Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN ADULTS RESPIRATORY DISTRESS

SYNDROME

1. Pengertian

AdultRespiratoryDistressSyndrome (ARDS) merupakan keadaan gagal napas

mendadak yang timbul pada klien dewasa tanpa kelainan paru yang mendasari sebelumnya.

Sulit untuk membuat definisi secara tepat, karena patogenesisnya belum jelas dan terdapat

banyak faktor predisposisi seperti syok karena perdarahan, sepsis, rudapaksa/trauma pada

paru atau bagian tubuh lainnya, pankreatitis akut, aspirasi cairan lambung, intoksikasi heroin,

atau metadon (Mutaqin Arif, 2008)

Sindrom gawat napas akut juga dikenal dengan edema paru nonkardiogenik. Sindrom

ini merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif kandungan oksigen

di arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. ARDS biasanya membutuhkan

ventilasi mekanik yang lebih tinggi dari tekanan jalan napas normal. Terdapat kisaran yang

luas dari faktor yang berkaitan dengan terjadinya ARDS termasuk cedera langsung pada paru

(seperti inhalasi asap) atau gangguan tidak langsung pada tubuh (seperti syok).

2. Etiologi

Faktor-faktor etiologi yang berhubungan dengan ARDS

Mekanisme Etiologi

Kerusakan paru akibat inhalasi Kelainan paru akibat kebakaran, inhalasi gas

(mekanisme tidak langsung) oksigen, aspirasi asam lambung, tenggelam,

sepsis, syok (apapun penyebabnya),

koagulasiintravaskular tersebar
(disseminatedintravascularcaagulation-DIC),

dan pankreatitisidiopatik,

Obat-obatan Heroin dan salisilat.

Infeksi Virus, bakteri, jamur, dan TB paru.

Sebab lain Emboli lemak, emboli cairan amnion, emboli

paru trombosis, rudapaksa (trauma) paru.

radiasi, keracunan oksigen, transfusi masif,

kelainanmetabolik (uremia), bedah mayor.

3. Patologi

Secara makroskopis, paru tampak hitam kemerahan, beratnya bertambah, tidak

mengandung udara, dan hampir tidak mengembang. Potongan penampang paru menunjukkan

perdarahan kongesti, dan edema, menyerupai hati. Perubahan paling awal dari segi

histologisadalah mikroembolitrombositfibrin yang biasa terlihat dalam 6 jam pertama. Pada

tahap berikutnya didapatkan kongesti kapiler, edemainterstitial, edemaintra-alveoli,

perdarahan intra-alveoli, pembentukan membran hialin, hipertrofi dan hiperplasia selalveoli

dan interstitial, proliferasi fibroblasalveolidan pada tahap akhir didapatkan pengendapan

kolagen yang luas sehingga akhirnya terjadi fibrosis (Yusuf, 1996).

4. Patogenesis dan Patofisiologi

Sindrom gagal napas pada klien dewasa (ARDS) selalu berhubungan dengan

penambahan cairan dalam paru. Sindrom ini merupakan suatu edema paru yang berbeda

dariedema paru karena kelainan jantung. Perbedaannya terletak pada tidak adanya

peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru. Dari segi histologis, mula-mula terjadi

kerusakan membran kapiler-alveoli, selanjutnya terjadi peningkatan permeabilitas endotelium


kapiler paru dan epitel alveoli yang mengakibatkan terjadinya edemaalveoli dan interstitial.

Untuk mengetahui lebih banyak mengenai edema paru pada ARDS, penting untuk

mengetahui hubungan struktur dan fungsi alveoli.

Membran alveoli terdiri atas dua tipe sel, yaitu sel Tipe I (Tipe A), sel penyokong

yang tidak mempunyai mikrovili dan amat tipis. Sel Tipe II (Tipe B) berbentuk hampir

seperti kubus dengan mikrovili dan merupakan sumber utama surfaktan alveoli. Sekat

pemisah udara dan pembuluh darah disusun dari sel Tipe I atau Tipe II dengan membran

basalendotelium dan selendotelium.

Bagian membran kapiler alveoli yang paling tipis mempunyai tebal 0,15 µm.

SelpneumositTipe I amat peka terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh berbagai zat yang

terinhalasi. Jika terjadi kerusakan sel-sel yang menyusun 95% dari permukaan alveoli ini,

akan amat menurunkan keutuhan sekat pemisah alveoli-kapiler. Pada kerusakan mendadak

paru, mula-mula terjadi peradangan interstisial, edema, dan perdarahan yang disertai dengan

proliferasi sel Tipe II yang rusak. Keadaan peradangan ini dapat membaik secara lambat atau

membentuk fibrosis paru yang luas.

Selendotel mempunyai celah yang dapat menjadi lebih besar daripada 60 A sehingga

terjadi perembesan cairan dan unsur-unsur lain darah ke dalam alveoli dan terjadi edema

paru. Mula-mula cairan berkumpul di interstisium dan jika kapasitas interstisium terlampaui,

alveoli mulai terisi menyebabkan atelektasiskongesti dan terjadi hubungan intrapulmoner

(shunt).

Mekanisme kerusakan endotel pada ARDS dimulai dengan aktivasi komplemen

sebagai akibat trauma, syok, dan lain-lain. Selanjutnya aktivasi komplemen akan

menghasilkan C5a yang menyebabkan granulosit teraktivasi dan menempel serta merusak

endoteliummikrovaskular paru, sehingga mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler

paru. Agregasi granulosit neutrofil merusak selendotelium dengan melepaskan protease yang
menghancurkan struktur protein seperti kolagen,elastin dan fibronektin, dan proteolisis

protein plasma dalam sirkulasi seperti faktor Hageman, fibrinogen, dan komplemen (Yusuf,

1996).

Beberapa hal yang menyokong peranan granulosit dalam proses timbulnya ARDS

adalah fakta adanya granulositopenia yang berat pada binatang percobaan dengan ARDS

karena terkumpulnya granulosit dalam paru.

Biopsi paru dari klien dengan ARDS menunjukkan juga adanya pengumpulan

granulosit yang tidak normal dalam parenkim paru. Granulosit yang teraktivasi mampu

melepaskan enzim proteolitik seperti elastase, kolagenase, dan oksigen radikal yang dapat

menghambat aktivitas antiprotease paru.

Endotoksin bakteri, aspirasi asam lambung, dan intoksikasi oksigen dapat merusak sel

endotelium arteri pulmonalis dan leukosit neutrofil yang teraktivasi akan memperbesar

kerusakan tersebut. Histamin, serotonin, atau bradikinin dapat menyebabkan kontraksi sel

endotelium dan mengakibatkan pelebaran porusinterselular serta peningkatan permeabilitas

kapiler.

Adanya hipotensi dan pankreatitis akut dapat menghambat produksi surfaktan dan

fosfolipase A. Selain itu, cairan edema terutama fibrinogen akan menghambat produksi dan

aktivitas surfaktan sehingga menyebabkan mikroatelektasis dan sirkulasi venoarterial

bertambah. Adanya perlambatan aliran kapiler sebab hipotensi, hiperkoagulabilitas dan

asidosis, hemolisis, toksin bakteri, dan lain-lain dapat merangsang timbulnya

koagulasiintravaskular tersebar (disseminatedintravascularcoagulation-DIC).

Adanya peningkatan permeabilitas kapiler akan menyebabkan cairan merembes ke

jaringan interstitial dan alveoli, menyebabkan edema paru dan atelektasiskongesti yang luas.

Terjadi pengurangan volume paru, paru menjadi kaku dan komplians (compliance) paru

menurun. Kapasitas residufungsional (functionalresidualcapacity-FRC) juga menurun.


Hipoksemiaberat merupakan gejala pentingARDS dan penyebab hipoksemia adalah

ketidakseimbangan ventilasi-perfusi hubungan arterio-venous(aliran darah mengalir ke

alveoliyang kolaps), dan kelainan difusi alveoli-kapiler akibat penebalan dinding alveoli-

kapiler.

Peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapilermenimbulkan edemainterstitial

dan alveolar serta atelektasis alveolar, sehingga jumlah udara sisa pada paru di akhir ekspirasi

normal dan kapasitas residu fungsional (FRC) menurun.

5. Tanda dan Gejala

ARDS biasaya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan awal pada

paru. Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti dengan

pernapasan yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan tanda

yang khas pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah

diberioksigen. Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui ronkhi basah kasar, serta kadang

wheezing.

Diagnosis dini dapat ditegakkan jika pasien mengeluhkan dispnea, sebagai gejala

pendahulu ARDS. Diagnosis presumtif dapat ditegakkan dengan pemeriksaan analisa gas

darah serta fototoraks. Analisa ini pada awalnya menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO-

2sangat rendah, PaCO2 normal atau rendah, serta peningkatan pH).Fototoraks bias any

amemperlihatkan infiltrat alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau batas-

batas jantung, namun siluet jantung biasanya normal. Bagaimana pun, belum tentu kelainan

pada fototoraks dapat menjelaskan perjalanan penyakit sebab perubahan anatomis yang

terlihat pada gambaran sinar X terjadi melalui proses panjang di balik perubahan fungsi yang

sudah lebih dahulu terjadi.


PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun konsentrasi

oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan indikasi adanya pintas

paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi unit paru yang tidak terjadi ventilasi.

Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru pasien sudah mengalami bocor di sana-sini,

bentuk yang tidak karuan, serta perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat.

Setelah dilakukan perawatan hipoksemia, diagnosis selanjutnya ditegakkan dengan

bantuan beberapa alat. Untuk menginvestigasi adanya gagal jantung dapat dipasang kateter

Swan-Ganz, dari sini dapat dilihat bahwa pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) akan

terukur rendah (<18 mmHg) pada ARDS serta meningkat (>20 mmHg) pada gagal jantung.

Jika terdapat emboli paru (keadaan yang menyerupai ARDS) mesti dieksplorasi hingga

pasien stabil sambil mencari sumber trombus yang mungkin terdapat pada pasien, missal nya

dari DVT. Pneumosystiscarinii dan infeksi-infeksi paru lainnya patut dijadikan diagnosis

diferensial, terutama pada pasien-pasien imunokompromais.

6. Komplikasi

a. Kegagalan Pernafasan

Dapat timbul seiring dengan perkembangan penyakit dan individu harus vekerja

lebih keras untuk mengatasi penurunan compliance paru. Akhirnya individu

kelelahan dan ventilasi melambat. Hal ini menimbulkan asidosis respiratorik

karena teradi penimbunan karbondioksida di dalam darah. Melambatnya

pernafasan dan penurunan pH arteri adalah indikasi datangnya kegagalan

pernafasan dan mungkin kematian.

b. Pneumonia

Peneumonia dapat timbul setelah ARDS, karena adanya penimbunan cairan di

paru dan kurangnya ekspansi paru.


Akibat hipoksia dapat terjadi gagal ginjal dan tukak saluran cerna karena stress.

Koagulasi intreavascular diseminata akibat banyaknya jaringan yang rusak pada

ADRS.

Fase yang menggambarkan terjadinya ARDS

a. Eksudatif

Ditandai dengan adanya perdarahan pada permukaan parenkim paru, edemainterstisial

atau alveolar, penekanan pada bronkiolusterminalis, dan kerusakan pada sel alveolar

tipe I.

b. Fibroproliferatif

Ditandai dengan adanya kerusakan pada sel alveolar tipe II, peningkatan tekanan

puncak inspirasi, penurunan compliance paru (statik dan dinamik), hipoksemia,

penurunan fungsi kapasitas residual, fibrosisinterstisial, dan peningkatan ruang rugi

ventilasi.

7. Pemeriksaan Diagnostik

Diagnostik ARDS dapat dibuat berdasarkan pada kriteria berikut :

1. Gagal napas akut.

2. Infiltratpulmoner “fluffy” bilateral pada gambaran Rontgen thoraks.

3. Hipoksemia (PaO2 di bawah 50-60 mmHg) meski FcO2 50-60% (fraksi oksigen

yang dihirup).

4. Chest X—ray: pada stadium awal tidak terlihat dengan jelas atau dapat juga

terlihat adanya bayangan infiltrat yang terletak di tengah region perihilar paru-

paru. Pada stadium lanjut, terlihat penyebaran di interstisial secara bilateral dan
infiltrat alveolar, menjadi rata dan dapat mencakup keseluruhan lobus paru-paru.

Tidak terjadi pembesaran pada jantung.

5. ABGs: hipoksemia (penurunan PaO2), hipokapnia (penurunan nilai CO2 dapat

terjadi terutama pada fase awal sebagai kompensasi terhadap hiperventilasi),

hiperkapnia (PaCO2 > 50) menunjukkan terjadi gangguan pernapasan.

Alkalosisrespiratori (pH> 7,45) dapat timbul pada stadium awal, tetapi asidosis

dapat juga timbul pada stadium lanjut yang berhubungan dengan peningkatan

anatomicaldeadspace dan penurunan ventilasi alveolar. Asidosis metabolisme

dapat timbul pada stadium lanjut yang berhubungan dengan peningkatan nilai

laktat darah, akibat metabolisme anaerob.

6. Pulmonary Function Test: kapasitas pengisian paru-paru dan volume paru-paru

menurun, terutama PRC, peningkatan anatomicaldeadspace dihasilkan oleh area di

mana timbul vasokonstriksi dan mikroemboli.

8. Penatalaksanaan Medis

Mortalitas pada ARDS mencapai 50% dan tidak bergantung pada pengobatan. Oleh

karena itu, perawat perlu mengetahui tindakan pencegahan terhadap kemunculan ARDS. Hal-

hal penting yang perlu diketahui dan dipahami dengan baik adalah faktor-faktor predisposisi

seperti sepsis, pneumonia aspirasi, dan deteksi dini ARDS. Pengobatan dalam masa laten

lebih besar kemungkinannya untuk berhasil daripada jika dilakukan ketika sudah timbul

gejala ARDS.

Tujuan pengobatan adalah sama walaupun etiologinya berbeda, yaitu mengembangkan

alveoli secara optimal untuk mempertahankan gas darah arteri dan oksigenisasi jaringan yang

adekuat, keseimbangan asam-basa, dan sirkulasi dalam tingkat yang dapat ditoleransi sampai

membran alveoli kapiler utuh kembali.


Pemberian cairan harus dilakukan secara saksama, terutamajika ARDS disertai kelainan

fungsi ginjal dan sirkulasi, sebab dengan adanya kenaikan permeabilitas kapiler paru, cairan

dari sirkulasi merembes ke jaringan interstisial dan memperberat edema paru. Cairan yang

diberikan harus cukup untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat (denyut jantung yang

tidak cepat, ekstremitas hangat, dan diuresis yang baik) tanpa menimbulkan edema atau

memperberat edema paru. Jika perlu dimonitor dengan kateter SwanGanz dan teknik

thermodelution untuk mengukur curah jantung.

Pemberian albumin tidak terbukti efektifpada ARDS, sebab pada kelainan

permeabilitas yang luas, albumin akan ikut masuk ke ruang ekstravaskular. Peranan

kortikosteroid pada ARDS masih diperdebatkan. Kortikosteroid biasanya diberikan dalam

dosis besar, pemberian metilprednisolon 30 mg/kgBB secara intravena setiap 6 jam sekali

lebih disukai, kortikosteroid terutama diberikan pada syok sepsis.

9. Pencegahan

Pada klien dengan ARDS, posisi semifowler dilakukan untuk mengurangi

kemungkinan regurgitasi asam lambung. Pada klien dengan ARDS yang mendapat makanan

melalui pipa nasogastrik (NGT), penting untuk berpuasa 8 jam sebelum operasi - yang akan

mendapat anestesia umum - agar lambung kosong. Selain berpuasa selama 8 jam, pemberian

antasida dan simetidine sebelum operasi - pada klien yang akan mendapat anestesia umum -

dilakukan untuk menurunkan keasaman lambung sehingga jika terjadi aspirasi, kerusakan

paru akan lebih kecil. Setiap keadaan syok, harus diatasi secepatnya dan harus selalu

memakai filter untuk transfusi darah, menanggulangi sepsis dengan antibiotik yang adekuat,

dan jika perlu hilangkan sumber infeksi dengan tindakan operasi. Pengawasan yang ketat

harus dilakukan pada klien dengan risiko ARDS selama masa laten, jika klien mengalami

sesak napas, segera lakukan pemeriksaan gas darah arteri (Astrup).


Pengkajian Keperawatan

A. PENGKAJIAN

a. Primary Survey

1. Airway ( Jalan Napas) :

Kaji :

1) Bersihan jalan nafas

2) Adanya/tidaknya sumbatan jalan nafas

3) Distress pernafasan

4) Tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema laring

2. Breathing

Kaji :

1) Frekuensi nafas, usaha nafas dan pergerakan dinding dada

2) Suara pernafasan melalui hidung atau mulut

3) Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas

3. Circulation

Kaji :
1) Denyut nadi karotis
2) Tekanan darah
3) Warna kulit, kelembaban kulit
4) Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal

4. Disability
Kaji :
1) Tingkat kesadaran
2) Gerakan ekstremitas
3) Glasgow coma scale (GCS
4) Ukuran pupil dan respons pupil terhadap cahaya

b. Secondary Survey

a) Pengkajian Fisik

1. Mata

a. Konjungtiva pucat (karena anemia)

b. Konjungtiva sianosis (karena hipoksia)

2. Kulit

a. Sianosis perifer (vasokontriksi dan menurunnya aliran darah perifer).

b. Sianosis secara umum (hipoksemia)

c. Penurunan turgor (dehidrasi)

d. Edema periorbital

3. Jari dan kuku

a. Sianosis

b. Clubbing finger

4. Mulut dan bibir

a. Membrane mukosa sianosis


b. Bernafas dengan mengerutkan mulut

5. Hidung

a. Pernapasan dengan cuping hidung

6. Vena leher : Adanya distensi/bendungan

7. Dada

a. Retraksi otot bantu pernafasan (karena peningkatan aktivitas pernafasan,

dispnea, atau obstruksi jalan pernafasan)

b. Pergerakan tidak simetris antara dada kiri dengan kanan

c. Suara nafas normal (vesikuler, bronchovesikuler, bronchial)


d. Suara nafas tidak normal (crekler/reles, ronchi, wheezing, friction rub,
/pleural friction)
e. Bunyi perkusi (resonan, hiperresonan, dullness)
f. Tactil fremitus, thrill, (getaran pada dada karena udara/suara melewati

saluran /rongga pernafasan)

8. Pola pernafasan

a. Pernafasan normal (eupnea)

b. Pernafasan cepat (tacypnea)

c. Pernafasan lambat (bradypnea)

b) Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan gas darah (saturasi oksigen dan CO2)

b. Pemeriksaan PH darah

c. Pemeriksaan radiologi pulmonaldan kardio


c) Tindakan pada secondary survey

a. Pemberian oksigen

b. Inhalasi nebulizer

c. Pemberian ventilator

d. Fisioterapi dada

2.1.5 Diagnosis Keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan hipoksemia secara

reversible/menetap refraktori dan kebocoran interstisialpulmonal/alveolar pada

status cedera kapiler paru.

2. Ketidakefektifanbersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya

bronkhokonstriksi, akumulasi sekret jalan napas, dan menurunnya kemampuan

batuk efektif.

3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru

4. Kelebihan volume cairan yang berhubungan dengan edemapulmonal, penurunan

aliran balik vena, penurunan curah jantung atau terapi diuretik.

5. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang

berhubungan dengan penurunan nafsu makan.

6. Gangguan ADL yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum dan keletihan.

7. Koping keluarga tidak efektif yang berhubungan dengan kurang sosialisasi,

kecemasan, depresi, tingkat aktivitas rendah, dan ketidakmampuan untuk bekerja.

2.1.6 Perencanaan Keperawatan

Tujuan: Dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan tidak

terjadi gangguan pertukaran gas.


Kriteria evaluasi:

- Melaporkan tak adanya/penurunan dispnea.

- Klien menunjukkan tidak ada gejala distres pernapasan.

- Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat dengan GDA

dalam rentang normal.

Rencana Intervensi Rasional

Evaluasi perubahan tingkat Aspek penting perawatan ARDS adalah

kesadaran, catat sianosis dan ventilasi mekanik. Tujuan modalitas terapi

perubahan warna kulit, termasuk ini untuk memberikan dukungan ventilasi

membran mukosa dan kuku. sampai integritas membran alveoli-kapiler

kembali baik. Dua tujuan tambahan adalah:

- Memelihara ventilasi adekuat dan

oksigenasi selama periode kritis

hipoksemia.

- Mengembalikan faktor etiologi yang

mengawali penyebab distres pernapasan.

Lakukan pemberian terapi Akumulasi sekret dan berkurangnya

oksigen. jaringan paru yang sehat dapat mengganggu

oksigenasi organ vital dan jaringan tubuh.

Lakukan ventilasi mekanik. Oksigen adalah obat dengan sifat terapeutik

penting dan secara potensial mempunyai

efek samping toksik. Klien tanpa dasar

penyakit paru tampak toleran dengan

oksigen 100% selama 24-72 jam tanpa

abnormalitas fisiologi klinis penting. FiO2


tinggi (misalnya >0,5) dalam waktu lama,

namun dapat menyebabkan peningkatan

permeabilitas endotelium dan epitelium.

Jumlah oksigen yang diberikan untuk

ARDS harus paling rendah dariFiO2 yang

menghasilkan kandungan oksigen adekuat

(misalnya kandungan

oksihemoglobin>90%). Intubasi hampir

selalu diindikasikan untuk mempertahankan

FIO2 tetap tinggi.

Monitor kadar hemoglobin. Kebanyakan volume oksigen

ditransportasikan ke jaringan dalam ikatan

dengan hemoglobin. Bila anemia terjadi,

kandungan oksigen dalam darah menurun

sebagai akibat efek ventilasi mekanik dan

suplemen. Pengukuran seri hemoglobin

perlu untuk kalkulasi kandungan oksigen

yang akan menentukan kebutuhan untuk

transfusi sel darah merah.

Kolaborasi pemilihan pemberian Tujuan utama terapi cairan adalah untuk

cairan. mempertahankan parameter fisiologis

normal. Mekanisme patogenitas

peningkatan permeabilitas alveokapiler

mengakibatkan edemainterstitialdan

alveolar. Pemberian cairan yang berlebihan


pada orang normal dapat menyebabkan

edema paru dan gagal napas. Pilihan koloid

versus cairan kristaloid untuk menggantikan

terapi masih dianggap kontroversial.

Meskipun seiring perkembangan teknologi,

pengukuran berat badan harian akurat

(kecenderungan) sering merupakan

indikator penting terhadap

ketidakseimbangan cairan.

Kolaborasi pemberian terapi Penggunaan kortikosteroid masih

Farmakologi. kontroversial. Sebelumnya, terapiantibiotik

diberikan awal untuk profilaksis, tetapi

pengalamanmenunjukkan bahwa ini tidak

mencegah sepsis bakteri gram negatifyang

berbahaya, sehingga antibiotik profilaksis

rutin tidak lagidigunakan. Terapi

penggantian surfaktan mungkin lebih baik

dan sesuaiuntuk masa yang akan datang.

Penelitian saat ini terhadap

binatang,manusia, dan bahan surfaktan

sintetik berlanjut dengan baik. Datahasil

penelitian sudah cukup mendukung, tetapi

terapi ini masih belummungkin diperluas

untuk beberapa waktu.

Ketidakefektifanbersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya


bronkhokonstriksi, akumulasi sekret jalan napas, dan menurunnya kemampuan

batuk efektif.

Tujuan: Dalam waktu 2 x 24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan,

kebersihan jalan napas kembali efektif.

Kriteria evaluasi:

- Klien mampu melakukan batuk efektif.

- Pernapasan klien normal (16-20 x/menit) tanpa ada penggunaan otot bantu

napas. Bunyi napas normal, Rh -/- dan pergerakan pernapasan normal.

Rencana Intervensi RasionaL

Kaji fungsi pernapasan (bunyi Penurunan bunyi napas menunjukkan

napas, kecepatan, irama, atelektasis, ronkhi menunjukkan akumulasi

kedalaman, dan penggunaan otot sekret dan ketidakefektifan pengeluaran

bantu napas). sekresi yang selanjutnya dapat

menimbulkan penggunaan otot bantu napas

dan peningkatan kerja pernapasan.

Kaji kemampuan klien Pengeluaran akan sulit bila sekret sangat

mengeluarkan sekresi, catat kental (efek infeksi dan hidrasi yang tidak

karakter, volume sputum, dan adekuat). Sputum berdarah bila ada

adanya hemoptisis. kerusakan (kavitasi) paru atau lukabronkhial

dan memerlukan intervensi lebih lanjut.

Berikan posisi semifowler/fowler Posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru

tinggi dan bantu klien latihan dan menurunkan upaya bernapas. Ventilasi

napas dalam dan batuk efektif. maksimal membuka area atelektasis dan

meningkatkan gerakan sekret ke dalam jalan

napas besar untuk dikeluarkan.


Pertahankan intake cairan Intake cairan yang adekuat dapat membantu

sedikitnya2500 ml/hari kecuali mengencerkan sekret sehingga sekret lebih

tidakdiindikasikan. mudah untuk dikeluarkan.

Bersihkan sekret dari mulut dan Mencegah obstruksi dan aspirasi.

trakhea, bila perlu lakukan Pengisapan diperlukan bila klien tidak

pengisapan (suction). mampu mengeluarkan sekret.

Kolaborasi pemberian obat sesuai

indikasi:

Agen mukolitik Agen mukolitik menurunkan kekentalan dan

perlengketan sekret paru untuk

memudahkan pembersihan.

Bronkodilator Bronkodilator meningkatkan diameter

lumen percabangan trakeobronkhial

sehingga menurunkan tahanan terhadap

aliran udara.

Kortikosteroid Kortikosteroid berguna pada keterlibatan

luas dengan hipoksemia dan bila reaksi

inflamasi mengancam kehidupan.

3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru

Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....., pasien dapat

mempertahankan pola pernafasan yang efektif.


Kriteria Hasil :

Paien menunjukan

1. Frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan

2. Adanya penurunan dispneu

3. Gas-gas darah dalam batas normal

Rencana Intervensi Rasional

1. Kaji frekuensi, kedalaman Kondisi kerusakan pada alveoli akan

dan kualitas pernapasan serta meningkatan tegangan permukaan sehingga

pola pernafasan dibutuhkan gaya yang lebih besar dalam

usaha bernapas

2. Kaji tanda vital dan tingkat Perubahan pada suatu sitem tubuh agar

kesadaran setiap jam tergambar melalui perubahan tanda-tanda

vital dimana pada kasus ini akan terjadi

penurunan kesadaran dan disertai

peningkatan respirasi dan penurunan

tekanan darah.

3. Berikan oksigen dalam kadar oksigen perlu diatur agar tidak

bantuan ventilasi dan berlebih bagi tubuh.

humidifer sesuai kebutuhan

. .
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif ( 2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem.
Pernapasan.Jakarta: Salemba Medika.
Doengoes, M.E, (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai