Anda di halaman 1dari 15

A.

PENGANTAR HUKUM ADAT


1. Timbulnya Hukum Adat

Lahirnya hukum adat pada hakekatnya sudah didapat pada zaman


kuno, zaman pra-Hindu tersebut menurut ahli-ahli hukum adat adalah
merupakan adat melayu Polinesia, lambat laun datang di kepulauan kita di
kultur Hindu, kemudian kultur Islam dan kultur Kristen yang masing-
masing mempengaruhi kultur-kultur asli tersebut.

Pengaruh hukum tersebut sangat besar sehingga akhirnya kultur yang


asli yang sejak lama menguasai tata kehidupan Indonesia itu terdesak.
Kenyataan yang ada, hukum adat yang timbul dan berkembang di
masyarakat merupakan hasil akulturasi antar peraturan-peraturan adat
istiadat jaman pra-Hindu dengan peraturan-peraturan hidup yang dibawa
oleh kultur Hindu, Islam dan Kristen. (Rosdalina,2016, hal. 77).

Istilah hukum adat adalah terjemahan dari adatrech yang pertama kali
diperkenalkan oleh Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya de
atjehers pada tahun 1893.Kemudian digunakan oleh Prof. Cornelis Van
Volenhoven yang dikenal sebagai penemu hukum adat dengan sebutan
bapak hukum adat dan penulis buku “het adatrech van nederlands
indie”.(Yulies Tiena Masriani, 2006, hlm. 134)

Hukum adat sebagai nama untuk menyertakan Volksrecht (hukum


rakyat) Indonesia yang tidak dikodifikasikan. Hukum adat bagi bangsa
Indonesia merupakan kekayaan nasional dalam semurni murninya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat adalah aturan
(perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu
kala; cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan;
wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma,
hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu
sistem. Karena istilah Adat yang telah diserap kedalam Bahasa Indonesia
menjadi kebiasaan maka istilah hukum adat dapat disamakan dengan
hukum kebiasaan.
Namun menurut Van Dijk, kurang tepat bila hukum adat diartikan
sebagai hukum kebiasaan. Menurutnya hukum kebiasaan adalah kompleks
peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan berarti demikian lamanya
orang bisa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga lahir suatu
peraturan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat. Jadi,
menurut Van Dijk, hukum adat dan hukum kebiasaan memiliki perbedaan.
Sedangkan menurut Soejono Soekanto, hukum adat hakikatnya
merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akhibat
hukum (das sein das sollen). Berbeda dengan kebiasaan (dalam arti biasa),
kebiasaan yang merupakan penerapan dari hukum adat adalah perbuatan-
perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam bentuk yang sama menuju
kepada Rechtsvaardige Ordening Der Semenleving.
Menurut ilmu hukum, kebiasaan dan adat itu dapat dibedakan
pengertiannya. Perbedaan itu dapat dilihat dari segi pemakaiannya sebagai
perilaku atau tingkah laku manusia atau dilihat dari segi sejarah pemakaian
istilahnya dalam hukum di Indonesia.
Sebagai perilaku manusia istilah kebiasaan berarti apa yang selalu
terjadi atau apa yang lazim terjadi, sehingga kebiasaan berarti kelaziman.
Adat juga bisa diartikan sebagai kebiasaan pribadi yang diterima dan
dilakukan oleh masyarakat.
Sejarah perundang-undangan di Indonesia membedakan pemakaian
istilah kebiasaan dan adat, yaitu adat kebiasaan di luar perundangan dan
adat kebiassaan yang diakui oleh perundangan. Sehingga menyebabkan
munculnya istilah hukum kebiasaan / adat yang merupakan hukum tertuis
dan hukum tidak tertulis. Di Indonesia hukum adat diartikan sebagai
hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-
undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur agama.
Terminologi “Adat” dan “Hukum Adat” seringkali dicampur aduk
dalam memberikan suatu pengertian padahal sesungguhnya keduanya
adalah dua lembaga yang berlainan. Adat sering dipandang sebagai sebuah
tradisi sehingga terkesan sangat lokal, ketinggalan jaman, tidak sesuai
dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena
“adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di
masyarakat kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan
soal-soal pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat). Terlebih lagi
muncul istilah-istilah adat budaya, adat istiadat, dan lain-lain.

2. Definisi dan Ruang Lingkup Hukum Adat

a. Definisi Hukum Adat


Terdapat beberapa definisi Hukum Adat menurut para ahli, diantaranya:
1) C. Van Vollenhoven
Hukum Adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu
pihak mempunyai sanksi (hukum) dan dipihak lain dalam keadaan tidak
dikodifikasi (adat)
2) Ter Haar
Hukum Adat adalah seluruh peraturan yang ditetapkan dalam keputusan-
keputusan dengan penuh wibawa yang dalam pelaksanaannya "diterapkan
begitu saja", artinya tanpa adanya keseluruhan peraturan yang dalam
kelahirannya dinyatakan mengikat sama sekali. Menurut Ter Haar yang
terkenal dengan teorinya Beslissingenleer (teori keputusan)
mengungkapkan bahwa hukum adat mencakup seluruh peraturan-
peraturan yang menjelma didalam keputusan-keputusan para pejabat
hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta didalam
pelaksanaannya berlaku secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh
hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut
dapat berupa sebuah persengketaan, akan tetapi juga diambil berdasarkan
kerukunan dan musyawarah.

3) M.M. Djojodiguno
Hukum Adat adalah suatu karya masyarakat tertentu yang bertujuan tata
yang adil dalam tingkah laku dan perbuatan di dalam masyarakat demi
kesejahteraan masyarakat sendiri.
4) R. Soepomo
Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis yang meliputi peraturan
hidup yang tidak ditetapkan oleh pihak yang berwajib,tetapi ditaati
masyarakat berdasar keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai
kekuatan hukum.
5) Surojo Wignyodipuro
Hokum Adt pada umumnya belum (tidak tertulis) yaitu kompleks norma-
norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu
berkembang, meliputi peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan
sehari-hari, senantiasa ditaati dan dihormati karena mempunyai akibat
hukum (sanksi).
Dari definisi Hukum adat menurut para ahli yang sudah
disebutkan, maka dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat merupakan suatu
aturan atau kebiasaan beserta norma-norma yang berlaku di suatu wilayah
tertentu dan dianut oleh sekelompok orang di wilayah tersebut sebagai
sumber hukum. Hukum Adat juga merupakan hukum yang tidak tertulis
dan yang tidak dibentuk melalui badan legislatif, yang terbentuk dari
keputusan-keputusan kepala adat, yang jika dilanggar maka akan
dikenakan sanksi. Dengan begitu, Hukum Adat adalah hukum yang
memaksa.

b. Ruang lingkup hukum adat

Terkait pengertian hukum adat yang dikemukakan oleh ahli Prof. Mr.
Cornelis van Vollen Hoven yang mengemukakan bahwa hukum adat
adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan
mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.(Bewa Ragawino,2008).
Dari pengertian ini dapat ditarik ruang lingkup hukum adat adalah seluruh
nilai atau aturan terkait tingkah laku atau kebiasaan manusia yang tumbuh
dan berkembang didalam lingkungan suatu masyarakat sebagai suatu yang
luhur.

Jadi ruang lingkup hukum adat hanya sebatas wilayah yang menganut
adat atau kepercayaan tersebut saja.Ruang lingkup hukum adat dibatasi
oleh lingkungan hukum perdata. Jika aturan yang ada hukum adat sudah
diatur oleh hukum perdata maka hukumadat tersebut tidak berlaku
lagi.hukum adat merupakan salah satu kebudayaan bangsa.

3. Sumber-Sumber Hukum Adat

Berdasarkan sumbernya, hukum adat dibagi menjadi dua yaitu :

a. Dari sumbernya (Rechtsbron)

Hukum adat yang berasal dari sumbernya, meliputi :

1) Kebiasaan dan adat istiadat yang berhubungan dengan tradisi rakyat.


2) Kebudayaan tradisional rakyat.
3) Ugeran-ugeran yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan
orang Indonesia asli.
4) Perasaan keadilan yang hidup di dalam hati nurani rakyat.

b. Dari pengenalan (Kenborn)

Hukum adat yang berasal dari pengenalan, meliputi :

1) Pepatah-pepatah adat.
2) Yurisprudensi adat.
3) Laporan-laporan dari komisi penilitian yang khusus dibentuk.
4) Dokumen atau naskah-naskah yang ditulis oleh Raja atau Sultan pada
masa itu.
B. SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ADAT
Peraturan adat istiadat kita ini merupakan adat-adat melayu-polinesia
yang sudah terdapat pada zaman pra-hindu. Lambat laun terjadi akulturasi
antara kultur hindu, islam dan Kristen yang kemudian mempengaruhi
kultur asli tersebut. Saat ini menurut kenyataan hukum adat yang hidup
pada rakyat adalah merupakan peraturan-peraturan adat-istiadat yang ada
pada zaman pra-hindu dan hasil akulturasi antar agama tersebut.
Perkembangan studi hukum adat selama periode penjajahan Belanda,
dapat dibagi ke dalam beberapa periode, Pertama, periode tahun 1602
hingga tahun 1800. Kedua, pada zaman Daendels (1808- 1811). Ketiga,
pada zaman Raffles (1811-1816), Era Reformasi (kemerdekaan) hingga
sekarang.

1. Sebelum Kemerdekaan Indonesia


Salah satu tokoh yang meneliti hukum adat adalah Van
Vollenhoven dimana penelitiannya mengenai hukum adat dimulai
sejak tahun 1906 dan selesai pada tahun 1931. Hukum adat di
Indonesia menurut Van Vollenhoven diartikan sebagai“ hukum
nonstatutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaaan dan
sebagian hukum islam. Hukum adat itu pun melingkupi hukum yang
berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum
dalam lingkungan, dimana ia memutuskan perkara. Hukum adat
berurat-berakar pada kebudayaan tradisional. Hukum adat adalah suatu
hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata
dari rakyat. Sesuai fitrahnya sendiri, hukum adat terus-menerus dalam
keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri”.
Hukum adat adalah sistem aturan berlaku dalam kehidupan
masyarakat Indonesia yang berasal dari adat kebiasaan, yang secara
turun temurun dihormati oleh masyarakat sebagai tradisi bangsa
indonesia. Pada zaman sebelum VOC datang ke nusantara, kedudukan
hukum adat adalah sebagai hukum positip yang berlaku sebagai
hukum yang nyata dan ditaati oleh rakyat yang pada saat itu
Nusantara.
Pada masa kolonial belanda, hukum adat di indonesia sedikit
meredup, karena digantikan oleh adanya hukum kolonial. Pada
awalnya hukum adat masyarakat indonesia dibiarkan berkembang
sendiri, akan tetapi dengan sikap belanda yang cenderung mencari
keuntungan sendiri, membuat hukum adat tersebut menjadi pudar dan
tergantikan oleh hukum kolonial. Dengan demikian menjadi jelas yang
membuat ukuran dan kriteria berlaku dan karenanya juga
berkembangnya hukum adat, adalah bukan masyarakat dimana tempat
memproduksi dan memberlakukan hukum adanya sendiri melainkan
adalah hukum lain yang dibuat oleh penguasa (kolonial).
Pada masa kompeni V.O.C (1602-1800) di pusat pemerintahan
dinyatakan berlaku satu stelsel hukum untuk semua orang dari
golongan bangsa manapun, yaitu hukum Belanda, naik hukum
tatanegara, hukum privat maupun hukum pidana. Diluar wilayah itu
adat pribumi tidak diindahkan sama sekali. Jika lambat laun di sana-
sini, wilayah di sekitar tempat kediaman Gubernur, de facto masuk
kedalam kekuatan V.O.C, maka diwilayah itu juga dinyatakan berlaku
hukum Kompeniuntuk orang-orang Indonesia dan Cina.
V.O.C juga membuat praturan-praturan mengenai ketetapan hukum
adat antara lain: Hukum adat masih belum di temukan sebagai hukum
rakyat, sebaliknya hukum adat di diindentifikasikan dengan hukum
islam atau hukum raja-raja dan jika ada kesempatan hukum adat itu
direproduksikan dengan membuat bayak anaksir hukum barat. V.O.C
juga mengira bahwa hukum adat terdapat dalam tulisan-tulisan berupa
kitab hukum, dan menganggap hukum adat lebih rendah drajatnya
daripada hukum Belanda.
Pada masa pemerintahan Dendels (1808-1811) hukum adat
dianggap dilekati dengan beberapa kelemahan (terutama pada hukum
pidana) namaun ia merasa segan mengganti hukum adat tersebut. Oleh
karena itu ia menempuh jalan tengah, pada pokoknya hukum adat akan
diberlakukan untuk bangsa Indonesia. Namun hukum adat tidak boleh
diterapkan jika bertentangan dengan perintah dari penguasa atau
dengan asas-asas keadilan serta kepatutan. Bersdarkan anggapan itu,
Daendels memutuskan, Walaupun golongan Bumiputra di jawa tetap
dibiarkan memakai hukumnya (materi dan formal) sendiri.
Seperti halnya dengan pimpinan V.O.C Deandels pun
mengedentifikan hukum adat dengan hukum Islam dan memandang
rendah hukum adat itu, sehingga tidak pantas diberlakukan terhadap
orang eropa.
Pada masa Pemerintahan Rafless(1811-1816) mengadakan banyak
perubahan dalam susunan badan-badan pengadilan akan tetapi hukum
materilnya tidak dirubah. Dalam perkara antara orang Indonesia
diberlakukan hukum adat dengan syarat tidak menentang dengan
prinsip-prinsip keadilan yang universal dan diakui. Tentang
penilaiannya dibedakan menjadi dua bidang. Pertama, hukum pidana,
Rafless mencela sanksi pidana yang tidak sesuai dengan kemajuan
zaman seperti bakar hidup-hidup atau ditikam dengan keris. Kedua,
hukum perdata diterapkan ketika salah seorang bersengketa baik
penggugat ataupun tergugat, maka perkaranya harus diadili oleh Court
of Justice, yang menerapkan hukum Eropa. Dari kenyataan ini dapat
disimpulkan bahwa hukum adat dipandang lebih rendah dari hukum
barat.
Pada tahun 1927 pemerintah Belanda mengubah haluannya dengan
menolak konsepsi unifikasi hukum dan saatnya untuk menuangkan
materi hukum perdata bagi rakyat Indonesia kedalam bentuk
perundang-undangan. Hal ini lebih cenderung untuk melukiskan
hukum adat sedarah demi sedarah dan sesuai dengan keinginan Van
Vollenhoven, pekerjaan ini dapat dilakukan oleh seorang ahli hukum
bangsa Indonesia yang disponsori oleh guru besar hukum adat pada
Rechts-Hoge School.
Van Vollenhoven mencatat bahwa tahun 1927 dan 1928 terjadi
suatu titik balik dalam politik hukum adat yang dianut pemerintah
India Belanda yang telah melepaskan pendapat lama yaitu: membuat
suatu kodifikasi hukum bagi orang Indonesia asli yang sedapat-
dapatnya dan sebanyak-banyaknya didasarkan kepada asas hukum
Eropa, yang menganut paham baru antara lain: hukum yang berlaku
bagi orang Indonesia asli akan ditentukan sesudah diadakan
penyelidikan tentang kebutuhan hukum mereka yang sebenarnya. Dan
apabila ternyata bahwa hukum adat itu belum dapat ditinggalkan atau
diganti dengan hukum lain, maka hukum adat yang masih diperlukan
itu tetap dipertahankan.
Masa 1928-1945 setelah berjalannya politik hukum adat baru Ter
Haar menggambarkan hasil perundang-undangan di lapangan hukum
adat sebagai berikut:
 Peradilan adat di daerah yang diperintah secara langsung diberi
beberapa aturan dasar dalam ordonasi dan peraturan pelaksanaan yang
dibuat oleh residen setempat.
 Hakim desa diberi pengakuan perundang-undangan dalam S1935-
102 yang menyisipkan pasa 3a kedalam RO
 Tanggal 1 Januari 1938 merepakan hari sejarah bagi hukum adat,
karena pada waktu itu dalam Raud van Justice dikota Betawi
mendirikan suatu Adatkamer (Kamar Adat) yang mengadili dalam
tingkat banding perkara-perkara hukum privat adat yang telah
diputuskan oleh Landraden di Jawa, Palembang, Jambi, Bangka
Blitung, Kalimantan, dan Bali. Pembentukan Adatkamer itu memberi
jaminan lebih baik kepada penerapan hukum adat, sebab persoalan
hukum adat tidak lagi dititipkan kepada Civiele Kamer di Eaad van
Justice, sehingga perhatian terhadap hukum adatdapat dicurahkan
secara khusus.
2. Setelah Keerdekaan Indonesia

Setelah masa kemerdekaan hukum adat menjadi lebih netral, akan


tetapi juga dapat bersifat menjadi tidak netral, karena erat kaitannya
dengan nilai nilai religius. Hukum adat oleh ahli barat, dipahami
berdasarkan dua asumsi yang salah, pertama, hukum adat dapat
dipahami melalui bahan-bahan tertulis, dipelajari dari catatan catatan
asli atau didasarkan pada hukum-hukum agama. Kedua, bahwa hukum
adat disistimatisasi secara paralel dengan hukum-hukum barat. Akibat
pemahaman dengan paradigma barat tersebut, maka hukum adat
dipahami secara salah dengan segala akibat-akibat yang menyertai,
yang akan secara nyata dalam perkembangan selanjutnya di masa
kemerdekaan.

Konstitusi negara Indonesia sebelum amandemen tidak secara


tegas menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah
hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada
sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung
nilai luhur dan jiwa hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat
pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa,
yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat
(1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1)
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas
kekeluargaan. Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945
negara mengintroduser hak yang disebut Hak Menguasai Negara
(HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan, yang secara
tradisional diakui dalam hukum adat.
Dalam UUDS 1950 pasal 104 ayat (1) disebutkan bahwa segala
keputusan kehakiman harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara
harus menyebut aturan-atiuran undang-undang dan aturan-aturan
hukum adat yang dijadikan dasar hukum itu. Selanjutnya dalam UUDS
1950, pasal 104 ayat 1 dimuat kembali. Dengan demikian hakim harus
menggali dan mengikuti perasaaan hukumd an keadilan rakyat yangs
enantiasa berkembang. Dalam pasal 102 dan dengan memperhatikan
ketentuan pasal 25 UUDS 1950 ada perintah bagi penguasa untuk
membuat kodifikasi hukum. Maka hal ini termasuk di dalamnya
hukum adat.
Pada dasarnya jaminan konstitusi dan pengakuan negara terhadap
eksistensi Hukum Adat dan masyarakat hukunya sudah termaktub di
dalam konstitusi RI setelah amandemen yang selanjutnay terwujud di
dalam rumusan pasal 18A (1) UUD 1945 yang mengamanatkan
pemerintah untuk memperhatikan kekhususan dan dan keragaman
daerah. Sementara itu, pasal 18B ayat (1) dan (2) :
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan masyarakat


hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Keputusan Kongres Masyarakat Adat No. 02/KMAN/1999 tanggal


21 Maret 1999 tentang Deklarasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) berisi : Bahwa dideklarasikan tanggal 17 Maret sebagai hari
kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara :
 Adat adalah sesuatu yang bersifat luhur dan menjadi landasan
kehidupan Masyarakat Adat yang utama.
 Adat di Nusantara ini sangat majemuk, karena itu tidak ada tempat
bagi kebijakan negara yang berlaku seragam sifatnya.
 Jauh sebelum negara berdiri, Masyarakat Adat di Nusantara telah
terlebih dahulu mampu mengembangkan suatu sistem kehidupan
sebagaimana yang diinginkan dan dipahami sendiri. Oleh sebab itu
negara harus menghormati kedaulatan Masyarakat Adat ini.
 Masyarakat Adat pada dasarnya terdiri dari mahluk manusia yang
lain oleh sebab itu, warga Masyarakat Adat juga berhak atas
kehidupan yang layak dan pantas menurut nilai-nilai sosial yang
berlaku. Untuk itu seluruh tindakan negara yang keluar dari kepatutan
kemanusiaan universal dan tidak sesuai dengan rasa keadilan yang
dipahami oleh Masyarakat Adat harus segera diakhiri.
 Atas dasar rasa kebersamaan senasib sepenanggungan, Masyarakat
Adat Nusantara wajib untuk saling bahu-membahu demi terwujudnya
kehidupan Masyarakat Adat yang layak dan berdaulat.
Lebih lanjut pengaturan mengenai masyarakat hukum adat ditemui
dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (MK) yang merumuskan salah satu kategori
pemohon adalah : “Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang. Menurut MK, suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk
dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual existence) baik
yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional
setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur
Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU No. 39 Thn1999 ttg HAM mnybtkn :

(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan


kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan
dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah;

(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah
ulayat, selaras dengan perkembangan zaman.

UU No. 32 Tahun 2004 ttg Pemerintahan Daerah, sbg pengganti


UU No. 22 Ttn 1999 ttg Pemerintahan Daerah, UU tsb ada dua pasal
yg mnybutkn ttg kbrdaan masy hkm adat bsrta hak2tradisionalnya,
yakni :
 Pasal 1 ayat (9) dinyatakan bahwa negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuaai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
 Pasal 203 ayat (3) pemilihan kepala desa dalam kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan
hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah dan
dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah

Di samping itu, ada peraturan perundang-undangan lain yang di


dalamnya menyinggung berlakunya hukum adat. Antara lain :

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok


Agraria pasal 2 ayat (4) UUPA mengatur tentang
pelimpahan wewenang kembali kepada masyarakat hukum adat
untuk melaksanakan hak menguasai atas tanah, sehingga
masyarakat hukum adat merupakan aparat pelaksana dari hak
menguasai negara atas untuk mengelola tanah tanah tyang ada di
wilayahnya.

Pasal 3 UUPA bahwa pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum


adat, sepanjang menurut kenyataannya harus sedikikan rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan ansional dan negara,
berdadasakan persatuan bangsa dabn tidak boleh bertentangan
dengan UU atau peraturan yang lebih tinggi.

Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku


atas bumi, air, udara dan ruang angkasa adalah Hukum Adat
sepanjang (dengan pembatasan) tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, negara, sosialisme dan undang-undang dan
harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada agama
(Abdurrahman, l978:75).

Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh


warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat
yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi
manusia.Pemikiran mengenai peranan hukum adat dalam pembentukan
hukum nasional sudah ada sebelum Indonesia merdeka, namun pada
saat itu pemikiran tersebut belum dapat diaplikasikan dalam bentuk
peraturan. Awal penerapan pemikiran tersebut baru terlihat di awal
tahun 1960 dengan dikeluarkannya Tap MPR No II/1960 dan UU No 5
Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria. Dalam
perkembangan selanjutnya, masyarakat hukum adat sempat terlupakan,
namun di era sekarang, negara mulai memperhatikan lagi hak-hak
masyarakat adat yang sudah terabaikan.

Dengan demikian bahwa saat ini hukum adat keberadaanya telah


diakui secara resmi oleh pemerintah Indonesia yang disepakati oleh
seluruh masyarakat Indonesia sebagai salah satu hukum yang resmi.
Serta dapat digunakan secara resmi di masyarakat, di smaping
penggunaan hukum dan peraturan yang di buat oleh pemerintah.
Hukum adat memang berasal dari masyarakat Indonesia sendiri, akan
tetapi pada masa penjajahan, terutama pada masa penjajahan belanda,
hukum adat sempat dirubah, bahkan diganti oleh hukum kolonial, akan
tetapi, setelah Indonesia merdeka hukum tersebut mulai muncul
kembali dan diakui oleh masyarakat maupun pemerintah resmi.
Hukum adat tersebut dapt dipergunakan dalam penyelesaian maslah
maslah yang berkaitan dengan tanah, hak waris, dan lain lain sesuai
daerah yang menggunakan hukum adat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Adnan, Mohammad. dkk. 2016. Pengantar Hukum Indonesia. Surakarta:


Penerbit Pustaka Haif.

Maladi, Yanis. 2010, Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara


Pasca Amandemen. Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 3. Hlm. 8.

Purwanto, Roy. 2005. Hukum Islam dan Hukum adat pada Masa Kolonial.
Vol 1 No 2. Hlm. 6.
Salim, Munir. 2015. Adat Recht Sebagai Bukti Sejarah Dalam
Perkembangan Hukum Positif Di Indonesia. Vol.4 no. 1. Hlm. 19-21.

Sembiring, Rosnidar. 2003. Kedudukan Hukum Adat Dalam Era


Reformasi. Jurnal USU. Hlm 4-5.

Van, Djik. 1971. Pengantar Hukum Adat Indonesia. terjemahan oleh : A.


Soehardi. Bandung: Sumur Bandung.

Anda mungkin juga menyukai