Anda di halaman 1dari 16

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1 DEFINISI

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6bulan
sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu lebih dari 38ºC, dengan
metode pengukuran apapun) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.

Definisi kejang demam menurut International League Against Epilepsy (ILAE)


adalah kejang yang terjadi setelah usia 1 bulan yang berkaitan dengan demam yang
bukan disebabkan oleh infeksi susunan saraf pusat, tanpa riwayat kejang sebelumnya
pada masa neonatus dan tidak memenuhi kriteria tipe kejang akut lainnya misalnya
karena keseimbangan elektrolit akut.

Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun. Bila anak
berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului dengan
demam pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi susunan saraf pusat atau epilepsi
yang kebetulan terjadi bersama demam. Anak yang pernah kejang tanpa demam
kemudian mengalami kejang demam kembali dan bayi yang berumur kurang dari 4
minggu tidak termasuk dalam definisi kejang demam. Derajat tingginya demam yang
dianggap cukup untuk diagnosis kejang demam ialah 38 oC atau lebih, tetapi suhu
sebenarnya saat kejang berlangsung sering tidak diketahui.

Kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit, fokal
atau multipel yaitu lebih dari pada 1 kali kejang per episode demam selama 24 jam.
Kejang demam sederhana ialah kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15
menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau
klonik tanpa gerakan fokal, kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejadian kejang
demam sederhana yaitu 80% di antara seluruh kejang demam.

Jika kejang yang disertai demam terjadi selama lebih dari 30 menit baik satu kali
atau multipel tanpa kesadaran penuh diantara kejang maka diklasifikasikan sebagai status
epileptikus yang diprovokasi demam. Kejadian ini berkisar 5 % dari keseluruhan kejang
yang disertai demam.
3.2 EPIDEMIOLOGI

Kejang sangat tergantung kepada umur, 85% kejang pertama sebelum berumur 4
tahun yaitu terbanyak di antara umur 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang
demam pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya
setelah berumur 6 tahun pasien tidak kejang demam lagi namun, beberapa pasien masih
dapat mengalami kejang demam sampai umur lebih dari 5-6 tahun. Dua sampai lima
persen anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam, insiden
bangkitan kejang tertinggi pada usia 18 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki.

Di Amerika Serikat insiden kejang demam berkisar antara 2-5% pada anak umur
kurang dari 5 tahun. Di Asia angka kejadian kejang demam dilaporkan lebih tinggi dan
sekitar 80-90% dari seluruh kejang demam adalah kejang demam sederhana. Di Jepang
angka kejadian kejang demam adalah 9-10%.

3.3 MANIFESTASI KLINIS

Bangkitan kejang pada bayi dan anak-anak sering terjadi bersamaan dengan kenaikan
suhu badan yang tinggi dan cepat, biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 39°C
atau lebih, disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat (ISPA, OMA, dan lainya).
Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam. Kejang dapat bersifat
tonik-klonik, tonik, klonik, fokal, atau akinetik.
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau
tonik-klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti, anak
tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak
terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang demam kompleks dapat
diikuti oleh hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam
sampai beberapa hari.
3.4 KLASIFIKASI KEJANG

Kejang diklasifiaksikan sebagai parsial atau generalisata berdasarkan apakah


kesadaran utuh atau lenyap. Kejang dengan kesadaran utuh disebut sebagai kejang
parsial. Kejang parsial dibagi lagi menjadi parsial sederhana (kesadaran utuh) dan parsial
kompleks (kesadaran berubah tetapi tidak hilang).

1. Kejang parsial

Kejang parsial dimulai di suatu daerah di otak, biasanya korteks serebrum.


Gejala kejang ini bergatung pada lokasi fokus di otak. Sebagai contoh, apabila
fokus terletak di korteks motorik, maka gejala utama mungkin adalah kedutan
otot; sementara, apabila fokus terletak di korteks sensorik, maka pasien
mengalami gejala – gejala sensorik termasuk baal, sensasi seperti ada yang
merayap, atau seperti tertusuk-tusuk. Kejang sensorik biasanya disertai beberapa
gerakan klonik, karena di korteks sensorik terdapat beberapa reprsentasi motorik.
Gejala autonom adalah kepucatan, kemerahan, berkeringat, dan muntah.
Gangguan daya ingat, disfagia, dan de ja vu adalah contoh gejala psikis pada
kejang parsial. Sebagian pasien mungkin mengalami perluasan ke hemisfer
kontralateral disertai hilangnya kesadaran.

Kejang ini dapat dipicu oleh musik, cahaya berkedip-kedip, atau rangsangan
lain dan sering disertai oleh aktivitas motorik repetitif involunta yang
terkoordinasi yang dikenal sebagai perilaku otomatis (automatic behavior).
Contoh dari perilaku ini adalah menarik-narik baju, meraba-raba benda, bertepuk
tangan, mengecap-ngecap bibir, atau mengunyah berulang-ulang. Pasien tetap
sadar selama serangan tetapi umumnya tidak dapat mengingat apa yang terjadi.
kejang parsial kompleks dapat meluas dan menjadi kejang generalisata.

2. Kejang Generalisata

Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon


serta ditandai dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang
terjadi di kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang
fokal. Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui keadaan sekeliling saat mengalami
kejang. Kejang ini muncul tanpa aura atau peringatan terlebih dahulu. Terdapat
beberapa tipe kejang generalisata antara lain kejang absence, kejang tonik-klonik,
kejang mioklonik, kejang atonik, kejang tonik dan kejang klonik.

a. Kejang mioklonik

Kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas dibeberapa otot atau tungkai,
cenderung singkat.

b. Kejang atonik

Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lemahnya postur tubuh.

c. Kejang klonik

Gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tungal atau multipel di


lengan, dan tungkai

d. Kejang tonik

Peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontaksi) wajah dan tubuh
bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai, mata dan kepala mungkin
berputar ke satu sisi, dapat menyebabkan henti nafas.

e. Kejang absence (petit mal)

Ditandai dengan hilangnya kesadaran secara singkat, jarang


berlangsung lebih dari beberapa detik. Sebagai contoh, mungkin pasien tiba-
tiba menghentikan pembicaraan, menatap kosong, atau berkedip-kedip dengan
cepat. Pasien mungkin mengalami satu atau dua kali kejang sebulan atau
beberapa kali sehari. Kejang absence hampir selalu terjadi pada anak; awitan
jarang dijumpai setelah usia 20 tahun. Serangan-serangan ini mungkin
menghilang setelah pubertas atau diganti oleh kejang tipe lain, terutama
kejang tonik-klonik.

f. Kejang tonik-klonik (grand mal)

Kejang tonik-klonik adalah kejang epilepsi yang klasik. Kejang tonik-


klonik diawali oleh hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin
bersuara menangis, akibat ekspirasi paksa yang disebabkan oleh spasme toraks
atau abdomen. Pasien kehilangan posisi berdirinya, mengalami gerakan tonik
kemudian klonik, dan inkontenesia urin atau alvi (atau keduanya), disertai
disfungsi autonom. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh
mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik. Setelah sadar pasien
mungkin tampak kebingungan, agak stupor, atau bengong. Tahap ini disebut
sebagai periode pascaiktus. Umumnya pasien tidak dapat mengingat kejadian
kejangnya.

Kejang tonik-klonik demam, yang sering disebut sebagai kejang


demam, paling sering terjadi pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Teori
menyatakan bahwa kejang ini disebabkan oleh hipernatremia yang muncul
secara cepat yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri. Kejang ini
umumnya berlangsung singkat, dan mungkin terdapat predisposisi familial.
Pada beberapa kasus, kejang dapat berlanjut melewati masa anak dan anak
mungkin mengalami kejag non demam pada kehidupan selanjutnya.

3.4.1 Perbandingan Kejang Demam

1. Kejang Demam Kompleks

Adalah kejang demam yang berlangsung lebih dari 15 menit, atau berulang dalam
24 jam. Kejang bersifat fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial.

2. Kejang Demam Sederhana

1. Umur anak ketika kejang adalah 6 bulan dan 4 tahun


2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.

Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria
modifikasi diatas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam.Kejang
kelompok kedua ini memiliki kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang,
sedangkan demam hanya merupakan faktor pencetus saja.
3.5 FAKTOR RESIKO KEJANG DEMAM
1. Faktor demam.

Demam ialah hasil pengukuran suhu tubuh di atas 37,80 oC aksila atau di atas
38,30 oC rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi yang tersering
pada anak disebabkan oleh infeksi dan infeksi virus merupakan penyebab terbanyak.
Demam merupakan faktor utama timbulnya bangkitan kejang.

Kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan


eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan
metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat
celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat sebesar 10-15%, sehingga
meningkatkan kebutuhan glukosa dan oksigen.

Demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak.


Pada keadaan hipoksia, otak akan kekurangan energi sehingga menggangu fungsi
normal pompa Na+. Permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ meningkat,
sehingga menurunkan nilai ambang kejang dan memudahkan timbulnya bangkitan
kejang. Demam juga dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi
terganggu.

2. Faktor usia
Pada   keadaan   otak   belum   matang   (developmental   window),   reseptor   untuk

asam glutamat sebagai reseptor eksitator padat dan aktif,  sebaliknya  reseptor GABA

sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi  lebih  dominan

dibanding inhibisi. 

Corticotropin   releasing   hormon   (CRH)   merupakan   neuropeptid   eksitator,

berpotensi   sebagai   prokonvulsan.   Pada   otak   belum   matang   kadar   CRH   di

hipokampus tinggi dan berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh

demam. 
Anak pada masa developmental window merupakan masa  perkembangan otak

fase organisasi yaitu saat anak berusia kurang dari 2 tahun. Pada masa ini, apabila

anak mengalami    stimulasi   berupa   demam, maka akan mudah terjadi bangkitan

kejang.  Sebanyak 4% anak akan mengalami kejang demam dan 90% kasus   terjadi

pada anak antara usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun, dengan  kejadian paling sering

pada anak usia 18 sampai dengan 24 bulan.

3. Riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam.
Pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan sekitar 60-80%.
Apabila salah satu orang tua memiliki riwayat kejang demam maka anaknya
beresiko sebesar 20-22%. Apabila kedua orang tua mempunyai riwayat pernah
menderita kejang demam maka resikonya meningkat menjadi 59-64%. Sebaliknya
apabila kedua orangtuanya tidak mempunyai riwayat kejang demam maka risiko
terjadi kejang demam hanya 9%. Pewarisan kejang demam lebih banyak oleh ibu
dibandingkan ayah yaitu 27% berbanding 7%.

3.6 PATOGENESIS KEJANG DEMAM

Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang
berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa
fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel syaraf, seperti juga sel hidup umumnya,
mempunyai potensial membran.
Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial
intrasel lebih negatif dibandingkan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membran
berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini akan tetap sama selama sel
tidak mendapatkan rangsangan.
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori yaitu :

- Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya


pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri
dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
- Perubahan permeabilitas sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia.
- Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan.
Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan
kejang.

Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, pada keadaan demam,
kenaikan suhu 1o C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan
peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20%. Jadi pada kenaikan suhu tertentu dapat
terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi
difusi ion kalium dan natrium melalui membran sel, dengan akibat lepasnya muatan
listrik yang demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran
sel tetangga dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang.
Saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung, otot,
dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan kejang
bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama
akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder
akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi
neuron karena kegagalan metabolisme di otak.

Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut :

- Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang/immatur.
- Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan
gangguan permiabilitas membran sel.
- Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2
yang akan merusak neuron.
- Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan aliran ion-ion-

Kejang demam
keluar masuk sel.

Pada anak dengan ambang kejang yang rendah kenaikan suhu sampai 38o C
Gambar 3. Mekanisme terjadinya kejang 1
sudah terjadi kejang, Namun
demam
pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang
4

baru terjadi pada suhu diatas 40o C. Terulangnya kejang demam lebih sering terjadi
pada anak dengan ambang kejang rendah.
Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15 menit)
biasanya disertai dengan apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot skeletal yang mengakibatkan hipoksemia, hiperkapneu, dan asidosis
laktat. Hipotensi arterial disertai dengan aritmia jantung dan kenaikan suhu tubuh.

3.7 DIAGNOSIS
Kejadian demam pada kejang demam biasanya dikarenakan adanya infeksi pada
sistem respirasi atas, otitis media, infeksi virus herpes termasuk roseola. Hal – hal yang
perlu ditanyakan saat anamnesis yaitu :

- Adanya kejang, jenis kejang , kesadaran, lama kejang


- Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak pasca
kejang
- Penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala infeksi saluran napas
akut/ISPA, infeksi saluran kemih/ISK. Otitis media akut/ OMA, dan lainnya)
- Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga
- Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang mengakibatkan
gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan kurang yang
dapat menyebabkan hipoglikemia)

Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain :


- Kesadaran : apakah terdapat penurunan kesadaran
- Suhu tubuh: apakah terdapat demam
- Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kernique, Lasuque dan
pemeriksaan nervus cranial
- Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun ubun besar (UUB) memnonjol, papil
edema
- Tanda infeksi di luar susunan saraf pusat seperti infeksi saluran pernapasan, faringitis,
otitis media, infeksi saluran kemih dan lain sebagainya yang merupakan penyebab
demam
- Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex patologis

Pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin tidak begitu bermanfaat untuk dilakukan
pada pasien dengan kejang demam sederhana kecuali jika terdapat komplikasi atau
penyakit lain yang mendasari seperti gangguan keseimbangan elektrolit yang berkaitan
dengan dehidrasi akibat infeksi saluran gastrointestinal. Pemeriksaan laboratorium
sebaiknya dilakukan untuk mencari penyebab demam diantaranya pemeriksaan kultur
urin untuk melihat ada tidaknya infeksi saluran kemih jika ternyata tidak ditemukan
fokus infeksi dari pemeriksaan fisik. Pemeriksaaan kadar elektrolit seperti kalsium,
fosfor, magnesium dan glukosa yang biasa dilakukan pada pasien kejang tanpa demam
juga kurang memberikan arti yang bermakna jika dilakukan pada pasien kejang demam
sederhana.

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah EEG


(elektroensefalogram). EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah
belakang yang bilateral, sering asimetris kadang-kadang unilateral. Perlambatan
ditemukan pada 88% pasien bila EEG dikerjakan pada hari kejang dan ditemukan pada
33% pasien bila EEG dilakukan 3 sampai 7 hari setelah serangan kejang. Namun,
perlambatan EEG ini kurang mempunyai nilai prognostik dan kejadian kejang berulang
dikemudian hari atau perkembangan ke arah epilepsi. Saat ini sudah tidak dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan EEG pada pasien kejang demam sederhana karena hasil
pemeriksaan yang kurang bermakna.

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan


meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi kecil seringkali
sulit untuk menegakkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas,
oleh karena itu pemeriksaan pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur < 6-12
bulan, sangat dianjurkan pada bayi berumur 12-18 bulan dan tidak rutin dilakukan pada
bayi berumur >18 tahun jika tidak disertai riwayat dan gejala klinis yang mengarah ke
meningitis.

Pemeriksaan radiologi tidak begitu memberikan manfaat dalam evaluasi kejang


demam sederhana dan masih kontroversial untuk dilakukan pada kejang demam
kompleks sekalipun. Pemeriksaan radiologi misalnya Magnetic resonance imaging
(MRI) dapat dilakukan untuk mengevaluasi ada tidaknya kerusakan di otak misalnya di
daerah hipokampus jika penyebab kejang masih belum diketahui.

Pada kejang demam sederhana tidak diperlukan pemeriksaan penunjang baik berupa
pungsi lumbal, EEG, radiologi maupun biokimia darah karena kejang demam sederhana
didiagnosis berdasarkan gambaran klinis. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis banding kejang yang disertai dengan demam seperi meningitis.
Diagnosis kejang demam sederhana menurut konsensus ikatan dokter anak Indonesia
yaitu jika memenuhi kriteria sebagai berikut :

- Terjadi pada anak usia 6 bulan - 5 tahun


- Kejang berlangsung lebih dari 15 menit
- Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan fokal
- Kejang berulang dalam 24 jam

3.8 TATA LAKSANA


Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu diperhatikan yaitu :

1. Pengobatan fase akut


2. Mencari dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pada waktu pasien datang dalam keadaan kejang maka hal yang harus dilakukan ialah
membuka pakaian yang ketat dan posisi pasien dimiringkan apabila muntah untuk
mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Pengisapan lendir
dilakukan secara teratur, diberikan terapi oksigen dan jika perlu dilakukan intubasi.

Awasi keadaan vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan dan fungsi
jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian
antipiretik. Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko
terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap
dapat diberikan ketika anak demam (> 38,5oC). Dosis parasetamol yang digunakan ialah
10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen
5-10 mg/kgBB/kali diberikan 3-4 kali sehari.

Obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan
secara intravena atau intrarektal. Kadar diazepam tertinggi dalam darah akan tercapai
dalam waktu 1-3 menit apabila diazepam diberikan secara intravena dan dalam waktu 5
menit apabila diberikan secara intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB,
diberikan perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit
dengan dosis maksimal 20 mg. Untuk memudahkan orangtua di rumah dapat diberikan
diazepam rektal dengan dosis :

- 5 mg pada anak dengan berat badan < 10 kg


- 10 mg untuk berat badan anak > 10 kg

Tatalaksana kejang demam dan kejang secara umum yaitu tampak pada bagan berikut
ini :
Bagan 1. Tatalaksana kejang demam

Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena sering berulang dan
menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Ada 2 cara profilaksis yaitu proflaksis
intermiten pada waktu demam dan profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan setiap
hari.

Untuk profilaksis intermiten, antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien


demam. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke jaringan otak.
Diazepam intermiten memberikan hasil lebih baik karena penyerapannya lebih cepat.

Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam pada kenaikan suhu mencapai 38,5 oC
atau lebih yaitu dengan dosis :

- 5 mg untuk pasien dengan berat badan < 10 kg


- 10 mg untuk pasien dengan berat badan > 10 kg

Diazepam dapat pula diberikan secara oral dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam ialah ataksia,
mengantuk dan hipotonia.
Untuk profilaksis terus-menerus dilakukan dengan pemberian fenobarbital 4-
5mg/kgBB/hari dengan kadar obat dalam darah sebesar 16µg/ml menunjukkan hasil
yang bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam. Efek samping fenobarbital
berupa kelainan watak yaitu iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif ditemukan pada 30-
50% pasien. Efek samping dapat dikurangi dengan menurunkan dosis fenobarbital.
Adapun indikasi profilaksis terus-menerus yaitu sebagai berikut :
- Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau
perkembangan
- Ada riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudara kandung
- Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis
sementara dan menetap
- Kejang demam terjadi pada bayi berumur < 12 bulan atau terjadi kejang multipel
dalam satu episode demam
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini
harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat efek
samping obat

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang:


1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, sebaiknya
jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rektal dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti
7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih

3.9 PROGNOSIS
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Kematian akibat kejang demam juga tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan
neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang memang sebelumnya normal.
Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil
kasus dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus kejang yang lama atau kejang
berulang baik fokal atau kejang umum.

Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko
berulangnya kejang yaitu riwayat kejang demam dalam keluarga, usia saat kejang
pertama < 12 bulan, temperatur yang rendah saat kejang (<40°C) dan timbulnya kejang
yang cepat setelah demam. Bila semua faktor tersebut terpenuhi maka resiko
berulangnya kejang demam 80 % sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut resikonya
10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang paling besar pada tahun pertama.Faktor
risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor risiko menjadi epilepsi
adalah :

1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama

2. Kejang demam kompleks

3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung

Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4% -


6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi
10% - 49% .

BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien ini di


diagnosis menjadi kejang demam kompleks. Definisi kejang demam menurut International
League Against Epilepsy (ILAE) adalah kejang yang terjadi setelah usia 1 bulan yang
berkaitan dengan demam yang bukan disebabkan oleh infeksi susunan saraf pusat, tanpa
riwayat kejang sebelumnya pada masa neonatus dan tidak memenuhi kriteria tipe kejang akut
lainnya. Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Kematian akibat kejang demam juga tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan
neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang memang sebelumnya normal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sofyan I, dkk, (2016), Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam, IDAI, Jakarta.


2. Fuadi F, (2010), Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak, (Tesis), Universitas
Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
3. Soetomenggolo T.S, (1998), Kejang Demam dalam Buku Ajar Neurologi, IDAI, Jakarta.
4. Jones T, Jacobsen S.J, (2007), Childhood Febrile Seizures: Overview and Implications,
Int. J. Med. Sci. 4(2):110-114.
5. Wolf P, Shinnar S, (2005), Febrile Seizures in Current Management in Child Neurology,
Third Edition.BC Decker Inc.
6. Pusponegoro H.D, Widodo D.P, Ismael S, (2006), Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam, Unit Kerja Koordinasi Neurologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
7. Kusuma D, Yuana I, (2010), Korelasi antara Kadar Seng Serum dengan Bangkitan Kejang
Demam, (Tesis), Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1,
Ilmu Kesehatan Anak, Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
8. Scheffer I.E, Sadleir L.G, (2007), Febrile Seizures, BMJ;334;307-311.
9. Bahtera T, (2006), Pengelolaan Kejang Demam, Neurologi Anak, FK UNDIP, Jawa
Tengah.
10. Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2010). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter anak
Indonesia Jilid 1.
11. Srinivasan J, Wallace K.A., Scheffer I.E., (2005), Febrile Seizures, Australian Family
Physician, Vol. 34, No. 12: 1021-1025.
12. Ministry of Health Service, (2010), Guidelines and Protocols : Febrile seizures, British
Columbia Medical Assosiation.
13. Mangunatmadja, I, Widodo D.P, (2011), Simposium dan Workshop Tata Laksana Terkini
Kejang Demam dan Epilepsi pada Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang
Kalimantan Barat.
14. Wong V, dkk. Clinical Guideline on Management of Febrile Convulsion. HK J Pediatri
2002;7:143-151

Anda mungkin juga menyukai