Alasan Penghapusan Pidana
Alasan Penghapusan Pidana
Kelompok 8:
2018
ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA
strafuitsluitingsgronden
Dalam KUHP tidak ada disebutkan istilah-istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf.
Bab ketiga dari buku pertama KUHP hanya menyebutkan alasan-alasan yang
menghapuskan pidana. Dalam teori hukum pidana, Achmad Soema memberikan
penjelasan alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibeda-bedakan menjadi2:
1
George p. Fletcher, Op. Cit., hlm. 856.
2
R. Achmad Soema Di Pradja, Asas-Asas Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1982, hlm.
249.
3) Alasan penghapus penuntutan, disini permasalahannya bukan ada alasan
pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan
maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap
bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak
diadakan penuntutan.
3
Jan Remmelink, Op.Cit., hlm 221
jawabkan. Untuk menentukan seseorang tidak dapat dipertanggung jawabkan
terhadap perbuatannya itu, dikenal dengan tiga metode , yaitu
Metodebiologis;
Metodepsikologis;dan
Metode campuran (metode biologis-psikologis)4
4
Marcus Priyo Gunarto. ALASAN PENGHAPUS PIDANA, ALASAN PENGHAPUS PENUNTUTAN
DAN GUGURNYA MENJALANI PIDANA. Alasan penghapusan pidana.pdf
“Hiermade is tevens aangeroade de grond der onstrafbaarheid, walke aan
overmacht ten grondslag light. Deze is m.i. niet, zoals door sommigen wel wordt
beweerd, de persoonlijke toestand, waaring de verdachte verkeert” Yang artinya,
Dengan ini serentak disunggung alasan dari tidak dipidananya, yang terjadi dasar dari
daya memaksa. Menurut hemat saya hal ini tidaklah seperti dikatakan oleh beberapa
orang, yaitu tentang keadaan pribadi yang meliputi terdakwa. Jadi semacam ini alalsan
pemaaf.
Noodtoestand atau keadaan darurat tidak diatur dengan tegas di dalam Pasal 48
KUHP, namun soal ini oleh doktrin juga dimasukkan dalam pengertian overmacht.
Dalam Vis compulsiva (daya paksa relatif) ada yang membedakan menjadi daya paksa
dalam arti sempit (atau paksaan psychis) dan keadaan darurat. Daya paksa dalam arti
sempit ditimbulkan oleh orang, sedang pada keadaan darurat, paksaan itu datang dari
hal di luar perbuatan orang. K.U.H.P. kita tidak mengadakan pembedaan tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan noodtoestand atau keadaan darurat itu adalah keadaan,
dimana suatu kepentingan hukum dalam keadaan bahaya, dan untuk menghindarkan
bahaya itu terpaksa dilanggar kepentingan hukumyanglain. Keadaan itu dapat terjadi
dalam bentuk:
Contoh klasiknya adalah kasus "Papan dari Carneades". Ada dua orang yang
karena kapalnya karam hendak menyelamatkan diri dengan berpegangan pada
sebuah papan, padahal papan itu tak dapat menahan dua orang sekaligus. Kalau
kedua-duanya tetap berpengangan pada papan itu, maka kedua-duanya akan
tenggelam. Maka untuk menyelamatkan diri, seorang di antaranya mendorong
temannya sehingga yang didorong itu mati tenggelam dan yang mendorong
terhindar dari maut. (Cerita ini berasal dari CICERO dalambukunya De Republic
et de officio).
Orang yang mendorong tersebut tidak dapat dipidana, karena ada dalam
keadaan darurat.Mungkin ada orang yang memandang perbuatan itu tidak susila,
namun menurut hukum perbuatan itu dapat difahami, karena adalah naluri setiap
orang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dibeberapa negara (Rusia
dan Inggris) orang yang mendorong temannya itu tetap dipidana, meskipun
pidananya diringankan. Dalam keadaa darurat ada tiga kemungkian.
Pertama, pertentangan antara dua kepentingan. Tegasnya, ada konflik antara
kepentingan yang satu dengan yang lain. Contoh klasik berasal dari cerita Cicero
adalah papan Carneades. Ketika kapal tenggelam, Carneades, seorang Yunani di
zaman kuno, menyelamatkan diri dengan berpegang pada sebuah papan yang
terapung di air. Sayangnya, papan itu hanya cukup untuk satu orang saja.
Carneades kemudian mendorong orang tadi lepas dari papan sehingga tenggelam
di laut.
Kedua, pertentangan antara kepentingan dan kewajiban Moeljatno memberi
ilustrasi, seseorang yang mencuri sebuah roti karena sudah tidak makan selama
beberapa hari. Menurutnya di satu sisi ada kepentingan yang mendesak untuk
mendapatkan makanan, namun di sisi lain ada kewajiban untuk menaati aturan
larangan mencuri. Contoh lain pertentangan antara kepentingan dan kewajiban
adalah Opticien Arres atau Putusan Ahli Kacamata; Hage Radd, 15 Oktober
1923.putusan tersebut adalah kasus pertama yang mana day paksa diterima sebagai
keadaan darurat.
Ketiga, pertentangan antara dua kewajiban. Misalnya, seseorang dipanggil
sebagai saksi di pengadilan X, namun pada saat yang sama orang tersebut juga
mendapat panggilan sebagai saksi di pengadilan Y. tidak dipenuhinya suatu
kewajiban untuk memenuhi kewajiban yang lain. Menurut Pompe dalam keadaan
darurat hanya ada dua kemungkinan yaitu pertentangan antara kepentingan dan
kewajiban serta pertentangan antara kewajiban yang satu dengan kewajiban yang
lain.
Soesilo memberi contoh “pembelaan darurat” (Pasal 49 ayat [1] KUHP) yaitu
seorang pencuri mengambil barang orang lain, kemudian si pencuri menyerang
orang yang punya barang itu dengan pisau belati. Di sini orang itu boleh melawan
untuk mempertahankan diri dan barangnya yang dicuri itu, sebab si pencuri telah
menyerang dengan melawan hak. Selanjutnya, serangan itu harus sekonyong-
konyong atau mengancam ketika itu juga. Tapi, jika si pencuri dan barangnya itu
telah tertangkap, maka orang tidak boleh membela dengan memukuli pencuri itu,
karena pada waktu itu sudah tidak ada serangan sama sekali dari pihak pencuri,
baik terhadap barang maupun orangnya.
pembelaan darurat yang melampaui batas” ataunoodweer-exces (Pasal 49 ayat [2]
KUHP) sebagai berikut:
Misalnya seorang agen polisi yang melihat istrinya diperkosa oleh orang, lalu
mencabut pistolnya yang dibawa dan ditembakkan beberapa kali pada orang itu,
boleh dikatakan ia melampaui batas-batas pembelaan darurat, karena biasanya
dengan tidak perlu menembak beberapa kali, orang itu telah menghentikan
perbuatannya dan melarikan diri. Apabila dapat dinyatakan pada hakim, bahwa
bolehnya melampaui batas-batas itu disebabkan karena marah yang amat sangat,
maka agen polisi itu tidak dapat dihukum atas perbuatannya tersebut.
5
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5057343d8ada9/syarat-syarat-pembelaan-diri-yang-
dibenarkan-hukum
Kedua, orang yang melakukan pembelaan terpaksa mengalami guncangan
jiwa yang begitu hebat dengan serta merta menggunkan upaya bela diri yang
berlebihan atau setidak-tidaknya menggunakan upaya drastis untuk membela diri.
Ilustrasinya: seorang polisi yang begitu sampai dirumah melihat istrinya diperkosa
oleh dua orang perampok. Dengan serta merta, polisi tersebut megambil pistol yang
dibawanya dan langsung menembak kearah pelaku sehingga mengakibatkan mati.
Dalam situasi ini yang timbul sebenarnya adalah noodweer, namun polisi tersebut
melakukan pembelaan yang tidak seimbang. Artinya prinsip proporsionalitas
dalam pembelaan terpaksa dilanggar sehingga perbuatan polisi yang menembak
para pelaku menjadi pembelaan terpaksa yang melampaui batas.
Ada dua syarat untuk dapat menyatakn seseorang melakukan pembelaan
terpaksa yang melampaui batas. Pertama , harus ada situasi yang menimbulkan
pembelaan terpaksa seperti yang telah dibahas di atas (pasal 49 ayat (1) KUHP).
Kedua, harus ada kegonjangan jiwa yang hebat akibat serangan tersebut sehingga
menimbulkan pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Menurut Hazewinkel
Suringa kegonjangan jiwa yang hebat tidak hanya asthenische affecten berupa
kecemasan, rasa takut, atau ketidak berdayaan, tetapi juga sthenische affecten
seperti kemarahan, kemurkaan atau ketersinggungan6.
Menurut Sudarto, ada tiga syarat dalam pembelaan terpaksa yang melampaui
batas. Pertama, kalampauan batas yang diperlukan. Kedua, pembelaan dilakukan
sebagai akibat langsung dari kegonjangan jiwa yang hebat. Ketiga, kegonjangan
jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan. Artinya ada hubungan
kausalitas antara kegonjangan jiwa dengan serangan. Alasan tidak dijatuhi pidana
terhadab orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas buakan
karena tidak ada kesalahan, namun pembentuk undang-undang menganggab adil,
jika pelaku yang menghadapi serangan yang demikian tidak dijatuhi pidana.
Istilah noodweer atau pembelaan darurat tidak ada dalam KUHP. Pasal 49 ayat
(1) berbunyi: “tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang
terpaksa dilakukan untuk membela dirinya sendiri atau orang lain, membela
6
Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Hal. 69-70
perikesopanan sendiri atau orang lain terhadap serangan yang melawan hukum
yang mengancam langsung atau seketika itu juga”. Dikatakan oleh Sudarto bahwa
perbuatan orang yang membela diri itu seolah-olah perbuatan dari seseorang yang
main hakim sendiri, tetapi dalam hal syarat-syarat seperti tersebut dalam Pasal 49,
maka perbuatannya dianggap tidak melawan hukum.23 Disini orang seolah-olah
mempertahankan haknya sendiri. Tidaklah dapat diharapkan dari seorang warga
negara menerima saja suatu perlakuan yang melawan hukum yang ditujukan
kepada dirinya.24 Padahal negara dengan alat-alat perlengkapannya tidak dapat
tepat pada waktu melindungi kepentingan hukum dari orang yang diserang 31 itu,
maka pembelaan darurat itu merupakan alasan pembenar. Disini pembelaan diri
bersifat menghilangkan sifat melawan hukum. J.E.Jonkers menerangkan dalam
buku pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda untuk memajukan alasan
perlawanan terpaksa diperlukan tiga keadaan sebagai berikut:25
itu atau yang mengancam dengan seketika. Penyerangan yang dilawan harus
memenuhi tiga syarat: (1) berlaku sekejab itu, (2) dalam susunan perkataan
Belanda tidak ada perkataan “mengancam dengan seketika”. Perkataan itu
ditambahkan untuk Hindia Belanda karena dikhawatirkan bahwa apabila tidak
begitu, orang yang terancam akan terlambat dalam menangkis serangan yang
direncanakan, terutama mengingat daerah-daerah dan perlengkapan kepolisian
kurang lengkap.7
7
Marcus Priyo Gunarto. ALASAN PENGHAPUS PIDANA, ALASAN PENGHAPUS PENUNTUTAN
DAN GUGURNYA MENJALANI PIDANA. Alasan penghapusan pidana.pdf
“Tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan
peraturan undang-undang”. Dalam kalimat ini, mula-mula H.R.. menafsirkan
secara sempit, ialah undang-undang dalam arti formil, yakni hasil perundang-
undangan dari DPR saja. Namun kemudian pendapat H.R., berubah dan diartikan
dalam arti materiil, yaitu tiap peraturan yang dibuat oleh alat pembentuk undang-
undang yang umum.26 Dalam hubungan ini soalnya adalah apakah perlu bahwa
peraturan undang-undang itu menentukan kewajiban untuk melakukan suatu
perbuatan sebagai pelaksanaan.
Dalam hal ini umumnya cukup, apabila peraturan itu memberi wewenang
untuk kewajiban tersebut dalam melaksanakan perundang-undangan ini
diberikan suatu kewajiban. Misalnya pejabat polisi yang menembak mati seorang
pengendara sepeda yang melanggar peraturan lalu lintas karena tidak mau berhenti
tand peluitnya, tidak dapat berlindung di bawah pasal 50 ini, kejengkelan pejabat
tersebut tidak dapat membenarkan tindakannya. Jadi, perbuatan orang yang
menjalankan peraturan undang-undang tidak bersifat melawan hukum, sehingga
pasal 50 tersebut merupakan alasan pembenar.
8
Samidjo, Hukum Pidana, (Bandung: CV. Armico, 1985), h. 124
Persyaratan seseorang dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana atas dasar
melaksakan printah jabatan ada tiga syarat : Pertama, antara yang memerintah dan
diprintah berada dalam dimensi hukum publik, Contoh, untuk mengurangi
kemacetan, polisi lalulintas memerintahkan pengguna kendaraan bermotor roda
dua untuk melewati jalan yang dilarang masuk. Pengguna kendaran berroda dua
tidak dapat dipidana karena memasuki jalan yang dilarangan karena diprintah oleh
polisi yang memilii jabatan. Kedua, antara yang memerintah dan diprintah terdapat
hubungan subordiasi atau hubungan dalam dimensi kepegawaian. Contohnya
seorang letnan polisi diprintahkan oleh kolonel polisi untuk menagkap penjahat.
Kolonial tersebut berwenang untuk memerintahkannya sehingga letnan tersebut
melaksanakan printah jabatan9. Ketiga, melaksakan printah jabatan harus dengan
cara yang patut, dan seimbang sehingga tidak melampaui batas kewajaran10.
(1) Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau dengan
hukuman denda setinggitingginya empat ribu lima ratus rupiah:
9
Sudarto, Op.Cip., hlm 254
10
D. Schaffmeister, N. Keijzer, En E. PH. Sutorius, Loc.Cit.
atau menyembunyikan alat-alat terhadap alat-alat mana ataupun dengan kejahatan,
ataupun untuk menghindarkan pemeriksaan, baik itu dilakukan oleh pegawai-
pegawai kejaksaan atau polisi, maupun oleh lain-lain orang yang berdasarkan
peraturan undang-undang baik secara tetap maupun untuk sementara ditugaskan
untuk melakukan tugas kepolisian.
(2) Aturan diatas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut
dengan maksud untuk menghindarkan atau menghalaukan bahaya penuntutan
terhadap seseorang keluarga sedarah atau semendanya dalam garis lurus atau garis
menyimpang drajat dua atau tiga atau terhadap suami /istri atau bekas suami/istri.
Ketentuan ayat 2 Pasal 221 KUHP merupakan alasan penghapus pidana jika
perbuatan tersebut dilakukan keluarga termasuk suami/istri atau bekas suami/istri.
Disini perbuatan yang dilakukan tetaplah pidana, namun elemen yang dicela pelaku
yang dihapuskan. Dengan demikian Pasal 221 ayat 2 KUHP merupakan alasan
pemaaf.
“Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
ditunjukkan atau ditempelkan dimuka umum , maka diancam dengan pencemaran
tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidanan
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
3. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa lasan penghapus pidana adalah
suatu keadaan di mana orang yang melakukan tindak pidana tidak di jatuhi hukuman
pidana karena alasan-alasan tertentu, di antaranya yaitu:
b. Daya paksa
c. Keadaan darurat
d. Pembelaan terpaksa
g. Perintah Jabatan
a. Alasan pembenar
b. Alasasn pemaaf
DAFTAR PUSTAKA