Oleh:
Preseptor:
PADANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) adalah pedoman
penanganan tuberkulosis yang disusun oleh Organisasi Internasional yang
peduli terhadap tuberkulosis yaitu World Health Organization (WHO), Ducth
Tuberculosis Foundation (DTF), American Thoracic Society (ATS),
International Union Against Tuberculosis and Lung Diseases (IUTLD), US
Center for Diseases Control and Prevention (CDC) dan Stop TB
Partnership.1,2
Program ISTC ini edisi pertama dikeluarkan pada tahun 2006 dan edisi
kedua pada tahun 2009 kemudian 5 tahun setelah yaitu pada tahun 2014. Edisi
ketiga ini merupakan penyempurnaan dari edisi sebelumnya yang berfungsi
untuk memudahkan baik untuk tenaga profesi ataupun masyarakat dalam
pendekatan dan penatalaksanaan terhadap masalah – masalah TB yang ada
saat ini.1,2
ISTC telah disepakati oleh IDI dan organisasi profesi yang terkait
untuk diterapkan dalam penanganan tuberkulosis di Indonesia. Meskipun
demikian mengingat keterbatasan dalam hal sarana, prasarana, dan letak
geografis serta belum meratanya sumber daya manusia (SDM) dan masih
terdapatnya penyulit penyakit selain TB yang mengenai para pasien tersebut,
maka dalam pelaksanaannya ISTC ini dapat disesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang ada demi kepentingan terbaik pasien. 1,2
2
pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan
Cina dengan jumlah pasiensekitar 8% dari total jumlah pasien TB di dunia
pada tahun 2017.
Sekitar 75% pasienTB adalah kelompok usia yang paling produktif
secara ekonomis (15 – 50 tahun). Penyebab utama meningkatnya masalah TB
antara lain adalah kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti
negara – negara yang kurang berkembang. Kegagalan program TB selama ini
diakibatkan oleh tidak memadai komitmen politik dan pendanaan, tidak
memadainya akses pelayanan TB, tidak memadainya tatalaksana kasus, salah
persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG, infrastruktur kesehatan yang
buruk pada negara – negara yang mengalami krsis ekonomi dan pergolakan
masyarakat, perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan
perubahan struktur umur kependudukan, serta dampak pandemik infeksi HIV.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ISTC terdiri dari enam standar diagnosis (standar 1-6), tujuh standar
untuk pengobatan (standar 7-13), empat standar untuk penanganan TB
dengan infeksi HIV dan komorbid lain (standar 14-17), serta empat standar
untuk pelayanan kesehatan masyarakat.
STANDAR 1
4
pemberi pelayanan kesehatan tidak mencurigai penyakit; dan kurang
tersedianya sensitivitas dari tes diagnostik yang paling umum, mikroskopik
sputum (atau specimen lainnya). Dalam mengurangi penundaan perawatan
orang yang terkena, memerlukan ketersediaan fasilitas perawatan kesehatan
yang mudah diakses, meningkatkan kesadaran individu dan masyarakat, dan
secara aktif penemuan kasus pada semua populasi risiko tinggi. Mengurangi
keterlambatan pemberi pelayanan kesehatan merupakan pendekatan terbaik
dalam meningkatkan kesadaran dari risiko serta gejala TB dan tes diagnostik
yang disetujui WHO yang sesuai dan tersedia dalam komunitas mereka.
Rapid molecular test yang meningkatkan kecepatan dan sensitivitas untuk
mengidentifikasi Mycobacterium tuberculosis yang semakin tersedia dan
dalam beberapa situasiseperti yang dijelaskan dalam Standar 3, 5, dan 6,
merupakan tes awal yang direkomendasikan untuk diagnostik.
STANDAR 2
5
penting dari orang dengan TB aktif tidak memiliki batuk dari 2 minggu atau
lebih yang secara konvensional telah digunakan untuk mendefinisikan
seseorang yang diduga tuberkulosis. Dalam studi ini 10-25% pasien dengan
TB bakteriologis yang dikonfirmasi tidak melaporkan adanya batuk. Data ini
menunjukkan bahwa evaluasi untuk TB, menggunakan review gejala yang
meliputi, selain batuk dari 2 minggu atau lebih, batuk dengan durasi
berapapun, demam, berkeringat di malam hari, atau penurunan berat badan,
dapat diindikasikan dalam kelompok berisiko, terutama di daerah dimana ada
prevalensi penyakit yang tinggi dan pada populasi yang tinggi seperti
individu dengan peningkatan kerentanan, seperti orang dengan HIV.
Bahkan pada pasien dengan batuk kurang dari 2 minggu mungkin ada
prevalensi TB yang cukup besar. Sebuah penilaian dari India menunjukkan
bahwa dengan menggunakan ambang batas ≥2 minggu untuk mendorong
pengambilan spesimen dahak, jumlah pasien dengan dugaan tuberkulosis
meningkat sebesar 61%, tetapi yang lebih penting, jumlah kasus TB yang
diidentifikasi meningkat 46% dibandingkan dengan ambang batas > 3
minggu. Hasil ini juga menunjukkan bahwa secara aktif menanyakan adanya
batuk pada semua peserta klinik dewasa dapat meningkatkan hasil kasus;
15% dari pasien yang tanpa diminta mengajukan diri bahwa mereka
menderita batuk, memiliki hasil positif. Selain itu, 7% pasien yang tidak
sukarela mengatakan mereka mengalami batuk, tetapi saat ditanyai, mengaku
batuk ≥ 2 minggu memiliki hasil positif.
6
Sebaliknya, di negara-negara prevalensi tinggi, tuberkulosis akan menjadi
salah satu diagnosis terkemuka untuk dipertimbangkan, bersama-sama
dengan kondisi lain, seperti asma, bronkitis, dan bronkiektasis yang umum di
banyak daerah. TB juga harus dipertimbangkan dalam diferensial diagnosis
dari pneumonia komunitas, terutama jika pneumonia gagal untuk diselesikan
dengan pengobatan anti mikroba yang sesuai. Beberapa fitur telah
diidentifikasi yang menyarankan tuberkulosis pada pasien rawat inap bagi
pneumonia komunitas. Keadaan ini dapat ditemukan pada usia kurang dari
65 tahun, terdapat keringat malam, hemoptisis, penurunan berat badan,
paparan tuberkulosis, dan kekeruhan lobus atas pada rontgen dada.
7
Sistem skoring pada yang kemungkinan tuberkulosis diestimasi
berdasarkan kriteria radiografi yang spesifik, yang masing-masing diberi
nilai preset, memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sama seperti penilaian
radiografi yang tidak menggunakan sistem skoring. Sistem skoring tersebut
berguna dalam mengesampingkan TB paru, terutama untuk tujuan
pengendalian infeksi di rumah sakit, tetapi spesifisitas yang rendah
menghalangi dalam menegakkan tuberkulosis.
8
STANDAR 3
9
dan lapisan tipis agar memiliki karakteristik kinerja yang bervariasi dan tidak
disetujui untuk penggunaan secara umum oleh WHO hingga saat ini.
10
dengan latar belakang gelap, banyak digunakan di berbagai belahan dunia.
Tinjauan sistematis yang komprehensif dari 45 studi, di mana kinerja
mikroskopis sputum smear menggunakan pewarnaan fluoresensi
dibandingkan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN) menggunakan kultur
sebagai standar emas, menunjukkan bahwa FM adalah metode yang lebih
sensitif. Ulasan ini menunjukkan bahwa FM rata-rata 10% lebih sensitif
daripada mikroskop cahaya konvensional. Spesifikasi FM sebanding dengan
mikroskop ZN. Kombinasi peningkatan sensitivitas dengan sedikit atau tanpa
kehilangan spesifisitas menjadikan FM tes yang lebih akurat, meskipun
peningkatan biaya dan kompleksitas telah membatasi penggunaannya di
banyak daerah. Untuk alasan ini, FM konvensional paling baik digunakan di
pusat dengan ahli mikroskopis terlatih dan mahir, di mana sejumlah besar
spesimen diproses setiap hari dan terdapat program kontrol kualitas yang
tepat. Namun, light emitting diode (LED) dengan biaya lebih rendah yang
memiliki karakteristik kinerja lebih unggul daripada mikroskop konvensional
sekarang didukung oleh WHO dan tersedia secara luas.
11
Berdasarkan bukti WHO merekomendasikan bahwa Xpert MTB /
RIF:
12
hidup dengan HIV. Tes deteksi antibodi serologis komersial menghasilkan
perkiraan sensitivitas dan spesifisitas yang tidak konsisten dan tidak tepat.
Untuk alasan ini WHO merekomendasikan untuk tidak menggunakan tes ini
dan pemerintah India dan Kamboja telah melarang penggunaannya.
STANDARD 4
13
Mengingat temuan ini disarankan agar Xpert MTB / RIF dapat
digunakan sebagai pengganti tes mikroskopis konvensional, kultur, dan / atau
histopatologi untuk pengujian cairan bilas lambung dan spesimens non
respiratori yang spesifik. Namun, pasien yang diduga menderita TB extra
paru tetapi dengan hasil Xpert MTB / RIF-negatif tunggal harus menjalani
tes diagnostik lebih lanjut, dan mereka dengan kecurigaan klinis tinggi untuk
TB (terutama anak-anak) harus ditatalaksana bahkan jika Xpert MTB / hasil
RIF negatif atau jika tes tidak tersedia. Pada pasien yang memiliki penyakit
yang kompatibel dengan tuberkulosis (paru dan / atau extra paru) yang parah
atau mengalami progresivitas pesat, memulai pengobatan tidak harus ditunda
sambil menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologi. Bahkan tes terbaik bisa
saja tidak mendeteksi TB ketika ada basiler yang rendah seperti terjadi pada
meningitis TB, pada pasien dengan infeksi HIV, dan pada anak-anak. Dalam
situasi ini atau pada pasien sakit kritis yang diduga TB, penilaian klinis
mungkin membenarkan pengobatan empiris sambil menunggu hasil tes akhir,
atau bahkan ketika hasil tes negatif.
STANDAR 5
14
yang memiliki risiko HIV, atau yang sakit parah, Xpert MTB / RIF harus
dilakukan sebagai uji diagnostik awal.
15
divalidasi secara lokal, sesuai dengan kondisi setempat dan kebutuhan
(keuangan atau lainnya) pasien.
16
dicurigai menderita tuberkulosis yang memiliki sputum smears negatif dan
untuk orang yang terinfeksi HIV atau yang diduga memiliki TB yang
disebabkan oleh organisme yang resistan terhadap obat.
Ada bukti yang baik bahwa kultur cair lebih sensitif dan cepat
daripada kultur media padat dan merupakan metode referensi standar yang
terbaik. WHO telah mengeluarkan pedoman kebijakan tentang penggunaan
media cair untuk pengujian kultur dan kerentanan obat di rangkaian low
resource settings. Kebijakan ini merekomendasikan penerapan bertahap
sistem kultur cair sebagai bagian dari rencana komprehensif spesifik negara
untuk menguatkan kapasitas laboratorium yang membahas masalah-masalah
seperti: keamanan hayati, pelatihan, pemeliharaan infrastruktur, dan
pelaporan hasil. Namun, pengembangan kapasitas untuk melakukan kultur
membutuhkan sistem perawatan kesehatan yang berfungsi dengan baik,
infrastruktur laboratorium yang memadai dan personel yang terlatih.
17
disebutkan di atas, radiografi saja tidak bisa membangun diagnosis. Namun,
dalam kombinasi dengan penilaian klinis, radiografi dapat memberikan bukti
penting untuk diagnosis.
STANDAR 6
18
Sebagai komponen dari mengevaluasi anak untuk TB, situasi sosial
dan status gizi anak harus diperhitungkan dan kebutuhan untuk layanan
dukungan yang dinilai. Orang tua atau orang dewasa yang bertanggung
jawab harus diinformasikan mengenai pentingnya pengobatan agar menjadi
pendukung pengobatan yang efektif.
19
2.3 Standar Pengobatan
STANDAR 7
20
BAB III
KESIMPULAN
ISTC berisi 21 standar yang terdiri dari standar diagnosis dari standar
1-6, standar terapi / pengobatan dari standar 7-13, standar Penanganan TB
dengan infeksi HIV dan kondisi komorbid lain dari standar 14-17 dan standar
kesehatan masyarakat dari standar 18 sampai 21.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. International Standard for Tuberculosis Care (ISTC), Edition 3. The Hague, 2014
2. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberculosis di Indonesia 2011. Jakarta:
PerhimpunanDokterParu Indonesia; 2011.
3. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. ParofisiologiKonsep Klis Prose – Proses
Penyakit Eds 6. Jakarta, EGC, 2005 : Vol 2 852 – 862
4. Global Tuberculosis Report 2018. Geneva: World Health Organization; 2018.
22