Gastrointestinal Motility Drugs
Gastrointestinal Motility Drugs
1. Antasida Oral
1
membentuk suatu komposisi yang bersifat stabil. Saat ion hidrogen dikonsumsi,
pH isi lambung meningkat. Contoh yang banyak diketahui, yakni sodium
bikarbonat (NaHCO3), yang pada lambung akan bergabung dengan HCl untuk
menghasilkan NaCl, H2O, dan CO2.
2
hidrogen (acid rebound). Pelepasan CO2 di lambung dapat mengakibatkan
sendawa dan penumpukan gas berlebihan pada perut. Konstipasi diminimalisir
dengan menyertakan magnesium oksida dengan kalsium karbonat. Telah
dilaporkan terdapat kasus appendisitis akut akibat penumpukan fekalit kalsium
karbonat.
3
1.1 Komplikasi terapi antasida
Acid rebound merupakan efek samping yang unik yang dimiliki antasida
yang mengandung kalsium. Respon ini ditandai dengan peningkatan bermakna
sekresi asam lambung yang terjadi beberapa jam setelah netralisasi asam
lambung. Belum jelas diketahui jika fenomena acid rebound ini menetap dengan
terapi kalsium karbonat jangka panjang. Milk-alkali syndrome ditandai dengan
hiperkalsemia, peningkatan konsentrasi nitrogen urea darah, dan kreatinin plasma,
serta alkalosis sistemik yang ditunjukkan dengan peningkatan pH plasma diatas
normal. Konsentrasi kalsium fosfat plasma pada umumnya meningkat. Penurunan
bermakna fungsi ginjal dengan kalsifikasi parenkim renal juga dapat terjadi.
Sindrom ini berhubungan dengan konsumsi kalsium karbonat dalam jumlah yang
banyak diserta dengan konsumsi susu sebanyak >1 liter setiap harinya.
4
1.2 Interaksi obat
Modulator reseptor H3- dan H4- tidak memegang peranan dalam praktik
anastesi dan tidak dijelaskan dengan jelas. Aktivasi dari reseptor H3 menghambat
sintesis dan melepaskan histamin dari neuron pada system saraf pusat, seperti
contohnya; reseptor tersebut berlaku sebagai autoreseptor presinaptik. Reseptor
5
H4 dikeluarkan oleh sel mast, sel dendritik, basofil, dan limfosit T. Aktivasi dari
reseptor H4 menginduksi kemostasis dari sel imun.
Tabel. 35-1
Farmakokinetik Reseptor H1- Antagonis
Waktu Eliminasi Kecepatan
puncak waktu paruh pembersihan
plasma (jam) (mL/kg/min)
(jam)
Generasi pertama reseptor antagonis
Chlorpheniramine 2.8 27.9 1.8
Diphenhydramine 1.7 9.2 23.3
Hydroxyzine 2.1 20.0 98
Generasi kedua reseptor antagonis
Loratadine 1.0 11.0 202
Acrivastine 0.85 – 1.4 1.4 – 2.1 4.56
Azelastine 5.3 22 8.5
6
Gambar 35-1. Generasi pertama dan kedua reseptor H1- antagonis
2.1.1. Farmakokinetik
7
2.1.2 Penggunaan klinis
8
mengatasi mual dan gatal, terdapat resiko depresi pernafasan. Meskipun demikian,
diphenhydramine melawan induksi opioid yang mengurangi respon pernafasan
terhadap CO2 dan tidak memperburuk depresi dari respon hipoksia pernafasan
selama keadaan hiperkarbia sedang.
Kelebihan dari reseptor antagonis H2- dari pada reseptor antagonis H1-
dalam penanganan anafilaksis adalah kecepatan resolusi dari gejala.
Kemungkinan redaman dari reseptor antagonis H2- meningkat pada inotropik dan
kronotropik, dengan demikian membatasi potensi mekanisme kompensasi
jantung, namun tidak spesifik pada praktek klinis. Dimenhydrinate telah
digunakan dalam penanganan mabuk perjalanan seperti halnya mual dan muntah
paska operasi. Dapat disimpulkan bahwa efek dimenhydrinate dalam penanganan
mabuk perjalanan dan penyakit telinga bagian dalam dapat disebabkan inhibisi
dari fungsi integrasi yang komprehensif dari vestibular nuclei dengan penurunan
vestibular dan masukan visual. Manipulasi dari otot mata luar dalam operasi
strabismus dapat memicu “oculoemetic”. Jika serabut afferent pada refleks ini
juga bergantung pada intergritas dari bagian vestibular nuclei, maka
dimenhydrinate dapat menghambat refleks ini dan mengurangi kejadian mual dan
muntah paska operasi. Pemberian dimenhydrinate, secara intravena 20 mg, pada
9
dewasa menurunkan angka kejadian muntah pada pasien pasca operasi. Pada
anak-anak, 0.5 mg/kg intravena, secara signifikan mengurangi kejadia muntah
setelah operasi strabismus dan tidak berhubungan dengan sedasi berkepanjangan.
Dibandingkan dengan serotonin antagonis, dimenhydrinate merupakan antiemetik
yang tidak mahal.
10
2.2 Reseptor Antagonis H2-
11
Potensi relatif dari reseptor antagonis H2- untuk menghambat sekresi ion
hydrogen lambung sekitar 20 hingga 50 lipatan, dengan cimetidine yang sedikit
poten dan famotidine yang sangat poten. Durasi inhibisi dalam jangka 6 jam untuk
cimetidine hingga 10 jam untuk ranitidine,famotidine, dan nizatidine. Tidak ada
dari keempat reseptor antagonis H2- yang memiliki efek konsisten pada fungsi
spinter esofagus bawah atau pada waktu pengosongan lambung. Penghentian dari
terapi reseptor antagonis H2- yang kronis dapat menyebabkan munculnya
hipersekresi asam lambung.
Tabel 35-2
2.2.2 Farmakokinetik
12
bioavailabilitas dari obat ini 50%. Nizatidine tidak melalui metabolisme melalui
hepatik, dan bioavailabilitas setelah konsumsi secara oral mencapai 100%. Waktu
puncak rata-rata dari konsentrasi plasma reseptor antagonis H2- sekitar 1 hingga 3
jam setelah konsumsi oral. Karena volume distribusi untuk keempat obat melebihi
kadar total air dalam tubuh, maka sebagian (13% - 35%) berikatan dengan protein.
13
famotidine. Penurunan dosis dari keempat obat disarankan untuk pasien dengan
gangguan ginjal. Dosis dari reseptor H2- antagonis juga dapat diturunkan pada
pasien dengan luka bakar akut. Hanya 10% hingga 20% dari seluruh cimetidine
atau ranitidine yang dibersihkan dengan hemodialisa. Kegagalan hepatik tidak
secara signifikan mempengaruhi farmakokinetik dari reseptor H2- antagonis.
Peningkatan umur sebaiknya dipertimbangkan ketika menentukan dosis dari
reseptor H2- antagonis. Sebagai contohnya, pembersihan cimetidine menurun 75%
pada pasien berumur 20 hingga 70 tahun. Penurunan 40% juga terjadi pada
volume distribusi cimetidine di pasien lansia. Eliminasi paruh waktu dari
ranitidine dan famotidine dapat meningkat hingga dua kali lipat pada pasien
lansia.
14
Reseptor H2- antagonis juga meurunkan volume cairan lambung. Namun,
reseptor H2- antagonis yang kontras dengan antacid tidak memiliki pengaruh pada
pH dari cairan lambung yang ada di perut. Cimetidine melewati plasenta tetapi
tidak memiliki efek samping dengan janin ketika dikonsumsi sebelum operasi
sesar. reseptor H2- antagonis lainnya memiliki profil yang serupa dengan
cimetidine melalui perpindahan dengan plasenta.
Persiapan pasien sebelum operasi dengan riwayat alergi atau pasien yang
menjalani prosedur yang berhubungan dengan peningkatan reaksi alergi
(pemberian pewarna kontras radiografi) dapat termasuk pemberian oral profilaksis
reseptor H1- antagonis (diphenhydramine, 0.5 to 1.0 mg/kg) dan reseptor H2-
antagonis (cimetidine, 4 mg/kg) setiap 6 jam dalam 12 hingga 24 jam sebelum
reaksi terjadi. Pemberian kortikosteroid setidaknya 24 jam lebih awal biasanya
ditambahkan dalam pengobatan ini. Reaksi alergen berulang yang mengancam
jiwa setiap pemberian cimetidine intravena dapat bereaksi secara kumulatif
sebelum pemberian epinefrin sebelumnya dengan adanya waktu sirkulasi yang
baik. Sebenarnya, pengobatan semacam itu dapat memperburuk bronkospasme.
Risiko hipotensi lebih lanjut juga menjadi pertimbangan pemberian intravena
simetidin. Selanjutnya, aktivitas H2-reseptor dapat memiliki efek yang diinginkan
selama reaksi alergi, termasuk meningkatnya kontraktilitas miokard dan
vasodilatasi arteri koroner.
15
2.2.4 Efek samping
Frekuensi efek samping yang parah adalah sedikit dengan keempat obat
reseptor H2- antagonis. Risiko yang mengalami efek samping selama pengobatan
dengan reseptor H2- antagonis meningkat dengan adanya berbagai penyakit
sistemik., disfungsi ginjal dan hati, dan penuaan. Efek samping yang paling sering
muncul adalah diare, sakit kepala, lemas, dan nyeri otot skeletal. Efek samping
dapat muncul dengan prevalensi < 1 % termasuk gangguan mental, pusing,
penurunan kesadaran, ginekomastia, galaktore, trombositopenia, peningkatan
plasma level dari enzim liver, demam, bradikardi, takikardi dan aritmia. Reaksi
kardiak cenderung berhubungan dengan penghambatan reseptor kardiak H2.
Gangguan mental pada pasien yang diobati dengan cimetidine dapat muncul
gangguan hati dan ginjal. Perubahan status mental biasanya terjadi di lansia dan
cenderung dihubungkan dengan pemberian cimetidine dosis tinggi secara
intravena, biasanya pada pasien yang dirawat di ruang intensif. Mayoritas pasien
mengalami perubahan status mental setelah 24 hingga 48 jam setelah
pemberhentian cimetidine. Ranitidine dan famotidine juga melewati sawar darah
otak dan telah dilaporkan menyebabkan gangguan mental. Gangguan mental telah
jarang diobservasi pada pasien yang mendapatkan pengobatan reseptor H2-
antagonis jangka panjang.
Tabel 35-3
16
Cimetidine dan ranitidine meningkatkan konsentrasi plasma dari prolaktin,
yang dapat menyebabkan galaktore pada wanita dan ginekomastia pada pria.
Famotidine dan nizatidine tidak menyebabkan peningkatan level plasma prolactin.
Cimetidine, tetapi selain reseptor H2- antagonis, menghambat pengikatan
dihydrosteron dengan reseptor androgen. Pastinya, impoten dan kehilangan libido
dapat terjadi pada pria yang mendapatkan obat cimetidine dosis tinggi.
Efek samping dari reseptor H2- antagonis pada fungsi hepatik biasanya
dilihat dari peningkatan level plasma dari enzim aminotransaminase, biasanya
pada pasien yang menerima reseptor H2- antagonis dosis tinggi secara intravena.
reseptor H2- antagonis biasanya tidak ditandai dengan perubahan aliran darah
hepatik.
Kardiak aritmia (sinus bradikardi, sinus arrest, sinus arrest dengan ritme
idioventrikular, komplit atrioventrikular blok) telah di jelaskan setelah pemberian
reseptor H2- antagonis secara oral maupun intravena. Sebagian besar aritmia
terjadi setelah pemberian jangka panjang. Jarang dijelaskan adanya pemanjangan
interval QT dan henti jantung yang fatal dengan famotidine yang di laporkan.
Efek kardiak dari reseptor H2- antagonis mirip dengan stimulasi yang diperantarai
stimulasi 𝛽 1 oleh cAMP. Hal ini dapat menjelaskan mengapa penghambatan
reseptor H2 - antagonis dapat menyebabkan bradikardi. Selanjutnya,
penghambatan dari reseptor H2- antagonis dapat meningkatkan efek reseptor H1-,
termasuk efek dromotropik negatif. Bradikardi dan hipotensi secara umum
disambungkan dengan pemberian intravena yang cepat dari obat ini, paling jarang
pada sakit yang kritis dan lansia. Mekanisme hipotensi muncul karena vasodilatasi
perifer. Pendekatan secara bijaksana untuk pemberian obat selama 15 hingga 30
menit ketika pemberian intravena dibutuhkan.
17
berlebih dari organisme lain seperti Candida albicans. Hal ini berhubungan
dengan kejadian peritonitis Candida yang diobservasi setelah perforasi ulkus
peptikum pada pasien yang diobati dengan cimetidine. Peningkatan pH cairan
lambung yang memanjang juga menghasilkan produksi komponen nitroso karena
peningkatan nitrat menurunkan bakteri. Turunan nitroso adalah mutagensecara in
vitro poten, tetapi tidak ada bukti bahwa ini terjadi secara in vivo yang
berhubungan dengan terapi cimetidine jangka panjang. Cimetidine, selain
ranitidine atau famotidine, telah menunjukan penambahan imun mediasi sel
melalui hambatan dari reseptor H2 pada limfosit T.
Gambar 35-4. Efek propranolol dalam denyut jantung istirahat ditekan dengan pemberian
cimetidine. Mean 6 SD; n 5 5;*P ,.05.) (dari Feely J, Wilkinson GR, Wood AJJ. Reduction of liver
blood flow and propranolol metabolism by cimetidine. N Engl J Med. 1981;304:692–696.)
18
cimetidine dengan bagian heme dari sitokrom P450 sistem oxidase. Cimetidine
menghambat metabolisme obat seperti propranolol dan diazepam yang secara
normal melalui ekstraksi hepatik tinggi. Pelambatan metabolisme dan eliminasi
memanjang waktu paruh dengan farmakologi berlebihan yang berhubungan
dengan efek propranolol dan diazepam telah didokumentasikan dengan
penanganan 24 jam dengan cimetidine. Sebaliknya, benzodiazepine, seperti
oxazepam dan lorazepam yang dieliminasi hampir seluruhnya dengan
glukuronidasi tidak berubah dengan induksi cimetidine yang berefek pada aktivasi
enzim P450.
Tabel 35-4
19
Propranolol Meningkat 20-27 Penurunan hidrosilasi
Nifedipine Meningkat 38 Tidak diketahui
Lidocaine Meningkat 14-30 Penurunan N-dealkali
Quinidine Meningkat 25-37 Penurunan 3-hidroksilasi
Imipramine Meningkat 40 Penurunan N-demetilasi
Desipramine Meningkat 36 Penurunan hidroksilasi
dalam metabolisme cepat
Triazolam Meningkat 27 Penurunan hidroksilasi
Meperidine Meningkat 22 Penurunan oksidasi
Procainamide Meningkat 28 Bersaing dengan sekresi
tubulus ginjal
Gambar 35-5. Laju penurunan konsentrasi plasma diazepam, 0.1 mg/kg IV,
dilambatkan dengan pemberian cimetidine, 6-6.8 mg/kg
20
Keempat reseptor H2- antagonis berpotensi menurunkan penyerapan
beberapa obat dengan peningkatan pH cairan lambung. Cimetidine telah
dilaporkan dapat meningkatkan penyerapan ethanol dari perut yang menghasilkan
penghambatan dehydrogenase alkohol lambung.
Gambar 35-6. Tingkat maternal plasma dari bupivacaine setelah anastesi epidural.
(Kuhnert BR, Zuspan KJ,
Kuhnert PM, et al. Lack of infuence of cimetidine on
bupivacaine levels during parturition. Anesth Analg. 1987; 66:986–990.)
Sebagai tambahan dengan interaksi obat yang diproduksi oleh reseptor H2-
antagonis, beberapa obat menurunkan disposisi antagonis. Magnesium dan
almunium hidroksida antacid menurun sekitar 30% hingga 40%, masing-masing,
bioavailabilitas dari cimetidine, ranitidine, dan famotidine. Meskipun penurunan
penyerapan ini, tingkat terapiutik darah dari reseptor H2- antagonis dapat tetap
tercapai, dan pemisahan ketat jadwal dosis selama terapi kombinasi obat
kemungkinan tidak diperlukan. Metabolisme hepatik dari cimetidine dapat
meningkat jika fenobarbital diberikan secara bersamaan.
21
sekresi asam lambung adalah enzim membran pompa proton (hydrogen-potasium-
ATPase) yang mentransfer ion hidrogen melewati membrane sel parietal sebagai
ganti untuk ion potassium. Sekresi asam hidroklorik oleh sel parietal lambung
sangat bergantung pada fungsi dari pompa proton (ion hidrogen). Proton pump
inhibitor (PPI) lebih efektif dibandingkan antagonis reseptor H2 untuk pemulihan
esofagitis dan mencegah kekambuhan. Proton pump inhibitor juga lebih efektif
dibandingkan antagonis reseptor H2 untuk meredakan rasa tidak nyaman/nyeri ulu
hati, yang tanda kardinal dari penyakit refluks gastroesofageal. Namun, pada
pasien tanpa esofagitis, antagonis reseptor H2 merupakan pilihan yang lebih hemat
dari segi biaya.
3.1 Omeprazole
22
serta lebih kuat dibandingkan antagonis reseptor H2. Obat ini menyembuhkan
ulkus duodenal dan kemungkinan juga ulkus lambung lebih cepat dibandingkan
antagonis reseptor H2. Pada pasien dengan ulkus peptikum dengan perdarahan
aktif, terapi dengan omeprazole menurunkan tingkat perdarahan dan keperluan
untuk tindakan operasi. Omeprazole lebih superior terhadap antagonis reseptor H2
untuk terapi refluks esofagitis dan merupakan terapi farmakologis terbaik untuk
sindrom Zollinger-Ellison.
Tabel 35-5.
23
(jam)
Metabolisme di liver Ya Ya Ya Ya Ya
Efek terhadap Minimal Minimal Minimal Tidak Tidak
sitokrom P450
3.2 Esomeprazole
3.3 Pantoprazole
Pantoprazole merupakan PPI yang poten dan bekerja cepat. Memis et al.
meneliti dua kelompok yang terdiri dari masing-masing 30 pasien dan
mendapatkan pantoprazole (40 mg) atau ranitidine (50 mg) intravena yang
diberikan satu jam sebelum induksi anestesi dan didapatkan bahwa kedua obat
sama-sama efektif dalam menurunkan pH dan volume cairan lambung.
24
4. Prokinetik Gastrointestinal
a) Metoclopramide
b) Domperidone
25
Gambar 35-8. Domperidone
26
4.1.3 Farmakokinetik
27
terutamanya pada pasien dengan riwayat esofagitis (“heartburn”),
mengindikasikan adanya disfungsi sfinkter esofagus bagian bawah dan
hipomotilitas lambung. Namun, keuntungan penggunaan metoclopramide pada
pasien dengan tingkat cairan lambung yang memang rendah sulit
didokumetasikan. Terlepas dari efeknya terhadap volume cairan lambung,
pemberian metoclopramide tidak memengaruhi pH cairan lambung. Lebih lanjut,
penting untuk diperhatikan bahwa inhibisi motilitas lambung yang dicetuskan
oleh opioid tidak dapat dikembalikan seperti semula dengan pemberian
metoclopramide. Metoclopramide dan obat-obat profilaksis lainnya (antasida atau
antagonis reseptor H2) tidak menggantikan kebutuhan akan manajemen jalan
napas yang baik, termasuk pemasangan pipa trakea.
Tabel 35-6
28
pH <2,5 12a (40%) 16a (57%)
a
jumlah pasien
29
diterapi dengan inhibitor monoamine oksidase atau antidepresan trisiklik
sebaiknya tidak menggunakan metoclopramide. Metoclopramide mengurangi
bioavailabilitas cimetidine yang dikonsumsi secara oral sebanyak 25% - 50%.
Metoclopramide juga tidak diberikan pada pasien pasca operasi saluran cerna atau
anastomosis intestinal karena obat ini menstimulasi motilitas usus dan dapat
menghambat proses penyembuhan luka.
5. Makrolida
30
7. Antagonis Serotonin
Gambar 35-9. Erythromycin 200 mg, diberikan secara intravena dan 15 menit
setelahnya diikuti pemberian makanan yang mengandung bahan/penanda
radioaktif menghasilkan efek pengosongan lambung yang lebih cepat pada pasien
gastroparesis diabetikum (A) dan pasien tanpa diabetes (B) dibandingkan dengan
pengosongan lambung pada pasien yang tidak mendapatkan erythromycin
sebelumnya
31
DAFTAR PUSTAKA
32