Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MATA KULIAH HUKUM PIDANA

Alasan Penghapusan Pidana

Kelompok 8:

Windi Argiatmoko (201610020311039)

Arina Milla Hanifa (201610020311020)

JURUSAN AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018
ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA
strafuitsluitingsgronden

1. Teori-teori alasan penghapusan pidana


George P. Flether dalam Rithinking Criminal Law menegmukakan ada tiga
teori terkait alasan penghapusan pidana. Pertama, theory of pointless punishment
diterjemahkan sebagai teori hukuman yang tidak perlu. Teori ini berpijak pada The
Utilitarian theory of excuse atau teori kemanfaatan alasan pemaaf sebagai bagian dari
Utilitarian theory of punisment, atau teori pemanfaatan hukuaman.
Kedua, theory of lessers evils atau diterjemahkan sebagai teori peringkat
kejahatan yang lebih ringan. Theory of lessers evils merupakan teori alasan pembenar,
oleh karena itu teori ini merupakan alasan penghapus pidana yang berasal dari luar
diri pelaku atau uitwendig. Di sini pelaku harus memilih salah satu dari dua perbuatan
yang sama-sama menyimpang dari aturan.
Ketiga, adalah theory of necessary defense atau teori pembelaan yang
diperlukan. Menurut Fletcher, di dalam theory of necessary defense terdapat juga
theory of self defense atau teori pembelaan diri.1

2. Alasan Penghapus Pidana yang ada dalam KUHP

Dalam KUHP tidak ada disebutkan istilah-istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf.
Bab ketiga dari buku pertama KUHP hanya menyebutkan alasan-alasan yang
menghapuskan pidana. Dalam teori hukum pidana, Achmad Soema memberikan
penjelasan alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibeda-bedakan menjadi2:

1) Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya


perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang
patut dan benar.

2) Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan


yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan
perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.

1
George p. Fletcher, Op. Cit., hlm. 856.
2
R. Achmad Soema Di Pradja, Asas-Asas Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1982, hlm.
249.
3) Alasan penghapus penuntutan, disini permasalahannya bukan ada alasan
pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan
maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap
bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak
diadakan penuntutan.

3. Alasan Pengahapusan Pidana Umum Menurut Undang-Undang


Alasan penghapus pidana (umum) dalam KUHP Berturut-turut akan
dibicarakan pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP. Masing-Masing alasan penghapus
pidana umum menurut undang-undang akan dibahas sebagai berikut:
a. Tidak Mampu Bertanggung Jawab
Tidak mampu bertanggung jawab pasal (44). Pasal 44 KUHP memuat
ketentuan bahwa tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang
tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya antara lain, Pertama, karena
kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu karena sakit. Tidak adanya
kemampuan bertanggun jawab menghapuskan kesalahan, perbuatannya tetap
melawan hukum sehingga dapat dikatakan suatu alasan penghapus kesalahan.
Kedua, Penentuan bertanggung jawab dalam konteks yang pertaama harus
ditentukan oleh psikiater. Ketiga, Ada hubungan kasual antara keadan jiwa dan
perbuatan yang yang dilakukan. Perihal kedua dan ketiga ini, kita mengenal ajaran
integrasi dari Neoboer. Menurutnya harus ada pengintegrasian kedua bidang ilmu
yakni sikiatri dan hukum pidana yang menyatakan kausalitas penyimpangan.
Keempat, penilaian terhadap hubungan tersebut merupakan otoritas hakim yang
mengadili perkara. Kelima, sistem yang dipakai KUHP adalah deskriptif normatif
karena di satu sisi, menggambarkan keadaan jiwa oleh psikiater, namun disisi lain
secara normatif hakim akan menilai hubungan antara keadaan jiwa dan
perbuatanyang dilakukan.
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Schaffmeister, Keijzer dan
Sutorius dapat disimpulakan bahwasannya tdak mampu dipertanggungjawabkan
adalah alasan penghapus pidana yaitu alasan pemaaf yang berasal dari diri pelaku3.
Terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan karena dorongan jiwanya yang
sakit,yang bersangkutan tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan perbuatan
lain yang tidak karena penyakit jiwa yang dideritanya tetap dipertanggung

3
Jan Remmelink, Op.Cit., hlm 221
jawabkan. Untuk menentukan seseorang tidak dapat dipertanggung jawabkan
terhadap perbuatannya itu, dikenal dengan tiga metode , yaitu
Metodebiologis;
Metodepsikologis;dan
 Metode campuran (metode biologis-psikologis)4

b. Daya paksa (overmacht)

Pasal 48 dikatakan tidak dipidananya seseorang yang melakukan perbatan


yang didorong oleh daya paksa. Apa yang diartikan dengan daya paksa ini tidak
dapat dijumpai dalam KUHP penafsiran bisa dilakukan dengan melihat penjelasan
yang diberikan oleh pemerintah ketika KUHP Belanda dibuat. Dalam MvT (KUHP
Penjelasan Belanda) dilukiskan sebagai “setiap kekuatan, setiap paksaan atau
tekanan yang tak dapat ditahan”. Hal yang disebut terakhir ini, “yang tak dapat
ditahan”, memberi sifat kepada tekanan atau paksaan itu. Yang dimaksud dengan
paksaan disini bukan paksaan mutlak, yang tidak memberi kesempatan kepada si
pembuat menentukan kehendaknya.

Perkataan “tidak dapat ditahan” menunjukkan bahwa menurut akal


sehat tak dapat diharapkan dari sipembuat untuk mengadakan perlawanan. Maka
dalam overmacht (daya paksa) dapat dibedakan dalam dua hal: (a) vis asoluta
(paksaan absolut), dan (b) vis compulsiva (paksaan yang relatif). Daya paksa yang
absolut (vis absoluta) dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam. Dalam
hal ini paksaan tersebut sama sekali tak dapat ditahan. Sedangkan daya paksa dalam
pasal 48 ialah daya paksa relatif (vis compulsiva). Istilah “gedrongen” (didorong)
menunjukkan bahwa paksaan itu sebenarnya dapat ditahan tetap dari orang yang di
dalam paksaan itu tak dapat diharapkan bahwa ia akan daat mengadakan
perlawanan.

Masih menurut Jonkers, baim daya paksa maupun keadaan darurat


merupakan alasan pembenar dan bukan alasan pemaaf. Secara jelas Jonkers
menyatakan :

4
Marcus Priyo Gunarto. ALASAN PENGHAPUS PIDANA, ALASAN PENGHAPUS PENUNTUTAN
DAN GUGURNYA MENJALANI PIDANA. Alasan penghapusan pidana.pdf
“Hiermade is tevens aangeroade de grond der onstrafbaarheid, walke aan
overmacht ten grondslag light. Deze is m.i. niet, zoals door sommigen wel wordt
beweerd, de persoonlijke toestand, waaring de verdachte verkeert” Yang artinya,
Dengan ini serentak disunggung alasan dari tidak dipidananya, yang terjadi dasar dari
daya memaksa. Menurut hemat saya hal ini tidaklah seperti dikatakan oleh beberapa
orang, yaitu tentang keadaan pribadi yang meliputi terdakwa. Jadi semacam ini alalsan
pemaaf.

c. Keadaan Darurat (Noodtoestand)

Noodtoestand atau keadaan darurat tidak diatur dengan tegas di dalam Pasal 48
KUHP, namun soal ini oleh doktrin juga dimasukkan dalam pengertian overmacht.
Dalam Vis compulsiva (daya paksa relatif) ada yang membedakan menjadi daya paksa
dalam arti sempit (atau paksaan psychis) dan keadaan darurat. Daya paksa dalam arti
sempit ditimbulkan oleh orang, sedang pada keadaan darurat, paksaan itu datang dari
hal di luar perbuatan orang. K.U.H.P. kita tidak mengadakan pembedaan tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan noodtoestand atau keadaan darurat itu adalah keadaan,
dimana suatu kepentingan hukum dalam keadaan bahaya, dan untuk menghindarkan
bahaya itu terpaksa dilanggar kepentingan hukumyanglain. Keadaan itu dapat terjadi
dalam bentuk:

1. Perbenturan antara dua kepentingan hokum;

Contoh klasiknya adalah kasus "Papan dari Carneades". Ada dua orang yang
karena kapalnya karam hendak menyelamatkan diri dengan berpegangan pada
sebuah papan, padahal papan itu tak dapat menahan dua orang sekaligus. Kalau
kedua-duanya tetap berpengangan pada papan itu, maka kedua-duanya akan
tenggelam. Maka untuk menyelamatkan diri, seorang di antaranya mendorong
temannya sehingga yang didorong itu mati tenggelam dan yang mendorong
terhindar dari maut. (Cerita ini berasal dari CICERO dalambukunya De Republic
et de officio).
Orang yang mendorong tersebut tidak dapat dipidana, karena ada dalam
keadaan darurat.Mungkin ada orang yang memandang perbuatan itu tidak susila,
namun menurut hukum perbuatan itu dapat difahami, karena adalah naluri setiap
orang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dibeberapa negara (Rusia
dan Inggris) orang yang mendorong temannya itu tetap dipidana, meskipun
pidananya diringankan. Dalam keadaa darurat ada tiga kemungkian.
Pertama, pertentangan antara dua kepentingan. Tegasnya, ada konflik antara
kepentingan yang satu dengan yang lain. Contoh klasik berasal dari cerita Cicero
adalah papan Carneades. Ketika kapal tenggelam, Carneades, seorang Yunani di
zaman kuno, menyelamatkan diri dengan berpegang pada sebuah papan yang
terapung di air. Sayangnya, papan itu hanya cukup untuk satu orang saja.
Carneades kemudian mendorong orang tadi lepas dari papan sehingga tenggelam
di laut.
Kedua, pertentangan antara kepentingan dan kewajiban Moeljatno memberi
ilustrasi, seseorang yang mencuri sebuah roti karena sudah tidak makan selama
beberapa hari. Menurutnya di satu sisi ada kepentingan yang mendesak untuk
mendapatkan makanan, namun di sisi lain ada kewajiban untuk menaati aturan
larangan mencuri. Contoh lain pertentangan antara kepentingan dan kewajiban
adalah Opticien Arres atau Putusan Ahli Kacamata; Hage Radd, 15 Oktober
1923.putusan tersebut adalah kasus pertama yang mana day paksa diterima sebagai
keadaan darurat.
Ketiga, pertentangan antara dua kewajiban. Misalnya, seseorang dipanggil
sebagai saksi di pengadilan X, namun pada saat yang sama orang tersebut juga
mendapat panggilan sebagai saksi di pengadilan Y. tidak dipenuhinya suatu
kewajiban untuk memenuhi kewajiban yang lain. Menurut Pompe dalam keadaan
darurat hanya ada dua kemungkinan yaitu pertentangan antara kepentingan dan
kewajiban serta pertentangan antara kewajiban yang satu dengan kewajiban yang
lain.

d. Pembelaan Terpaksa (Noodweer)

Pembelaan terpaksa adalah pembelaan yang terpaksa dilakukan untuk


membela diri atau orang lain atau hartanya dari serangan atau ancaman yang
melawan hukum. Pembelaan ini dibedakan menjadi 2 yaitu : pembelaan terpaksa
(noodweer) dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces).
Pasal 49 KUHP tersebut mengatur mengenai perbuatan “pembelaan
darurat” atau “pembelaan terpaksa” (noodweer) untuk diri sendiri maupun untuk
orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain,
karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat. Menurut pasal ini,
orang yang melakukan pembelaan darurat tidak dapat dihukum. Pasal ini mengatur
alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar karena perbuatan pembelaan
darurat bukan perbuatan melawan hukum.

Syarat-syarat pembelaan darurat menurut R. Soesilo dalam buku “Kitab Undang-


Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar lengkap Pasal Demi Pasal”
(hal. 65-66), yaitu:
1. Perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa dilakukan untuk mempertahankan
(membela). Pertahanan itu harus amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain.
Di sini harus ada keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang dilakukan
dengan serangannya. Untuk membela kepentingan yang tidak berarti misalnya,
orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain.
2. Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-
kepentingan yang disebut dalam pasal itu yaitu badan, kehormatan dan barang diri
sendiri atau orang lain.
3. Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-
konyong atau pada ketika itu juga

Soesilo memberi contoh “pembelaan darurat” (Pasal 49 ayat [1] KUHP) yaitu
seorang pencuri mengambil barang orang lain, kemudian si pencuri menyerang
orang yang punya barang itu dengan pisau belati. Di sini orang itu boleh melawan
untuk mempertahankan diri dan barangnya yang dicuri itu, sebab si pencuri telah
menyerang dengan melawan hak. Selanjutnya, serangan itu harus sekonyong-
konyong atau mengancam ketika itu juga. Tapi, jika si pencuri dan barangnya itu
telah tertangkap, maka orang tidak boleh membela dengan memukuli pencuri itu,
karena pada waktu itu sudah tidak ada serangan sama sekali dari pihak pencuri,
baik terhadap barang maupun orangnya.
pembelaan darurat yang melampaui batas” ataunoodweer-exces (Pasal 49 ayat [2]
KUHP) sebagai berikut:

Misalnya seorang agen polisi yang melihat istrinya diperkosa oleh orang, lalu
mencabut pistolnya yang dibawa dan ditembakkan beberapa kali pada orang itu,
boleh dikatakan ia melampaui batas-batas pembelaan darurat, karena biasanya
dengan tidak perlu menembak beberapa kali, orang itu telah menghentikan
perbuatannya dan melarikan diri. Apabila dapat dinyatakan pada hakim, bahwa
bolehnya melampaui batas-batas itu disebabkan karena marah yang amat sangat,
maka agen polisi itu tidak dapat dihukum atas perbuatannya tersebut.

Jadi, berdasarkan uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa KUHP


mengatur mengenai perbuatan yang dilakukan seseorang untuk mempertahankan
diri atau barangnya dari serangan yang melawan hak. Pembelaan darurat dalam
rangka mempertahankan diri tidak dapat dikatakan melanggar asas praduga tidak
bersalah atau dikatakan main hakim sendiri. Jika si pemilik rumah yang
menyebabkan si pencuri mati tersebut dapat membuktikan di sidang pengadilan
bahwa perbuatannya itu dilakukan dalam rangka pembelaan darurat, maka dia tidak
dapat dihukum. Untuk itu, hakim akan mengeluarkan putusan yang melepaskan
terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).5

e. Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas


Pembelaan yang melampaui batas dapat terjadi dalam dua bentuk. Pertama,
orang yang menghadapi serangan mengalami goncangan batin yang demikian hebat
kemudian mengubah pembelaan diri menjadi suatu serangan. Ilustrasi penulis
sebagai berikut: Seorang wanita dalam ruangan tertutup hendak diperkosa oleh
seorang pria. Pria tersebut berhasil menangkap badan wanita, namun dengan sekuat
tenaga wanita tersebut mendang alat vital pria hingga terjatuh. Kemudia wanita
tersebut memukulnya dengan benda-benda diskelilingnya sampai pria tersebut
tidak berdaya. Dalam konteks yang demikian –secara teoritis- wanita tersebut
melakukan dua pembelaan. Pembelaan pertam adalah noodweer dengan cara
menendang alat vital pria itu, sedangkan pembelaan kedua adalah noodweerexces,
ketiak wanita tersebut memukul benda-benda yang ada disekelilingnya yang ada
kepada pria itu hingga tidak berdaya.

5
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5057343d8ada9/syarat-syarat-pembelaan-diri-yang-
dibenarkan-hukum
Kedua, orang yang melakukan pembelaan terpaksa mengalami guncangan
jiwa yang begitu hebat dengan serta merta menggunkan upaya bela diri yang
berlebihan atau setidak-tidaknya menggunakan upaya drastis untuk membela diri.
Ilustrasinya: seorang polisi yang begitu sampai dirumah melihat istrinya diperkosa
oleh dua orang perampok. Dengan serta merta, polisi tersebut megambil pistol yang
dibawanya dan langsung menembak kearah pelaku sehingga mengakibatkan mati.
Dalam situasi ini yang timbul sebenarnya adalah noodweer, namun polisi tersebut
melakukan pembelaan yang tidak seimbang. Artinya prinsip proporsionalitas
dalam pembelaan terpaksa dilanggar sehingga perbuatan polisi yang menembak
para pelaku menjadi pembelaan terpaksa yang melampaui batas.
Ada dua syarat untuk dapat menyatakn seseorang melakukan pembelaan
terpaksa yang melampaui batas. Pertama , harus ada situasi yang menimbulkan
pembelaan terpaksa seperti yang telah dibahas di atas (pasal 49 ayat (1) KUHP).
Kedua, harus ada kegonjangan jiwa yang hebat akibat serangan tersebut sehingga
menimbulkan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Menurut Hazewinkel
Suringa kegonjangan jiwa yang hebat tidak hanya asthenische affecten berupa
kecemasan, rasa takut, atau ketidak berdayaan, tetapi juga sthenische affecten
seperti kemarahan, kemurkaan atau ketersinggungan6.
Menurut Sudarto, ada tiga syarat dalam pembelaan terpaksa yang melampaui
batas. Pertama, kalampauan batas yang diperlukan. Kedua, pembelaan dilakukan
sebagai akibat langsung dari kegonjangan jiwa yang hebat. Ketiga, kegonjangan
jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan. Artinya ada hubungan
kausalitas antara kegonjangan jiwa dengan serangan. Alasan tidak dijatuhi pidana
terhadab orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas buakan
karena tidak ada kesalahan, namun pembentuk undang-undang menganggab adil,
jika pelaku yang menghadapi serangan yang demikian tidak dijatuhi pidana.

f. Pembelaan darurat (noodweer)

Istilah noodweer atau pembelaan darurat tidak ada dalam KUHP. Pasal 49 ayat
(1) berbunyi: “tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang
terpaksa dilakukan untuk membela dirinya sendiri atau orang lain, membela

6
Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Hal. 69-70
perikesopanan sendiri atau orang lain terhadap serangan yang melawan hukum
yang mengancam langsung atau seketika itu juga”. Dikatakan oleh Sudarto bahwa
perbuatan orang yang membela diri itu seolah-olah perbuatan dari seseorang yang
main hakim sendiri, tetapi dalam hal syarat-syarat seperti tersebut dalam Pasal 49,
maka perbuatannya dianggap tidak melawan hukum.23 Disini orang seolah-olah
mempertahankan haknya sendiri. Tidaklah dapat diharapkan dari seorang warga
negara menerima saja suatu perlakuan yang melawan hukum yang ditujukan
kepada dirinya.24 Padahal negara dengan alat-alat perlengkapannya tidak dapat
tepat pada waktu melindungi kepentingan hukum dari orang yang diserang 31 itu,
maka pembelaan darurat itu merupakan alasan pembenar. Disini pembelaan diri
bersifat menghilangkan sifat melawan hukum. J.E.Jonkers menerangkan dalam
buku pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda untuk memajukan alasan
perlawanan terpaksa diperlukan tiga keadaan sebagai berikut:25

a. Peristiwa yang dilakukan harus terpaksa dikerjakan untuk membela. Maksudnya


ialah bahwa harus ada keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang
dilakukan dan penerangan. Karena sesuatu persoalan yang tidak berarti, maka
orang tidak boleh membunuh atau melukai lawannya;

b. Pembelaan hanya dapat mengenai kepentingan tertentu yang disebut dalam


undang-undang, yaitu mengenai dirinya atau orang lain, kesopanan atau harta
benda diri sendiri atau kepunyaan orang lain; dan

c. Harus ada serangan yang melawan hukum yang berlaku sekejap

itu atau yang mengancam dengan seketika. Penyerangan yang dilawan harus
memenuhi tiga syarat: (1) berlaku sekejab itu, (2) dalam susunan perkataan
Belanda tidak ada perkataan “mengancam dengan seketika”. Perkataan itu
ditambahkan untuk Hindia Belanda karena dikhawatirkan bahwa apabila tidak
begitu, orang yang terancam akan terlambat dalam menangkis serangan yang
direncanakan, terutama mengingat daerah-daerah dan perlengkapan kepolisian
kurang lengkap.7

g. Menjalankan peraturan undang-undang

7
Marcus Priyo Gunarto. ALASAN PENGHAPUS PIDANA, ALASAN PENGHAPUS PENUNTUTAN
DAN GUGURNYA MENJALANI PIDANA. Alasan penghapusan pidana.pdf
“Tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan
peraturan undang-undang”. Dalam kalimat ini, mula-mula H.R.. menafsirkan
secara sempit, ialah undang-undang dalam arti formil, yakni hasil perundang-
undangan dari DPR saja. Namun kemudian pendapat H.R., berubah dan diartikan
dalam arti materiil, yaitu tiap peraturan yang dibuat oleh alat pembentuk undang-
undang yang umum.26 Dalam hubungan ini soalnya adalah apakah perlu bahwa
peraturan undang-undang itu menentukan kewajiban untuk melakukan suatu
perbuatan sebagai pelaksanaan.

Dalam hal ini umumnya cukup, apabila peraturan itu memberi wewenang
untuk kewajiban tersebut dalam melaksanakan perundang-undangan ini
diberikan suatu kewajiban. Misalnya pejabat polisi yang menembak mati seorang
pengendara sepeda yang melanggar peraturan lalu lintas karena tidak mau berhenti
tand peluitnya, tidak dapat berlindung di bawah pasal 50 ini, kejengkelan pejabat
tersebut tidak dapat membenarkan tindakannya. Jadi, perbuatan orang yang
menjalankan peraturan undang-undang tidak bersifat melawan hukum, sehingga
pasal 50 tersebut merupakan alasan pembenar.

Contoh melaksanakan printah undang-undang adalah seorang jurusita yang


dalam rangka mengosonhka rumah, menaruh barang-barang yang disita. Hal ini
bertentanga n dengan peraturan yang melarang menaruh barang-barang dijalan.
Akan tetapi, perbuatan jurusita ini dibenarkan karena harus mengeksekusi, dalam
hal ini mengosongkan rumah berdasarkan putusan pengadilan.

h. Melaksanakan perintah jabatan

Pasal 51 ayat (1) dikatakan “tidak dipidana seseorang yang melakukan


perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang sah”. Orang dapat
melaksanakan undang-undang sendiri, akan tetapi juga dapat menyuruh orang lain
untuk melaksanakannya. Maka jika seseorang melakukan perintah yang sah ini,
maka ia tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum. Id damnum dat qui iubet
dare ; eous vero nulla culpa est, cui parre necesse sit. Yang berartipertanggung
jawaban tidak akan diminta terhadap mereka yang patuh melaksanakan printah,
melainkan akan diminta kepada pihak yang memberikan printah8.

8
Samidjo, Hukum Pidana, (Bandung: CV. Armico, 1985), h. 124
Persyaratan seseorang dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana atas dasar
melaksakan printah jabatan ada tiga syarat : Pertama, antara yang memerintah dan
diprintah berada dalam dimensi hukum publik, Contoh, untuk mengurangi
kemacetan, polisi lalulintas memerintahkan pengguna kendaraan bermotor roda
dua untuk melewati jalan yang dilarang masuk. Pengguna kendaran berroda dua
tidak dapat dipidana karena memasuki jalan yang dilarangan karena diprintah oleh
polisi yang memilii jabatan. Kedua, antara yang memerintah dan diprintah terdapat
hubungan subordiasi atau hubungan dalam dimensi kepegawaian. Contohnya
seorang letnan polisi diprintahkan oleh kolonel polisi untuk menagkap penjahat.
Kolonial tersebut berwenang untuk memerintahkannya sehingga letnan tersebut
melaksanakan printah jabatan9. Ketiga, melaksakan printah jabatan harus dengan
cara yang patut, dan seimbang sehingga tidak melampaui batas kewajaran10.

2. Alasan Pengahapusan Pidana Khusus

Alasan pengahapusan pidana khusus adalah alasan penghapusan pidana yang


berlaku padaa delik-delik tertentu. Pada dasarnya pelaku yang memenuhi unsur delik
tersebut dianggap telah melakukan perbuatan pidana, namun ada pengecualian-
pengecualian yang dirumuskan secara eksplit dalam urusan delik sehingga terjadi
penuntutan pidana terhadap pelaku. Beberapa pasal yang merupakan alasan
penghapusan pidana khusus antara lain : Pasal 221 ayat 2 KUHP dan Pasal 310 ayat 3
KUHP.

(1) Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau dengan
hukuman denda setinggitingginya empat ribu lima ratus rupiah:

1. Barang siapa dengan sengaja menyembunyikan seseorang yang bersalah


telah melakukan sesuatu kejahatan atau yang dituntut karena melakukan sesuatu
kejahatan, atau memberikan bantuannya untuk menghindarkan diri dari penyidikan
atau penahanan oleh pegawai-pegawai kejaksaan atau polisi atau oleh orangorang
lain yang menurut peraturan perundang-undangan ditugaskan secara tetap atau pun
untuk sementara guna melakukan tugas kepolisian; 2. Barang siapa setelah suatu
kejahatan dilakukan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau untuk merintangi
atau mempersulit atau penyidikan atau penuntutan, menghancurkan, menghilangkan

9
Sudarto, Op.Cip., hlm 254
10
D. Schaffmeister, N. Keijzer, En E. PH. Sutorius, Loc.Cit.
atau menyembunyikan alat-alat terhadap alat-alat mana ataupun dengan kejahatan,
ataupun untuk menghindarkan pemeriksaan, baik itu dilakukan oleh pegawai-
pegawai kejaksaan atau polisi, maupun oleh lain-lain orang yang berdasarkan
peraturan undang-undang baik secara tetap maupun untuk sementara ditugaskan
untuk melakukan tugas kepolisian.

(2) Aturan diatas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut
dengan maksud untuk menghindarkan atau menghalaukan bahaya penuntutan
terhadap seseorang keluarga sedarah atau semendanya dalam garis lurus atau garis
menyimpang drajat dua atau tiga atau terhadap suami /istri atau bekas suami/istri.

Ketentuan ayat 2 Pasal 221 KUHP merupakan alasan penghapus pidana jika
perbuatan tersebut dilakukan keluarga termasuk suami/istri atau bekas suami/istri.
Disini perbuatan yang dilakukan tetaplah pidana, namun elemen yang dicela pelaku
yang dihapuskan. Dengan demikian Pasal 221 ayat 2 KUHP merupakan alasan
pemaaf.

Unsur-Unsur yang terkandung dalam Pasal 310 KUHP adalah :

a. Pasal 310 ayat (1) KUHP menuturkan :

“Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang


dengan menuduh sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum,
diancam karena pencemaran dengan penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

b. Pasal 310 ayat (2) KUHP menuturkan :

“Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
ditunjukkan atau ditempelkan dimuka umum , maka diancam dengan pencemaran
tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidanan
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

c. Pasal 310 ayat (3) KUHP menuturkan :

“tidak merupakan penemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan


dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”.
Berdasarkan kontruksi Pasal 310 ayat 3 KUHP terdapat a;lasan penghapusan
pidana jika perbustsn tersebut demi kepentingan umum atau untuk membela diri.
Artinya, elemen melawa hukum perbuatan sebagaimana yang terdapat dalam pasal
310 ayat 1 dihapus. Dengan demikian ketentuan ayat 3 pasal 310 KUHP merupakan
alasan pembenar.

3. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa lasan penghapus pidana adalah
suatu keadaan di mana orang yang melakukan tindak pidana tidak di jatuhi hukuman
pidana karena alasan-alasan tertentu, di antaranya yaitu:

a. Tidak mampu bertanggung jawab

b. Daya paksa

c. Keadaan darurat

d. Pembelaan terpaksa

e. Pembelaan Terpaksa melampaui batas

f. Melaksanakan Perintah Undang-Undang

g. Perintah Jabatan

h. Perintah Jabatan Tidak Sah

Dalam KUHP alasan penghapus pidana terbagi atas:

a. Alasan pembenar

b. Alasasn pemaaf

c. Alasan penghapus penuntutan

DAFTAR PUSTAKA

 Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta


 Moeljatno, 1993 Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta
 Samidjo, 1985 Hukum Pidana, Bandung: CV. Armico
 Farid , Zainal Abidin. 1995. Hukum Pidana I. Jakarta : Sinar Grafika
 Hamzah, Andi. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta
 Syarifin, Pipin. 2000. Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia
 Hiariej. 2015. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai