Anda di halaman 1dari 20

DAFTAR ISI

COVER..............................................................................................................
i
HALAMAN
PENGESAHAN........................................................................... ii
KATA
PENGANTAR....................................................................................... iii
DAFTAR
ISI...................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN.................. ................................................................ 5
BAB II
ISI............................ .............................................................................. 7
BAB III
KESIMPULAN................................................................................... 16
BAB IV CONTOH KASUS..............................................................................17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................

i
2
BAB I
PENDAHULUAN

Maraknya pemberitaan media massa akhir-akhir ini tentang adanya kasus


malapraktik dan kelalaian dalam bidang medis di Indonesia, terutama kesalahan
diagnosis yang memberi dmpak buruk terhadap pasiennya. Kasus gugatan/
tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) tenaga medis dan/ atau manajemen
rumah sakit yang diajukan masyarakat menjadi korban dari tindakan malapraktik
(malpractice) atau kelalaian medis makin banyak diberitakan oleh media massa.

Malapraktik atau malpractice berasal dari kata “mal” yang berarti buruk.
Sedang kata “practice” berarti suatu tindakan atau praktik. Dengan demikian
secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu tindakan medik “buruk” yang
dilakukan dokter dalam hubungannya dengan pasien.

Malapraktik dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu, malapraktik etika


dan malapraktik yuridis, ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum. Ada
beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan.
Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat (negara),
yaitu positif wettelijk bewijstheorie, conviction intime, laconvviction raisonnee
dan negatef wettelijk.

Pertanggungjawaban hukum dokter adalah pertanggungjawaban, yaitu suatu


“keterikatan” dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan
profesinya. Tanggung jawab seorang dokter dalam bidang hukum, bisa terjadi
dalam bidang hukum perdata dan pidana.
Pengetahuan mengenai malapraktek penting untuk dipahami bagi tenaga kesehatan
dalam melaksanakan praktiknya, khususnya penyedia pelayanan kesehatan primer seperti
dokter umum.

1
BAB II

ISI

A. Definisi
Berbicara mengenai malapraktik atau malpractice berasal dari kata “mal” yang
berarti buruk. Sedang kata “practice” berarti suatu tindakan atau praktik. Dengan
demikian secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu tindakan medik “buruk” yang
dilakukan dokter dalam hubungannya dengan pasien.
Di Indonesia, istilah malapraktik yang sudah sangat dikenal oleh para tenaga
kesehatan sebenarnya hanyalah merupakan suatu bentuk medical malpractice, yaitu
medical negligence yang dalam bahasa Indonesia disebut kelalaian medik. Menurut
Gonzales dalam bukunya Legal Medical Pathology and Toxicology menyebutkan
bahwa malpractice is the term applied to the wrongful or improper practice of
medicine, which result in injury to the patient.
Malapraktik menurut Azrul Azwar memiliki beberapa arti. Pertama,
malapraktik adalah kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter, oleh karena
pada waktu melakukan pekerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai,
tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau di
lakukan oleh dokter pada umumnya, di dalam situasi dan kondisi yang sama.
Kedua, malapraktik adalah setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter, oleh
karena melakukan pekerjaan kedokteran di bawah standar yang sebenarnya secara
rata-rata dan masuk akal, dapat di lakukan oleh setiap dokter dalam siatuasi atau
tempat yang sama. Ketiga, malapraktik adalah setiap kesalahan profesional
diperbuat oleh seorang dokter, yang di dalamnya termasuk kesalahan karena
perbuatan-perbuatan yang tidak masuk akal serta kesalahan karena keterampilan
ataupun kesetiaan yang kurang dalam menyelenggarakan kewajiban atau dan atau
pun keper-cayaan profesional yang dimilikinya.
Menurut Munir Fuady, malapraktik memiliki pengertian yaitu setiap tindakan
medis yang dilakukan dokter atau orang-orang di bawah pengawasannya, atau
penyedia jasa kesehatan yang dilakukan terhadap pasiennya, baik dalam hal
diagnosis, terapeutik dan manajemen penyakit yang dilakukan secara melanggar

2
hukum, kepatutan, kesusilaandan prinsip-prinsip profesional baik dilakukan dengan
sengaja atau karena kurang hati-hatiyang menyebabkan salah tindak rasa sakit,
luka, cacat, kerusakan tubuh, kematian dan kerugian lainnya yang menyebabkan
dokter atau perawat harus bertanggungjawab baik secara administratif, perdata
maupun pidana.
Hermien Hadiati Koeswadji yang mengutip pendpaat John D. Blum
mengatakan, bahwa medical malpractice adalah suatu bentuk professional
negligence yang oleh pasien dapat dimintakan ganti rugi apabila terjadi luka atau
cacat yang diakibatkan langsung oleh dokter dalam melaksanakan tindakan
profesional yang dapat diukur. Dalam sistem hukum Indonesia yang salah satu
komponennya merupakan satu hukum substantif, diantara hukum positif yang
berlaku tidak dikenal adanya istilah malapraktik, baik dalam Undang-Undang No.
23 Tahun 1992 tentang kesehatan maupun dalam Undang-Undang No. 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran. Memperhatikan Undang-Undang No 23 Tahun
1992 khususnya pada Pasal 54 dan 55 disebut sebagai kesalahan atau kelalaian
dokter. Sedangkan pada Undang-Undang No. 29 Tahun 2004, khususnya pada
Pasal 84 dikatakan sebagai pelanggaran disiplin dokter.
Pegangan pokok yang dipakai untuk menetapkan adanya malapraktik cukup
jelas yakni adanya kesalahan profesional yang dilakukan oleh seorang dokter pada
waktu melakukan perawatan dan ada pihak lain yang dirugikan atas tindakan dokter
tersebut. Kenyataannya ternyata tidak mudah untuk menetapkan kapan adanya
kesalahan profesional tersebut. Menurut Azrul Azwar yang mengutip pendapat dari
Benard Knight bahwa dalam praktik sehari-hari ada tiga kriteria untuk menentukan
adanya kesalahan profesional. Pertama, adanya kewajiban dokter
menyelenggarakan pelayanan kedokteran bagi pasiennya, titik tolak dari
kemungkinan terjadinya kesalahan profesional yang menimbulkan kerugian bagi
orang lain tersebut adalah adanya kewajiban pada diri dokter melakukan tindakan
medik atau pelayanan kedokteran bagi pasiennya, kewajiban yang dimaksud disini,
yang tunduk pada hukum perjanjian, maupun mempunyai beberapa ciri khusus dan
jika disederhanakan dapat dibedakan atas professional ditues, doctor patient
relationship, informed consent, professional medical standard, lingkup profesional

3
yangdimiliki tersebut hanya untuk upaya yang akan dilaksanakan saja, bukan untuk
hasil akhir.
Kedua, adanya pelanggaran kewajiban dokter terhadap pasiennya, sesuai
dengan pengertian kewajiban sebagaimana dikemukakan di atas maka pelanggaran
yang dimaksud disini hanyalah yang sesuai dengan kelima ciri kewajiban
profesional seorang dokter, misalnya, tidak melakukan kewajiban profesional
seorang dokter sebagaimana yang lazimnya dilakukan oleh setiap dokter; telah
terjadi kontra terapetik, tetapi dokter tidak melakukan kewajiban profesionalnya,
sebagaimana yang lazim dilakukan oleh seorang dokter pada setiap pelayanan
kesehatan; tidak meminta persetujuan pasien sebelum melakukan suatu tindakan
medik dan atau pelayanan kedokteran; tidak melaksanakan tindakan medik atau
pelayanan kedokteran sesuai dengan standar profesi; dan menjanjikan hasil
tindakan medik pelayanan kedokteran yang kenyataannya tidak sesuai dengan
perjanjian. Ketiga, sebagai akibat pelanggaran kewajiban timbul kerugian terhadap
pasien, kerugian yang dimaksud disini semata-mata terjadi karena adanya
kesalahan profesional, bukan karena resiko suatu tindakan medik.

B. Jenis-Jenis Malapraktik Kedokteran


Kegagalan medis dapat menimbulkan akibat negatif. Di Indonesia, tindakan
malapraktik dokter sering terjadi, yang sebagian besarnya tidak sampai diketahui
masyarakat karena umumnya tindakan malapraktik tersebut tidak sampai ke
permukaan sehingga di Indonesia sangat jarang adanya kasus malapraktik dokter
yang sampai ke pengadilan. Berbeda halnya di negara-negara yang sudah maju,
seperti Amerika Serikat. Disana, meskipun kemampuan, profesionalisme, dan
peralatan kedokteran relatif cukup canggih, tetapi sangat banyak pula pasien yang
tidak puas yang pada akhirnya menggugat dokter ke pengadilan dengan tuduhan
malapraktik tersebut. Malapraktik dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu,
malapraktik etika dan malapraktik yuridis, ditinjau dari segi etika profesi dan segi
hukum:

4
a. Malapraktik Etik
Malapraktik etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan
dengan etika kedokteran. Sedangkan Etika Kedokteran yang dituangkan di
dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau
norma yang berlaku untuk dokter. Malapraktik ini merupakan dampak negatif
dari kemajuan teknologi, yang bertujuan memberikan kemudahan dan
kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter untuk mempermudah
menentukan diagnosa dengan cepat, lebih tepat, dan lebih akurat sehingga
rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata memberikan efek samping yang
tidak diinginkan.
Contoh konkritnya adalah di bidang diagnostik, misalnya pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan
bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena
laboratorium memberikan janji untuk memberikan “hadiah” kepada dokter
yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga
mendapatkan hadiah tersebut. Dan di bidang terapi, seperti kita ketahui
berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan
janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau mengunakan obat
tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam
memberikan terapi kepada pasien.
Albert R. Jonsen dkk, menganjurkan empat hal yang harus selalu
digunakan sebagai pedoman bagi para dokter untuk mengambil keputusan
yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan moral, yakni menentukan
indikasi medisnya, mengetahui apa yang menjadi pilihan pasien untuk
dihormati, mempertimbangkan dampak tindakan yang akan dilakukan
terhadap mutu kehidupan pasien. Yang terakhir adalah, mempertimbangkan
hal-hal kontekstual yang terkait dengan situasi kondisi pasien, misalnya,
aspek sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan sebagainya di dalam kehidupan
bermasyarakat.

5
b. Malapraktik Yuridik
Dalam malapraktik yuridik ini Soedjatmiko membedakannya menjadi tiga
bentuk, yaitu:
1. Malapraktik Perdata (Civil Malpractice)
Malapraktik perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan
tidak terpenuhinya isi perjanjian didalam transaksi perbuatan melanggar
hukum sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Perbuatan atau
tindakan yang melawan hukum haruslah memenuhi beberapa syarat,
seperti harus adanya suatu perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat),
perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis atau tidak tertulis),
adanya suatu kerugian, ada hubungan sebab akibat antara perbuatan
melanggar hukum dengan kerugian yang diderita. Sedangkan untuk dapat
menuntut penggantian kerugian karena kelalaian dokter, maka pasien
harus dapat membuktikan adanya 4 (empat) unsur, yaitu:
a) Dengan adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien
b) Dokter telah melanggar pelayanan medik yang lazim dipergunakan
c) Penggugat (pasien) telah menderiya kerugian yang dapat dimintakan
ganti ruginya
d) Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standard.
Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan
adanya kelalaian dokter (tergugat). Kaidah hukum ada yang mengatur
“Res ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena
kelalaian dokter, terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang
pasien. Akibat tertinggalnya kain kasa di perut pasien tersebut, timbul
komplikasi paska bedah, sehingga pasien harus dilakukan operasi kembali.
Dalam hal demikian dokterlah yang harus membuktikan tidak ada
kelalaian pada dirinya.
2. Malapraktik Pidana (Criminal Malpractice)
Malapraktik pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau
mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-

6
hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap
pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
a) Malapraktik pidana karena kesengajaan, misalnya, pada kasus-kasus
melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia, membocorkan
rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat
padahal diketahui tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta
memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar.
b) Malapraktik pidana karena kecerobohan, misalnya melakukan
tindakan yang tidak sesuai dengan standard profesi serta mlakukan
tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
c) Malapraktik pidana karena kealpaan, misalnya, terjadi cacat atau
kematian terhadap pasien sebagai akibat tidakan dokter yang kurang
hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi didalam rongga
tubuh pasien.
3. Malapraktik Administratif (Administrative Malpractice)
Malapraktik administratif terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain
melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang
berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa izin praktek,
melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan izinnya, menjalankan
praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek
tanpa membuat catatan medik.

C. Kelalaian
Kelalaian medis adalah suatu keadaan dimana seseorang bertindak kurang hati-
hati menurut ukuran wajar. Karena tidak melakukan apa yang seharusnya seseorang
itu. Kelalaian mencakup 2 (dua) hal, yakni: pertama, karena melakukan sesuatu
yang seharusnya tidak dilakukan; atau kedua, karena tidak melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukannya. Kelalaian atau negligence menurut Keeton Medical
Negligence – The Standard of Care, 19805 adalah suatu sikap tindak yang oleh
masyarakat dianggap menimbulkan bahaya secara tidak wajar dan diklasifikasikan
demikian karena orang itu bisa membayangkan atau seharusnya membayangkan

7
bahwa tindakan itu bisa mengakibatkan orang lain harus menanggung risiko, dan
bahwa sifat dari risiko itu sedemikian beratnya, sehingga seharusnya ia bertindak
dengan cara yang lebih hati-hati.
Profesi dokter harus tunduk dan mentaati norma-norma umum termasuk norma
sebagaimana disuratkan pada pendapat tersebut di atas (KUHPerdata dan KUHP),
juga teliti dan hati-hati. Norma berfungsi untuk mewujudkan tata tertib di dalam
masyarakat, se-hingga hubungan manusia berjalan lancar dan tertib. Seorang dokter
bisa dinilai bertanggung jawab terhadap profesional negligence apabila sikap atau
perbuatannya tidak berdasarkan standar yang umum berlaku pada profesinya,
sehingga pasien sampai cedera karena kelalaiannya. Kewajiban seorang dokter
untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan termasuk apa yang diutarakan
oleh Keeton di atas. Dan kalau karena tertinggal ilmunya sampai mengakibatkan
pasien menderita cedera, maka tindakan itu juga bisa termasuk kelalaian. Dilihat
dari segi etik pun demikian. KODEKI Pasal 18 mencantumkan: “Setiap dokter
hendaklah senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap setia
kepada cita-cita yang luhur”.

D. Pembuktian Malapraktik
Ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang
didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat
(negara), yaitu positif wettelijk bewijstheorie, conviction intime, laconvviction
raisonnee dan negatef wettelijk. Kalau kesalahan dokter merupakan kesalahan
profesi, maka tidaklah mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi ini
untuk membuktikannya di pengadilan.
Pada criminal malpractice pembuktiannya didasarkan atas dipenuhi tidaknya
unsur pidana, sehingga karenanya tergantung dari jenis criminal malpractice yang
dituduhkan. Dalam hal dokter dituduh melakukan kealpaan sehingga pasien yang
ditangani meninggal dunia, menderita luka berat atau luka sedang, maka yang harus
dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan yang salah yang dilakukan dengan sikap
batin berupa alpa atau kurang hati-hati. Perlu dipahami bahwa tidak setiap hasil
pengobatan yang tidak sesuai dengan harapan pasien merupakan bukti adanya

8
criminal malpractice mengingat kejadian semacam itu juga dapat merupakan
bagian dari risiko tindakan medis. Kesalahan diagnosis juga tidak boleh secara
otomatis dijadikan ukuran adanya criminal practice sebab banyak faktor yang
mempengaruhi ketepatan diagnosis, yang kadang-kadang sebagian faktor tersebut
berada di luar kekuasaan dokter. Kedua hal di atas hanya dapat dijadikan
persangkaan yang masih harus dibuktikan unsur-unsur pidananya.
Jika terbukti bersalah maka dokter dapat dipidana sesuai jenis tindak pidana
yang dilakukannya. Selain itu dokter masih dapat digugat melalui peradilan perdata
atas dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Pada malapraktik
perdata pembuktiannya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu langsung atau tak
langsung. Secara langsung, yaitu dengan membuktikan keempat unsurnya secara
langsung, yang terdiri atas unsur kewajiban, menelantarkan kewajiban, rusaknya
kesehatan dan adanya hubungan langsung antara tindakan menelantarkan ke-
wajiban dengan rusaknya kesehatan. Adapun secara tak langsung, yaitu dengan
mencari fakta-fakta yang berdasarkan doktrin res ipsa loquitor dapat membuktikan
adanya kesalahan di pihak dokter. Namun tidak semua kelalaian dokter
meninggalkan fakta semacam itu. Doktrin res ipsa loquitor ini sebetulnya
merupakan varian dari ‘doctrine of common knowledge’, hanya saja di sini masih
diperlukan sedikit bantuan kesaksian dari ahli untuk menguji apakah fakta yang
ditemukan memang dapat dijadikan bukti adanya kelalaian dokter.
Apabila ada gunting atau tang tertinggal dalam perut pasien yang menjalani
operasi, maka gunting atau tang itu berdasarkan doktrin res ipsa loquitor, dapat
dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat membuktikan kesalahan dokter,
sebab gunting atau tang itu tak mungkin tertinggal kalau tak ada kelalaian, gunting
atau tang yang tertinggal itu berada di bawah tanggung jawab dokter, Pasien dalam
keadaan terbius, sehingga tidak mungkin dapat memberi andil terhadap
tertinggalnya alat-alat tersebut. Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa penyebab dari perselisihan konflik antara dokter dan pasien adalah adanya
kesalahan atau kelalaian yang menimbulkan malapraktik dan berakibat kerugian
yang diderita oleh pasien.

9
E. Pertanggungjawaban Dokter terhadap Pasien dalam Hal Malapraktik
Pertanggungjawaban hukum dokter adalah pertanggungjawaban, yaitu suatu
“keterikatan” dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan
profesinya. Tanggung jawab seorang dokter dalam bidang hukum, bisa terjadi
dalam bidang hukum perdata dan pidana. Dokter dinilai bertanggung jawab dalam
bidang hukum perdata jika dokter tidak melaksanakan kewajibannya (ingkar
janji/wanprestasi), yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah
disepakati juga bisa terjadi karena perbuatan yang melawan hukum.
Tindakan dokter yang dapat dikategorikan wanprestasi antara lain; tidak
melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, melakukan apa
yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat, melakukan apa
yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna dan
melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan. Dalam hal
demikian dokter dapat dipersalahkan melakukan perbuatan yang melawan hukum
(onrechtsmatige daad). Jadi tindakan dokter dinilai melanggar Pasal 1365 KUH
Perdata yaitu: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”.
Jadi seorang dokter harus bertanggungjawab atas kesalahan/kelalaiannya yang
mengakibatkan pasien cedera atau bahkan meninggal dunia. Tanggung jawab itu
berupa pengganti kerugian baik materiil maupun immaterial terhadap
pasien/keluarganya. Contoh perbuatan melanggar hukum adalah apabila seorang
dokter bedah karena kelalaiannya telah meninggalkan kain kasa/ alat dalam tubuh
pasien, sehingga pasien mengalami infeksi sehingga mengakibatkan pasien tersebut
menderita dan dapat pula karena komplikasinya menyebabkan pasien tersebut
meninggal dunia.
Dokter tidak saja bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukannya tetapi
juga atas kelalaian yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi tanggungannya.
Contoh, seorang dokter ahli bedah bertanggung jawab atas perbuatan yang
dilakukan oleh perawat yang membantu dalam pelaksanaan operasi di kamar bedah.
Tanggung jawab dapat bersifat individual atau korporasi. Selain itu dapat pula

10
dialihkan kepada pihak lain berdasarkan principle of vicarious liability. Dengan
prinsip ini maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang
dilakukan dokter-dokternya, asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter itu
dalam rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit.
Pengertian wanprestasi ialah suatu keadaan dimana seseorang tidak memenuhi
kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak. Dalam hal
malapraktik oleh dokter gugatan atas dasar wanprestasi itu harus dibuktikan bahwa
dokter itu benar-benar telah mengadakan perjanjian, kemudian dia telah melakukan
wanprestasi terhadap perjanjian tersebut (yang harus didasarkan pada kesalahan
profesi). Pasien harus mempunyai bukti-bukti kerugian akibat tidak dipenuhinya
kewajiban dokter sesuai dengan standar profesi medis yang berlaku dalam suatu
kontrak terapeutik. Tetapi dalam praktiknya tidak mudah untuk melaksanakannya,
karena pasien juga tidak mempunyai cukup informasi dari dokter mengenai
tindakan-tindakan apa saja yang merupakan kewajiban dokter dalam suatu kontrak
terapeutik. Hal ini yang sangat sulit dalam pembuktiannya karena mengingat
perikatan antara dokter dan pasien adalah bersifat inspaningsverbintenis.
Berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata pasien bisa menggugat seorang dokter
oleh karena telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum, seperti yang diatur
di dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan
bahwa: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kesalahan itu,
mengganti kerugian tersebut”.
Undang-Undang sama sekali tidak memberikan batasan tentang perbuatan
melawan hukum, yang harus ditafsirkan oleh peradilan. Semula dimaksudkan
segala sesuatu yang bertentangan dengan Undang-Undang, jadi suatu perbuatan
melawan undang-undang. Akan tetapi sejak tahun 1919 yurisprudensi tetap, telah
memberikan pengertian yaitu setiap tindakan atau kelalaian baik yang: melanggar
hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum diri sendiri, menyalahi
pandangan etis yang umumnya dianut (adat istiadat yang baik), tidak sesuai dengan
kepatuhan dan kecermatan sebagai persyaratan tentang diri dan benda orang se-
orang dalam pergaulan hidup.

11
Juga sedikitnya harus ada kesalahan yang mendasari perbuatan tersebut dan
antara tindakan tak wajar atau kelalaian dan kerugian yang terjadi harus terdapat
hubungan sebab akibat yang jelas. Pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti
luas berdasarkan Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 mengenai Arrest Lindeboum
melawan Cohen adalah mencakup pengertian berbuat atau tidak berbuat yang
melanggar hak orang lain, dan bertentangan dengan kewajiban hukum sendiri atau
kesusilaan atau kepatutan dalam masyarakat, baik terhadap diri atau benda orang
lain. Ini berarti, kesalahan diartikan secara luas meliputi kesengajaan, kelalaian dan
kurang hati-hati. Dan me-ngenai kesalahan dokter dalam menjalankan profesinya
atau kesalahan profesional pada dasarnya berkaitan dengan kewajiban yang timbul
karena profesinya atau disebut kewajiban profesional.
Selain dapat dituntut atas dasar wanprestasi dan melawan hukum seperti
tersebut di atas, dokter juga dapat dituntut atas dasar kelalaian, sehingga
menimbulkan kerugian. Gugatan atas dasar kelalaian ini diatur dalam Pasal 1366
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang bunyinya sebagai berikut, “Setiap
orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena per-
buatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau
kurang hati-hatinya”.
Kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dapat terjadi di bidang hukum
pidana, diatur antara lain dalam Pasal 263, 267, 294 ayat (2), 299, 304, 322, 344,
347, 348, 349, 351, 359, 360, 361, 531 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Mengenai criminal malpractice yang berupa kecerobohan/kelalaian banyak kasus
yang muncul di Rumah Sakit. Dalam literatur hukum kedokteran negara Anglo-
Saxon antara lain dari Taylor dikatakan bahwa seorang dokter baru dapat
dipersalahkan dan digugat menurut hukum apabila dia sudah memenuhi syarat 4-
D, yaitu: duty (kewajiban), derelictions of that duty (penyimpangan kewajiban),
damage (kerugian), direct causal relationship (berkaitan langsung).
Duty atau kewajiban bisa berdasarkan perjanjian (ius contractu) atau menurut
undang-undang (ius delicto). Juga adalah kewajiban dokter untuk bekerja
berdasarkan standar profesi. Kini adalah kewajiban dokter pula untuk memperoleh
informed consent, dalam arti wajib memberikan informasi yang cukup dan mengerti

12
sebelum mengambil tindakannya. Informasi itu mencakup antara lain: risiko yang
melekat pada tindakan, kemungkinan timbul efek sampingan, alternatif lain jika
ada, apa akibat jika tidak dilakukan dan sebagainya. Peraturan tentang persetujuan
tindakan medis sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585 Tahun
1989.
Penentuan bahwa adanya penyimpangan dari standar profesi medis adalah
sesuatu yang didasarkan atas fakta-fakta secara kasuistis yang harus
dipertimbangkan oleh para ahli dan saksi ahli. Namun sering kali pasien
mencampuradukkan antara akibat dan kelalaian. Bahwa timbul akibat negatif atau
keadaan pasien yang tidak bertambah baik belum membuktikan adanya kelalaian.
Kelalaian itu harus dibuktikan dengan jelas. Harus dibuktikan dahulu bahwa dokter
itu telah melakukan ‘breach of duty’.
Damage berarti kerugian yang diderita pasien itu harus berwujud dalam bentuk
fisik, finansial, emosional atau berbagai kategori kerugian lainnya, di dalam
kepustakaan dibedakan menjadi kerugian umum (general da-mages) termasuk
kehilangan pendapatan yang akan diterima, kesakitan dan penderitaan dan kerugian
khusus (special damages) kerugian finansial nyata yang harus dikeluarkan, seperti
biaya pengobatan, gaji yang tidak diterima.
Dari segi pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Pidana In-
donesia dan dari sekian banyak pasal-pasal pidana yang menjerat perbuatan
malapraktik yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya dapat dipidana, sebab
jika suatu perbuatan secara formal dan material dapat dikualifikasikan sebagai
perbuatan tercela, maka perbuatan tersebut dapat dipidana (merupakan suatu
delik),8 karena menurut kode etik kedokteran malapraktik merupakan perbuatan
tercela. Sedangkan menurut norma hukum pidana sebagaimana diatur dalam KUHP
malapraktik dapat dipidana berdasarkan Pasal 359 dan 360 KUHP. Pasal 359 terse-
but menyatakan bahwa: “Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya
orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya
satu tahun”.
Dari bunyi pasal ini kita bisa mengambil satu pengertian bahwa matinya orang
ini sama sekali tidak dimaksud dan bukan merupakan tujuan dari pelaku tindak

13
pidana, akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari kurang hati-
hatinya atau lalainya pelaku (culpa delict). Hal ini bisa terjadi ketika seorang dokter
melakukan pembedahan terhadap seorang pasien, tapi ternyata selesai pasien
dibedah ada benda yang tertinggal di dalam tubuh pasien (bisa perban atau alat
pemotong). Ini menimbulkan kematian pasien. Akan tetapi tertinggalnya perban
atau alat pemotong dalam tubuh pasien itu dilakukan tidak dengan sengaja, akan
tetapi karena kelalaiannya atau karena kekurang hati-hatiannya dari dokter tersebut.
Sebab apabila tertinggalnya perban atau alat potong itu dilakukan dengan sengaja,
maka dokter itu bisa dijerat dengan pasal 338 KUHP (pembunuhan biasa) atau pasal
340 KUHP (pembunuhan yang direncanakan). Pasal 360 ayat (1) mengatur bahwa:
“Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-
lamanya satu tahun”. Dalam Pasal 360 ayat (2) diatur pula bahwa: “Barangsiapa
karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu
menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau
pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman
denda setinggi-tingginya Rp.4.500,-”.
Rumusan pasal 360 ayat (1) dan (2) ini, hampir sama dengan rumusan pasal
359. Bedanya terletak pada akibat dari perbuatan pelaku. Kalau pada pasal 359
akibatnya adalah meninggal dunia, tapi dalam pasal 360 ayat (1) akibatnya adalah
orang (pasien) luka berat, sedangkan dalam ayat (2) akibatnya adalah luka
sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat
menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara. Delik Pasal 359 KUHP dan
Pasal 360 ayat (1) dan ayat (2) KUHP yang berwenang melakukan penyidikannya
adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sebagaimana diatur dalam
KUHAP: “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia”.Dari uraian
tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pertanggungjawaban dokter
terhadap pasien dalam hal terjadi malapraktik oleh dokter bisa berupa tanggung
jawab hukum perdata dan pidana.

14
BAB III
KESIMPULAN

Malapraktik secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu tindakan medik

15
“buruk” yang dilakukan dokter dalam hubungannya dengan pasien.

Malapraktik dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu, malapraktik etika


dan malapraktik yuridis, ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.
Malapraktik etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan
etika kedokteran, sedangkan malapraktik yuridis dibagi menjadi tiga yaitu
malapraktik pidana, perdata dan administrative. Ada beberapa sistem atau teori
untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori pembuktian
ini bervariasi menurut waktu dan tempat (negara), yaitu positif wettelijk
bewijstheorie, conviction intime, laconvviction raisonnee dan negatef wettelijk.

Pertanggungjawaban hukum dokter adalah pertanggungjawaban, yaitu suatu


“keterikatan” dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan
profesinya. Tanggung jawab seorang dokter dalam bidang hukum, bisa terjadi
dalam bidang hukum perdata dan pidana.

BAB IV

CONTOH KASUS

16
1. Pasien bernama Nn. S mengaku merasa nyeri usai melakukan olah raga
Muaythai. Korban pun memutuskan untuk mendatangi RS X untuk
memeriksakan kondisinya.Setelah check in dan bertemu dokter internist
pada Selasa, dini hari, Nn. S disarankan untuk melakukan USG guna
mengetahui penyebab sakit yang dirasakan pasien. Hasil USG menunjukkan
jika pasien terindikasi kista, Nn. S pun direkomendasikan untuk bertemu
dokter kandungan berinisial HS. Selasa Pagi, dokter HS melakukan operasi
kista terhadap korban, Selang empat hari pasca operasi, HS memberi tahu
pasien jika dua indung telur Nn. S telah diangkat. Saat itu, Nn. S sudah
hendak check out dari rumah sakit. Nn. S menuturkan jika saat itu dokter
HS belum melakukan pemeriksaam laboraturium terhadap Nn. S. Nn. S
mengaku saat itu dokter mengaku dilema ketika operasi dan memperkirakan
sendiri jika indung telur Nn. S terindikasi kanker, sehingga memutuskan
untuk mengangkat dua indung telur pasien sekaligus tanpa izin pasien.
2. Pada RS Y, seorang anak perempuan, usia 3 tahun, datang diantar kedua
orangtuanya karena mengalami diare dan kembung. Melihat kondisi pasien
tersebut, dr. DV memberikan tindakan medis berupa pemasangan infus,
penyuntikan obat, pemberian obat sirup dan perawatan inap. Keesokan
harinya, dr. WD meminta kepada perawat untuk melakukan penyuntikan
KCL 12,5 ml. Saat tindakan medis diambil, dr. WD tidak melakukan
pengawasan dan pasien tiba-tiba mengalami kejang-kejang dan tak sadarkan
diri. Setelah sepekan masuk rumah sakit, kondisinya masih belum
menunjukan kemajuan. ia masih dalam keandaan koma dengan sejumlah
peralatan medis yang menempel di tubuhnya dan kemudian meninggal
dunia.

17
DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.
249.

Azrul Azwar, 1996, Kriteria Malpraktik dalam Profesi Kesehatan, Makalah


Kongres Nasional IV PERHUKI, Surabaya.

Bambang Heryanto, 2006, Diktat Kuliah Perbuatan Melawan Hukum, Purwokerto:


FH Unsoed, hlm.21

J. Guwandi, 1993, Etika dan Hukum Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia, Jakarta, hlm. 4.

Munir Fuady, 2005, Sumpah Hippocrates Aspek Hukum Malpraktik Dokter,


Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm.2 3

Widiada Gunakarya, “Sifat Melawan Hukum Material vs HAM Dalam


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 16, No. 10,
Februari 2007, hlm. 31.

18

Anda mungkin juga menyukai