengenai pembebanan (bezwaring). Pembebanan

terhadap benda bergerak harus dilakukan pand,

sedangkan terhadap benda tidak bergerak dilakukan

dengan hypotheek (Pasal 1150 dan 1162 BW).

5
c. Mengenai penyerahan (levering). Pasal 612 BW

menentukan bahwa penyerahan benda bergerak dapa

dilakukan dengan penyerahan secara nyata, sedangkan

penyerahan benda tidak bergerak menurut Pasal 616 BW

harus dilakukan dengan balik nama.

d. Mengenai daluwarsa (verjaring). Terhadap benda

bergerak tidak dikenal daluwarsa, sebab bezit di sini sama

dengan eigendom atas benda bergerak itu, sedangkan

benda-benda tidak bergerak mengenal verjaring.

e. Mengenai penyitaan (beslag). Revindicatoir beslag yaitu

penyitaan untuk mendapatkan kembali bendanya sendiri

hanya dapat dilakukan terhadap benda-benda bergerak.

Kemudian, executoir beslag yaitu penyitaan untuk

melaksanakan keputusan Pengadilan harus dilakukan

terlebih dahulu terhadap benda bergerak. Apabila tidak

mencukupi untuk membayar hutang tergugat kepada

penggugat, baru executoir beslag dilakukan terhadap

benda tidak bergerak.

3. Benda yang musnah.

Sebagaimana diketahui bahwa obyek hukum adalah segala

sesuatu yang berguna/bermanfaat bagi subyek hukum dan

yang dapat menjadi obyek suatu hubungan hukum karena

sesuatu itu dapat dikuasai subyek hukum. Maka benda yang

6
dalam pemakaiannya akan musnah, kegunaan/manfaat

benda ini terletak pada kemusnahannya. Misalnya, makanan

dan minuman, kalau dimakan dan diminum baru memberi

manfaat bagi kesehatan.

4. Benda yang tetap ada.

Ialah benda-benda yang dalam pemakaiannya tidak

mengakibatkan benda itu menjadi musnah, tetapi memberi

manfaat bagi pemakai. Seperti, cangkir, piring, mangkuk,

mobil, sepeda motor, dan lainnya. Pembedaan benda yang

musnah dan benda tetap ada penting, baik dalam hukum

perjanjian maupun hukum benda. Dalam hukum perjanjian

misalnya perjanjian pinjam pakai yang dilakukan terhadap

benda yang tetap ada. Sedangkan perjanjian pinjam

mengganti dilakukan terhadap benda yang dapat musnah.

Dalam hukum benda, misalnya hak memetik hasil benda

dilakukan terhadap benda yang dapat musnah. Sedangkan,

hak memakai dilakukan terhadap benda yang tetap ada.

5. Benda yang dapat diganti dan benda yang tidak dapat

diganti. Perbedaan antara benda tersebut misalnya dalam

pasal yang mengatur perjanjian penitipan barang. Menurut

Pasal 1694 BW pengembalian benda oleh yang dititipi harus

in natura artinya tidak boleh diganti dengan benda lain. Oleh

karena itu, perjanjian penitipan barang pada umumnya

7
hanya mengenai benda yang tidak akan musnah. Jika benda

yang dititipkan berupa uang, menurut Pasal 714 BW, jumlah

uang yang harus dikembalikan harus dalam mata uang yang

sama seperti yang dititipkan, baik mata uang itu telah

naik/turun nilainya. Lain halnya jika uang tersebut dipinjam-

menggantikan, yang meminjam hanya wajib

mengembalikannya sejumlah uang saja, sekalipun dengan

mata uang berbeda daripada waktu perjanjian diadakan.

6. Benda yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi. Benda

yang dapat dibagi adalah benda yang apabila wujudnya

dibagi tidak mengakibatkan hilangnya hakikat benda itu.

Misalnya, beras, gula pasir, dan lainnya. Benda yang tidak

dapat dibagi adalah benda yang apabila wujudnya dibagi

mengakibatkan hilangnya/lenyapnya hakikat benda itu.

Misalnya, kuda, sapi, uang, dan lainnya. Arti penting

pembedaan ini terletak pada pemenuhan prestasi suatu

perikatan. Dalam perikatan yang objeknya benda dapat

dibagi maka prestasi dapat dilakukan sebagian demi

sebagian. Jika perikatan yang objeknya benda tidak dapat

dibagi, pemenuhan prestasi harus dilakukan secara utuh.

7. Benda yang diperdagangkan dan benda yang tidak

diperdagangkan. Benda yang dapat diperdagangkan adalah

benda-benda yang dapat dijadikan objek (pokok) suatu

8
perjanjian. Benda yang tidak diperdagangkan adalah benda-

beda yang tidak dapat dijadikan objek (pokok) suatu

perjanjian di lapangan harta kekayaan; biasanya benda yang

digunakan untuk kepentingan umum. Arti penting

pembedaan ini terletak pada pemindahtangankan karena

jual beli atau karena pewarisan. Benda dalam perdagangkan

dapat diperjualbelikan dengan bebas, dapat diwariskan

kepada ahli waris. Benda di luar perdagangan tidak dapat

diperjualbelikan dan tidak dapat diwariskan kepada ahli

waris.

8. Benda yang terdaftar dan benda yang tidak terdaftar. Arti

penting pembedaan ini terletak pada pembuktian

pemilikannya, untuk ketertiban umum, dan kewajiban

membayar pajak. Benda terdaftar dibuktikan dengan tanda

pendaftaran atau sertifikat atas nama pemiliknya, sehingga

mudah dikontrol pemilikannya, pengaruhnya terhadap

ketertiban umum, kewajiban pemiliknya untuk membayar

pajak, serta kewajiban masyarakat untuk menghormati hak

milik orang lain. Contoh benda terdaftar ialah kendaraan

bermotor, tanah, bangunan, hak cipta, dan lainnya. Benda

tak terdaftar umumnya benda bergerak yang tidak sulit

pembuktian pemilikannya karena berlaku asas “yang

menguasai dianggap sebagai pemiliknya”. Di samping itu,

9
tidak begitu berpengaruh/berbahaya bagi ketertiban umum

dan tidak begitu berpengaruh bagi pemiliknya untuk

membayar pajak.2

C. Tentang Hak Kebendaan

1. Hak Perdata

Hak Perdata adalah hak seseorang yang diberikan hukum

perdata. Hak perdata tersebut ada yang bersifat absolut dan

yang bersifat relatif. Hak yang bersifat absolut memberikan

kekuasaan langsung dan dapat dipertahankan terhadap

siapa pun. Hak yang bersifat relatif memberikan kekuasaan

terbatas dan hanya dapat dipertahankan terhadap pihak lain

dalam hubungan hukum. Hak perdata yang bersifat absolut

meliputi:

a. Hak kebendaan (zakelijkrecht), diatur dalam buku II

KUHPdt.

b. Hak kepribadian (persoonlijkrecht), terdiri dari:

1) Hak atas diri sendiri, misalnya hak atas nama,

hak atas kehormatan, hak untuk memiliki, hak

untuk kawian.

2) Hak atas diri orang lain, misalnya hak dalam

hubungan hukum keluarga antara suami isteri,

2 H. Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: PT. Alumni, 2006,
hlm. 109.

10
antara orang tua dan anak, antara wali dan

anak.

Semua hak kepribadian diatur dalam buku I KUHPdt.

2. Hak Kebendaan

Hak yang melekat atas suatu benda disebut hak atas benda.

Hak atas benda lazimnya disebut hak kebendaan

(zakelijkrecht). Hak kebendaan ialah hak yang memberikan

kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat

dipertahankan terhadap siapa pun juga. Ciri-ciri hak

kebendaan adalah:

a. Mutlak, artinya dikuasai dengan bebas dan

dipertahankan terhadap siapa pun juga. Misalnya hak

milik dan hak cipta.

b. Mengikuti benda, di atas mana hak itu melekat.

Misalnya hak sewa, hak memungut hasil, mengikuti

bendanya dalam tangan siapa pun benda itu berada.

c. Yang terjadi lebih dulu tingkatnya lebih tinggi,

misalnya di atas sebuah rumah melekat hak hipotik,

kemudian melekat pula hak hipotik berikutnya, maka

kedudukan hipotik pertama lebih tinggi daripada

hipotik kedua.

d. Lebih diutamakan, misalnya hak hipotik atas rumah,

jika pemilik rumah pailit, maka hipotik memperoleh

11
prioritas penyelesaian tanpa memperhatikan

pengaruh pailit itu.

e. Hak gugat dapat dilakukan terhadap siapa pun yang

mengganggu benda itu.

f. Pemindahan hak kebendaan dapat dilakukan kepada

siapa pun.

D. Asas-Asas Hak Kebendaan

1. Asas Hukum Pemaksa (dwingendrecht), berarti bahwa orang

tidak boleh mengadakan hak kebendaan yang sudah diatur

dalam undang-undang.

2. Asas Dapat Dipindahtangankan, semua hak kebendaan

dapat dipindahtangankan, kecuali hak pakai dan hak

mendiami.

3. Asas Individualitas, objek hak kebendaan selalu benda

tertentu atau dapat ditentukan secara individual yang

merupakan kesatuan.

4. Asas Totalitas, hak kebendaan selalu terletak di atas seluruh

objeknya sebagai satu kesatuan.

5. Asas tidak dapat dipisahkan, orang yang berhak tidak boleh

memindahtangankan sebagian dari kekuasaan yang

termasuk suatu hak kebendaan yang ada padanya.

12
6. Asas prioritas, semua hak kebendaan memberi kekuasaan

yang sejenis dengan kekuasaan atas hak milik. Misalnya,

sebuah rumah dibebani hak hipotik, kemudian dibebani lagi

dengan hak memungut hasil. Dalam hal ini hipotik

diprioritaskan daripada hak memungut hasil.

7. Asas percampuran, apabila hak yang membebani dan yang

dibebani itu terkumpul dalam satu tangan, maka hak yang

membebani itu lenyap. Misalnya, hak memungut hasil lenyap

apabila pemegang hak tersebut menjadi pemilik pekarangan

itu, misalnya karena jual beli, pewarisan, hibah.

8. Asas publisitas, hak kebendaan atas benda tidak bergerak

diumumkan dan didaftarkan dalam register umum, misalnya

hak milik dan hak guna usaha. Sedangkan hak kebendaan

atas benda bergerak tidak perlu diumumkan dan didaftarkan,

misalnya hak milik atas pakaian sehari-hari dan hak gadai.

Kecuali apabila ditentukan lain oleh undang-undang,

misalnya hak milik atas kendaraan bermotor.

9. Asas mengenai sifat perjanjian, untuk memperoleh hak

kebendaan perlu dilakukan dengan perjanjian zakelijk, yaitu

perjanjian memindahkan hak kebendaan. 3

3Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993, hlm.
137.

13
E. Pembedaan Hak Kebendaan

1. Hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan (zakelijk

genotsrecht) mengenai tanah yang diatur dalam Buku II BW

dengan berlakunya UUPA (Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960) dinyatakan tidak berlaku lagi. Hak kebendaan atas

tanah yang diatur dalam Buku II BW yang tidak berlaku lagi

adalah:

a. Hak bezit atas tanah

b. Hak eigendom atas tanah

c. Hak servitut (pembebanan pekarangan)

d. Hak opstal (hak untuk memiliki bangunan/tanaman di

atas tanah orang lain)

e. Hak erfpacht (hak untuk menarik penghasilan dari

tanah milik orang lain dengan membayar sejumlah

uang/penghasilan tiap tahun)

f. Hak bunga tanah dan hasil sepersepuluh

g. Hak pakai mengenai tanah.

Hak atas tanah sebagai penggantinya yang berlaku

sekarang sebagaimana diatur dalam UUPA dan peraturan

pelaksana lainnya adalah:

a. Hak milik

b. Hak guna usaha

c. Hak guna bangunan

14
d. Hak pakai

e. Hak sewa untuk bangunan

f. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan

g. Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan

h. Hak guna ruang angkasa

i. Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial.

2. Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan (zakelijk

zakerheidsrecht) sekarang setelah adanya Undang-Undang

No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan Undang-

Undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah:

a. Pand (gadai)

b. Hypotheek

c. Jaminan Fidusia

d. Hak Tanggungan.4

4 H. Riduan Syahrani, Op.Cit., hlm. 117.

15
BAB II

HAK KEBENDAAN

A. Hak Kebendaan yang Bersifat Memberi Kenikmatan

Hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan (zakelijk

genotsrecht) mengenai tanah yang diatur dalam BW, dengan

berlakunya UUPA (Undang-undang No. 5 Tahun 1960) tanggal 24

September 1960, dinyatakan tidak berlaku lagi. 5

1. Bezit

Bezit adalah suatu keadaan dimana seseorang menguasai

suatu benda, baik sendiri maupun perantara orang lain, seolah-

olah benda itu milknya sendiri. Orang yang menguasai benda

itu disebut bezitter. Unsur adanya bezit ada 2 yaitu:

a. Unsur keadaan dimana seseorang menguasai suatu benda

(corpus)

b. Unsur kemauan orang yang menguasai benda tersebut

untuk memilikinya (animus).

Bezit mempunyai 2 macam fungsi, yaitu:

5 Ibid.

16
a. Fungsi polisionil bezit, maksudnya bezit mendapat

perlindungan hukum tanpa memandang siapa sebenarnya

pemilik benda itu. Fungsi polisionil ini ada pada setiap bezit.

b. Fungsi Zakenrechtelijk, maksudnya setelah bezit berjalan

beberapa waktu tanpa adanya protes, bezit itu berubah

menjadi eigendom, yaitu dengan cara melalui lembaga

verjaring. Fungsi ini tidak ada pada setiap bezit.

Cara memperoleh bezit ada 2 macam, yaitu:

a. Dengan bantuan orang lain yang membezit terlebih dahulu.

Yaitu dengan jalan Traditio (penyerahan bendanya) dari

bezitter yang lama kepada bezitter yang baru. Jalan ini

bersifat derivatief.

b. Dengan tanpa bantuan orang lain yang membezit lebih

dahulu, yaitu dengan Occupatio (pengambilan bendanya).

Pengambilan bendanya bisa terhadap benda yang tidak ada

pemiliknya (res nullis), misalnya: ikan di sungai, binatang-

binatang buruan di hutan, buah-buah di hutan dsb.

Memperoleh bezit dengan jalan occupatio ini dikatakan juga

memperoleh bezit yang bersifat originair (asli).6

Pasal 539 BW menentukan bahwa orang yang sakit ingatan

tidak dapat memperoleh bezit, tetapi anak yang di bawah umur dan

perempuan yang telah kawin dapat memperolehnya. Ini disebabkan

6 Ibid., hlm. 119-121.

17
karena pada orang sakit ingatan dianggap tidak mungkin adanya

unsur kemauan untuk memiliki (animus).

Perolehan bezit dengan perantaraan orang lain mungkin,

asal saja menurut hukum orang itu mempunyai hak untuk mewakili

dan ia dengan secara nyata menguasai benda yang diperoleh itu,

misalnya orang tersebut seorang juru kuasa atau seorang wali.

Selanjutnya, perolehan bezit mungkin pula karena warisan

menurut pasal 541 BW, yang menentukan bahwa segala sesuatu

yang merupakan bezit seorang yang telah meninggal, berpindah

sejak hari meninggalnya kepada ahli warisnya, dengan segala sifat

dan cacatnya. Maksudnya jujur atau tidaknya bezitter yang telah

meninggal itu.7

Bezitter yang beritikad baik (te goeder trouw) adalah bezitter

yang memperoleh benda yang dikuasainya dengan salah satu cara

memperoleh hak milik, dimana ia tidak mengetahui cacat yang

terkandung didalamnya (Pasal 531 BW). Sedangkan bezitter yang

beritikad tidak baik (te kwader trouw) adalah bezitter yang

mengetahui bahwa benda yang dikuasainya itu bukan miliknya

(Pasal 532 ayat 1 BW). Misalnya, bezitter tahu benda yang dikuasai

adalah berasal dari curian.

Undang-undang memberikan perlindungan yang berbeda

terhadap bezitter yang beritikad baik (yang jujur) dengan bezitter

7 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Intermasa, 2008, hlm. 65-66.

18
yang beritikad tidak baik (yang tidak jujur). Perbedaan perlindungan

yang diberikan terhadap bezitter yang beritikad baik dan bezitter

yang beritikad tidak baik ini berkaitan dengan fungsi Zakenrechtelijk

bezit dalam 3 hal: (1) kemungkinan menjadi eigenaar, (2) hak

memetik hasil benda, (3) hak mendapat penggantian kerugian

berupa ongkos yang dikeluarkan untuk benda yang bersangkutan.

Bezitter yang beritikad baik memperoleh 3 hak tersebut.

Sedangkan bezitter yang beitikad tidak baik hanya memperoleh hak

yang ke dua saja.

Khusus mengenai bezit terhadap benda bergerak, berlaku

asas yang tercantum pada pasal 1977 ayat (1) buku IV BW tidak di

atur dalam buku II BW. karena ketentuan ini mengandung

ketentuan tentang Verjaring yaitu Extinctive verjaring (verjaring

yang membebaskan dari suatu perutangan). Extinctive verjaring

diatur BW dengan tenggang waktu nol tahun. Jadi barang siapa

yang menguasai benda bergerak seketika bebas dari tuntutan

pemilik (Eigenaar).

Pengecualian pasal 1977 ayat (1) BW itu termuat dalam

pasal 1977 ayat (2) yang pada pokoknya menentukan perlindungan

yang diberikan pasal 1977 ayat (1) BW tersebut tidak berlaku bagi

barang-barang hilang atau dicuri, dan barang siapa kehilangan

barang didalam jangka waktu 3 tahun terhitung sejak hari hilangnya

atau dicurinya itu, berhak meminta kembali miliknya dari setiap

19
orang yang memegangnya (hak revindicatie). Pemilik juga tidak

diwajibkan membayar ganti kerugian kepada pemegang, kecuali

barang itu dibelinya di pasar tahunan atau pasar lainnya, di

pelelangan umum, pemilik barang harus mengembalikan harga

barang yang dibayar pemegang barang (pasal 582 BW).

Bezit akan berakhir karena hal-hal yang disebutkan dalam

pasal 543 s.d. 547 BW yaitu8:

a. Karena bendanya diserahkan sendiri oleh bezitter kepada

orang lain.

b. Karena bendanya diambil orang lain dari kekuasaan Bezitter

dan kemudian selama satu tahun tidak ada gangguan apapun

juga.

c. Karena bendanya telah dibuang (dihilangkan) oleh bezitter.

d. Karena bendanya tidak diketahui lagi dimana adanya.

e. Karena bendanya musnah.

2. Hak Milik (Hak Eigendom)

Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu benda

dengan sepenuhnya dan sebebas-bebasnya asal tidak bertentangan

dengan Undang-undang atau peraturan umum dan tidak menimbulkan

gangguan terhadap hak-hak orang lain. Hak milik adalah hak yang

paling sempurna, pemilik bisa menjual, menyewakan menggadaikan,

8 Riduan Syahrani, Op.Cit, hlm. 121-127.

20
menukarkan. Jadi orang yang yang mempunyai hak milik atas suatu

benda tidak boleh sewenang-wanang dengan benda itu, ada batasan

penggunaan hak milik itu.

Hak milik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Merupakan hak induk terhadap hak-hak kebendaan yang lain.

b. Kualitasnya merupakan hak yang selengkap-lengkapnya.

c. Bersifat tetap, artinya tidak akan lenyap terhadap hak

kebendaan yang lain.

d. Mengandung inti (benih) dari hak kebendaan yang lain.

Setiap orang yang memiliki hak milik atas suatu benda, berhak

meminta kembali benda miliknya itu dari siapapun yang

menguasainya (hak revindicatoir) berdasarkan hak milik itu (pasal 574

BW). Mengenai cara memperolehnya dalam BW diatur pada pasal

584 adalah sebagai berikut:

a. Pengambilan (toegening atau Occupatio).

Pengambilan yaitu cara memperoleh hak milik dengan mengambil

benda-benda bergerak yang sebelumnya tidak ada pemiliknya

(res nullius), seperti binatang-binatang buruan di hutan, ikan-ikan

di sungai, di laut dan di danau, buah-buahan di hutan belantara

serta hasil-hasil hutan lainnya dsb.

b. Penarikan oleh benda lain (natrekking atau accessio).

Penarikan oleh benda lain yaitu cara memperoleh hak milik di

mana benda (pokok) yang dimiliki sebelumnya karena alam

21
bertambah besar atau bertambah banyak. Misalnya, pohon-pohon

(sebagai benda pokok) berbuah, sehingga buah-buah pohon

tersebut menjadi hak milik dari pemilik pohon. Kemudian binatang

ternak berkembang biak, anak-anak binatang ternak ini menjadi

hak milik dari pemilik binatang ternak yang berkembang biak itu.

c. Lewat waktu/ daluwarsa (Verjaring).

Lewat waktu/daluwarsa yaitu cara memperoleh hak milik karena

lampaunya waktu 20 tahun dalam hal ada alas hak yang sah atau

30 tahun dalam hak tidak ada alas hak. Lewat waktu ini diatur

dalam Pasal 610 BW dan pasal-pasal Buku IV BW tentang

pembuktian dan daluwarsa. Lewat waktu (verjaring) ada dua

macam yaitu acquisitieve verjaring dan extinctieve verjaring.

Acquisitieve verjaring adalah cara untuk memperoleh hak-hak

kebendaan seperti hak milik. Sedangkan extinctieve verjaring

adalah cara untuk dibebaskan dari suatu perutangan.

d. Pewarisan (erfopvolging)

Pewarisan yaitu cara memperoleh hak milik bagi para ahli waris

atas boedel warisan yang ditinggalkan pewaris. Yang

dimaksudkan ahli waris disini bisa ahli waris menurut undang-

undang (ab intestato) maupun menurut wasiat (testament).

e. Penyerahan (levering atau overdracht)

Penyerahan yaitu cara memperoleh hak milik karena adanya

pemindahan hak milik dari seseorang yang berhak

22
memindahkannya kepada orang lain yang memperoleh hak milik

itu.

Selain cara yang sudah di atur dalam pasal 584 BW untuk

memperoleh hak milik masih ada cara lain yang belum dijelaskan,

yaitu:

a. Pembentukan benda (zaakvorming); yaitu dengan cara

membentuk atau menjadikan benda yang sudah ada menjadi

benda baru. Misalnya kayu diukir menjadi patung; pasir, batu

dan semen dilepa menjadi bangunan; benang ditenun menjadi

kain dsb. Orang yang menjadikan atau membentuk bendanya

sendiri menjadi benda yang baru itu adalah pemilik benda yang

baru tersebut (Pasal 606 BW).

b. Penarikan buahnya (vruchttrekking); yaitu dengan menjadikan

bezitter te goeder trouw suatu benda benda dapat menjadi

pemilik (eigenaar) dari buah/ hasil benda yang dibezitnya

(Pasal 575 BW).

c. Persatuan atau percampuran benda (vereniging) yaitu

memperoleh hak milik karena bercampurnya beberapa macam

benda kepunyaan orang lain. (Pasal 607-609 BW)

d. Pencabutan hak (ontegening); namun untuk ini harus

berdasarkan Undang-undang, dan harus untuk kepentingan

umum serta dengan ganti kerugian yang layak bagi pemiliknya.

23
e. Perampasan (verbeurdverklaring); hal ini disebutkan dalam

pasal 10 KUHP sebagai hukuman tambahan.

f. Pembubaran suatu badan hukum; yang mana anggota badan

hukum yang masih ada memperoleh bagian dari badan hukum

tersebut (pasal 1665 BW).

Cara memperoleh hak milik dari segi sifatnya dapat dibedakan

atas 2 macam:

a. Secara originair (asli) yaitu memperoleh hak milik bukan berasal

dari orang lain yang lebih dahulu memiliki, misalnya dengan

pendakuan, penarikan oleh benda lain, dan verjaring.

b. Secara derivatief yaitu memperoleh hak milik berasal dari orang

lain yang dahulu memiliki atas suatu benda. Mereka yang

memperoleh hak milik secara derivatief dibedakan menjadi 2

macam yaitu:

1) Mereka yang memperoleh hak milik berdasarkan alas hak

yang umum yakni para ahli waris, suami dan istri karena

adanya persatuan harta kekayaan dalam perkawinan mereka,

anggota-anggota badan hukum yang dibubarkan, dan negara

terhadap harta benda yang terlantar.

2) Mereka yang memperoleh hak milik berdasarkan alas hak

yang khusus yakni pembeli setelah adanya levering dalam

perjanjian jual-beli, cessionaris, legataris, dll.

24
Hak milik bersama (medeeigendom) atas suatu benda diatur

dalam pasal 573 BW yang menentukan bahwa membagi suatu benda

yang menjadi milik lebih dari seorang, harus dilakukan menurut aturan-

aturan yang ditetapkan tentang pemisahan dan pembagian harta

peninggalan. Hak milik bersama dapat dibedakan atas 2 macam yaitu

hak milik bersama yang bebas dan hak milik bersama yang terikat.

Di dalam hak milik bersama yang bebas, orang-orang yang

mempunyai hak milik bersama itu tidak ada hubungan lain selain

daripada mereka bersama menjadi pemilik. Misalnya A, B, dan C

bersama-sama membeli sebuah buku. Sedangkan di dalam hak milik

bersama yang terikat, adanya orang-orang yang bersama-sama

menjadi pemilik atas suatu benda itu adalah akibat daripada hubungan

satu sama lain yang telah ada sebelumnya. Misalnya hak milik

bersama suami istri terhadap harta perkawinan, hak milik bersama

para pemegang saham terhadap harta perseroan, dll.9 Adapun sebab-

sebab yang mengakibatkan hilangnya (hapusnya) hak milik:

a. Karena orang lain memperoleh hak milik itu dengan dengan salah

satu cara untuk memperoleh hak milik seperti di atas.

b. Karena musnahnya benda yang dimiliki.

c. Karena pemilik melepaskan benda yang dimilikinya.

9 Ibid., hlm. 127-138.

25
3. Hak Memungut Hasil (Vructhgebruik)

Hak memungut hasil adalah hak untuk menarik (memungut)

hasil dari benda orang lain, seolah-olah benda itu miliknya sendiri,

dengan berkewajiban untuk menjaga benda tersebut tetap dalam

keadaan seperti semula.

Definisi memungut hasil yang termuat dalam pasal 756

dipandang kurang lengkap oleh para ahli, sebab hak memungut hasil

tidak hanya memberikan hak untuk menarik hasilnya saja tetapi juga

untuk memakai benda itu dan juga dalam pasal itu tidak termuat

definisi ciri yang terpenting dalam Vruchtgebruik akan hapus dengan

meninggalnya orang yang mempunyai hak itu.

Kewajiban hak memungut hasil yang diatur dalam pasal 782 s.d.

806 BW yang isinya mencatatkan, mengadakan jaminan berupa

asuransi atau yang lain dan mengadakan perbaikan, menanggung

biaya untuk memelihara benda itu dengan sebaik-baiknya serta

mengembalikan semua bendanya dalam keadaan semula dan

menggantinya apabila ditemui kerugian atau kerusakan. Hapusnya

hak memungut hasil diatur dalam pasal 507 BW yaitu10:

a. Karena meninggalnya pemegang hak tersebut.

b. Karena habisnya waktu.

c. Karena pemegang hak berubah menjadi pemilik hak.

d. Karena pemegang hak melepaskan hak memungut hasil tu.

10 Ibid., hlm. 138-139.

26
e. Karena verjaring dimana pemegang hak tidak

mempergunakannya selama 30 tahun.

f. Karena musnah bendanya.

4. Hak Pakai dan Hak Mendiami

Dalam BW hak pakai dan mendiami ini diatur pada buku II title XI

dari pasal 818 s.d. 829. Hak pakai sebenarnya sama dengan hak

mendiami, hanya apabila hak ini mengenai rumah kediaman

dinamakan hak mendiami. Menurut pasal 821 hak pakai hanya

diperuntukkan buat diri si pemakai dan anggota keluarganya saja.

Kemudian tidak diperbolehkan untuk disewakan atau diserahkan

kepada orang lain (pasal 823). Dan menurut pasal 819 kewajiban-

kewajiban hak pakai dan hak mendiami sama dengan kewajiban-

kewajiban pemegang hak memungut hasil.11

B. Hak Kebendaan yang Bersifat Memberi Jaminan

1. Hak Gadai (Pandrecht)

Gadai atau yang disebut juga dengan Pand, merupakan salah

satu kebendaan yang termasuk suatu lembaga jaminan yang di

atur dalam buku ke II KUHPerdata. Menurut pasal 1150

KUHPerdata gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang

berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkannya

11 Ibid, hlm. 140-141.

27
kepadanya oleh seorang berutang atau oleh orang lain atas

namanya dan yang memberikan kepuasan kepada si berpiutang

itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara di

dahulukan dari pada orang lain. Orang berpiutang lainnya dengan

kekecualian biaya untuk menyelamatkannya setelah barang itu di

gadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.

Pandrecht adalah suatu hak kebendaan atas suatu barang

bergerak kepunyaan orang lain, hak mana semata-mata

diperjanjikan menyerahkan benit atas benda bergerak bertujuan

untuk mengambil pelunasan suatu barang dari pendapatan

penjualan benda itu lebih dahulu darin penagih-penagih lainnya.12

Menurut pendapat R. Wiyono Prodjodikoro yaitu:

“Gadai adalah suatu hak yang didapat oleh seorang berpiutang

suatu benda bergerak yang padanya diserahkan oleh si berutang

atau oleh seorang lain atau namanya untuk menjamin

pembayaran hutang dan yang memberikan hak kepada si

berutang untuk dibayar lebih dahulu dari berpiutang lainnya, yang

diambil dari uang pendapatan penjualan barang itu”. 13

Sedangkan menurut R. Subekti, gadai adalah sebagai berikut :

“Perjanjian yang menyebabkan bahwa tanahnya di serahkan

untuk menerima tunai ke sejumlah uang, dengan permufakatan

12Ibid., hlm. 65.


13 R. Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata Hak Atas Benda, Jakarta: Pembimbing
Massa, 1993, hlm. 180.

28
bahwa si penyerah akan berhak mengembalikan tanah itu ke

dirinya sendiri dengan jalan membayar sejumlah uang yang sama

maka perjanjian (transactie) dinamakan gadai tanah (Ground

Verpanding).”14

Gadai adalah hak yang tidak dapat dibagi-bagi, dimana

sebagian pembayaran tidak membebaskan sebagian benda yang

digadaikan diatur dalam pasai 1160 KUHPerdata. Maksudnya hak

gadai sebagai jaminan kebendaan haruslah dibayar atau dilunasi

secara keseluruhan. Sedangkan yang menjadi ciri-ciri gadai yang

diatur menurut KUHPerdata adalah:

a. Benda yang menjadi objek gadai adalah benda bergerak baik

berwujud maupun tidak berwujud.

b. Benda gadai harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada

pemegang gadai.

c. Perjanjian gadai merupakan perjanjian yang bersifat Accesoir

yaitu adanya hak dari gadai sebagai hak kebendaan tergantung

dari adanya perjanjian pokok misalnya perjanjian kredit.

d. Tujuan adanya benda jaminan, adalah untuk memberikan

jaminan bagi pemegang gadai bahwa di kemudian hari

piutangnya pasti dibayar.

e. Pelunasan tersebut di dahulukan dari kreditur-kreditur lainnya.

14R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia,


Jakarta: PT Intermassa, hlm. 112.

29
f. Biaya-biaya lelang dan pemeliharaan barang jaminan di lunasi

terlebih dahulu dari hasil lelang sebelum pelunasan piutang.

Barang yang dapat dijadikan jaminan adalah :

a. Perhiasan yang, terdiri dari emas, perak, permata dan lain-lain

yang tidak terbatas baik bentuk maupun jumlah beratnya.

b. Barang yang digolongkan tekstil seperti batik/kain, sarung

tenun, permadani dan lain lain.

c. Jam-jam seperti jam tangan, jam kantong, jam lonceng dan

lain-lain.

d. Barang elektronik seperti TV, Komputer (Laptop), Radio, Tape

Recorder, Handphone, dan lain sebagainya.

e. Barang bermotor seperti sepeda motor dan mobil dengan

catatan untuk sepeda motor yang usianya 5 tahun terakhir

kecuali merek Honda biasanya yang pembuatannya tahun

1998.

Misalnya, untuk jenis sepeda motor merek astrea yang di

gadaikan tahun 2006 dapat diterima sepeda motor tersebut dan

pembuatannya tahun 2000. Syarat lainnya untuk barang bermotor

itu harus menyediakan surat-surat berupa STNK, BPKB, dan lain-

lain. Barang lain, alat rumah tangga seperti mesin jahit, mesin cuci,

blender dan lain-Iain.

Sifat-sifat gadai adalah:

30
a. Gadai adalah hak kebendaan. Dalam Pasal 1150 KUH Perdata

tidak disebutkan sifat gadai, namun demikian sifat kebendaan

ini dapat diketahui dari Pasal 1152 ayat (3) KUH Perdata yang

menyatakan bahwa: “Pemegang gadai mempunyai hak

revindikasi dari Pasal 1977 ayat (2) KUH Perdata apabila

barang gadai hilang atau dicuri”. Oleh karena hak gadai

mengandung hak revindikasi, maka hak gadai merupakan hak

kebendaan sebab revindikasi merupakan ciri khas dari hak

kebendaan. Hak kebendaan dari hak gadai bukanlah hak untuk

menikmati suatu benda seperti eigendom, hak bezit, hak pakai

dan sebagainya. Benda gadai memang harus diserahkan

kepada kreditor tetapi tidak untuk dinikmati, melainkan untuk

menjamin piutangnya dengan mengambil penggantian dari

benda tersebut guna membayar piutangnya.

b. Hak gadai bersifat accesoir. Hak gadai hanya merupakan

tambahan saja dari perjanjian pokoknya, yang berupa

perjanjian pinjam uang. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa

seseorang akan mempunyai hak gadai apabila ia mempunyai

piutang, dan tidak mungkin seseorang dapat mempunyai hak

gadai tanpa mempunyai piutang. Jadi hak gadai merupakan

hak tambahan atau accesoir, yang ada dan tidaknya tergantung

dari ada dan tidaknya piutang yang merupakan perjanjian

pokoknya. Dengan demikian hak gadai akan hapus jika

31
perjanjian pokoknya hapus. Beralihnya piutang membawa serta

beralihnya hak gadai, hak gadai berpindah kepada orang lain

bersama-sama dengan piutang yang dijamin dengan hak gadai

tersebut, sehingga hak gadai tidak mempunyai kedudukan yang

berdiri sendiri melainkan accesoir terhadap perjanjian

pokoknya.

c. Hak gadai tidak dapat dibagi-bagi. Karena tidak dapat dibagi-

bagi, maka dengan dibayarnya sebagian hutang tidak akan

membebaskan sebagian dari benda gadai. Hak gadai tetap

membebani benda gadai secara keseluruhan. Dalam Pasal

1160 KUH Perdata disebutkan bahwa :

“Tak dapatnya hak gadai dan bagi-bagi dalam hal kreditor, atau

debitur meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa ahli

waris.“

Ketentuan ini tidak merupakan ketentuan hukum memaksa,

sehingga para pihak dapat menentukan sebaliknya atau

dengan perkataan lain sifat tidak dapat dibagi-bagi dalam gadai

ini dapat disimpangi apabila telah diperjanjikan lebih dahulu

oleh para pihak.

d. Hak gadai adalah hak yang didahulukan. Ini dapat diketahui

dari ketentuan Pasal 1133 dan 1150 KUHPerdata. Karena

piutang dengan hak gadai mempunyai hak untuk didahulukan

daripada piutang-piutang lainnya, maka kreditor pemegang

32
gadai mempunyai hak mendahulu (droit de preference). Benda

yang menjadi obyek gadai adalah benda bergerak baik yang

bertubuh maupun tidak bertubuh.

e. Hak gadai adalah hak yang kuat dan mudah penyitaannya.

Menurut Pasal 1134 ayat (2) KUHPerdata dinyatakan bahwa:

“Hak gadai dan hipotik lebih diutamakan daripada privilege,

kecuali jika undang-undang menentukan sebaliknya“. Dari

bunyi pasal tersebut jelas bahwa hak gadai mempunyai

kedudukan yang kuat. Di samping itu kreditor pemegang gadai

adalah termasuk kreditor separatis. Selaku separatis,

pemegang gadai tidak terpengaruh oleh adanya kepailitan si

debitor. Apabila si debitor wanprestasi, pemegang gadai dapat

dengan mudah menjual benda gadai tanpa memerlukan

perantaraan hakim, asalkan penjualan benda gadai dilakukan di

muka umum dengan lelang dan menurut kebiasaan setempat

dan harus memberitahukan secara tertulis lebih dahulu akan

maksud-maksud yang akan dilakukan oleh pemegang gadai

apabila tidak ditebus (Pasal 1155 ayat (2) KUH Perdata). Jadi

di sini acara penyitaan lewat juru sita dengan ketentuan-

ketentuan menurut Hukum Acara Perdata tidak berlaku bagi

gadai.15

15Hadi Muttaqin. “Pengertian dan Sifat-Sifat


Gadai”. <http://pustakabakul.blogspot.com/2013/07/pengertian-dan-sifat-sifat-
gadai.html>. [24/10/2015].

33
Mengenai cara berakhirnya atau hapusnya suatu gadai

menurut KUH Perdata adalah sebagai berikut:

a. Hak gadai hapus apabila hutang telah dibayar oleh si berutang.

b. Hak gadai hapus apabila barang yang di gadaikan keluar dari

kekuasaan si penerima gadai.

c. Apabila sudah dilepaskan oleh penerima gadai melunasi atas

dasar atau kemauan sendiri dari penerima gadai maka

penerima gadai mengembalikan barang yang digadai pada

pemberi gadai.

d. Karena persetujuan gadai bersifat accessoir yang jika

perjanjian pokok berakhir maka dengan sendirinya gadaipun

berakhir.

e. Bila barang yang digadaikan musnah atau terbakar diluar

kehendak atau kemampuan pemegang gadai. Dimana

penerima dan pemberi gadai sama-sama mengalami.

f. Barang gadai menjadi milik dari si pemegang gadai atas

kesepakatan atau persetujuan dari si pemberi gadai

(pengalihan hak milik atas kesepakatan).

Gadai dapat juga berakhir apabila tanah gadai musnah karena

bencana alam atau lainnya, maka perjanjian gadai berakhir dan

pemegang gadai tidak berhak untuk meminta uang gadainya

kembali dari pemberi gadai.

34
Didalam perjanjian gadai objek-objek gadai menurut hukum

perdata tersebut selalu mengikuti dari perjanjian gadai. Objek

tersebut memiliki kekuatan hukum sesuai dengan hak kebendaan

yang selalu mengikat dalam suatu perjanjian gadai. Hak kebendaan

tersebut di dalam hukum perdata mengandung ciri-ciri sebagai

berikut :

a. Benda yang dijadikan sebagai benda jaminan senantiasa

dibebani hak tanggungan. Hal ini dapat kita lihat dengan jelas

sebagaimana diatur dalam pasal 1150 KUH Perdata.

b. Si berpiutang yang memegang gadai menuntut haknya untuk

menerima pelunasan pembayaran hutang dengan satu

pembuktian pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 1151 KUH

Perdata yang berbunyi sebagai berikut "Persetujuan gadai

dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi

pembuktian persetujuan pokok".

c. Objeknya adalah benda bergerak baik berwujud maupun tidak

berwujud.

d. Hak gadai merupakan hak yang dilakukan atas pembayaran

dari pada orang-orang berpiutang lainnya.

e. Benda yang dijadikan objek gadai merupakan benda yang tidak

dalam sengketa dan bermasalah.

35
f. Benda gadai harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada

pemegang gadai.

g. Semua barang bergerak dapat diterima sebagai jaminan sesuai

dengan kriteria-kriteria pihak Perum Pegadaian.16

2. Jaminan Fidusia

Fidusia adalah surat perjanjian accesor antara debitor dan

kreditor yang isinya penyerahan hak milik secara kepercayaan atas

benda bergerak milik debitor kepada kreditor. Jaminan fidusia menurut

UU No. 42 tahun 1999 pasal 1angka (1) : Pengalihan suatu atas dasar

kepercayaan dengan ketentuan bahwa hak kepemilikannya diahlikan

dan penguasaan tetap ada pada pemilik benda. (2). Pasal 1 angka 2

UUJF : Hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun

tidak berwujud dan tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak

dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan

pemberi fidusia sebagai agunan atas perlunasan uatang tertentu,

yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada pemberi

fidusia terhadap kreditur lainnya.

Perbedaan fidusia dengan jaminan fidusia adalah fidusia

merupakan proses pengalihan hak kepemilikan sedangkan jamian

fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia. Objek

jaminan fidusia adalah benda segala sesuatu yang dapat memiliki dan

dialihkan yang terdaftar maupun tidak terdaftar yang bergerak maupun

16 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perjanjian Adat, Bandung: PT. Alumni, 1992, hlm. 19.

36
yang tidak bergerak dan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan

atau hipotik. Hapusnya jaminan fidusia:

a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.

b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh debitur.

c. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

3. Hak Tanggungan

Istilah Hak Tanggungan ada karena Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-

Benda yang berkaitan dengan tanah pada tanggal 9 April 1996. Pasal

1 angka 1 UUHT menyebutkan pengertian dari Hak Tanggungan,

yaitu hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak

berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan

tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan

kedudukan diutamakan kreditor lertentu terhadap kreditor-kreditor

lainnya. Hak-hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan

adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan. Selain

Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan, hak atas tanah

berupa Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang

berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan

dapat juga dibebani Hak Tanggungan.

37
Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk

memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang

tertentu yang dituangkan di dalam perjanjian dan merupakan bagian

tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan

atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Hak

tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran

tersebut dilakukan selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah

penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan.

Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya

adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah.

Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa

bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan

satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula

dijaminkan. Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional

didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan

Horizontal, yang menjelaskan bahwa setiap perbuatan hukum

mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda-

benda tersebut.17

Ciri-ciri Hak Tanggungan adalah:

a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului

kepada pemegangnya (droit de preference). Hal ini ditegaskan

17Purwahid Patrik, Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Semarang:
Badan Penerbit UNDIP, 1986, hlm. 52.

38
dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1). Apabila debitor

cidera janji (wanprestasi), maka kreditor pemegang hak

tanggungan berhak menjual tanah yang dibebani Hak

Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum dengan hak

mendahului dan kreditor yang lain.

b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun

obyek itu berada (droit de suite). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7.

Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan

pemegang Hak Tanggungan. Meskipun obyek Hak Tanggungan

telah berpindahtangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih

tetap dapat menggunakan haknya untuk melakukan eksekusi

apabila debitor cidera janji (wanprestasi).

c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat

mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi

pihak yang berkepentingan.

d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Dalam Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1996 kreditur diberikan kemudahan dan

kepastian dalam pelaksanaan eksekusi. Hal ini diatur dalam Pasal

6. Apabila debitor cidera janji (wanpreslasi), maka kreditor tidak

perlu menempuh cara gugatan perdata biasa yang memakan

waktu dan biaya besar. Kreditur pemegang Hak Tanggungan

39
dapat menggunakan haknya untuk menjual obyek hak

tanggungan melalui pelelangan umum.18

Mengacu beberapa Pasal dari Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1996, maka terdapat beberapa sifat dan asas dari Hak

Tanggungan. Sifat hak tangggungan adalah sebagai berikut:

a. Hak Tanggungan bersifat memberikan Hak Preference (droit de

prefence) atau kedudukan yang diutamakan kepada kreditur

tertentu dari pada kreditur lainnya.

b. Hak tanggungan mengikuti tempat benda berada (droit de suite).

Ini merupakan salah satu kekuatan lain hak tanggungan. Jadi

walaupun tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan

tersebut dialihkan kepada pihak atau orang lain (dalam hal ini

misalnya dijual), Hak Tanggungan tersebut tetap melekat pada

tanah tersebut, sepanjang belum dihapuskan dalam praktiknya

sering juga disebut dengan istilah dilakukan “Roya” oleh

pemegang hak tanggungan.

c. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, kecuali telah

diperjanjikan sebelumnya. Hak tanggungan yang melekat pada

suatu jaminan berupa tanah dan bangunan, tidak dapat

ditetapkan hanya melekat disebagian bidang tanah atau rumah

tersebut. Namun dapat pula diperjanjikan bahwa Hak

Tanggungan yang membebani beberapa bidang tanah, dapat

18 Ibid., hlm. 53.

40
dihapuskan secara sebagian-sebagian, sesuai dengan proporsi

pelunasan fasilitas pembiayaan yang dilakukan oleh debitur.

d. Hak Tanggungan dapat digunakan untuk menjamin utang yang

sudah ada atau yang akan ada. Yang dimaksud dengan utang

yang akan ada adalah utang yang pada saat dibuat dan

ditandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut belum

ditetapkan jumlah ataupun bentuknya.

e. Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial.

Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekusi tanpa

melalui putusan pengadilan melalui penjualan di muka umum.

Namun demikian, hal yang menarik dalam praktiknya adalah

pada saat pemilik jaminan melakukan penawaran atas upaya

kreditur untuk melelang tanah dan bangunan yang dijaminkan,

kreditur masih tetap membutuhkan bantuan pengadilan untuk

mengeksekusi jaminan yang sudah dibebani Hak Tanggungan.

f. Hak Tanggungan memiliki sifat spesialitas dan publisitas.

Sifat spesialitas dan publisitas yang menyebabkan timbulnya hak

Preference kreditur. Dalam hal terjadi kepailitan debitur, Hak

Preference kreditur tersebut tidak hilang dan menjadi separatis.

Artinya, kreditur punya hak terpisah atas obyek yang dibebani

Hak Tanggungan tersebut. Oleh karena itu kreditur berhak

mendapatkan pelunasan utang terlebih dahulu dari hasil

penjualan tanah atau bangunan sebagai jaminan. Dengan

41
adanya publisitas tersebut pihak ketiga (siapa pun) bisa

mengecek status tanah tersebut melalui kantor pertanahan

setempat. Tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya

transaksi peralihan hak atas tanah dimaksud tanpa persetujuan

dari kreditur selaku pemegang Hak Tanggungan.

Subjek Hak Tanggungan adalah:

a. Pemberi Hak Tanggungan, adalah orang perseorangan atau

badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk

melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak

Tanggungan yang bersangkutan. 19 Berdasarkan Pasal 8

tersebut, maka Pemberi Hak Tanggungan di sini adalah

pihak yang berutang atau debitor. Namun, subyek hukum

lain dapat pula dimungkinkan untuk menjamin pelunasan

utang debitor dengan syarat Pemberi Hak Tanggungan

mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum

terhadap obyek Hak Tanggungan. Kewenangan untuk

melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak

tanggungan tersebut harus ada pada pemberi hak

tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan

dilakukan, karena lahirnya hak tanggungan adalah pada saat

didaftarkannya hak tanggungan, maka kewenangan untuk

19Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Pasal 8 Ayat (1) dan
Ayat (2).

42
melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak

tanggungan diharuskan ada pada pemberi hak tanggungan

pada saat pembuatan buku tanah hak tanggungan. 20

Dengan demikian, pemberi hak tanggungan tidak harus

orang yang berutang atau debitor, akan tetapi bisa subyek

hukum lain yang mempunyai kewenangan untuk melakukan

perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungannya.

Misalnya pemegang hak atas tanah yang dijadikan jaminan,

pemilik bangunan, tanaman dan/hasil karya yang ikut

dibebani hak tanggungan.

b. Pemegang Hak Tanggungan, adalah orang perseorangan

atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang

berpiutang.21 Di sini dapat berupa lembaga keuangan berupa

bank, lembaga keuangan bukan bank, badan hukum lainnya

atau perseorangan. Oleh karena hak tanggungan sebagai

lembaga jaminan hak atas tanah tidak mengandung

kewenangan untuk menguasai secara fisik dan

menggunakan tanah yang dijadikan jaminan, maka tanah

tetap berada dalam penguasaan pemberi hak tanggungan.

Kecuali dalam keadaan yang disebut dalam Pasal 11 ayat

(2) huruf c Undang-undang Hak Tanggungan. Maka

pemegang hak tanggungan dapat dilakukan oleh Warga

20 Purwahid Patrik, Op. Cit., hlm 62.


21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Pasal 9 Ayat (1).

43
Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia dan dapat

juga oleh warga negara asing atau badan hukum asing.

Obyek hak tanggungan adalah sesuatu yang dapat dibebani

dengan hak tanggungan. Untuk dapat dibebani hak jaminan atas

tanah, maka obyek hak tanggungan harus memenuhi empat (4)

syarat, yaitu:22

a. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa

uang. Maksudnya adalah jika debitor cidera janji maka obyek

hak tanggungan itu dapat dijual dengan cara lelang.

b. Mempanyai sifat dapat dipindahkan, karena apabila debitor

cidera janji, maka benda yang dijadikan jaminan akan dijual.

Sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasikan untuk

membayar utang yang dijamin pelunasannya.

c. Termasuk hak yang didaftar menurut peraturan pendaftaran

tanah yang berlaku, karena harus dipenuhi "syarat publisitas".

Maksudnya adalah adanya kewajiban untuk mendaftarkan

obyek hak tanggungan dalam daftar umum, dalam hal ini

adalah Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan

kedudukan diutamakan atau preferen yang diberikan kepada

kreditor pemegang hak tanggungan terhadap kreditor lainnya.

Untuk itu harus ada catatan mengenai hak tanggungan

22Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang


Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2000, hlm.425.

44
tersebut pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang

dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya.

d. Memerlukan penunjukkan khusus oleh undang-undang.

e. Dalam Pasal 4 undang-undang Hak Tanggungan disebutkan

bahwa yang dapat dibebani dengan hak tanggungan adalah:

1. Hak Milik (Pasal 25 UUPA)

2. Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA)

3. Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA)

4. Hak Pakai Atas Tanah Negara (Pasal 4 ayat (D), yang

menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut

sifatnya dapat dipindahtangankan. Maksud dari hak pakai

atas tanah Negara di atas adalah Hak Pakai yang diberikan

oleh Negara kepada orang perseorangan dan badan-badan

hukum perdata dengan jangka waktu terbatas, untuk

keperluan pribadi atau usaha. Sedangkan Hak Pakai yang

diberikan kepada Instansi-instansi Pemerintah, Pemerintah

Daerah, Badan-badan Keagamaan dan Sosial serta

Perwakilan Negara Asing yang peruntukkannya tertentu dan

telah didaftar bukan merupakan hak pakai yang dapat

dibebani dengan hak tanggungan karena sifatnya tidak dapat

dipindahtangankan. Selain itu, Hak Pakai yang diberikan

oleh pemilik tanah juga bukan merupakan obyek hak

tanggungan;

45
5. Bangunan Rumah Susun dan Hak Milik Atas satuan Rumah

Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha,

Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang diberikan oleh

Negara. (Pasal 27 jo UU No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah

Susun.

Tahap pemberian hak tanggungan didahului dengan janji akan

memberikan hak tanggungan. Menurut Pasal 10 Ayat (1) Undang

undang Hak Tanggungan, janji tersebut wajib dituangkan dan

merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian

utang piutang. Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan

melalui dua tahap kegiatan, yaitu:

1. Tahap Pemberian Hak Tanggungan

Menurut Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Hak tanggungan,

pemberian hak tanggungan dengan pembuatan Akta Pemberian

Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta

pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka

pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum

tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya

masing-masing.

46
2. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan

Menurut Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberian

hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan

selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah penandatanganan

APHT, PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan

warkah lain yang diperlukan. Warkah yang dimaksud meliputi surat-

surat bukti yang berkaitan dengan obyek hak tanggungan dan

identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk di dalamnya

sertifikat hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan mengenai

obyek hak tanggungan. PPAT wajib melaksanakan hal tersebut

karena jabatannya dan sanksi atas pelanggaran hal tersebut akan

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang jabatan PPAT. 23 Pendaftaran hak tanggungan dilakukan

oleh Kantor Pertanahan dengan membuat buku tanah hak

tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah

yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan

tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.

Dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan

dijelaskan bahwa sebagai bukti adanya hak tanggungan, Kantor

Pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan. Hal ini berarti

sertifikat hak tanggungan merupakan bukti adanya

23 Sutardja Sudrajat, Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbitan Sertifikatnya,


Bandung: Mandar Maju, 1997, hlm 54.

47
hak tanggungan. Oleh karena itu maka sertifikat hak tanggungan

dapat membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya sudah

ada atau dengan kata lain yang menjadi patokan pokok adalah

tanggal pendaftaran atau pencatatannya dalam buku tanah hak

tanggungan.

Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-

kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG

YAHA ESA" dengan demikian sertifikat hak tanggungan

mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui

tata cara dan menggunakan lembaga parate eksekusi sesuai

dengan peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia. Apabila

diperjanjikan lain, maka sertitikat hak atas tanah yang telah

dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan dikembalikan

kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan untuk

sertifikat hak tanggungan diserahkan kepada pemegang hak

tanggungan.

Untuk melindungi kepentingan kreditor, maka dapat saja

sertifikat hak tanggungan tetap berada di tangan kreditor. Hal ini

dimungkinkan oleh Pasal 14 Ayat (4) Undang-Undang Hak

Tanggungan yang menyatakan kecuali jika diperjanjikan lain,

sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan

48
hak tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah

yang bersangkutan.

4. Hypotheek

Menurut pasal 1162 B.W hypotheek adalah suatu hak

kebendaan atas suatu benda yang tak bergerak, bertujuan untuk

mengambil pelunasan suatu hutang dari (pendapatan penjualan)

benda itu. Pandrecht dan hypotheek adalah hak yang serupa.

Perbedaan di antara dua itu hanya disebabkan karena pandrecht

dapat diberikan melulu atas benda-benda yang bergerak,

sedangkan hypotheek hanya atas benda-benda yang tak bergerak.

Perbedaan antara pand dan hypotheek secara ringkas, yaitu:

a. Pandrecht harus disertai dengan penyerahan kekuasaan atas

barang yang dijadikan tanggungan, hypotheek tidak.

b. Pandrecht hapus, jika barang yang dijadikan tanggungan

berpindah ke tangan orang lain, tetapi hypotheek tetap terletak

sebagai beban di atas benda yang dijadikan tanggungan

meskipun benda ini dipindahkan pada orang lain.

c. Lebih dari satu pandrecht atas satu barang meskipun tidak

dilarang oleh undang-undang, di dalam praktek hamper tak

pernah terjadi, tetapi beberapa hypotheek yang bersama-sama

dibebankan di atas satu rumah adalah suatu keadaan yang

biasa.

49
Perjanjian hypotheek, harus diletakkan dalam suatu akta

autentik, yaitu akta notaris. Supaya ia mempunyai kekuatan

terhadap orang pihak ketiga, hypotheek harus didaftarkan pada

pegawai pengurusan pembalikan nama yang wilayahnya meliputi

tempat dimana terletak persil atau rumah yang dipertanggungkan.

Pegawai pengurusan pembalikan nama tersebut lazim juga

dinamakan pegawai penyimpan hypotheek (hypotheekbewaarder).

Untuk pendaftaran tersebut diatas, yang dilakukan atas permintaan

orang yang menghutangkan, harus diserahkan suatu kutipan akta

hypotheek yang harus memuat nama orang yang menghutangkan,

nama orang yang berhutang, jumlah hutang, penunjukan benda

yang dijadikan tanggungan menurut keterangan kadaster dan

selanjutnya hak-hak apa yang khusus telah diperjanjikan.

Dalam hal ini orang yang memberi tanggungan, lazim

dinamakan pemberi hypotheek. Pihak yang menerimanya

dinamakan pengambil atau pemegang hypotheek. Jika ada

beberapa orang pemegang hypotheek, mereka itu diberikan nomor

urut menurut tanggal pendaftaran masing-masing hypotheek.

Sebagaimana telah diterangkan, suatu hypotheek yang tidak

didaftarkan tidak mempunyai kekuatan apapun. Nomor urut para

pemegang hypotheek juga lazim dinamakan tingkatan (rang) dan

menunjukkan kedudukan masing-masing apabila diadakan

pembagian pendapatan lelangan benda yang dipertanggungkan.

50
Hak-hak menurut undang-undang boleh diperjanjikan

(bedingen) dalam suatu perjanjian hypotheek, ialah:

a. Hak yang memberikan kuasa pada pemegang hypotheek untuk

menjual sendiri (artinya dengan tidak melalui pengadilan) persilnya

didepan umum dan mengambil pelunasan dari pendapatan

lelangan tersebut, jika orang yang berhutang tidak menepati

kewajibannya. Perjanjian ini dinamakan “beding van

eigenmachtigeverkoop” dan menurut undang-undang hanyalah

dapat diperjanjikan oleh pemegang hypotheek pertama.

b. Pembatasan hak pemilik persil untuk menyewakan persilnya,

misalnya ia tidak boleh menyewakannya untuk waktu lebih dari lima

tahun. Perjanjian khusus ini lazim dinamakan “huurbeding” dan

menurut pasal 1185 B.W., ia mempunyai kekuatan sebagai suatu

hak kebendaan, artinya berlaku juga terhadap orang pihak ketiga.

Kiranya tidak usah diterangkan, bahwa suatu persil yang terikat

oleh suatu perjanjian sewa-menyewa untuk waktu yang lama, bila

dijual akan sangat merosot harganya, dan untuk mencegah

kemerosotan harga persil inilah diadakan “huurbeding” tersebut.

c. Teranglah, bahwa si pemilik persil tetap berhak menjual persilnya

kepada siapa saja dan hypotheek yang terletak diatas persil itu

akan tetap terletak di atasnya. Akan tetapi kepada pembeli jika

penjualan dilakukan di depan umum oleh undang-undang diberikan

kesempatan untuk meminta “zuivering” artinya supaya persil itu

51
dibersihkan dari hypotheek-hypotheek yang melebihi jumlah harga

persil itu. Berhubung dengan kemungkinan ini, kepada pemegang

hypotheek diberikan hak untuk minta diperjanjikan tidak akan

dilakukan pembersihan ini. Tetapi perjanjian ini, yang dinamakan

“beding van niet-zuivering” hanya boleh diadakan oleh pemegang

hypotheek pertama dan hanya ditujukan pada penjualan dengan

suka rela, artinya bukan penjualan eksekutorial.

d. Seorang pemegang hypotheek berhak untuk minta diperjanjikan

bahwa jika terjadi kebakaran sedangkan rumah yang menjadi

tanggungan itu telah diasuransikan, ia akan menerima uang

asuransi yang dibayarkan kepada pemilik rumah. Perjanjian

semacam ini, yang dinamakan “assurantie-beding”, selain diatur di

dalam B.W. juga diatur di dalam Kitab Undang Undang Hukum

Dagang (W.v.K).

Oleh karena hypotheek bersifat accessoir, ia turut berpindah

apabila penagihan yang dijamin dengan hypotheek itu dipindah-kan

pada orang lain. Pemindahan suatu hak penagihan ini,

sebagaimana telah diterangkan harus dilakukan dengan suatu akta

cessie. Orang yang menghutangkan dengan tanggungan

hypotheek, diharuskan terlebih dahulu mengambil pelunasan

hutang itu dari pendapatan penjualan persil yang dipertanggungkan

itu dan ia tak diperbolehkan menyita benda-benda lain dari orang

yang berhutang, kecuali bila pendapatan penjualan persil tersebut

52
ternyata tidak mencukupi. Pengambilan pelunasan itu dapat ia

lakukan dengan jalan penyitaan biasa, yaitu dengan melewati

hakim atau bagi pemegang hypotheek pertama dengan

mempergunakan kekuasaan mutlak yang telah diperjanjikan bahwa

ia dapat menjual sendiri persil yang dipertanggungkan itu.

Mengenai penjualan yang dilakukan oleh pemegang hypotheek

pertama ini, Hoge Raad menganut apa yang dinamakan “last

givings theorie”. Menurut ajaran itu pemegang hypotheek yang

menjual persil itu bertindak sebagai juru kuasa si pemilik persil.

Tetapi suatu akibat dari teori tersebut yang agak ganjil, ialah

bukannya si pemegang hypotheek yang berhak menerima

pembayaran hasil penjualan yang dilakukan oleh pemegang

hypotheek itu tetapi justru si pemilik persil. Lebih sesuai dengan

keadaan yang nyata, pemegang hypotheek yang menjual persil itu

menjalankan haknya sendiri. Dan memang di dalam praktek juga

sudah lazim diakui, bahwa seorang pemegang hypotheek berhak

untuk memindahkan hak milik atas persil yang dijualnya itu kepada

si pembeli persil atas dasar proses verbal lelang, kekuasaan mana

dianggap telah diperoleh dari haknya untuk melakukan eksekusi.

Jika hutang yang ditanggung dengan hypotheek sudah

dibayar lunas, maka atas permintaan pihak yang berkepentingan

dilakukan pencoretan atas hypotheek yang bersangkutan. Menurut

pendapat yang paling banyak dianut oleh pegawai penyimpanan

53
hypotheek (pegawai pengurusan pembalikan nama) dalam

melakukan pencoretan itu, hanyalah bertindak sebagai pegawai

tata usaha saja. Ini berarti perbuatan pencoretan itu tidak

merupakan penghapusan mutlak terhadap hak seorang pemegang

hypotheek, sehingga jika terjadi pencoretan yang telah dilakukan

tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, maka keadaan yang

sesungguhnya inilah yang diakui oleh Hakim. Roya (pencoretan)

biasanya dilakukan dengan sukarela atas persetujuan pemegang

hypotheek, tetapi jika pemegang hypotheek ini tidak suka

memberikan persetujuannya, roya dapat juga diperintahkan oleh

Hakim. Juga setelah suatu eksekusi yang dilakukan melewati

Hakim selesai dengan diadakannya pembayaran pendapatan

lelang, maka Hakim akan memerintahkan supaya dilakukan roya.

Subyek hipotik adalah pihak-pihak yang membuat perjanjian

pembebanan hipotik, yaitu pemberi hipotik (hypotheek geyer) dan

penerima hipotik (hypotheek nemer). Pihak yang dapat memberi

hipotik atau yang berhak menghipotikkan kapal haruslah pihak yang

berhak memindah tangankan kapal itu (Pasal 1168 B W), orang

perorangan atau badan hukum pemilik kapal yang bersangkutan.

Orang dilarang menghipotikkan kapal yang bukan miliknya atau

belum dimilikinya. Namun, orang boleh menghipotikkan kapal

miliknya untuk menjamin pembayaan utang orang lain.

54
Pembebanan hipotik adalah melalui perjanjian utang-piutang

atau perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok antara kreditur dan

debitur, merupakan perjanjian yang tidak terikat bentuknya, artinya

dapat dibuat secara lisan, tertulis dengan akta di bawah tangan

atau tertulis dengan akta otentik Akan tetapi, dalam dunia

perbankan, perjanjian kredit selalu dibuat tertulis bahkan dalam

bentuk baku.

Atas sebuah kapal dapat dibebani beberapa hipotik.

Bilamana hal ini terjadi, untuk menentukan tingkatan hipotik

pertama, hipotik kedua dan seterusnya didasarkan atas tanggal

pendaftarannya. Jika hipotik-hipotik tersebut didaftarkan pada

hari/tanggal yang sama, hipotik itu mempunyai tingkat yang sama

(Pasal 315 WvK).24

5. Privilege

Hak privilege merupakan jaminan khusus yang didasarkan

pada undang-undang. Hak privilege atau hak istimewa adalah hak

yang didahulukan. Mengenai hak privilege dapat diliihat dalam

Pasal 1134 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu suatu hal

yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang

24 Subekti, Op.Cit., hlm. 82-87.

55
sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya,

semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.

Menurut J. Satrio dalam bukunya yang berjudul Hukum

Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, mengatakan bahwa dari

perumusan dalam Pasal 1134 KUHPerdata, tampak bahwa hak

istimewa diberikan oleh undang-undang artinya piutang-piutang

tertentu, yang disebutkan oleh undang-undang, secara otomatis

mempunyai kedudukan yang didahulukan. Hak privilege

ini bersifat accesoir dan tidak dapat berdiri sendiri.

Lebih lanjut J. Satrio mengatakan bahwa para pihak tidak

dapat memperjanjikan suatu privilege, artinya memperjanjikan

bahwa tagihan yang timbul dari perjanjian yang mereka tutup

mengandung privilege, semua privilege adanya ditentukan secara

limitatif oleh undang-undang dan bahkan orang tidak

diperkenankan untuk memperluasnya dengan jalan penafsiran

terhadap perikatan-perikatan (tagihan-tagihan), yang tidak secara

tegas di dalam undang-undang, dinyatakan sebagai hak tagihan

yang diistimewakan.

Menurut J. Satrio (ibid, hal. 29-30) privilege harus dituntut,

harus dimajukan, artinya kalau pemilik tagihan yang diistimewakan

tinggal diam saja, maka tagihannya dianggap sebagai tagihan

biasa (konkuren). Pemilik tagihan tersebut harus menuntut agar ia

dimasukkan dalam daftar tingkatan menurut tingkat yang diberikan

56
kepadanya menurut undang-undang dan dengan demikian

mendapat pelunasan menurut urutan tingkatnya dalam daftar.

Privilege lain daripada gadai, hipotik, hak tanggungan dan

fidusia, ia bukan merupakan hak kebendaan. Pemilik hak tagih

yang diistimewakan pada asasnya tidak mempunyai hak-hak yang

lebih dari orang lain. Ia tidak mempunyai hak untuk menjual sendiri

benda-benda atas mana ia mempunyai hak yang didahulukan

untuk mengambil pelunasan, ia tidak mempunyai hak yang

mengikuti bendanya kalau benda itu ada di tangan pihak ketiga

(droit de suite). Kelebihannya hanya bahwa atas hasil penjualan

benda tertentu/semua benda milik debitur, ia didahulukan di dalam

mengambil pelunasannya. Mengenai apa saja yang termasuk ke

dalam hak privilege ini dapat dilihat dalam Pasal 1139 dan Pasal

1149 KUHPerdata.25

25Letezia Tobing.”Hak Privilege dan Hak Retensi”.


<http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51584b636a944/hak-privilege-dan-hak-
retensi?. [24/10/2015].

57
DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra


Aditya Bakti, 1993.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta:
Djambatan, 2000.
F.X. Suhardana (et.al.), Hukum Perdata I Buku Panduan Mahasiswa,
Jakarta: PT Prenhallindo, 2001.
Hadi Muttaqin. “Pengertian dan Sifat-Sifat
Gadai”. <http://pustakabakul.blogspot.com/2013/07/pengertian-dan-
sifat-sifat-gadai.html>. [24/10/2015].
H. Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata,
Bandung: PT. Alumni, 2006.
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perjanjian Adat, Bandung: PT. Alumni,
1992.
Letezia Tobing.”Hak Privilege dan Hak Retensi”.
<http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51584b636a944/hak-
privilege-dan-hak-retensi?. [24/10/2015].
Purwahid Patrik, Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian,
Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1986.
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT Intermasa, 2008.
R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum
Indonesia, Jakarta: PT Intermassa, 2000.
R. Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata Hak Atas Benda, Jakarta:
Pembimbing Massa, 1993.
Sutardja Sudrajat, Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbitan
Sertifikatnya, Bandung: Mandar Maju, 1997.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Pasal 8
Ayat (1) dan Ayat (2).
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Pasal 9
Ayat (1).

58

Anda mungkin juga menyukai