Anda di halaman 1dari 34

BAB III

KARAKTERISTIK POLIMER

Pertumbuhan industri minyak yang cepat, meningkatnya kebutuhan bahan


bakar fosil, penemuan cadangan minyak yang menurun dan sulit ditemukan, serta
penurunan produksi yang diperoleh dari aset yang sudah tua menyebabkan industri
minyak menerapkan metode produksi alternatif. Metode yang paling umum untuk
diterapkan adalah teknik enhanced oil recovery (EOR). Salah satu metode EOR
yang paling diterapkan saat ini adalah injeksi polimer. Proses injeksi ini sangat
tergantung pada karakteristik aliran, heterogenitas batuan dan interaksi antara
fluida-batuan. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi tertentu untuk memahami
mekanisme injeksi. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan simulator
reservoir. Studi ini dilakukan melalui analisis komparatif dari 4 (empat) jenis
injeksi yaitu injeksi air, injeksi polimer, injeksi surfaktan, dan injeksi surfaktan-
polimer. Dapat dilihat bahwa injeksi polimer bisa menyapu minyak yang
terkandung dalam zona permeabilitas rendah sekitar 4% dari saturasi minyak
sebelumnya.

3.1. Injeksi Polimer (Polymer Injection)


Injeksi polimer merupakan injeksi air yang disempurnakan, yaitu dengan
menambahkan bahan pengental (polimer) ke dalam air injeksi kemudian
diinjeksikan ke dalam reservoir dengan tujuan untuk memperbaiki sifat fluida
pendorong sehingga dapat meningkatkan perolehan minyak. Polimer dapat
meningkatkan viskositas fluida pendorong dan dapat memperbaiki perbandingan
mobilitas antara air-minyak, hal ini akan meningkatkan efisiensi penyapuan dari
fluida pendorong.
Efektivitas injeksi polimer terhadap peningkatan efisiensi penyapuan
dipengaruhi oleh heterogenitas reservoir dan perbandingan mobilitas. Proses
pendesakan injeksi polimer adalah dengan menginjeksikan preflush untuk

54
55

mengkondisikan reservoir kemudian menambahkan oil bank selanjutnya


menginjeksikan larutan polimer untuk kontrol mobility dan fresh water buffer untuk
melindungi viskositas larutan polimer dari kontak langsung dengan air formasi
kemudian fluida pendorong (water), yang ditunjukkan pada Gambar 3.1
Jika minyak reservoir lebih sukar bergerak dibandingkan dengan air
pendesak, maka air cenderung menerobos minyak, hal ini akan menyebabkan air
cepat terproduksi, sehingga effisiensi pendesakan dan recovery minyak rendah.
Pada kondisi reservoir seperti diatas, injeksi polimer dapat digunakan. Polymer
yang terlarut dalam air injeksi akan mengentalkan air, mengurangi mobilitas air dan
mencegah air menerobos minyak. Dua hal yang perlu diperhatikan dalam injeksi
polymer adalah heterogenitas reservoir dan perbandingan mobilitas fluida reservoir.

Gambar 3.1
Injeksi Polimer
(Lake, Lary W., 1989)

3.1.1. Heterogenitas Reservoir dan Perbandingan Mobilitas.


Reservoir minyak pada umumunya terdiri dari banyak lapisan dengan sifat
yang heterogen. Adanya variasi permeabilitas dan rekahan akan berpengaruh
terhadap efisiensi penyapuan vertikal dan penyapuan areal. Polimer, dapat
56

mengurangi kerugian akibat variasi permeabilitas dan rekahan sehingga dapat


memperbaiki efisiensi penyapuan.
Efisiensi penyapuan volumetrik merupakan ukuran pengaruh tiga dimensi
dari heterogenitas reservoir. Hasil tersebut merupakan hasil dari pola penyapuan
vertikal dan horizontal. Effisiensi penyapuan volumetrik didefinisikan sebagai
volume pori resevoir yang terkena kontak dengan fluida injeksi dibagi dengan
volume pori total (Townsend et al, 1977).
Bisa dikatakan bahwa effisiensi penyapuan vertikal merupakan fungsi dari
karakteristik reservoir itu sendiri, sementara effisiensi penyapuan horizontal
merupakan fungsi dari karakteristik reservoir dan lokasi sumur. Efisiensi
penyapuan juga dipengaruhi oleh perbandingan mobilitas antara fluida pendesak
dengan fluida yang didesak. Injeksi polimer dapat memperbaiki perbandingan
mobilitas antara air dengan minyak, yaitu dengan menaikkan viskositas air sehingga
perbandingan mobilitas antara air-minyak dapat turun dan akhirnya akan dapat
menaikkan efisiensi penyapuan.
Meskipun tidak terdapat heterogenitas reservoir, effisiensi penyapuan dapat
menjadi rendah karena adanya perbandingan mobilitas yang tidak menguntungkan.
Mobilitas fluida dalam reservoir didefinisikan sebagai permeabilitas media
terhadap fluida dibagi dengan viscositas fluida. Cara umum yang digunakan untuk
menentukan perbandingan mobilitas adalah menggunakan permeabilitas efektif air
pada saturasi minyak sisa dan permeabilitas efektif minyak pada saturasi air
interstitial, yang dinyatakan :
Kw @ Sor
w
M ..............................................................................................(3-1)
Ko @ Swi
o
Polimer dapat memperbaiki perbandingan mobilitas, sehingga dapat
meningkatkan effisiensi penyapuan dan juga effisiensi pendesakan dalam reservoir.
57

3.1.2. Mekanisme Pendesakan


Penurunan perbandingan mobilitas air-minyak telah menjadi tujuan dari
beberapa proses EOR yang lain seperti injeksi panas dan injeksi tercampur
(miscible flooding). Di sisi lain pemakaian polimer dapat mencapai perbandingan
mobilitas yang lebih rendah dengan menaikkan viskositas efektif air, sebagai
fluida pendorong. Walaupun naiknya viskositas efektif adalah petunjuk bahwa
larutan polimer mencapai perbandingan mobilitas yang rendah, ini bukanlah cara
yang penting. Beberapa mekanisme yang ada akan dibicarakan lebih lanjut.

3.1.2.1. Rheologi
Larutan polimer adalah fluida non-Newtonian untuk semua range
konsentrasi, yaitu kira-kira 50 – 2000 ppm. Mereka digolongkan sebagai fluida non-
Newtonian karena kelakuan alirannya yang sangat komplek sampai khusus dengan
parameter tunggal, viskositas. Apabila fluida Newtonian adalah sasaran shearing
force, merusak bentuk dan aliran, maka daya tahan dari aliran ini didefenisikan
sebagai perbandingan antara shearing force (shear stress) terhadap laju alir (shear
rate).Untuk fluida Newtonian, harga perbandingan ini konstan dan disebut
viskositas. Persamaannya sebagai berikut:


 ..........................................................................................................(3-2)

dimana:
 = viskositas, cp
 = shear stress, dyne/cm2
 = shear rate, detik -1
Fluida non-Newtonian tidak dapat dicirikan dengan viskositas karena
perbandingan shear stress dengan shear rate tidak konstan. Kelakuan aliran fluida
non-Newtonian tersebut bisa mengikuti salah satu dari beberapa model aliran
kompleks. Larutan polimer umumnya digolongkan sebagai fluida pseudoplastik
pada semua kondisi. Material pseudoplastik adalah satu yang menunjukkan daya
58

tahan yang rendah selama bertambahnya shearing rate. Secara matematik, rumus
tersebut dikenal sebagai model Power Law:

  K n …...................................................................................................(3-3)
(n < 1 untuk fluida pseudoplastik)
dimana K dan n adalah dua parameter yang digunakan untuk
mendefenisikan kelakuan aliran fluida. Jika n = 1, maka penurunan persamaan
untuk fluida Newtonian adalah dengan K sebanding p. Jika perbandingan shear
stress terhadap shear rate dianggap sebagai viskositas nyata untuk fluida
pseudoplastik, pemeriksaan dari rumus diatas menunjukkan bahwa viskositas nyata
menurun selama peningkatan shear rate. Namun, fluida pseudoplastik
menunjukkan viskositas nyata yang besar pada saat mengalir dengan kecepatan
rendah dan viskositas nyata yang lebih kecil pada saat mengalir dengan kecepatan
tinggi.
Pada shear rate yang sangat tinggi (> ~105 sec-1) kurva aliran untuk larutan
polimer mendekati linier dan disebut viskositas pada shear tak terbatas (infinite
shear). Slope pada shear rate yang sangat kecil(< ~10-2sec-1 ) mendekati linier dan
disebut viskositas pada shear rate = nol (Skelland, 1967). Keuntungannya,
penyimpangan dari rumus ini terjadi pada shear rate yang lebih menguntungkan
pada semua kasus. Meskipun larutan polimer mempunyai kelakuan aliran yang
kompleks, viskositas nyata dari fluida ini lebih tinggi dari pada viskositas air, pada
shear rate tinggi yang sama. Hubungan antara viskositas nyata dengan shear rate
(kecepatan aliran) ditunjukkan pada Gambar 3.2.
59

Gambar 3.2.
Viskositas Nyata Vs Shear rate (Kecepatan Aliran)
(Van Pollen, H. K., 1980)

3.1.2.2. Solvent
Molekul polimer dapat dibayangkan sebagai sebuah kumpulan serat
(fibrous agregate). Dalam solvent yang baik, molekul kontak dengan solvent secara
maksimum. Hal ini memberikan kelenturan pada polimer, sehingga kelihatan
seperti gel. Dengan adanya penambahan molekul polimer, maka polimer-polimer
terikat secara maksimum, sehingga menaikkan viskositas nyata dari polimer
(Mungan et al., 1966). Dalam solvent yang buruk, polimer yang kontak dengan
solvent hanya sedikit. Dari mikrografik elektron dapat diketahui pengurangan
ikatan dan struktur polimer yang lebih kaku (rigid) (Herr dan Routson, 1976).
Air suling adalah solvent yang baik untuk polimer. Penambahan garam
elektrolit, akan menetralkan muatan molekul polimer. Dengan terurainya molekul
polimer, gaya yang ada akan membantu menurunnya molekul polimer (Mungan et
al., 1966). Jadi selama konsentrasi garam bertambah, molekul polimer akan
berkerut, menurunkan viskositas larutan, seperti pada Gambar 3.3.
60

Gambar 3.3.
Viskositas Nyata Vs Konsentrasi Garam
(Van Pollen, H. K., 1980)

Pseudoplastik alamiah dari penambahan larutan polimer masih


merupakan variabel lain dari pengaruh solvent. Pada shear rate rendah, polimer
mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk berikatan dalam solvent, sehingga
akan meningkatkan viskositas nyata. Pada shear rate yang tinggi, kesempatan
polimer untuk berikatan menjadi berkurang, sehingga pengaruh yang merusak dari
garam lebih kecil. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 3.4

Gambar 3.4.
Viskositas Larutan Polimer Ionik Vs Shear rate
(Van Pollen, H. K., 1980)

3.1.2.3. Berat Molekul


Apabila molekul polimer sangat padat, maka tidak ada bidang yang
berinteraksi, sehingga berat molekul akan sedikit mempengaruhi viskositas
61

larutan. Akan tetapi, serat alam dari polimer yang ada dapat memungkinkan
meluas dan meningkat, menjadi faktor yang penting (Mungan., 1966). Berat
molekul polimer yang besar menunjukkan viskositas nyata yang lebih besar
daripada berat molekulnya yang rendah pada kondisi yang sama. Pengujian
laboratorium terhadap sebagaian 500 ppm polimer acrylamide terhidrolisis
dengan berat molekul dari 3x10 6 sampai 10x106 menunjukkan bahwa penurunan
mobilitas, faktor resistensi dan permeabilitas meningkat dengan bertambahnya
berat molekul.

3.1.2.4. Hidrolisis
Perluasan hidrolisis mempengaruhi rheologi polimer dan kelakuannya
di dalam reservoir. Martin dan Sherwood (1975) mempelajari dengan memakai
polyacrylamide dan acrylamide terpolimer dalam tingkat range hidrolisis dari 0
– 35 %. Mereka menemukan bahwa viskositas nyata dari sebagian polimer yang
terhidrolisa lebih besar daripada viskositas nyata dari polyacrylamide yang tidak
terhidrolisa. Viskositasnya bertambah dengan tingkat hidrolisa walaupun
perbedaan ini begitu kecil dibandingkan pengaruh hidrolisa awal, seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5.
Viskositas Air Destilasi Vs Hidrolisa
(Van Pollen, H. K., 1980)
62

Selama penambahan garam, besarnya pengaruh hidrolisis berkurang,


CaCl2 divalen mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada NaCI monovalen.
Pada kenyataannya, untuk konsentrasi CaCI yang lebih besar dari 0,1% berat
polimer terhidrolisa memperlihatkan viskositas nyata yang lebih besar daripada
polimer yang terhidrolisa. Kenyataan ini tidak pernah diamati dengan NaCI yang
sama pada konsentrasi sebesar 10% (Gambar 3.6 dan Gambar 3.7)

Gambar 3.6.
Viskositas Vs Konsentrasi NaCl
(Van Pollen, H. K., 1980)

Gambar 3.7.
Viskositas Vs Konsentrasi CaCl
(Van Pollen, H. K., 1980)
63

Martin dan Sherwood (1975) mengamati hubungan polimer retention


dengan turunnya mobilitas polimer dalam media berpori. Mereka menemukan
bahwa polimer retention berkurang selama tingkat hidrolisa meningkat. Walapun
retention dari polimer terhidrolisa ini berkurang, mobilitas polimer terhidrolisa
lebih kecil daripada mobilitas polimer tak terhidrolisa.

3.1.2.5. Konsentrasi Polimer


Konsentrasi polimer yang bertambah akan meningkatkan viskositas
larutan, yang merupakan pengaruh massa selama molekul polimer banyak
terlarut. Bagaimana juga, kenaikan viskositas tidak sebanding dengan kenaikan
konsentrasi pada shear rate yang rendah. Selama konsentrasi polimer bertambah,
reaksi ikatan intermolekul akan semakin bertambah. Terjadinya ikatan ini akan
menaikkan shear stress dan merupakan kelakuan pseudoplastik. Sebaliknya, pada
konsentrasi polimer rendah (<50 ppm) kesempatan berikatan akan berkurang,
sehingga viskositas turun dan larutan mendekati kelakuan aliran Newtonian
(Mungan et al., 1966) Gambar 3.8.

Gambar 3.8.
Viskositas Vs Shear rate
(Van Pollen, H. K., 1980)

Faktor mengontrol viskositas larutan polimer cukup banyak, sehingga


perbandingan efektivitas polimer secara langsung sulit menggunakan viskositas
yang terukur. Untuk mengatasi masalah ini adalah dengan membandingkan
64

intrinsic viscosity dari polimer. Intrinsic viscosity didefenisikan sebagai viskositas


larutan polimer dikurangi viskositas solvent dibagi hasil kali viskositas solvent
dengan konsentrasi polimer selama mendekati nol (Ford and Kelldorf, 1975).
  s
  c lim 0 ...........................................................................................(3-4)
c s
dimana:
η = Intrinsic viscosity, cp
 = viskositas larutan polimer, cp

s = viskositas solvent, cp
c = konsentrasi polimer, ppm
Intrinsic viscosity juga penting untuk menentukan ukuran molekul
polimer. Pengaruh shear rate, konsentrasi, berat molekul dan solvent dapat
diamati dengan viskometer kapiler. Kelakuan polimer dalam media berpori sangat
kompleks dibandingkan aliran kapiler, terutama jika ukuran pori media berpori
sama besarnya dengan ukuran molekul polimer.

3.1.2.6. Penurunan Permeabilitas


Kelakuan polimer dalam media berpori akan mempunyai viskositas
yang lebih tinggi daripada viskositas polimer yang diukur dalam capillary flow.
Mobilitas polimer lebih rendah daripada perkiraan sebelumnya, seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.9.
65

Gambar 3.9.
Viskositas Nyata Vs Shear rate
(Van Pollen, H. K., 1980)

Pemeriksaan dari persamaan Dacry memberi kesan bahwa ini


menurunkan mobilitas yang tidak diharapkan. Hal yang diharapkan adalah
menurunkan permeabilitas relatif dari media berpori untuk polimer. Alasan yang
dikemukakan untuk menjelaskan penurunan permeabilitas ini dapat diambil dari
gabungan penurunan mobilitas. Penurunan mobilitas adalah hasil kali dari
kenaikan viskositas nyata dan penurunan permeabilitas yang sangat besar, sama
untuk konsentrasi polimer yang sangat kecil. Ukuran penurunan mobilitas disebut
sebagai faktor resistensi, dan secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:

kw
  w M wo
R W   .........................................................................(3-5)
P k p M p o
p

Dimana:
λ = mobilitas polimer yang terlarut dalam air, mD/cp
krw;krp = permeabilitas relatif air dan polimer, mD
μp = viskositas larutan polimer, cp
Mw-o ;Mp-o = perbandingan mobilitas air-minyak dan polimer-minyak

Plot antara faktor resistensi R sebagai fungsi perbandingan V inj/VP


(volume kumulatif fluida injeksi per volume pori) dapat dilihat pada Gambar
66

3.10. Data tersebut diperoleh dengan mengalirkan 300 ppm polimer ke dalam
volume pori contoh core. Faktor resistensi naik dengan cepat dari 1 menjadi 8
dengan mengamati 20 volume pori pertama yang telah diinjeksikan. Pada injeksi
polimer selanjutnya, harga faktor resistensi tersisa hampir konstan. Polimer
dengan faktor resistensi tinggi dapat digunakan untuk memperbaiki profil plug
lapisan yang lebih permeabel didekat sumur injeksi dan untuk mengurangi variasi
permeabilitas. Polimer dalam bentuk gel dengan cross linker dapat dipakai untuk
memperbaiki reservoir pada zona permeabilitas tinggi yang berada jauh dari
sumur injeksi.
Besarnya harga R yang dapat diperoleh dengan konsentrasi rendah,
secara ekonomis memberikan keuntungan yang lebih besar kepada polimer.

Gambar 3.10.
Faktor Resistensi sebagai fungsi Volume Kumulatif Injeksi
(Kristanto, Dedy, 1999)

3.1.2.7. Polimer Retention


Selama larutan polimer mengalir ke dalam batuan porous, sejumlah
molekul polimer tertahan dari larutannya karena adsorpsi dan terjebak (trapping).
Hal ini menjadi perhatian jika berpengaruh terhadap penurunan viskositas.
Larutan polimer dapat lebih banyak kehilangan efektivitasnya karena proses
retensi. Disisi lain, tertahannya molekul-molekul polimer akan mengurangi
permeabilitas air dan dapat membentuk plug channel reservoir tempat polimer itu
tertahan. Hal ini dapat diinginkan dalam pengaruh heterogenitas reservoir dan
67

untuk mengontrol profil injeksi. Dari pengamatan dilapangan terhadap polimer


retention berkisar antara 7 - 150 g/m3 batuan. Harga yang cocok agar proyek dapat
berjalan dengan baik harus lebih kecil atau sama dengan 20 g/m 3 batuan.
Retention dari polyacrylamide lebih tinggi daripada biopolimer. Hal ini
disebabkan oleh karena muatan negatif dari polyacrylamide menempel pada
molekul-molekulnya. Polyacrylamide menunjukkan shear thickening pada laju
alir yang tinggi. Penurunan permeabilitas yang disebabkan oleh retention dari
polimer polyacrylamide hampir tidak dapat diubah lagi karena tertahannya
molekul-molekul polimer menjadi sangat sulit untuk dipindahkan dengan
pendesakan.

3.1.2.8. Adsorpsi
Adsorpsi adalah suatu proses dimana terjadi kontak antara fluida baik
berupa gas maupun cairan, dengan padatan, dimana zat-zat dalam fluida tersebut
diserap oleh permukaan padatan, sehingga terjadi perubahan komposisi dalam
fluida yang tidak teradsorpsi. Proses adsorpsi biasanya ditandai dengan adanya
perpindahan massa dari cairan ke padatan (Sherwood, 1975).
Uji keseimbangan adsorpsi statik telah dilakukan dengan sejumlah
polimer, terutama polyacrylamide. Polimer teradsorpsi pada permukaan sebagian
besar mineral reservoir. Percobaan khusus digunakan untuk menentukan adsorpsi
statik yang memberikan agitasi kecil dari larutan polimer yang kontak dengan
mineral adsorpsi. Adsorpsi bertambah dengan naiknya konsentrasi polimer, paling
sedikit sampai 500 ppm polimer, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.11.
68

Gambar 3.11.
Adsorpsi Vs Konsentrasi Polimer
(Van Pollen, H. K., 1980)

Adsorpsi polyacrylamide lebih tinggi daripada biopolimer. Dari


percobaan diketahui bahwa untuk konsentrasi polimer antara 500 sampai 2500 ppm,
adsorpsi yang terjadi pada biopolimer adalah 0,2 - 0,4 mg/m2 permukaan batuan
sedangkan untuk polyacrylamide antara 0,5 - 2,0 mg/m2.
Adsorpsi polimer tergantung pada jenis polimer, komposisi batuan,
salinitas, kekerasan, temperatur dan konsentrasi polimer. Jenis adsorpsi yang terjadi
pada mineral yang berbeda dipakai dalam pengujian. Kalsium karbonat tampak
mempunyai afinitas yang lebih besar daripada silika pada larutan polimer.
Molekul polimer diadsorpsi pada permukaan batuan di lapisan pertama.
Muatan ion polimer mungkin salah satu faktor yang membatasi densitas adsorpsi.
Ukuran polimer juga membatasi densitas adsorpsi akhir, walaupun dari penelitian
menunjukkan molekul polimer paling sedikit menempati ruang pada saat
teradsorpsi daripada saat dalam larutan.
Sparlin (1975), menyatakan bahwa polimer melapisi permukaan batuan
dengan film hidrofilik. Selama air melewati polimer, film tersebut mengembang,
menurunkan permeabilitas efektif. Kehadiran minyak tidak menyebabkan swelling.
Jadi polimer dapat menurunkan mobilitas untuk sebagian besar zona dengan
saturasi minyak rendah, kemudian dapat meningkatkan efisiensi penyapuan.
69

3.1.2.9. Volume Pori Yang Tidak Dapat Dimasuki


Alasan utama berkurangnya kinerja polimer di dalam media berpori
adalah adanya volume pori yang tidak dapat dimasuki. Media tersebut dapat
merupakan media kompak atau tidak, yang mempunyai pori yang sangat kecil. Pori
tersebut dapat dimasuki oleh air tetapi tidak dapat dimasuki oleh molekul polimer
yang lebih besar.
Adanya volume pori yang tidak dapat dimasuki telah dikemukan oleh
Dawson dan Lantz (1972). Jika air diinjeksikan ke dalam media berpori, maka
dibutuhkan waktu untuk melaluinya (tw) yang dapat dihitung dengan rumus:

L A w L
tw   .........................................................................................(3-6)
Vw q
dimana:
L = panjang, cm
Vw = kecepatan air asin, cm/dt
w = porositas efektif air, fraksi
A = luas daerah, cm2
Q = laju volumetris, cc/dt
Konsentrasi front saat tiba di ujung media berpori sesuai waktu yang
dibutuhkan untuk injeksi sebenarnya adalah satu volume pori air asin. Apabila
pengujian diulang dengan mengguankan larutan polimer, pengaruh adsorpsi
dihilangkan dengan preflushing media berpori dengan polimer paling sedikit sama
dengan konsentrasi yang digunakan untuk mendapatkan konsentrasi front. Waktu
yang dibutuhkan untuk melewati media berpori lebih rendah daripada yang
dibutuhkan oleh air. Walapun laju injeksi sama, konsentrasi front untuk polimer
tercapai lebih cepat daripada konsentrasi front untuk air.
L A p L
tp   ...........................................................................................(3-7)
Vp q

dimana: (tp<tw)
p = porositas efektif polimer, fraksi
70

tp = waktu yang dibutuhkan polimer untuk melalui media berpori,


detik
Oleh karena laju injeksi tetap dan geometri media berpori tidak berubah,
maka kecepatan larutan polimer lebih besar. Hal ini mengurangi kenyataan bahwa
porositas efektif larutan polimer lebih kecil daripada porositas efektif air.

3.1.2.10. Penjebakan (Entrapment)


Penyebab yang lain untuk menurunkan permeabilitas dengan larutan
polimer adalah penjebakan. Ini dapat digambarkan seperti variasi volume pori yang
tidak dapat dimasuki. Pori-pori yang tidak dapat dimasuki oleh polimer dianggap
sebagai rongga pori yang mempunyai lubang kecil di satu ujung dan lubang besar
diujung lain. Walaupun lubang permukaan media berpori bagian atas besar
sehingga polimer dapat masuk kedalamnya, tetapi polimer tersebut tidak dapat
keluar. Polimer tersebut terjebak. Kemungkinan dari mekanisme ini diperbesar oleh
sifat molekul polyacrylamide. Pada saat mengalir, molekul memanjang,
menyesuaikan diri dengan pola aliran dan dapat dengan mudah masuk ke lubang
pori yang relatif kecil. Setelah sampai pada lingkungan dengan shear rate yang
rendah (Sparlin, 1975), polimer menggulung, diameter efektif bertambah dan
mengurangi kemungkinan molekul bisa disiram keluar dari rongga pori.
Mangan et al., (1966) menunjukkan pengaruh penjebakan polimer
didalam core batu pasir dan alundum. Szabo (1975) mempelajari hal yang sama dan
menyimpulkan bahwa adsorpsi adalah mekanisme yang dominan dalam
permeabilitas core, tetapi penjebakan lebih penting pada permabilitas batuan yang
rendah. Penjebakan harus dibedakan dari penyumbatan, karena polimer terjebak
masih mempunyai cukup kebebasan untuk mengalirkan minyak pada saat cairan
tidak mengalir. Penyumbatan fisik adalah kerusakan dari lintasan yang tidak dapat
diubah untuk semua aliran (White et a1.,1972).

3.1.2.11. Ukuran Polimer


Penentuan ukuran polimer dapat dilakukan dengan dua cara, secara
matematik dan percobaan. Terdapat kesesuaian antara kedua pendekatan tersebut.
71

Hubungan matematik memakai dua parameter : "r" , berarti jarak ujung ke ujung
dan "s" berarti radius putaran atau jarak dari elemen-elemen rantai ke pusat gaya
beratnya. Floory (1953) mengembangkan persamaan untuk polimer non ionik,
yaitu:

r 2  8(W )1 / 3 ..........................................................................................(3-8)
dan untuk polimer linier:

r 2  6 s 2 ..............................................................................................(3-9)
dimana:
r = jarak dari ujung ke ujung molekul polimer, mikron
W = berat molekul polimer
 = viskositas sebenarnya, cp
S = radius putaran molekul polimer, mikron
Lynch and Mac William (1969) memakai persamaan Flory untuk polimer
ionik dan menghitung sebuah harga "r" sebesar 0,28 mikron untuk berat molekul
polyacrylamide 3 juta dalam 3 % air asin. Pendekatan untuk percobaan
dimanfaatkan oleh Gogarty (1966) dengan menyaring beberapa larutan
polyacrylamide dengan filter milipore dengan ukuran lubang yang berbeda-beda.
Retention polimer yang ditemukan sedikit untuk filter dengan diameter lubang 1
mikron atau lebih. Gorgaty menyimpulkan bahwa ukuran efektif kelompok polimer
antara 0,45 - 0,8 mikron. Ukuran-ukuran tersebut kemungkinan lebih besar daripada
ukuran polimer untuk air yang diakibatkan oleh hidrasi.
Smith (1970) melakukan pengujian yang sama dan diperoleh data yang
sama. Pada kasus ini retention polimer menjadi berarti bila lubang filter 0,7 mikron
atau kurang. Hal ini memberi kesan ukuran polimer sedikit lebih kecil daripada
yang dikemukan oleh Gorgaty.

3.1.2.12. Ukuran Pori


Penelitian untuk menentukan ukuran pori media reservoir menunjukkan
bahwa pori-pori yang lebih kecil mempunyai ukuran yang sama dengan molekul
polimer. Pengujian dengan mercury porosimeter oleh Thomas (1975) terhadap batu
72

pasir Barea menunjukkan sekitar 14% diameter pori menjadi lebih kecil dari 1
mikron, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.12.
Gray and Rex (1966) meneliti perpindahan clay pada batu pasir Barea.
Ukuran partikel clay maksimum yang ditemukan sebesar 0,3 mikron. Mika yang
diperlukan untuk menggantikannya adalah mempunyai lebar 0,3 mikron dan
panjang 1-5 mikron. Penelitian yang sama dilakukan oleh Rhudy (1966). Suspensi
yang lolos dari filter milipori adalah 1,2 mikron, yang dapat menurunkan
permeabilitas core batu pasir Berea. Penurunan permeabilitas tersebar terjadi
didekat permukaan injeksi yang menunjukkan penyumbatan progresif.
Data-data tersebut menggambarkan mekanisme volume pori yang tidak
dapat dimasuki dan penjebakan. Walaupun media berpori biasanya mempunyai
distribusi diameter pori yang sangat besar (>103), pada umumnya adalah merupakan
fraksi penting yang tidak jauh berbeda dengan ukuran molekul polimer. Apabila
media berpori mempunyai diameter yang sangat kecil dalam range 1 mikron,
efektivitas polimer sebagai penurunan permeabilitas berkurang
secara jelasnya, penelitian yang dilakukan oleh Jennings et al., (1971)
menggambarkan lebih jelas hubungan ini seperti ditunjukkan pada Gambar 3.13

Gambar 3.12.
Volume Pori Vs Diameter Pori
(Van Pollen, H. K., 1980)
73

Gambar 3.13.
Faktor Resistensi Vs kw/Ф
(Van Pollen, H. K., 1980)

3.1.2.13. Pengaruh Viskoelastik


Larutan polimer dicirikan sebagai fluida pseudoplastik yang
memperlihatkan penurunan viskositas dengan naiknya shear rate. Model ini hampir
menunjukkan kelakuan aliran polimer pada semua shear rate kecuali laju shear
yang sangat tinggi di dekat sumur injeksi. Pada laju shear yang sangat tinggi ini,
larutan polimer kehilangan pseudoplastik alamiahnya dan memperlihatkan
kenaikkan viskositas dengan bertambahnya shear rate. Fluida seperti ini
digolongkan sebagai fluida "dilatant".
Kenyataannya, larutan polimer tidak benar-benar merupakan fluida
dilatant. Ia hanya kelihatannya mempunyai sifat aliran dilatant pada shear rate
yang sangat tinggi dalam media berpori, karena sifat viskoelastiknya. Fluida
viskoelastik berkelakuan seperti cairan kental pada shear rate yang rendah dan
seperti padatan elastik pada shear rate yang tinggi (Maeker, 1974).
Untuk membandingkan kekentalan pada sifat-sifat elastik dapat
menggunakan model mekanik. Fluida kental (viscous) dianalogikan sebagai
penahan tekanan (shock absorber), dimana gaya penahan tekanan sebanding
dengan laju deformasi. Sedangkan padatan elastik dianalogikan sebagai per
(pegas) dimana gaya dalam pegas sebanding dengan deformasi.
74

Pada saat polimer mengalir dalam media berpori, sifat-sifat elastiknya


diperlihatkan sebagai daya tahan terhadap perubahan arah aliran. Perubahan
tersebut merupakan hasil dari perubahan diameter pori atau tortuosity (White
et.al.,1972). Perubahan-perubahan tersebut dapat terukur sebagai kenaikkan
resistensi atau daya tahan aliran didalam reservoir. Pengaruh-pengaruh tersebut
hanya terjadi didekat permukaan sumur injeksi pada laju injeksi yang tinggi.
Pengaruh elastik akan terjadi di dalam media dengan pori-pori kecil yang
mempunyai permeabilitas rendah.

3.1.2.14. Resistensi Residual


Proses adsorpsi polimer dan penjebakan merupakan proses yang dapat
berbalik, sehingga akan terdapat polimer yang tertinggal dalam reservoir setelah
injeksi polimer. Pengaruh keberadaan polimer tersebut masih ada pada saat
dilakukan injeksi air yang dilakukan setelah injeksi polimer. Pengaruh akhir ini
dapat dilihat pada Gambar 3.14.
Ukuran penurunan permeabilitas air setelah dialiri polimer disebut
faktor resistensi residual, Rr yang secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
(krw /  w ) sebelum injeksi po limer
RR  .................................................................(3-10)
(krw /  w ) setelah injeksi po lim er

Laju injeksi air asin yang sangat besar setelah injeksi polimer, akan
mengurangi pengaruhnya terhadap permeabilitas sisa. Sedangkan gradien tekanan
dan kecepatan yang tinggi akan memperbesar volume polimer yang diinjeksikan.
75

Gambar 3.14.
Penurunan Permeabilitas Vs Volume Pori Fluida
(Van Pollen, H. K., 1980)

3.1.2.15. Shear Degradation


Shear degradation merupakan faktor langsung yang berpengaruh
terhadap penurunan mobilitas polimer dalam media berpori, hal ini berkaitan
dengan upaya untuk menentukan kontrol terhadap mobilitas fluida pendesak.
Hal ini harus diperhatikan adalah pengaruh shear degragation terhadap
kerusakan rantai polimer. Jenis polimer berantai panjang, seperti halnya
polyacrylamide, mempunyai sifat yang rentan terhadap penurunan shear.
Terjadinya proses penurunan shear akan mengakibatkan kerusakan rantai polimer
menjadi lebih pendek. Selain itu, bentuk shear juga mempunyai pengaruh yang
besar terhadap proses degradasi yang terjadi. Maerker (1973) menyatakan bahwa
jika shear berubah menjadi kental, shear rate akan menjadi 100 kali lebih besar jika
dibandingkan dengan perubahan viskoelastik untuk menghasilkan penurunan yang
sama.
Perubahan kekentalan adalah jenis shear yang terjadi didalam larutan
polimer dan dapat ditentukan besarnya dengan menggunakan viskometer rotasional
dan viskosimeter tabung. Sedangkan perubahan viskoelastik adalah jenis shear yang
terjadi di dalam media berpori dan diukur dengan menggunakan screen factor
viscometer, seperti yang terdapat dalam Gambar 3.15.
76

Gambar 3.15.
Screen Viscometer
(Carcoana, Aurel, 1992)

Dengan ditemukannya shear yang kental (viscous shear) yang dapat


menurunkan kualitas polimer lebih kecil daripada viskoelastik shear, maka screen
factor viscometer lebih sensitif terhadap penurunan polimer daripada viscometer
kapiler, seperti Gambar 3.16.
Penurunan mobilitas yang semakin mengecil dalam media berpori
hampir selalu diikuti penurunan faktor penyaringan dan penurunan viskositas
kapiler, karena aliran dalam media berpori adalah kombinasi antara mekanisme
aliran viscous dan aliran viskoelastik. Permeabilitas yang lebih kecil, lebih cocok
untuk mekanisme viskoelastik. Jadi hilangnya penurunan mobilitas untuk shear
akan lebih besar pada media berpori yang mempunyai permeabilitas rendah,
sehingga shear degradation akan menurunkan efektivitas injeksi polimer.
Disamping itu untuk larutan polimer yang mempunyai salinitas besar akan lebih
mudah untuk mengalami shear degradation. Degradasi polimer antara 300 - 600
ppm akan menyebabkan menurunnya konsentrasi polimer.
77

Gambar 3.16.
Penurunan Viskositas Vs Shear rate
(Van Pollen, H. K., 1980)

3.2. Karakteristik Polimer


Karakteristik polimer diantaranya terdiri dari kimiawi polimer, rheologi
dan ukuran polimer.
A). Kimiawi Polimer
Ada dua tipe dasar polimer yang saat ini banyak digunakan untuk EOR
yaitu polysacharide dan poliacrylamide. Jenis polysacharide yang digunakan
dalam EOR adalah xanthan gum yang dihasilkan dari akuifitas bakteri xanthomonas
campetris. Molekul poliacrylamide terbentuk rantai panjang molekul-molekul
monomer acrylamide. Satuan dasar acrylamide memiliki rumus dasar sebagai
berikut :

Gambar 3.17
Rumus Dasar Acrylamide
(Donaldson, Earl C., 1989)

Bila dikombinasi secara kimiawi untuk membentuk polimer, maka


strukturnya adalah :
78

Gambar 3.18
Rumus Dasar Polimer Secara Kimiawi
(Donaldson, Earl C., 1989)

Polyacrylamide relatip lebih tahan terhadap serangan bakteri, zat ini efektif
bila digunakan pada reservoir yang mempunyai salinitas 1%. Pada reservoir
dengan harga salinitas yang tinggi, polyacrylamide akan kehilangan kemampuan
untuk mengentalkan air. Polysaccaride atau "biopolimer", dibuat dari proses
fermentasi dengan menggunakan bakteri. Salah satu bakteri yang digunakan
adalah Xanthomonas campestris atau biasa disebut "Xanthan gum".
Polysacharide lebih tahan terhadap shear degradation dan salinitas dibandingkan
dengan polyacrylamide. Oleh karena itu banyak digunakan pada reservoir dengan
salinitas sedang. Polysacharide yang telah terlarut ini akan digunakan untuk
mengontrol mobilitas (mobility control agent), maka polimer tersebut harus
dijaga dari serangan bakteri, yaitu dengan memakai biocedes dan oxygen
scavegers secara tepat. Kebanyakan bakteri aerobic yang menyerang xanthan
adalah dari jenis pseudomand, dimana mikroba ini selain menurunkan kualitas
polimer juga memproduksi sel-sel dengan diameter 1 micron dan panjang 4
micron. Sel-sel ini lebih besar dari polimer dan dapat menyumbat formasi
(formation plugging) pada sumur injeksi.
B). Rheologi
Larutan polimer yang terdiri atas molekul-molekul raksasa merupakan
fluida non Newtonion, sehingga kelakuan alirannya terlalu kompleks untuk
dinyatakan dalam satu parameter, yaitu viskositas. Rheologi larutan meliputi :
 Viscoelastisitas dan relaxation time
79

 Aliran laminer
 Mengalir dengan arus longitudinal
C). Ukuran Polimer
Ukuran polyimer dapat ditentukan secara matematis atau melakukan
percobaan. Flory (1953) merumuskan untuk polimer non-ionik :
1
r  2  8(W ) 2 ..........................................................................................(3-11)

Sedangkan untuk polimer linier :

r  2  6 s  2 .............................................................................................(3-12)
Dimana:
W = berat molekul polimer
  s
 = viscositas minyak intrinsik = lim
c 0 c s

s = radius putaran molekul polimer


 = viscositas larutan polimer
s = viscositas pelarut

3.2.1. Jenis-jenis Polimer


Jenis jenis polimer yang dapat digunakan dalam proses injeksi polimer
antara lain adalah xanthan gum, hydrolized polyacrilamide (HPAM), polimer
gabungan (copolimer) antara monomer asam akrilik (acrylid acid) dengan
acrylamide, gabungan polimer antara acrylamide dengan 2-acrylanaide 2-metil
propana sulfonat (AM/AMPS), hydroxyethylcellulose (HEC), carboxymethyll
hydroxy ethylcelluloxide (CIVII-IEC), polyacrylamide (PAM), polyacrylic acid,
glucan, dextrran polyacrylic oxide (PEO), dan polyvinyl alcohol. Dari semua jenis
tersebut, jenis polimer yang banyak digunakan dalam aplikasi lapangan adalah
xanthan gum, hydrolized polyacrylamide dan copolimer acrylic acid-acrylamide.
Secara garis besar, jenis polimer yang beredar dipasaran dapat
digolongkan menjadi dua jenis, yaitu polyacrylamide dan polysacharide.
80

3.2.1.1. Polysacharide
Polysacharide terbentuk dari proses fermentasi pada bakteri
(biopolimer). Jenis polysacharide yang digunakan dalam proses injeksi adalah
Xanthan Gum, yang merupakan kotoran extracellular yang terbentuk pada
permukaan sel mikroba. Xantan Gum dihasilkan dari aktivitas bakteri
xanthomonas campestris pada media karbohidrat, dengan tambahan protein dan
zat anorganik dari nitrogen.
Polimer diendapkan dari kaldu dengan penambahan alkohol tertentu.
Berat molekul ± 5 juta dan memiliki kerentanan yang relatif lebih besar terhadap
bakteri jika dibandingkan dengan polyacrylamide. Xanthan Gum tidak sensitf
terhadap salinitas dan tahan terhadap kerusakan mekanik, sehingga lebih mudah
menanganinya dalam hubungannya peralatan dilapangan.
Xanthan Gum dapat menyebabkan adanya penyumbatan formasi dan
lemah terhadap serangan bakteri. Problem penyumbatan formasi dapat diperbaiki
dengan filtrasi atau proses penambahan dan bactericides dapat untuk mencegah
degradasi oleh bakteri. Temperatur yang cocok untuk Xanthan Gum adalah 160
0
F. Struktur kimia dari polysacharide dapat dilihat pada Gambar 3.19.

Gambar 3.19.
Struktur Kimia Polysacharide
(Donaldson, Earl C., 1989)
81

3.2.1.2 Polyacrylamide
Molekul polyacrylamide adalah rangkaian molekul yang sangat
panjang dari unit molekul acrylamide. Berat molekul dari polyacrylamide antara
1 sampai 10 juta dan bersifat tahan terhadap serangan bakteri. Polyacrylamide
mudah terkena kerusakan mekanik karena rantainya yang sangat panjang
sehingga mudah putus, pecah. Polyacrylamide lebih sensitif terhadap salinitas
tetapi lebih tahan terhadap serangan bakteri.
Pada penambahan untuk menaikkan viskositas, polyacrylamide
merubah permeabilitas batuan reservoir, dan ini juga menurunkan mobilitas air
injeksi. Jika permeabilitas batuan reservoir rendah, maka polimer dengan
konsentrasi rendah dapat digunakan untuk memperoleh kestabilan mobilitas yang
sama. Struktur kimia dari polysacharide dapat dilihat pada Gambar 3.20.

Gambar 3.20.
Struktur Kimia Polyacrilamide
(Donaldson, Earl C., 1989)

3.2.2. Proses Injeksi Polimer


Seperti halnya pada metode lainnya dalam proyek peningkatan perolehan
minyak, maka saat fluida diinjeksikan masuk ke dalam sumur dan kontak pertama
terjadi maka mekanisme mulai bekerja. Dengan adanya penambahan sejumlah
polimer ke dalam air, akan meningkatkan viskositas air sebagai fluida pendesak,
sehingga mobilitas air sendiri menjadi lebih kecil dari semula dengan demikian
mekanisme pendesakan menjadi lebih efektif.
Polimer ini berfungsi untuk meningkatkan efisiensi penyapuan dan
invasi, sehingga Sor yang terakumulasi dalam media pori yang lebih kecil akan
dapat lebih tersapu dan terdesak. Dalam usaha proyek polimer flooding ini
82

membutuhkan analisa yang tepat terhadap suatu reservoir, oleh karena itu studi
pendahuluan merupakan faktor yang penting.
Minyak dan air adalah fluida yang tak dapat bercampur. Akibatnya,
keduanya tidak bisa sepenuhnya menggantikan yang lain dari reservoir minyak ini
adalah tercermin dalam air yang tidak dapat direduksi dan saturasi minyak sisa
(saturation oil residual) pada kurva relatif-permeabilitas. Terlepas dari itu jumlah
air yang mengalir melalui sistem, saturasi minyak tidak akan dikurangi di bawah
saturation oil residual. Dalam injeksi polimer, polimer yang larut dalam air
ditambahkan ke water flooding. Ini meningkatkan viskositas air. Tergantung pada
jenis polimer digunakan, permeabilitas yang efektif terhadap air dapat berkurang di
zona penyapuan. Injeksi polimer tidak berkurang jumlah saturation oil residual,
tetapi lebih merupakan cara untuk mencapai saturation oil residual lebih cepat atau
membiarkannya tercapai secara ekonomis. Ada tiga cara potensial di mana injeksi
polimer bisa membuat proses recovery minyak lebih efisien:
 melalui efek polimer pada aliran pecahan
 dengan menurunkan rasio mobilitas air / minyak
 dengan mengalihkan air yang diinjeksi dari zona yang telah disapu.
Pelaksanaan operasi injeksi polimer di lapangan pada garis besarnya
dibagi menjadi dua yaitu : sistem pencampuran dan sistem injeksi polimer.

Gambar 3.21
Mekanisme Injeksi Polimer
(Carcoana, Aurel, 1992)
83

3.2.2.1. Sistem Pencampuran Polimer


Proses pencampuran polimer pada umumnya dilakukan di dalam fasilitas
pencampuran seperti ditunjukkan pada Gambar 3.22. Bagian utama dari peralatan
ini adalah pencampuran (mixer) polimer kering, yang mengukur butiran dan serbuk
polimer di dalam pengatur aliran air untuk memberikan dispersi yang seragam.
Pencampuran ini menyebabkan polimer kontak dengan aliran air yang berputar di
dalam funnel-shaped. Laju polimer di atur dengan sebuah speed feed anger. Laju
air juga perlu diatur untuk memberikan kebutuhan pencampuran didalam funnel.
Air yang tersisa setelah dicapai konsentrasi polimer yang diinginkan kemudian
dimasukkan ke dalam mixer sebagai aliran by-pass yang bercampur dengan dispersi
polimer dibagian bawah alat pencampur (mixer).
Perlakuan terhadap polimer kering yang disimpan dalam feed hopper
pada umumnya dilakukan dengan salah satu cara sebagai berikut. Pada skala
operasi kecil, karung-karung yang berisi polimer seberat 50 pound dimasukkan ke
dalam feed hopper atau kedalam storage bin dan dialirkan ke feed hopper secara
pneumatik (pompa angin).

Gambar 3.22.
Diagram Peralatan Pencampur Polimer Kering
(Van Pollen, H. K., 1980)

Laju polimer yang mempunyai konsentrasi tinggi adalah sangat lambat,


oleh karena itu diperlukan tangki pencampur yang relatif besar. Tangki ini biasanya
84

diisi dengan nitrogen untuk mengeluarkan oksigen yang berasal dari udara. Tangki
tersebut juga merupakan tempat untuk memasukkan oxygen scavenger atau biocide
apabila diperlukan.
Polimer yang telah tercampur kemudian diinjeksi secara langsung
dengan menggunakan pompa piston jenis positive displacement. Apabila
dikhawatirkan akan terjadi penyumbatan permukaan (face plugging), maka
wellhead cartridge filter dapat digunakan untuk memastikan bahwa polimer yang
telah diinjeksikan tidak terjadi penggumpalan gel dari polimer dengan konsentrasi
tinggi.
Persiapan larutan polimer dari polimer emulsi atau persediaan tidak
begitu kompleks. Hanya dibutuhkan pengukuran air dan penambahan zat-zat kimia.
Cairan polimer seringkali disempurnakan dengan mixer statis atau mixer inline
tanpa memakai tangki pencampur yang besar. Polimer konsentrasi yang tinggi
disimpan didalam sebuah tangki dengan menggunakan pompa untuk mengontrol
kecepatan polimer yang masuk ke dalam mixer.

3.2.2.2. Sistem Injeksi Polimer


Injeksi fluida ke dalam reservoir melalui beberapa sumur umumnya
dilakukan dengan memakai sistem manifold. Gambar 3.23. menunjukkan suatu
sistem injeksi polimer yang sederhana. Dalam menginjeksikan fluida ke dalam
reservoir dapat digunakan pompa positive displacement sehingga laju aliran
volumetris total dapat dikontrol untuk melihat program injeksi secara keseluruhan.
Tanpa alat pengontrol aliran pada masing-masing sumur, aliran relatif dapat
ditentukan dengan flow resistance (daya tahan aliran) dalam masing-masing sumur
injeksi. Untuk mengimbangi injeksi yang tidak terkontrol, dibutuhkan beberapa
jenis kontrol aliran pada masing-masing sumur. Dalam beberapa kasus, jika fluida
yang diinjeksikan adalah air atau slug tercampur(miscible slug), throttling valve
sederhana dapat untuk mengatur aliran fluida. Jika sejumlah sumur menerirna fluida
dari suatu pompa dalam jumlah besar, alat pengontrol tersebut menjadi stabil karena
seluruh sistem saling berhubungan. Perubahan sedikit saja dari alat trhottling (katup
penyumbat) pada satu sumur menyebabkan perubahan aliran di semua sumur yang
85

lain karena laju alir total tetap konstan. Namun sistem ini tetap bekerja jika cukup
memonitoring terhadap laju injeksi pada masing-masing sumur.
Injeksi polimer polyacrilamide memerlukan larutan khusus dalam
masalah pengontrolan laju injeksi. Polimer-polimer tersebut rentan terhadap
penurunan shear pada melewati throttling valve. Cara umum yang digunakan
untuk mengontrol laju injeksi adalah dengan menempatkan tubing yang
mempunyai diameter yang relatif kecil. Polimer lebih sensitif terhadap
viscoelastic shear daripada viscous shear didalam pipa orifice atau perlatan yang
serupa, oleh karena itu tubing-tubing tersebut mengontrol aliran tanpa
menurunkan kualitas polimer. Diameter tubing dihitung berdasarkan shear rate
untuk laju aliran yang diinginkan, sedangkan panjang tubing dihitung berdasarkan
tekanan yang harus dihilangkan sebelum memasukkan wellhead.

Gambar 3.23.
Diagram Sistem Manifold untuk Distribusi Fluida Injeksi
(Van Pollen, H. K., 1980)

3.2.3. Performance Reservoir Setelah Injeksi Polimer


Bila semua karakteristik reservoir telah cocok untuk injeksi polimer,
diharapkan performance reservoir setelah injeksi polimer mempunyai hasil yang
baik. Dari data-data dilapangan yang telah berhasil dilakukan injeksi kimia dapat
menggambarkan performance reservoir setelah injeksi kimia. Perolehan minyak
86

tambahan yang diharapkan dari injeksi polimer adalah kira-kira sebesar 5% dari
residual oil reserves. Sedangkan untuk sumur-sumur produksi reservoir minyak
dengan solution gas drive, perolehan minyak bertambah kira-kira 25 %. Dan untuk
sumur-sumur produksi dengan water drive, gravity drainage perolehan minyak dapt
dihasilkan sekitar 15 %.
Laju produksi minyak bertambah dari awal injeksi polimer dan WOR
turun drastis. Hasil yang diperoleh dengan menggunakan injeksi polimer selama ini
dapat meningkatkan sekitar 66% dari OOIP. Karakteristik reservoir setelah injeksi
polimer dapat dilihat pada Gambar 3.24.

Gambar 3.24.
Karakteristik Reservoir Setelah Injeksi Polimer
(Kristanto, Dedy, 1999)
87

3.2.4. Screening Criteria Injeksi Polimer.

Tabel III-3
Kriteria Seleksi Injeksi Polimer
(Aurel Carcoana, 1992)

Parameter Kriteria Seleksi


Porositas, % > 15
Permeabilitas, mD + 100
Ketebalan, ft Tidak kritis
Saturasi Minyak, %PV > 10
Kedalaman, ft < 9000
Temperatur, oF < 200
sandstone namun dapat
Jenis Batuan
digunakan untuk limestone
Gravity, oAPI > 25
Viskositas, cp < 150
Komposisi Tidak kritis

3.2.5. Aplikasi Lapangan untuk Injeksi Polymer


A. East Carolina Field, California (USA)
Larutan bio-polymer diinjeksikan ke dalam sumur uji selama 2,5 bulan
mulai April 1978. Perbandingan mobilitas berkurang dari kira-kira 15
: 1 menjadi 1 : 5 dengan larutan polymer 400 ppm. Meskipun mula-
mula tidak tampak hasil yang nyata, perolehan yang di dapat sebesar
2,6 MMBO. Dari hasil tersebut 0,6 MMBO diklasifikasikan sebagai
minyak akibat injeksi polymer.
B. North Stanley Field, Oklahoma (USA)
Terjadi penurunan WOR dari 75 : 1 menjadi 50 : 1. Enam bulan
setelah produksi minyak mencapai 660 BOPD. Dari hasil tersebut
diperoleh 130 BOPD yang merupakan hasil injeksi polymer.

Anda mungkin juga menyukai