TONSILITIS KRONIS
DI RAUNG THT (TULIP 1A) RSUD ULIN BANJARMASIN
OLEH:
NIM : 14.NS.021
NPM : 14.NS.021
............................................... ..................................................
LAPORAN PENDAHULUAN
.PERITONITIS
A. DEFINISI
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa
yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil
palatina (tonsila faucial), tonsila lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba
Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Peradangan pada
tonsila palatine biasanya meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran
infeksi terjadi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat
terjadi pada semua umur, terutama pada anak
Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus,
termasuk strain bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus
Epstein-Barr, enterovirus, dan virus herpes simplex. Salah satu penyebab
paling sering pada tonsilitis adalah bakteri grup A Streptococcus beta
hemolitik (GABHS), 30% dari tonsilitis anak dan 10% kasus dewasa dan juga
merupakan penyebab radang tenggorokan
Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten
yang berpotensi membentuk formasi batu tonsil. Terdapat referensi yang
menghubungkan antara nyeri tenggorokan yang memiliki durasi 3 bulan
dengan kejadian tonsilitis kronik. Tonsilitis kronis merupakan salah satu
penyakit yang paling umum dari daerah oral dan ditemukan terutama di
kelompok usia muda. Kondisi ini karena peradangan kronis pada tonsil. Data
dalam literatur menggambarkan tonsilitis kronis klinis didefinisikan oleh
kehadiran infeksi berulang dan obstruksi saluran napas bagian atas karena
peningkatan volume tonsil. Kondisi ini mungkin memiliki dampak sistemik,
terutama ketika dengan adanya gejala seperti demam berulang,
odynophagia, sulit menelan, halitosis dan limfadenopati servikal dan
submandibula.
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak
adekuat
B. ANATOMIFISIOLOGI
Pharynx terletak dibelakang cavum nasi, mulut, dan larynx.
Bentuknya mirip corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah
cranium dan bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai eosophagus
setinggi vertebra cervicalis enam. Dinding pharynx terdiri atas tiga lapis yaitu
mucosa, fibrosa, dan muscular. Berdasarkan letak, faring dibagi atas tiga
bagian yaitu: nasopharynx, oropharynx, dan laringopharynx.
Nasopharynx terletak dibelakang rongga hidung, di atas palatum
molle. Nasopharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding
posterior, dandinding lateral. Bagian atap dibentuk oleh corpus ossis
sphenoidalis dan pars basilaris ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid
yang disebut tonsila pharyngeal, yang terdapat didalam submucosa. Bagian
dasar dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang miring. Dinding
anterior dibentuk oleh aperture nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir
posterior septum nasi. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang
berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis.
Dinding lateral pada tiap-tipa sisi mempunyai muara tuba auditiva ke faring.
Kumpulan jaringan limfoid di dalam submukosa di belakang muara tuba
auditiva disebut tonsila tubaria.
C. ETIOLOGI
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya
secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung
kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu
melalui mulut masuk bersama makanan. Etiologi penyakit ini dapat
disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan
kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase
resolusi tidak sempurna.
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil,
termasuk bakteri aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada
penderita tonsilitis kronis jenis kuman yang paling sering adalah
Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Streptokokus grup A adalah
flora normal pada orofaring dan nasofaring. Namun dapat menjadi pathogen
infeksius yang memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat
disebabkan Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, S.
Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) kultur apusan
tenggorok didapatkan bakteri gram positif sebagai penyebab tersering
Tonsilofaringitis Kronis yaitu Streptokokus alfa kemudian diikuti
Staphylococcus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A,
Staphylococcus epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter,
Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. coli.
Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan
pengobatan yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan
tubuh. Penyebab penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A,
dan herpes simpleks (pada remaja). Selain itu infeksi virus juga termasuk
infeksi dengan coxackievirus A, yang menyebabkan timbulnya vesikel dan
ulserasi pada tonsil. Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi mononukleosis,
dapat menyebabkan pembesaran tonsil secara cepat sehingga
mengakibatkan obstruksi jalan napas yang akut.
Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di
kalangan bayi atau pada anak-anak dengan immunocompromised.
D. PATOFISIOLOGI
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana
kuman menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil
menyebabkan pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman
sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi
pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi)
dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya
pada saat keadaan umum tubuh menurun. Bila epitel terkikis maka jaringan
limfoid superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang
timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid diganti oleh jaringan
parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara
klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga
menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan
jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai dengan pembesaran
kelenjar limfa submadibularis.
Karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jarinagn
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti
dengan jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti
melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus.proses ini meluas
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan
dengan jaringan disekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai
dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula
E. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah
nyeri tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran
cerna dan saluran napas. Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti
demam, namun tidak mencolok.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang
tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Terasa ada
yang mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas yang
berbau. Pada tonsillitis kronik juga sering disertai halitosis dan pembesaran
nodul servikal. Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara
menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik berupa (a)
pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya,
kripta melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent. (b) tonsil tetap
kecil, bisanya mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam “tonsil
bed” dengan bagian tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak
eksudat yang purulent.
Gambar 4. Tonsillitis kronik
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan
mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak
permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat
dibagi menjadi:
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
F. FAKTOR PREDISPISISI
Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor
genetik maupun lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko
penyakit Tonsilitis Kronis. Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi
konstribusi efek faktor genetik dan lingkungan secara relatif penelitiannya
mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya keterlibatan faktor
genetik sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis.
Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu:
1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis
makanan
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca
4. Kelelahan fisik
5. Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita
Tonsilitis Kronis:
Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk
mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada
tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme patogen disebabkan
ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang
inadekuat (Hammouda et al, 2009). Gold standard pemeriksaan tonsil adalah
kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40
penderita Tonsilitis Kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan
kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil
untuk menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri Tonsilitis
Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak yang
ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus aureus.
Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey
terhadap 480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis
Kronis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga
kriteria histopatologi yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya
Ugra’s abses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut
ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas menegakkan
diagnosa Tonsilitis Kronis.
H. PROGNOSIS
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat
dan pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat
membuat penderita Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk
mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi
penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami
perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat
menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya,
infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-
kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti
demam rematik atau pneumonia.
I. KOMPLIKASI
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah
sekitarnya berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara
percontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen
dan dapat timbul endocarditis, artritis, myositis, nefritis, uvetis iridosiklitis,
dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.
Beberapa literature menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis antara
lain:
1. Abses peritonsil.
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan
sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil
dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi
pada penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah
malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa
dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses.