KARAKTERISTIK POLIMER
54
55
Gambar 3.1
Injeksi Polimer
(Lake, Lary W., 1989)
3.1.2.1. Rheologi
Larutan polimer adalah fluida non-Newtonian untuk semua range
konsentrasi, yaitu kira-kira 50 – 2000 ppm. Mereka digolongkan sebagai fluida non-
Newtonian karena kelakuan alirannya yang sangat komplek sampai khusus dengan
parameter tunggal, viskositas. Apabila fluida Newtonian adalah sasaran shearing
force, merusak bentuk dan aliran, maka daya tahan dari aliran ini didefenisikan
sebagai perbandingan antara shearing force (shear stress) terhadap laju alir (shear
rate).Untuk fluida Newtonian, harga perbandingan ini konstan dan disebut
viskositas. Persamaannya sebagai berikut:
..........................................................................................................(3-2)
dimana:
= viskositas, cp
= shear stress, dyne/cm2
= shear rate, detik -1
Fluida non-Newtonian tidak dapat dicirikan dengan viskositas karena
perbandingan shear stress dengan shear rate tidak konstan. Kelakuan aliran fluida
non-Newtonian tersebut bisa mengikuti salah satu dari beberapa model aliran
kompleks. Larutan polimer umumnya digolongkan sebagai fluida pseudoplastik
pada semua kondisi. Material pseudoplastik adalah satu yang menunjukkan daya
58
tahan yang rendah selama bertambahnya shearing rate. Secara matematik, rumus
tersebut dikenal sebagai model Power Law:
K n …...................................................................................................(3-3)
(n < 1 untuk fluida pseudoplastik)
dimana K dan n adalah dua parameter yang digunakan untuk
mendefenisikan kelakuan aliran fluida. Jika n = 1, maka penurunan persamaan
untuk fluida Newtonian adalah dengan K sebanding p. Jika perbandingan shear
stress terhadap shear rate dianggap sebagai viskositas nyata untuk fluida
pseudoplastik, pemeriksaan dari rumus diatas menunjukkan bahwa viskositas nyata
menurun selama peningkatan shear rate. Namun, fluida pseudoplastik
menunjukkan viskositas nyata yang besar pada saat mengalir dengan kecepatan
rendah dan viskositas nyata yang lebih kecil pada saat mengalir dengan kecepatan
tinggi.
Pada shear rate yang sangat tinggi (> ~105 sec-1) kurva aliran untuk larutan
polimer mendekati linier dan disebut viskositas pada shear tak terbatas (infinite
shear). Slope pada shear rate yang sangat kecil(< ~10-2sec-1 ) mendekati linier dan
disebut viskositas pada shear rate = nol (Skelland, 1967). Keuntungannya,
penyimpangan dari rumus ini terjadi pada shear rate yang lebih menguntungkan
pada semua kasus. Meskipun larutan polimer mempunyai kelakuan aliran yang
kompleks, viskositas nyata dari fluida ini lebih tinggi dari pada viskositas air, pada
shear rate tinggi yang sama. Hubungan antara viskositas nyata dengan shear rate
(kecepatan aliran) ditunjukkan pada Gambar 3.2.
59
Gambar 3.2.
Viskositas Nyata Vs Shear rate (Kecepatan Aliran)
(Van Pollen, H. K., 1980)
3.1.2.2. Solvent
Molekul polimer dapat dibayangkan sebagai sebuah kumpulan serat
(fibrous agregate). Dalam solvent yang baik, molekul kontak dengan solvent secara
maksimum. Hal ini memberikan kelenturan pada polimer, sehingga kelihatan
seperti gel. Dengan adanya penambahan molekul polimer, maka polimer-polimer
terikat secara maksimum, sehingga menaikkan viskositas nyata dari polimer
(Mungan et al., 1966). Dalam solvent yang buruk, polimer yang kontak dengan
solvent hanya sedikit. Dari mikrografik elektron dapat diketahui pengurangan
ikatan dan struktur polimer yang lebih kaku (rigid) (Herr dan Routson, 1976).
Air suling adalah solvent yang baik untuk polimer. Penambahan garam
elektrolit, akan menetralkan muatan molekul polimer. Dengan terurainya molekul
polimer, gaya yang ada akan membantu menurunnya molekul polimer (Mungan et
al., 1966). Jadi selama konsentrasi garam bertambah, molekul polimer akan
berkerut, menurunkan viskositas larutan, seperti pada Gambar 3.3.
60
Gambar 3.3.
Viskositas Nyata Vs Konsentrasi Garam
(Van Pollen, H. K., 1980)
Gambar 3.4.
Viskositas Larutan Polimer Ionik Vs Shear rate
(Van Pollen, H. K., 1980)
larutan. Akan tetapi, serat alam dari polimer yang ada dapat memungkinkan
meluas dan meningkat, menjadi faktor yang penting (Mungan., 1966). Berat
molekul polimer yang besar menunjukkan viskositas nyata yang lebih besar
daripada berat molekulnya yang rendah pada kondisi yang sama. Pengujian
laboratorium terhadap sebagaian 500 ppm polimer acrylamide terhidrolisis
dengan berat molekul dari 3x10 6 sampai 10x106 menunjukkan bahwa penurunan
mobilitas, faktor resistensi dan permeabilitas meningkat dengan bertambahnya
berat molekul.
3.1.2.4. Hidrolisis
Perluasan hidrolisis mempengaruhi rheologi polimer dan kelakuannya
di dalam reservoir. Martin dan Sherwood (1975) mempelajari dengan memakai
polyacrylamide dan acrylamide terpolimer dalam tingkat range hidrolisis dari 0
– 35 %. Mereka menemukan bahwa viskositas nyata dari sebagian polimer yang
terhidrolisa lebih besar daripada viskositas nyata dari polyacrylamide yang tidak
terhidrolisa. Viskositasnya bertambah dengan tingkat hidrolisa walaupun
perbedaan ini begitu kecil dibandingkan pengaruh hidrolisa awal, seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5.
Viskositas Air Destilasi Vs Hidrolisa
(Van Pollen, H. K., 1980)
62
Gambar 3.6.
Viskositas Vs Konsentrasi NaCl
(Van Pollen, H. K., 1980)
Gambar 3.7.
Viskositas Vs Konsentrasi CaCl
(Van Pollen, H. K., 1980)
63
Gambar 3.8.
Viskositas Vs Shear rate
(Van Pollen, H. K., 1980)
s = viskositas solvent, cp
c = konsentrasi polimer, ppm
Intrinsic viscosity juga penting untuk menentukan ukuran molekul
polimer. Pengaruh shear rate, konsentrasi, berat molekul dan solvent dapat
diamati dengan viskometer kapiler. Kelakuan polimer dalam media berpori sangat
kompleks dibandingkan aliran kapiler, terutama jika ukuran pori media berpori
sama besarnya dengan ukuran molekul polimer.
Gambar 3.9.
Viskositas Nyata Vs Shear rate
(Van Pollen, H. K., 1980)
kw
w M wo
R W .........................................................................(3-5)
P k p M p o
p
Dimana:
λ = mobilitas polimer yang terlarut dalam air, mD/cp
krw;krp = permeabilitas relatif air dan polimer, mD
μp = viskositas larutan polimer, cp
Mw-o ;Mp-o = perbandingan mobilitas air-minyak dan polimer-minyak
3.10. Data tersebut diperoleh dengan mengalirkan 300 ppm polimer ke dalam
volume pori contoh core. Faktor resistensi naik dengan cepat dari 1 menjadi 8
dengan mengamati 20 volume pori pertama yang telah diinjeksikan. Pada injeksi
polimer selanjutnya, harga faktor resistensi tersisa hampir konstan. Polimer
dengan faktor resistensi tinggi dapat digunakan untuk memperbaiki profil plug
lapisan yang lebih permeabel didekat sumur injeksi dan untuk mengurangi variasi
permeabilitas. Polimer dalam bentuk gel dengan cross linker dapat dipakai untuk
memperbaiki reservoir pada zona permeabilitas tinggi yang berada jauh dari
sumur injeksi.
Besarnya harga R yang dapat diperoleh dengan konsentrasi rendah,
secara ekonomis memberikan keuntungan yang lebih besar kepada polimer.
Gambar 3.10.
Faktor Resistensi sebagai fungsi Volume Kumulatif Injeksi
(Kristanto, Dedy, 1999)
3.1.2.8. Adsorpsi
Adsorpsi adalah suatu proses dimana terjadi kontak antara fluida baik
berupa gas maupun cairan, dengan padatan, dimana zat-zat dalam fluida tersebut
diserap oleh permukaan padatan, sehingga terjadi perubahan komposisi dalam
fluida yang tidak teradsorpsi. Proses adsorpsi biasanya ditandai dengan adanya
perpindahan massa dari cairan ke padatan (Sherwood, 1975).
Uji keseimbangan adsorpsi statik telah dilakukan dengan sejumlah
polimer, terutama polyacrylamide. Polimer teradsorpsi pada permukaan sebagian
besar mineral reservoir. Percobaan khusus digunakan untuk menentukan adsorpsi
statik yang memberikan agitasi kecil dari larutan polimer yang kontak dengan
mineral adsorpsi. Adsorpsi bertambah dengan naiknya konsentrasi polimer, paling
sedikit sampai 500 ppm polimer, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.11.
68
Gambar 3.11.
Adsorpsi Vs Konsentrasi Polimer
(Van Pollen, H. K., 1980)
L A w L
tw .........................................................................................(3-6)
Vw q
dimana:
L = panjang, cm
Vw = kecepatan air asin, cm/dt
w = porositas efektif air, fraksi
A = luas daerah, cm2
Q = laju volumetris, cc/dt
Konsentrasi front saat tiba di ujung media berpori sesuai waktu yang
dibutuhkan untuk injeksi sebenarnya adalah satu volume pori air asin. Apabila
pengujian diulang dengan mengguankan larutan polimer, pengaruh adsorpsi
dihilangkan dengan preflushing media berpori dengan polimer paling sedikit sama
dengan konsentrasi yang digunakan untuk mendapatkan konsentrasi front. Waktu
yang dibutuhkan untuk melewati media berpori lebih rendah daripada yang
dibutuhkan oleh air. Walapun laju injeksi sama, konsentrasi front untuk polimer
tercapai lebih cepat daripada konsentrasi front untuk air.
L A p L
tp ...........................................................................................(3-7)
Vp q
dimana: (tp<tw)
p = porositas efektif polimer, fraksi
70
Hubungan matematik memakai dua parameter : "r" , berarti jarak ujung ke ujung
dan "s" berarti radius putaran atau jarak dari elemen-elemen rantai ke pusat gaya
beratnya. Floory (1953) mengembangkan persamaan untuk polimer non ionik,
yaitu:
r 2 8(W )1 / 3 ..........................................................................................(3-8)
dan untuk polimer linier:
r 2 6 s 2 ..............................................................................................(3-9)
dimana:
r = jarak dari ujung ke ujung molekul polimer, mikron
W = berat molekul polimer
= viskositas sebenarnya, cp
S = radius putaran molekul polimer, mikron
Lynch and Mac William (1969) memakai persamaan Flory untuk polimer
ionik dan menghitung sebuah harga "r" sebesar 0,28 mikron untuk berat molekul
polyacrylamide 3 juta dalam 3 % air asin. Pendekatan untuk percobaan
dimanfaatkan oleh Gogarty (1966) dengan menyaring beberapa larutan
polyacrylamide dengan filter milipore dengan ukuran lubang yang berbeda-beda.
Retention polimer yang ditemukan sedikit untuk filter dengan diameter lubang 1
mikron atau lebih. Gorgaty menyimpulkan bahwa ukuran efektif kelompok polimer
antara 0,45 - 0,8 mikron. Ukuran-ukuran tersebut kemungkinan lebih besar daripada
ukuran polimer untuk air yang diakibatkan oleh hidrasi.
Smith (1970) melakukan pengujian yang sama dan diperoleh data yang
sama. Pada kasus ini retention polimer menjadi berarti bila lubang filter 0,7 mikron
atau kurang. Hal ini memberi kesan ukuran polimer sedikit lebih kecil daripada
yang dikemukan oleh Gorgaty.
pasir Barea menunjukkan sekitar 14% diameter pori menjadi lebih kecil dari 1
mikron, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.12.
Gray and Rex (1966) meneliti perpindahan clay pada batu pasir Barea.
Ukuran partikel clay maksimum yang ditemukan sebesar 0,3 mikron. Mika yang
diperlukan untuk menggantikannya adalah mempunyai lebar 0,3 mikron dan
panjang 1-5 mikron. Penelitian yang sama dilakukan oleh Rhudy (1966). Suspensi
yang lolos dari filter milipori adalah 1,2 mikron, yang dapat menurunkan
permeabilitas core batu pasir Berea. Penurunan permeabilitas tersebar terjadi
didekat permukaan injeksi yang menunjukkan penyumbatan progresif.
Data-data tersebut menggambarkan mekanisme volume pori yang tidak
dapat dimasuki dan penjebakan. Walaupun media berpori biasanya mempunyai
distribusi diameter pori yang sangat besar (>103), pada umumnya adalah merupakan
fraksi penting yang tidak jauh berbeda dengan ukuran molekul polimer. Apabila
media berpori mempunyai diameter yang sangat kecil dalam range 1 mikron,
efektivitas polimer sebagai penurunan permeabilitas berkurang
secara jelasnya, penelitian yang dilakukan oleh Jennings et al., (1971)
menggambarkan lebih jelas hubungan ini seperti ditunjukkan pada Gambar 3.13
Gambar 3.12.
Volume Pori Vs Diameter Pori
(Van Pollen, H. K., 1980)
73
Gambar 3.13.
Faktor Resistensi Vs kw/Ф
(Van Pollen, H. K., 1980)
Laju injeksi air asin yang sangat besar setelah injeksi polimer, akan
mengurangi pengaruhnya terhadap permeabilitas sisa. Sedangkan gradien tekanan
dan kecepatan yang tinggi akan memperbesar volume polimer yang diinjeksikan.
75
Gambar 3.14.
Penurunan Permeabilitas Vs Volume Pori Fluida
(Van Pollen, H. K., 1980)
Gambar 3.15.
Screen Viscometer
(Carcoana, Aurel, 1992)
Gambar 3.16.
Penurunan Viskositas Vs Shear rate
(Van Pollen, H. K., 1980)
Gambar 3.17
Rumus Dasar Acrylamide
(Donaldson, Earl C., 1989)
Gambar 3.18
Rumus Dasar Polimer Secara Kimiawi
(Donaldson, Earl C., 1989)
Polyacrylamide relatip lebih tahan terhadap serangan bakteri, zat ini efektif
bila digunakan pada reservoir yang mempunyai salinitas 1%. Pada reservoir
dengan harga salinitas yang tinggi, polyacrylamide akan kehilangan kemampuan
untuk mengentalkan air. Polysaccaride atau "biopolimer", dibuat dari proses
fermentasi dengan menggunakan bakteri. Salah satu bakteri yang digunakan
adalah Xanthomonas campestris atau biasa disebut "Xanthan gum".
Polysacharide lebih tahan terhadap shear degradation dan salinitas dibandingkan
dengan polyacrylamide. Oleh karena itu banyak digunakan pada reservoir dengan
salinitas sedang. Polysacharide yang telah terlarut ini akan digunakan untuk
mengontrol mobilitas (mobility control agent), maka polimer tersebut harus
dijaga dari serangan bakteri, yaitu dengan memakai biocedes dan oxygen
scavegers secara tepat. Kebanyakan bakteri aerobic yang menyerang xanthan
adalah dari jenis pseudomand, dimana mikroba ini selain menurunkan kualitas
polimer juga memproduksi sel-sel dengan diameter 1 micron dan panjang 4
micron. Sel-sel ini lebih besar dari polimer dan dapat menyumbat formasi
(formation plugging) pada sumur injeksi.
B). Rheologi
Larutan polimer yang terdiri atas molekul-molekul raksasa merupakan
fluida non Newtonion, sehingga kelakuan alirannya terlalu kompleks untuk
dinyatakan dalam satu parameter, yaitu viskositas. Rheologi larutan meliputi :
Viscoelastisitas dan relaxation time
79
Aliran laminer
Mengalir dengan arus longitudinal
C). Ukuran Polimer
Ukuran polyimer dapat ditentukan secara matematis atau melakukan
percobaan. Flory (1953) merumuskan untuk polimer non-ionik :
1
r 2 8(W ) 2 ..........................................................................................(3-11)
r 2 6 s 2 .............................................................................................(3-12)
Dimana:
W = berat molekul polimer
s
= viscositas minyak intrinsik = lim
c 0 c s
3.2.1.1. Polysacharide
Polysacharide terbentuk dari proses fermentasi pada bakteri
(biopolimer). Jenis polysacharide yang digunakan dalam proses injeksi adalah
Xanthan Gum, yang merupakan kotoran extracellular yang terbentuk pada
permukaan sel mikroba. Xantan Gum dihasilkan dari aktivitas bakteri
xanthomonas campestris pada media karbohidrat, dengan tambahan protein dan
zat anorganik dari nitrogen.
Polimer diendapkan dari kaldu dengan penambahan alkohol tertentu.
Berat molekul ± 5 juta dan memiliki kerentanan yang relatif lebih besar terhadap
bakteri jika dibandingkan dengan polyacrylamide. Xanthan Gum tidak sensitf
terhadap salinitas dan tahan terhadap kerusakan mekanik, sehingga lebih mudah
menanganinya dalam hubungannya peralatan dilapangan.
Xanthan Gum dapat menyebabkan adanya penyumbatan formasi dan
lemah terhadap serangan bakteri. Problem penyumbatan formasi dapat diperbaiki
dengan filtrasi atau proses penambahan dan bactericides dapat untuk mencegah
degradasi oleh bakteri. Temperatur yang cocok untuk Xanthan Gum adalah 160
0
F. Struktur kimia dari polysacharide dapat dilihat pada Gambar 3.19.
Gambar 3.19.
Struktur Kimia Polysacharide
(Donaldson, Earl C., 1989)
81
3.2.1.2 Polyacrylamide
Molekul polyacrylamide adalah rangkaian molekul yang sangat
panjang dari unit molekul acrylamide. Berat molekul dari polyacrylamide antara
1 sampai 10 juta dan bersifat tahan terhadap serangan bakteri. Polyacrylamide
mudah terkena kerusakan mekanik karena rantainya yang sangat panjang
sehingga mudah putus, pecah. Polyacrylamide lebih sensitif terhadap salinitas
tetapi lebih tahan terhadap serangan bakteri.
Pada penambahan untuk menaikkan viskositas, polyacrylamide
merubah permeabilitas batuan reservoir, dan ini juga menurunkan mobilitas air
injeksi. Jika permeabilitas batuan reservoir rendah, maka polimer dengan
konsentrasi rendah dapat digunakan untuk memperoleh kestabilan mobilitas yang
sama. Struktur kimia dari polysacharide dapat dilihat pada Gambar 3.20.
Gambar 3.20.
Struktur Kimia Polyacrilamide
(Donaldson, Earl C., 1989)
membutuhkan analisa yang tepat terhadap suatu reservoir, oleh karena itu studi
pendahuluan merupakan faktor yang penting.
Minyak dan air adalah fluida yang tak dapat bercampur. Akibatnya,
keduanya tidak bisa sepenuhnya menggantikan yang lain dari reservoir minyak ini
adalah tercermin dalam air yang tidak dapat direduksi dan saturasi minyak sisa
(saturation oil residual) pada kurva relatif-permeabilitas. Terlepas dari itu jumlah
air yang mengalir melalui sistem, saturasi minyak tidak akan dikurangi di bawah
saturation oil residual. Dalam injeksi polimer, polimer yang larut dalam air
ditambahkan ke water flooding. Ini meningkatkan viskositas air. Tergantung pada
jenis polimer digunakan, permeabilitas yang efektif terhadap air dapat berkurang di
zona penyapuan. Injeksi polimer tidak berkurang jumlah saturation oil residual,
tetapi lebih merupakan cara untuk mencapai saturation oil residual lebih cepat atau
membiarkannya tercapai secara ekonomis. Ada tiga cara potensial di mana injeksi
polimer bisa membuat proses recovery minyak lebih efisien:
melalui efek polimer pada aliran pecahan
dengan menurunkan rasio mobilitas air / minyak
dengan mengalihkan air yang diinjeksi dari zona yang telah disapu.
Pelaksanaan operasi injeksi polimer di lapangan pada garis besarnya
dibagi menjadi dua yaitu : sistem pencampuran dan sistem injeksi polimer.
Gambar 3.21
Mekanisme Injeksi Polimer
(Carcoana, Aurel, 1992)
83
Gambar 3.22.
Diagram Peralatan Pencampur Polimer Kering
(Van Pollen, H. K., 1980)
diisi dengan nitrogen untuk mengeluarkan oksigen yang berasal dari udara. Tangki
tersebut juga merupakan tempat untuk memasukkan oxygen scavenger atau biocide
apabila diperlukan.
Polimer yang telah tercampur kemudian diinjeksi secara langsung
dengan menggunakan pompa piston jenis positive displacement. Apabila
dikhawatirkan akan terjadi penyumbatan permukaan (face plugging), maka
wellhead cartridge filter dapat digunakan untuk memastikan bahwa polimer yang
telah diinjeksikan tidak terjadi penggumpalan gel dari polimer dengan konsentrasi
tinggi.
Persiapan larutan polimer dari polimer emulsi atau persediaan tidak
begitu kompleks. Hanya dibutuhkan pengukuran air dan penambahan zat-zat kimia.
Cairan polimer seringkali disempurnakan dengan mixer statis atau mixer inline
tanpa memakai tangki pencampur yang besar. Polimer konsentrasi yang tinggi
disimpan didalam sebuah tangki dengan menggunakan pompa untuk mengontrol
kecepatan polimer yang masuk ke dalam mixer.
lain karena laju alir total tetap konstan. Namun sistem ini tetap bekerja jika cukup
memonitoring terhadap laju injeksi pada masing-masing sumur.
Injeksi polimer polyacrilamide memerlukan larutan khusus dalam
masalah pengontrolan laju injeksi. Polimer-polimer tersebut rentan terhadap
penurunan shear pada melewati throttling valve. Cara umum yang digunakan
untuk mengontrol laju injeksi adalah dengan menempatkan tubing yang
mempunyai diameter yang relatif kecil. Polimer lebih sensitif terhadap
viscoelastic shear daripada viscous shear didalam pipa orifice atau perlatan yang
serupa, oleh karena itu tubing-tubing tersebut mengontrol aliran tanpa
menurunkan kualitas polimer. Diameter tubing dihitung berdasarkan shear rate
untuk laju aliran yang diinginkan, sedangkan panjang tubing dihitung berdasarkan
tekanan yang harus dihilangkan sebelum memasukkan wellhead.
Gambar 3.23.
Diagram Sistem Manifold untuk Distribusi Fluida Injeksi
(Van Pollen, H. K., 1980)
tambahan yang diharapkan dari injeksi polimer adalah kira-kira sebesar 5% dari
residual oil reserves. Sedangkan untuk sumur-sumur produksi reservoir minyak
dengan solution gas drive, perolehan minyak bertambah kira-kira 25 %. Dan untuk
sumur-sumur produksi dengan water drive, gravity drainage perolehan minyak dapt
dihasilkan sekitar 15 %.
Laju produksi minyak bertambah dari awal injeksi polimer dan WOR
turun drastis. Hasil yang diperoleh dengan menggunakan injeksi polimer selama ini
dapat meningkatkan sekitar 66% dari OOIP. Karakteristik reservoir setelah injeksi
polimer dapat dilihat pada Gambar 3.24.
Gambar 3.24.
Karakteristik Reservoir Setelah Injeksi Polimer
(Kristanto, Dedy, 1999)
87
Tabel III-3
Kriteria Seleksi Injeksi Polimer
(Aurel Carcoana, 1992)