SYNDROME
1. Pengertian
mendadak yang timbul pada klien dewasa tanpa kelainan paru yang mendasari sebelumnya.
Sulit untuk membuat definisi secara tepat, karena patogenesisnya belum jelas dan terdapat
banyak faktor predisposisi seperti syok karena perdarahan, sepsis, rudapaksa/trauma pada
paru atau bagian tubuh lainnya, pankreatitis akut, aspirasi cairan lambung, intoksikasi heroin,
Sindrom gawat napas akut juga dikenal dengan edema paru nonkardiogenik. Sindrom
ini merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif kandungan oksigen
di arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. ARDS biasanya membutuhkan
ventilasi mekanik yang lebih tinggi dari tekanan jalan napas normal. Terdapat kisaran yang
luas dari faktor yang berkaitan dengan terjadinya ARDS termasuk cedera langsung pada paru
(seperti inhalasi asap) atau gangguan tidak langsung pada tubuh (seperti syok).
2. Etiologi
Mekanisme Etiologi
Kerusakan paru akibat inhalasi Kelainan paru akibat kebakaran, inhalasi gas
koagulasiintravaskular tersebar
(disseminatedintravascularcaagulation-DIC),
dan pankreatitisidiopatik,
3. Patologi
mengandung udara, dan hampir tidak mengembang. Potongan penampang paru menunjukkan
perdarahan kongesti, dan edema, menyerupai hati. Perubahan paling awal dari segi
Sindrom gagal napas pada klien dewasa (ARDS) selalu berhubungan dengan
penambahan cairan dalam paru. Sindrom ini merupakan suatu edema paru yang berbeda
dariedema paru karena kelainan jantung. Perbedaannya terletak pada tidak adanya
peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru. Dari segi histologis, mula-mula terjadi
Untuk mengetahui lebih banyak mengenai edema paru pada ARDS, penting untuk
Membran alveoli terdiri atas dua tipe sel, yaitu sel Tipe I (Tipe A), sel penyokong
yang tidak mempunyai mikrovili dan amat tipis. Sel Tipe II (Tipe B) berbentuk hampir
seperti kubus dengan mikrovili dan merupakan sumber utama surfaktan alveoli. Sekat
pemisah udara dan pembuluh darah disusun dari sel Tipe I atau Tipe II dengan membran
Bagian membran kapiler alveoli yang paling tipis mempunyai tebal 0,15 µm.
SelpneumositTipe I amat peka terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh berbagai zat yang
terinhalasi. Jika terjadi kerusakan sel-sel yang menyusun 95% dari permukaan alveoli ini,
akan amat menurunkan keutuhan sekat pemisah alveoli-kapiler. Pada kerusakan mendadak
paru, mula-mula terjadi peradangan interstisial, edema, dan perdarahan yang disertai dengan
proliferasi sel Tipe II yang rusak. Keadaan peradangan ini dapat membaik secara lambat atau
Selendotel mempunyai celah yang dapat menjadi lebih besar daripada 60 A sehingga
terjadi perembesan cairan dan unsur-unsur lain darah ke dalam alveoli dan terjadi edema
paru. Mula-mula cairan berkumpul di interstisium dan jika kapasitas interstisium terlampaui,
(shunt).
sebagai akibat trauma, syok, dan lain-lain. Selanjutnya aktivasi komplemen akan
menghasilkan C5a yang menyebabkan granulosit teraktivasi dan menempel serta merusak
paru. Agregasi granulosit neutrofil merusak selendotelium dengan melepaskan protease yang
menghancurkan struktur protein seperti kolagen,elastin dan fibronektin, dan proteolisis
protein plasma dalam sirkulasi seperti faktor Hageman, fibrinogen, dan komplemen (Yusuf,
1996).
Beberapa hal yang menyokong peranan granulosit dalam proses timbulnya ARDS
adalah fakta adanya granulositopenia yang berat pada binatang percobaan dengan ARDS
Biopsi paru dari klien dengan ARDS menunjukkan juga adanya pengumpulan
granulosit yang tidak normal dalam parenkim paru. Granulosit yang teraktivasi mampu
melepaskan enzim proteolitik seperti elastase, kolagenase, dan oksigen radikal yang dapat
Endotoksin bakteri, aspirasi asam lambung, dan intoksikasi oksigen dapat merusak sel
endotelium arteri pulmonalis dan leukosit neutrofil yang teraktivasi akan memperbesar
kerusakan tersebut. Histamin, serotonin, atau bradikinin dapat menyebabkan kontraksi sel
kapiler.
Adanya hipotensi dan pankreatitis akut dapat menghambat produksi surfaktan dan
fosfolipase A. Selain itu, cairan edema terutama fibrinogen akan menghambat produksi dan
jaringan interstitial dan alveoli, menyebabkan edema paru dan atelektasiskongesti yang luas.
Terjadi pengurangan volume paru, paru menjadi kaku dan komplians (compliance) paru
alveoliyang kolaps), dan kelainan difusi alveoli-kapiler akibat penebalan dinding alveoli-
kapiler.
dan alveolar serta atelektasis alveolar, sehingga jumlah udara sisa pada paru di akhir ekspirasi
ARDS biasaya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan awal pada
paru. Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti dengan
pernapasan yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan tanda
yang khas pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah
diberioksigen. Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui ronkhi basah kasar, serta kadang
wheezing.
Diagnosis dini dapat ditegakkan jika pasien mengeluhkan dispnea, sebagai gejala
pendahulu ARDS. Diagnosis presumtif dapat ditegakkan dengan pemeriksaan analisa gas
darah serta fototoraks. Analisa ini pada awalnya menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO-
2sangat rendah, PaCO2 normal atau rendah, serta peningkatan pH).Fototoraks bias any
amemperlihatkan infiltrat alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau batas-
batas jantung, namun siluet jantung biasanya normal. Bagaimana pun, belum tentu kelainan
pada fototoraks dapat menjelaskan perjalanan penyakit sebab perubahan anatomis yang
terlihat pada gambaran sinar X terjadi melalui proses panjang di balik perubahan fungsi yang
oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan indikasi adanya pintas
paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi unit paru yang tidak terjadi ventilasi.
Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru pasien sudah mengalami bocor di sana-sini,
bentuk yang tidak karuan, serta perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat.
bantuan beberapa alat. Untuk menginvestigasi adanya gagal jantung dapat dipasang kateter
Swan-Ganz, dari sini dapat dilihat bahwa pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) akan
terukur rendah (<18 mmHg) pada ARDS serta meningkat (>20 mmHg) pada gagal jantung.
Jika terdapat emboli paru (keadaan yang menyerupai ARDS) mesti dieksplorasi hingga
pasien stabil sambil mencari sumber trombus yang mungkin terdapat pada pasien, missal nya
dari DVT. Pneumosystiscarinii dan infeksi-infeksi paru lainnya patut dijadikan diagnosis
6. Komplikasi
a. Kegagalan Pernafasan
Dapat timbul seiring dengan perkembangan penyakit dan individu harus vekerja
b. Pneumonia
ADRS.
a. Eksudatif
atau alveolar, penekanan pada bronkiolusterminalis, dan kerusakan pada sel alveolar
tipe I.
b. Fibroproliferatif
Ditandai dengan adanya kerusakan pada sel alveolar tipe II, peningkatan tekanan
ventilasi.
7. Pemeriksaan Diagnostik
3. Hipoksemia (PaO2 di bawah 50-60 mmHg) meski FcO2 50-60% (fraksi oksigen
yang dihirup).
4. Chest X—ray: pada stadium awal tidak terlihat dengan jelas atau dapat juga
terlihat adanya bayangan infiltrat yang terletak di tengah region perihilar paru-
paru. Pada stadium lanjut, terlihat penyebaran di interstisial secara bilateral dan
infiltrat alveolar, menjadi rata dan dapat mencakup keseluruhan lobus paru-paru.
Alkalosisrespiratori (pH> 7,45) dapat timbul pada stadium awal, tetapi asidosis
dapat juga timbul pada stadium lanjut yang berhubungan dengan peningkatan
dapat timbul pada stadium lanjut yang berhubungan dengan peningkatan nilai
8. Penatalaksanaan Medis
Mortalitas pada ARDS mencapai 50% dan tidak bergantung pada pengobatan. Oleh
karena itu, perawat perlu mengetahui tindakan pencegahan terhadap kemunculan ARDS. Hal-
hal penting yang perlu diketahui dan dipahami dengan baik adalah faktor-faktor predisposisi
seperti sepsis, pneumonia aspirasi, dan deteksi dini ARDS. Pengobatan dalam masa laten
lebih besar kemungkinannya untuk berhasil daripada jika dilakukan ketika sudah timbul
gejala ARDS.
alveoli secara optimal untuk mempertahankan gas darah arteri dan oksigenisasi jaringan yang
adekuat, keseimbangan asam-basa, dan sirkulasi dalam tingkat yang dapat ditoleransi sampai
fungsi ginjal dan sirkulasi, sebab dengan adanya kenaikan permeabilitas kapiler paru, cairan
dari sirkulasi merembes ke jaringan interstisial dan memperberat edema paru. Cairan yang
diberikan harus cukup untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat (denyut jantung yang
tidak cepat, ekstremitas hangat, dan diuresis yang baik) tanpa menimbulkan edema atau
memperberat edema paru. Jika perlu dimonitor dengan kateter SwanGanz dan teknik
permeabilitas yang luas, albumin akan ikut masuk ke ruang ekstravaskular. Peranan
dosis besar, pemberian metilprednisolon 30 mg/kgBB secara intravena setiap 6 jam sekali
9. Pencegahan
kemungkinan regurgitasi asam lambung. Pada klien dengan ARDS yang mendapat makanan
melalui pipa nasogastrik (NGT), penting untuk berpuasa 8 jam sebelum operasi - yang akan
mendapat anestesia umum - agar lambung kosong. Selain berpuasa selama 8 jam, pemberian
antasida dan simetidine sebelum operasi - pada klien yang akan mendapat anestesia umum -
dilakukan untuk menurunkan keasaman lambung sehingga jika terjadi aspirasi, kerusakan
paru akan lebih kecil. Setiap keadaan syok, harus diatasi secepatnya dan harus selalu
memakai filter untuk transfusi darah, menanggulangi sepsis dengan antibiotik yang adekuat,
dan jika perlu hilangkan sumber infeksi dengan tindakan operasi. Pengawasan yang ketat
harus dilakukan pada klien dengan risiko ARDS selama masa laten, jika klien mengalami
A. PENGKAJIAN
a. Primary Survey
Kaji :
3) Distress pernafasan
2. Breathing
Kaji :
3. Circulation
Kaji :
1) Denyut nadi karotis
2) Tekanan darah
3) Warna kulit, kelembaban kulit
4) Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
4. Disability
Kaji :
1) Tingkat kesadaran
2) Gerakan ekstremitas
3) Glasgow coma scale (GCS
4) Ukuran pupil dan respons pupil terhadap cahaya
b. Secondary Survey
a) Pengkajian Fisik
1. Mata
2. Kulit
d. Edema periorbital
a. Sianosis
b. Clubbing finger
5. Hidung
7. Dada
8. Pola pernafasan
b) Pemeriksaan Penunjang
b. Pemeriksaan PH darah
a. Pemberian oksigen
b. Inhalasi nebulizer
c. Pemberian ventilator
d. Fisioterapi dada
batuk efektif.
6. Gangguan ADL yang berhubungan dengan kelemahan fisik umum dan keletihan.
Tujuan: Dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intervensi keperawatan tidak
hipoksemia.
(misalnya kandungan
mengakibatkan edemainterstitialdan
ketidakseimbangan cairan.
batuk efektif.
Kriteria evaluasi:
- Pernapasan klien normal (16-20 x/menit) tanpa ada penggunaan otot bantu
mengeluarkan sekresi, catat kental (efek infeksi dan hidrasi yang tidak
tinggi dan bantu klien latihan dan menurunkan upaya bernapas. Ventilasi
napas dalam dan batuk efektif. maksimal membuka area atelektasis dan
indikasi:
memudahkan pembersihan.
aliran udara.
Paien menunjukan
usaha bernapas
2. Kaji tanda vital dan tingkat Perubahan pada suatu sitem tubuh agar
tekanan darah.
. .
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif ( 2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem.
Pernapasan.Jakarta: Salemba Medika.
Doengoes, M.E, (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta