Anda di halaman 1dari 19

RSUP Dr.

SARDJITO YOGYAKARTA

RSUP Dr. Sardjito dalam hal ini diwakili oleh Direktur Umum dan Operasional, drg. Rini
Sunaring Putri M.Kes., menjadi salah satu narasumber dalam pertemuan Koordinasi Pengelolaan
Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan Berbasis Wilayah, Rabu (3/10). Digagas oleh
Direktorat Kesehatan Lingkungan Ditjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes dan berlangsung di
ruang Sekar Jagad Hotel Santika ini dihadiri 65 peserta dari berbagai instansi. Dengan adanya
pertemuan ini diharapkan seluruh fasilitas pelayanan kesehatan khususnya di DIY mampu
mengelola pembuangan limbah medis dengan baik.

Permasalahan pembuangan limbah medis sembarangan seperti yang terjadi di Cirebon menjadi
latar belakang diadakannya kegiatan ini. Limbah medis yang merupakan hasil dari aktivitas
medis memiliki 2 mata sisi. Apabila pengolahan limbah medis dilakukan dengan prosedur yang
salah maka akan menimbulkan banyak permasalahan diantaranya pencemaran lingkungan,
penyalahgunaan limbah, dan terjadinya infeksi serta mengancam keselamatan kerja. Sementara
itu pengolahan limbah medis yang baik tentu akan mendatangkan berbagai keuntungan, yaitu
selain terhindar dari permasalahan lingkungan juga mendatangkan nilai ekonomi.

RSUP Dr. Sardjito sebagai rumah sakit rujukan wilayah Jawa Tengah dan DIY yang melayani
ribuan pasien tentu menghasilkan limbah medis dengan jumlah yang sangat besar. Keberadaan
tingginya pasien pengidap kanker dibandingkan dengan penyakit lain di RSUP Dr. Sardjito
secara tidak langsung berdampak pada timbulnya limbah dengan spesifikasi B3 (Bahan
Berbahaya Beracun) yang cukup tinggi. Sejak tahun 2016, RSUP Dr. Sardjito membentuk Bank
Sampah untuk mengatasi permasalahan limbah medis. Bank Sampah Melati Husada menjadi
tempat terakhir pengumpulan limbah medis dari hasil pemilahan limbah di masing-masing unit
kerja. Melalui Bank Sampah ini, RSUP Dr. Sardjito menjadi percontohan rumah sakit dalam
pengolahan limbah medis.

Direktur Umum dan Operasional RSUP Dr. Sardjito, drg.Rini Sunaring Putri, M.Kes menerima
kunjungan kerja dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
(Kemenko PMK) Republik Indonesia di Ruang Bulat, Gedung Administrasi Pusat RSUP Dr.
Sardjito, Rabu (24/4). Sebanyak 15 peserta kunjungan yang dipimpin oleh Asisten Deputi
Ketahanan Gizi, Kesehatan Ibu dan Anak dan Kesehatan Lingkungan Kemenko PMK , Meida
Octarina bertujuan untuk melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan peningkatan
akses dan mutu pelayanan kesehatan, salah satunya tentang pengelolaan limbah medis RSUP
Dr. Sardjito. Pada kesempatan ini, selain memaparkan pengelolaan limbah medis di RSUP Dr.
Sardjito, disampaikan pula pengelolaan limbah radioaktif di Instalasi Radiologi oleh Dr. dr.
Bagaswoto, Sp.Rad(K)RI, Sp.KN. Kegiatan diskusi dilanjutkan dengan kunjungan lapangan ke
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) bersama Kepala Instalasi Sanitasi Lingkungan Rumah
Sakit (ISLRS), Agung Sapto Budi Nugroho, ST untuk melihat mekanisme pengolahan limbah di
lingkungan RSUP Dr. Sardjito.

RSUP Dr. Sardjito merupakan tempat pelayanan kesehatan yang dirancang dengan
memperhatikan aspek kebersihan bangunan, sampah, limbah padat maupun cair, pengelolaan air
bersih dan antisipasi terhadap serangan serangga maupun binatang pengganggu yang dapat
menghambat proses pemberian layanan kesehatan kepada masyarakat. Sampah dan limbah
rumah sakit adalah semua sampah dan limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit maupun
kegiatan penunjang lainnya. Penanganan terhadap limbah rumah sakit, baik limbah medis
maupun non medis merupakan hal penting yang wajib dikelola dengan baik oleh pihak rumah
sakit sebagai penghasil limbah. RSUP Dr. Sardjito berkomitmen untuk melakukan pengelolaan
limbah B3 secara berkelanjutan. Hal tersebut diimplementasikan dengan penetapan kebijakan,
panduan, program, SPO, SE tentang pengelolaan limbah B3; pembentukan unit kerja kesehatan
lingkungan dan Tim Green Hospital; penerapan sistem manajemen lingkungan; penyimpanan
limbah B3 di TPS Limbah B3 berijin; rencana penandaan cool storage dan alat pengola limbah
medis; pengurangan limbah B3 serta pembentukan bank sampah. Adapun kebijakan
pengurangan limbah B3 yang diterapkan di RSUP Dr. Sardjito meliputi substitusi/ mengganti
atau menghindari material yang mengandung B3 (Alkes non merkuri, desinfektan, lampu LED
dll; good house keeping B3 (First In First Out/ FIFO); segregasi dengan pemilahan/ pemisahan
menurut jenis, kelompok, dan/atau karakteristik limbah untuk didaur ulang; membuat tata
kelola pengadaan bahan kimia dan bahan farmasi agar penumpukan dan
kedaluwarsa (kebijakan ED min 2 th dari pembelian) ; dan melakukan pencegahan dan
perawatan berkala terhadap peralatan (preventive maintenance).
Pengelolaan terhadap limbah telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No 101 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dimana Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan telah mengatur Tatacara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun Dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam Permen LHK No P 56 Tahun
2015. Dalam menerapkan pengelolaan limbah, RSUP Dr. Sardjito mengacu pada Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksaan
Reduce, Reuse dan Recycle Melalui Bank Sampah dengan membangun suatu sistem Bank
Sampah yang dikelola bersama antara RSUP Dr. Sardjito, Koperasi Melati Husada dan rekanan
pihak ketiga yang bertujuan untuk mengurangi limbah rumah sakit yang sangat kompleks dengan
melakukan sistem reduce, reuse dan recycle. Bank Sampah Melati Husada adalah suatu
pengelolaan sampah dan limbah hasil dari kegiatan rumah sakit dengan manajemen reduce,
reuse dan recycle. Reduce dengan mengurangi penggunaan bahan-bahan yang dapat merusak
lingkungan dan menggantinya menggunakan bahan ramah lingkungan yang mudah
terurai. Reuse dengan menggunakan kembali bahan-bahan yang masih dapat digunakan berulang.
Sedangkan recycle adalah mendaur ulang limbah untuk dibuat menjadi barang baru yang
memiliki nilai ekonomis. Civitas hospitalia turut berpartisipasi dalam mendukung program Bank
Sampah dengan ikut “menabung sampah”, mereka akan memperoleh suatu buku tabungan yang
berisi nominal tertentu sesuai dengan sampah yang disetorkan kepada petugas bank sampah.
Sampah yang disetorkan tentunya akan dipilah terlebih dahulu untuk kemudian ditimbang dan
ditentukan harga penggantinya. Dengan penerapan sistem Bank Sampah ini, RSUP Dr. Sardjito
turut mendukung program pemerintah dalam menangani sampah agar lebih ramah lingkungan
melalui penerapan sistem reduce, reuse dan recycle.

PENGELOLAAN LIMBAH RUMAH SAKIT

Pengelolaan limbah dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yangdilakukan terhadap


limbah mulai dari tahap pengumpulan di tempat sumber,pengangkutan, penyimpanan serta
tahap pengolahan akhir yang berartipembuangan atau pemusnahan.-indakan pertama yang
harus dilakukan sebelum melakukanpengelolaan limbah dari tindakan pre>entif dalam bentuk
pengurangan >olumeatau bahaya dari limbah yang dikeluarkan ke lingkungan. tau minimasi
limbah.5eberapa usaha minimasi meliputi beberapa tindakan seperti usaha reduksipada
sumbernya, pemanfaatan limbah,daur ulang, pengolahan limbah, sertapembuangan limbah
sisa pengolahan. Sedangkan tata lakana penangananlimbah medis sesuai permenkes meliputi
kegiatan 1inimisasi dan Pemilahan/imbah dengan rin ian kegiatan sebagai berikut

Upaya meminimalisasi limbah :


1. Menyeleksi bahan bahan yang kurang menghasilkan limbah sebelum membelinya
2. Menggunakan sedikit mungkin bahan bahan kimia
3. Mengutamakan metode pembersihan secara fisik daripada secara kimiawi
4. Mencegah bahan bahan yang dapat menjadi limbah seperti dalam kegiatan petugas
kesehatan dan kebersihan
5. Memonitor alur penggunaan bahan kimia dari bahan baku sampai menjadi limbah bahan
berbahaya dan beracun
6. Memesan bahan bahan kebutuhan

Kegiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa benda cair, padat
dan gas. Pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian dari kegiatan penyehatan lingkungan
di rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran
lingkungan yang bersumber dari limbah rumah sakit. Unsur-unsur yang terkait dengan
penyelenggaraan kegiatan pelayanan rumah sakit (termasuk pengelolaan limbahnya), yaitu
(Giyatmi. 2003) :

• Pemrakarsa atau penanggung jawab rumah sakit.

• Pengguna jasa pelayanan rumah sakit.

• Para ahli, pakar dan lembaga yang dapat memberikan saran-saran.

• Para pengusaha dan swasta yang dapat menyediakan sarana dan fasilitas yang diperlukan.

Upaya pengelolaan limbah rumah sakit telah dilaksanakan dengan menyiapkan perangkat
lunaknya yang berupa peraturan-peraturan, pedoman-pedoman dan kebijakan-kebijakan yang
mengatur pengelolaan dan peningkatan kesehatan di lingkungan rumah sakit. Di samping itu
secara bertahap dan berkesinambungan Departemen Kesehatan mengupayakan instalasi
pengelolaan limbah rumah sakit. Sehingga sampai saat ini sebagian rumah sakit pemerintah
telah dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan limbah, meskipun perlu untuk disempurnakan.
Namun harus disadari bahwa pengelolaan limbah rumah sakit masih perlu ditingkatkan lagi
(Barlin, 1995).

1.2. Peranan Rumah Sakit Dalam Pengelolaan Limbah


Rumah sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan yang meliputi pelayanan rawat jalan, rawat nginap, pelayanan gawat darurat,
pelayanan medik dan non medik yang dalam melakukan proses kegiatan hasilnya dapat
mempengaruhi lingkungan sosial, budaya dan dalam menyelenggarakan upaya dimaksud
dapat mempergunakan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar terhadap
lingkungan (Agustiani dkk, 1998).

Limbah yang dihasilkan rumah sakit dapat membahayakan kesehatan masyarakat, yaitu
limbah berupa virus dan kuman yang berasal dan Laboratorium Virologi dan Mikrobiologi
yang sampai saat ini belum ada alat penangkalnya sehingga sulit untuk dideteksi. Limbah cair
dan Iimbah padat yang berasal dan rumah sakit dapat berfungsi sebagai media penyebaran
gangguan atau penyakit bagi para petugas, penderita maupun masyarakat. Gangguan tersebut
dapat berupa pencemaran udara, pencemaran air, tanah, pencemaran makanan dan minunian.
Pencemaran tersebut merupakan agen agen kesehatan lingkungan yang dapat mempunyai
dampak besar terhadap manusia (Agustiani dkk, 1998).

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Kesehatan menyebutkan bahwa


setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Oleh karena itu Pemerintah menyelenggarakan usaha-usaha dalam lapangan pencegahan dan
pemberantasan penyakitpencegahan dan penanggulangan pencemaran, pemulihan kesehatan,
penerangan dan pendidikan kesehatan pada rakyat dan lain sebagainya (Karmana dkk, 2003).
Usaha peningkatan dan pemeliharaan kesehatan harus dilakukan secara terus menerus, sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan, maka usaha pencegahan dan
penanggulangan pencemaran diharapkan mengalami kemajuan. Adapun cara-cara pencegahan
dan penanggulangan pencemaran limbah rumah sakit antara lain adalah melalui (Karmana
dkk, 2003) :

• Proses pengelolaan limbah padat rumah sakit.

• Proses mencegah pencemaran makanan di rumah sakit.

Sarana pengolahan/pembuangan limbah cair rumah sakit pada dasarnya berfungsi menerima
limbah cair yang berasal dari berbagai alat sanitair, menyalurkan melalui instalasi saluran
pembuangan dalam gedung selanjutnya melalui instalasi saluran pembuangan di luar gedung
menuju instalasi pengolahan buangan cair. Dari instalasi limbah, cairan yang sudah diolah
mengalir saluran pembuangan ke perembesan tanah atau ke saluran pembuangan kota
(Sabayang dkk, 1996). Limbah padat yang berasal dari bangsal-bangsal, dapur, kamar operasi
dan lain sebagainya baik yang medis maupun non medis perlu dikelola sebaik-baiknya
sehingga kesehatan petugas, penderita dan masyarakat di sekitar rumah sakit dapat terhindar
dari kemungkinan-kemungkinan dampak pencemaran limbah rumah sakit tersebut (Sabayang
dkk, 1996).

1.3. Potensi Pencemaran Limbah Rumah Sakit

Dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh RS di


Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian terhadap 100 RS di Jawa
dan Bali menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 Kg per tempat tidur per
hari. Sedangkan produksi limbah cair sebesar 416,8 liter per tempat tidur per hari. Analisis
lebih jauh menunjukkan, produksi sampah (limbah padat) berupa limbah domestik sebesar
76,8 persen dan berupa limbah infektius sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional
produksi sampah (limbah padat) RS sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah
sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan betapa besar
potensi RS untuk mencemari lingkungan dan kemungkinannya menimbulkan kecelakaan serta
penularan penyakit (Sebayang dkk, 1996). Rumah sakit menghasilkan limbah dalam jumlah
besar, beberapa diantaranya membahyakan kesehatan di lingkungannya. Di negara maju,
jumlah limbah diperkirakan 0,5 - 0,6 kilogram per tempat tidur rumah sakit per hari
(Sebayang dkk, 1996).

Sementara itu, Pemerintah Kota Jakarta Timur telah melayangkan teguran kepada 23 rumah
sakit (RS) yang tidak mengindahkan surat peringatan mengenai keharusan memiliki instalasi
pengolahan air limbah (IPAL). Berdasarkan data dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup
Daerah (BPLHD) Jaktim yang diterima Pembaruan, dari 26 rumah sakit yang ada di Jaktim,
hanya tiga rumah sakit saja yang memiliki IPAL dan bekerja dengan baik. Selebihnya, ada
yang belum memiliki IPAL dan beberapa rumah sakit IPAL-nya dalam kondisi rusak berat
(Sebayang dkk, 1996).Data tersebut juga menyebutkan, hanya sembilan rumah sakit saja yang
memiliki incinerator. Alat tersebut, digunakan untuk membakar limbah padat berupa limbah
sisa-sisa organ tubuh manusia yang tidak boleh dibuang begitu saja. Menurut Kepala BPLHD
Jaktim, Surya Darma, pihaknya sudah menyampaikan surat edaran yang mengharuskan pihak
rumah sakit melaporkan pengelolaan limbahnya setiap tiga bulan sekali. Sayangnya, sejak
dilayangkannya surat edaran akhir September 2005 lalu, hanya tiga rumah sakit saja yang
memberikan laporan. Menurut Surya, limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang
infeksius, belum dikelola dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius
disamakan dengan limbah medis noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan
nonmedis. Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan limbah medis. Padahal,
limbah medis memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah nonmedis. Yang
termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah radiologi, limbah sitotoksis, dan
limbah laboratorium. Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di Indonesia sebagian besar
tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah sebagian besar
limbah rumah sakit dibuang ke tangki pembuangan seperti itu (Sebayang dkk,
1996).Sementara itu, Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Sudin Kesmas Jaktim menduga,
buruknya pengelolaan limbah rumah sakit karena pengelolaan limbah belum menjadi syarat
akreditasi rumah sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat yang
diterbitkan Departemen Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan
benar. Padahal setiap rumah sakit, selain harus memiliki IPAL, juga harus memiliki surat
pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL) dan surat izin pengolahan limbah cair. Sementara
limbah organ-organ manusia harus di bakar di incinerator. Persoalannya, harga incinerator itu
cukup mahal sehingga tidak semua rumah sakit bisa memilikinya (Sebayang dkk, 1996).

Beberapa hal yang patut jadi pemikiran bagi pengelola rumah sakit, dan jadi penyebab
tingginya tingkat penurunan kualitas lingkungan dari kegiatan rumah sakit antara lain
disebabkan, kurangnya kepedulian manajemen terhadap pengelolaan lingkungan karena tidak
memahami masalah teknis yang dapat diperoleh dari kegiatan pencegahan pencemaran,
kurangnya komitmen pendanaan bagi upaya pengendalian pencemaran karena menganggap
bahwa pengelolaan rumah sakit untuk menghasilkan uang bukan membuang uang mengurusi
pencemaran, kurang memahami apa yang disebut produk usaha dan masih banyak lagi
kekurangan lainnya (Sebayang dkk, 1996). Untuk itu, upaya-upaya yang harus dilakukan
rumah sakit adalah, mulai dan membiasakan untuk mengidentifikasi dan memilah jenis
limbah berdasarkan teknik pengelolaan (Limbah B3, infeksius, dapat digunapakai atau guna
ulang). Meningkatkan pengelolaan dan pengawasan serta pengendalian terhadap pembelian
dan penggunaan, pembuangan bahan kimia baik B3 maupun non B3. Memantau aliran obat
mencakup pembelian dan persediaan serta meningkatkan pengetahuan karyawan terhadap
pengelolaan lingkungan melalui pelatihan dengan materi pengolahan bahan, pencegahan
pencemaran, pemeliharaan peralatan serta tindak gawat darurat (Sebayang dkk, 1996).

1.4. Jenis Limbah Rumah Sakit Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Serta Lingkungan

Limbah rumah Sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan
kegiatan penunjang lainnya. Mengingat dampak yang mungkin timbul, maka diperlukan
upaya pengelolaan yang baik meliputi pengelolaan sumber daya manusia, alat dan sarana,
keuangan dan tatalaksana pengorganisasian yang ditetapkan dengan tujuan memperoleh
kondisi rumah sakit yang memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan (Said, 1999). Limbah
rumah Sakit bisa mengandung bermacam-macam mikroorganisme bergantung pada jenis
rumah sakit, tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang. Limbah cair rumah sakit
dapat mengandung bahan organik dan anorganik yang umumnya diukur dan parameter BOD,
COD, TSS, dan lain-lain. Sedangkan limbah padat rumah sakit terdiri atas sampah mudah
membusuk, sampah mudah terbakar, dan lain-lain. Limbah- limbah tersebut kemungkinan
besar mengandung mikroorganisme patogen atau bahan kimia beracun berbahaya yang
menyebabkan penyakit infeksi dan dapat tersebar ke lingkungan rumah sakit yang disebabkan
oleh teknik pelayanan kesehatan yang kurang memadal, kesalahan penanganan bahan-bahan
terkontaminasi dan peralatan, serta penyediaan dan pemeliharaan sarana sanitasi yang masib
buruk (Said, 1999).

Pembuangan limbah yang berjumlah cukup besar ini paling baik jika dilakukan dengan
memilah-milah limbah ke dalam pelbagai kategori. Untuk masing-masing jenis kategori
diterapkan cara pembuangan limbah yang berbeda. Prinsip umum pembuangan limbah rumah
sakit adalah sejauh mungkin menghindari resiko kontaminsai dan trauma (injury). jenis-jenis
limbah rumah sakit meliputi bagian berikut ini (Shahib dan Djustiana, 1998) :

a. Limbah Klinik

Limbah dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin, pembedahan dan di unit-unit resiko
tinggi. Limbah ini mungkin berbahaya dan mengakibatkan resiko tinggi infeksi kuman dan
populasi umum dan staff rumah sakit. Oleh karena itu perlu diberi label yang jelas sebagai
resiko tinggi. contoh limbah jenis tersebut ialah perban atau pembungkus yang kotor, cairan
badan, anggota badan yang diamputasi, jarum-jarum dan semprit bekas, kantung urin dan
produk darah.

b. Limbah Patologi

Limbah ini juga dianggap beresiko tinggi dan sebaiknya diotoklaf sebelum keluar dari unit
patologi. Limbah tersebut harus diberi label biohazard.

c. Limbah Bukan Klinik

Limbah ini meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastik yang tidak berkontak
dengan cairan badan. Meskipun tidak menimbulkan resiko sakit, limbah tersebut cukup
merepotkan karena memerlukan tempat yang besar untuk mengangkut dan mambuangnya.

d. Limbah Dapur

Limbah ini mencakup sisa-sisa makanan dan air kotor. Berbagai serangga seperti kecoa, kutu
dan hewan mengerat seperti tikus merupakan gangguan bagi staff maupun pasien di rumah
sakit.

e. Limbah Radioaktif

Walaupun limbah ini tidak menimbulkan persoalan pengendalian infeksi di rumah sakit,
pembuangannya secara aman perlu diatur dengan baik.

1.5. Pencegahan Pengolahan Limbah Pada Pelayanan Kesehatan

Pengolahan limbah pada dasarnya merupakan upaya mengurangi volume, konsentrasi atau
bahaya limbah, setelah proses produksi atau kegiatan, melalui proses fisika, kimia atau hayati.
Dalam pelaksanaan pengelolaan limbah, upaya pertama yang harus dilakukan adalah upaya
preventif yaitu mengurangi volume bahaya limbah yang dikeluarkan ke lingkungan yang
meliputi upaya mengunangi limbah pada sumbernya, serta upaya pemanfaatan limbah
(Shahib, 1999). Program minimisasi limbah di Indonesia baru mulai digalakkan, bagi rumah
sakit masih merupakan hal baru, yang tujuannya untuk mengurangi jumlah limbah dan
pengolahan limbah yang masih mempunyainilai ekonomi (Shahib, 1999).
Berbagai upaya telah dipergunakan untuk mengungkapkan pilihan teknologi mana yang
terbaik untuk pengolahan limbah, khususnya limbah berbahaya antara lain reduksi limbah
(waste reduction), minimisasi limbah (waste minimization), pemberantasan limbah (waste
abatement), pencegahan pencemaran (waste prevention) dan reduksi pada sumbemya (source
reduction) (Hananto, 1999).

Reduksi limbah pada sumbernya merupakan upaya yang harus dilaksanakan pertama kali
karena upaya ini bersifat preventif yaitu mencegah atau mengurangi terjadinya limbah yang
keluar dan proses produksi. Reduksi limbah pada sumbernya adalah upaya mengurangi
volume, konsentrasi, toksisitas dan tingkat bahaya limbah yang akan keluar ke lingkungan
secara preventif langsung pada sumber pencemar, hal ini banyak memberikan keuntungan
yakni meningkatkan efisiensi kegiatan serta mengurangi biaya pengolahan limbah dan
pelaksanaannya relatif murah (Hananto, 1999). Berbagai cara yang digunakan untuk reduksi
limbah pada sumbernya adalah (Arthono, 2000) :

1. House Keeping yang baik, usaha ini dilakukan oleh rumah sakit dalam menjaga kebersihan
lingkungan dengan mencegah terjadinya ceceran, tumpahan atau kebocoran bahan serta
menangani limbah yang terjadi dengan sebaik mungkin.

2. Segregasi aliran limbah, yakni memisahkan berbagai jenis aliran limbah menurut jenis
komponen, konsentrasi atau keadaanya, sehingga dapat mempermudah, mengurangi volume,
atau mengurangi biaya pengolahan limbah.

3. Pelaksanaan preventive maintenance, yakni pemeliharaan/penggantian alat atau bagian alat


menurut waktu yang telah dijadwalkan.

4. Pengelolaan bahan (material inventory), adalah suatu upaya agar persediaan bahan selalu
cukup untuk menjamin kelancaran proses kegiatan, tetapi tidak berlebihan sehiugga tidak
menimbulkan gangguan lingkungan, sedangkan penyimpanan agar tetap rapi dan terkontrol.

5. Pengaturan kondisi proses dan operasi yang baik: sesuai dengan petunjuk
pengoperasian/penggunaan alat dapat meningkatkan efisiensi.
6. Penggunaan teknologi bersih yakni pemilikan teknologi proses kegiatan yang kurang potensi
untuk mengeluarkan limbah B3 dengan efisiensi yang cukup tinggi, sebaiknya dilakukan pada
saat pengembangan rumah sakit baru atau penggantian sebagian unitnya.

Kebijakan kodifikasi penggunaan warna untuk memilah-milah limbah di seluruh rumah sakit
harus memiliki warna yang sesuai, sehingga limbah dapat dipisah-pisahkan di tempat
sumbernya, perlu memperhatikan hal-hal berikut (Haryanto, 2001) :

1. Bangsal harus memiliki dua macam tempat limbah dengan dua warna, satu untuk limbah
klinik dan yang lain untuk bukan klinik.

2. Semua limbah dari kamar operasi dianggap sebagai limbah klinik.

3. Limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis, dianggap sebagai limbah klinik.

4. Semua limbah yang keluar dari unit patologi harus dianggap sebagai limbah klinik dan perlu
dinyatakan aman sebelum dibuang.

Beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan kodifikasi dengan warna
yang menyangkut hal-hal berikut (Sundana, 2000) :

1. Pemisahan limbah

• Limbah harus dipisahkan dari sumbernya

• Semua limbahberesiko tinggi hendaknya diberi label jelas

• Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda, yang menunjukkan ke
mana plastik harus diangkut untuk insinerasi atau dibuang. Di beberapa negara, kantung
plastik cukup mahal sehingga sebagai ganti dapat digunakan kantung kertas yang tahan bocor
(dibuat secara lokal sehingga dapat diperoleh dengan mudah). Kantung kertas ini dapat
ditempeli dengan strip berwarna, kemudian ditempatkan di tong dengan kode warna dibangsal
dan unit-unit lain

2. Penyimpanan limbah
• Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah berisi 2/3 bagian. Kemudian diikat
bagian atasnya dan diberi label yang jelas

• Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga kalau dibawa mengayun
menjauhi badan, dan diletakkan di tempat-tempat tertentu untuk dikumpulkan

• Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna yang samatelah
dijadikan satu dan dikirim ke tempat yang sesuai

• Kantung harus disimpan di kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan perusak sebelum
diangkut ke tempat pembuangannya

3. Penanganan limbah

• Kantung-kantung dengan kode warna hanya boleh diangkut bila telah ditutup

• Kantung dipegang pada lehernya

• Petugas harus mengenakan pakaian pelindung, misalnya dengan memakai sarung tangan yang
kuat dan pakaian terusan (overal), pada waktu mengangkut kantong tersebut

• Jika terjadi kontaminasi diluar kantung diperlukan kantung baru yang bersih untuk
membungkus kantung baru yang kotor tersebut seisinya (double bagging)

• Petugas diharuskan melapor jika menemukan benda-benda tajam yang dapat mencederainya di
dalma kantung yang salah

• Tidak ada seorang pun yang boleh memasukkan tangannya kedalam kantung limbah

4. Pengangkutan limbah

Kantung limbah dikumpulkan dan seklaigus dipisahkan menurut kode warnanya. Limbah
bagian bukan klinik misalnya dibawa ke kompaktor, limbah bagian klinik dibawa ke
insinerator. Pengankutan dengan kendaran khusus (mungkin ada kerjasama dengan Dinas
Pekerjaan Umum) kendaraan yang digunakan untuk mengankut limbah tersebut sebaiknya
dikosongkan dan dibersihkan tiap hari, kalau perlu (misalnya bila ada kebocoran kantung
limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin.
5. Pembuangan limbah

Setelah dimanfaatkan dengan kompaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat
penimbunan sampah (land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insinerasi), jika tidak
mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada
hari yang sama sehingga tidak sampai membusuk.

Kemudian mengenai limbah gas, upaya pengelolaannya lebih sederhana dibanding dengan
limbah cair, pengelolaan limbah gas tidak dapat terlepas dari upaya penyehatan ruangan dan
bangunan khususnya dalam memelihara kualitas udara ruangan (indoor) yang antara lain
disyaratkan agar (Agustiani dkk, 2000) :

• Tidak berbau (terutania oleh gas H2S dan Anioniak);

• Kadar debu tidak melampaui 150 Ug/m3 dalam pengukuran rata-rata selama 24 jam.

• Angka kuman. Ruang operasi : kurang dan 350 kalori/m3 udara dan bebas kuman padao gen
(khususnya alpha streptococus haemoliticus) dan spora gas gangrer. Ruang perawatan dan
isolasi : kurang dan 700 kalorilm3 udara dan bebas kuman patogen. Kadar gas dan bahan
berbahaya dalam udara tidak melebihi konsentrasi maksimum yang telah ditentukan.

Rumah sakit yang besar mungkin mampu membeli insinerator sendiri. insinerator berukuran
kecil atau menengah dapat membakar pada suhu 1300 - 1500o C atau lebih tinggi dan
mungkin dapat mendaur ulang sampai 60% panas yang dihasilkan untuk kebutuhan energi
rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat pula memperoleh penghasilan tambahan dengan
melayani insinerasi limbah rumah sakityang berasal dari rumah sakitlain. Insinerator modern
yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan antara lain kemampuannya menampung
limbah klinik maupun bukan klinik, termasuk benda tajam dan produk farmasi yang tidak
terpakai (Rostiyanti dan Sulaiman, 2001).

Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan
ditanam. Langkah-langkah pengapuran (liming) tersebut meliputi yang berikut (Djoko, 2001)
:

• Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter.


• Tebarkan limbah klinik didasar lubang sampai setinggi 75 cm.

• Tambahkan lapisan kapur.

• Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditambahkan sampai ketinggian 0,5
meter dibawah permukaan tanah.

• Akhirnya lubang tersebut harus dituutup dengan tanah.

1.6. Ozonisasi Pengolahan Limbah Medis

Limbah cair yang dihasilkan dari sebuah rumah sakit umumnya banyak mengandung bakteri,
virus, senyawa kimia, dan obat-obatan yang dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat
sekitar rumah sakittersebut. Dari sekian banyak sumber limbah di rumah sakit, limbah dari
laboratorium paling perlu diwaspadai. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses uji
laboratorium tidak bisa diurai hanya dengan aerasi atau activated sludge. Bahan-bahan itu
mengandung logam berat dan inveksikus, sehingga harus disterilisasi atau dinormalkan
sebelum "dilempar" menjadi limbah tak berbahaya. Untuk foto rontgen misalnya, ada cairan
tertentu yang mengandung radioaktif yang cukup berbahaya. Setelah bahan ini digunakan.
limbahnya dibuang (Suparmin dkk, 2002).

1.7. Teknologi Pengolahan Limbah

Teknologi pengolahan limbah medis yang sekarang jamak dioperasikan hanya berkisar antara
masalah tangki septik dan insinerator. Keduanya sekarang terbukti memiliki nilai negatif
besar. Tangki septik banyak dipersoalkan lantaran rembesan air dari tangki yang
dikhawatirkan dapat mencemari tanah. Terkadang ada beberapa rumah sakit yang membuang
hasil akhir dari tangki septik tersebut langsung ke sungai-sungai, sehingga dapat dipastikan
sungai tersebut mulai mengandung zat medis (Suparmin dkk, 2002).

Sedangkan insinerator, yang menerapkan teknik pembakaran pada sampah medis, juga bukan
berarti tanpa cacat. Badan Perlindungan Lingkungan AS menemukan teknik insenerasi
merupakan sumber utama zat dioksin yang sangat beracun. Penelitian terakhir menunjukkan
zat dioksin inilah yang menjadi pemicu tumbuhnya kanker pada tubuh (Suparmin dkk, 2002).
Yang sangat menarik dari permasalahan ini adalah ditemukannya teknologi pengolahan
limbah dengan metode ozonisasi. Salah satu metode sterilisasi limbah cair rumah sakit yang
direkomendasikan United States Environmental Protection Agency (USEPA) pada tahun
1999. Teknologi ini sebenarnya dapat juga diterapkan untuk mengelola limbah pabrik tekstil,
cat, kulit, dan lain-lain (Christiani, 2002).

1.7.1. Ozonisasi

Proses ozonisasi telah dikenal lebih dari seratus tahun yang lalu. Proses ozonisasi atau proses
dengan menggunakan ozon pertama kali diperkenalkan Nies dari Prancis sebagai metode
sterilisasi pada air minum pada tahun 1906. Penggunaan proses ozonisasi kemudian
berkembang sangat pesat. Dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun terdapat kurang lebih 300
lokasi pengolahan air minum menggunakan ozonisasi untuk proses sterilisasinya di Amerika
(Berlanga, 1998).

Dewasa ini, metode ozonisasi mulai banyak dipergunakan untuk sterilisasi bahan makanan,
pencucian peralatan kedokteran, hingga sterilisasi udara pada ruangan kerja di perkantoran.
Luasnya penggunaan ozon ini tidak terlepas dari sifat ozon yang dikenal memiliki sifat
radikal (mudah bereaksi dengan senyawa disekitarnya) serta memiliki oksidasi potential 2.07
V. Selain itu, ozon telah dapat dengan mudah dibuat dengan menggunakan plasma seperti
corona discharge (Berlanga, 1998). Melalui proses oksidasinya pula ozon mampu membunuh
berbagai macam mikroorganisma seperti bakteri Escherichia coli, Salmonella enteriditis,
Hepatitis A Virus serta berbagai mikroorganisma patogen lainnya (Crites, 1998). Melalui
proses oksidasi langsung ozon akan merusak dinding bagian luar sel mikroorganisma (cell
lysis) sekaligus membunuhnya. Juga melalui proses oksidasi oleh radikal bebas seperti
hydrogen peroxy (HO2) dan hydroxyl radical (OH) yang terbentuk ketika ozon terurai dalam
air. Seiring dengan perkembangan teknologi, dewasa ini ozon mulai banyak diaplikasikan
dalam mengolah limbah cair domestik dan industri (Akers, 1993).

1.7.2. Ozonisasi Limbah cair rumah sakit

Limbah cair yang berasal dari berbagai kegiatan laboratorium, dapur, laundry, toilet, dan lain
sebagainya dikumpulkan pada sebuah kolam equalisasi lalu dipompakan ke tangki reaktor
untuk dicampurkan dengan gas ozon. Gas ozon yang masuk dalam tangki reaktor bereaksi
mengoksidasi senyawa organik dan membunuh bakteri patogen pada limbah cair (Harper,
1986).

Limbah cair yang sudah teroksidasi kemudian dialirkan ke tangki koagulasi untuk
dicampurkan koagulan. Lantas proses sedimentasi pada tangki berikutnya. Pada proses ini,
polutan mikro, logam berat dan lain-lain sisa hasil proses oksidasi dalam tangki reaktor dapat
diendapkan (Harper, 1986).

Selanjutnya dilakukan proses penyaringan pada tangki filtrasi. Pada tangki ini terjadi proses
adsorpsi, yaitu proses penyerapan zat-zat pollutan yang terlewatkan pada proses koagulasi.
Zat-zat polutan akan dihilangkan permukaan karbon aktif. Apabila seluruh permukaan karbon
aktif ini sudah jenuh, atau tidak mampu lagi menyerap maka proses penyerapan akan
berhenti, dan pada saat ini karbon aktif harus diganti dengan karbon aktif baru atau didaur
ulang dengan cara dicuci. Air yang keluar dari filter karbon aktif untuk selanjutnya dapat
dibuang dengan aman ke sungai (Harper, 1986).

Ozon akan larut dalam air untuk menghasilkan hidroksil radikal (-OH), sebuah radikal bebas
yang memiliki potential oksidasi yang sangat tinggi (2.8 V), jauh melebihi ozon (1.7 V) dan
chlorine (1.36 V). Hidroksil radikal adalah bahan oksidator yang dapat mengoksidasi berbagai
senyawa organik (fenol, pestisida, atrazine, TNT, dan sebagainya). Sebagai contoh, fenol
yang teroksidasi oleh hidroksil radikalakan berubah menjadi hydroquinone, resorcinol,
cathecol untuk kemudian teroksidasi kembali menjadi asam oxalic dan asam formic, senyawa
organik asam yang lebih kecil yang mudah teroksidasi dengan kandungan oksigen yang di
sekitarnya. Sebagai hasil akhir dari proses oksidasi hanya akan didapatkan karbon dioksida
dan air (Harper, 1986). Hidroksil radikal berkekuatan untuk mengoksidasi senyawa organik
juga dapat dipergunakan dalam proses sterilisasi berbagai jenis mikroorganisma,
menghilangkan bau, dan menghilangkan warna pada limbah cair. Dengan demikian akan
dapat mengoksidasi senyawa organik serta membunuh bakteri patogen, yang banyak
terkandung dalam limbah cair rumah sakit (Wilson, 1986). Pada saringan karbon aktif akan
terjadi proses adsorpsi, yaitu proses penyerapan zat-zat yang akan diserap oleh permukaan
karbon aktif. Apabila seluruh permukaan karbon aktif ini sudah jenuh, proses penyerapan
akan berhenti. Maka, karbon aktif harus diganti baru atau didaur ulang dengan cara dicuci
(Wilson, 1986).
Dalam aplikasi sistem ozonisasi sering dikombinasikan dengan lampu ultraviolet atau
hidrogen peroksida.Dengan melakukan kombinasi ini akan didapatkan dengan mudah
hidroksil radikal dalam air yang sangat dibutuhkan dalam proses oksidasi senyawa organik.
Teknologi oksidasi ini tidak hanya dapat menguraikan senyawa kimia beracun yang berada
dalam air, tapi juga sekaligus menghilangkannya sehingga limbah padat (sludge) dapat
diminimalisasi hingga mendekati 100%. Dengan pemanfaatan sistem ozonisasi ini dapat
pihak rumah sakittidak hanya dapat mengolah limbahnya tapi juga akan dapat menggunakan
kembali air limbah yang telah terproses (daur ulang). Teknologi ini, selain efisiensi waktu
juga cukup ekonomis, karena tidak memerlukan tempat instalasi yang luas (Wilson, 1986).

Kegiatan rumah sakit yang sangat kompleks tidak saja memberikan dampak positif bagi
masyarakat sekitarnya, tetapi juga mungkin dampak negatif. Dampak negatif itu berupa
cemaran akibat proses kegiatan maupun limbah yang dibuang tanpa pengelolaan yang benar.
Pengelolaan limbah rumah sakityang tidak baik akan memicu resiko terjadinya kecelakaan
kerja dan penularan penyakit darin pasien ke pekerja, dari pasien ke pasien dari pekerja ke
pasien maupun dari dan kepada masyarakat pengunjung rumah sakit. Oleh sebab itu untuk
menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja maupun orang lain yang berada di
lingkungan rumah sakit dana sekitarnya, perlu penerapan kebijakan sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja, dengan melaksanakan kegiatan pengelolaan dan monitoring
limbah rumah sakitsebagai salah astu indikator penting yang perlu diperhatikan. Rumah sakit
sebagai institusi yang sosioekonomis karena tugasnya memberikan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat, tidak terlepas dari tanggung jawab pengelolaan limbah yang dihasilkan
(Wilson, 1986).

Limbah cair adalah jenis limbah yang banyak dihasilkan dari kegiatan proses produksi sebuah
industri sehingga limbah cair sangat identik dengan limbah industri. Banyak kasus
pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh kurang tepatnya penanganan limbah cair
sehingga mencemari sumur warga. 10 Cara menangani limbah cair dibawah ini bisa
membantu kita dalam melakukan penanganan limbah cair yang mungkin sangat mengganggu
hidup kita.
10 CARA PENANGANAN LIMBAH CAIR

1. PENYARINGAN

Limbah cair bisa di saring / difiltrsi unt memisahkan partikel tersusensi dari air

2. FLOTASI

Flotasi merupakan proses penanganan limbah dengan cara membuang dan memisahkan
partikel yang mengapung diatas permukaan air

3. ABSORBSI/ PENYERAPAN

Proses absorbsi ini dilakukan dengan menggunakan karbon sehngga partikel yang tidak
dibutuhkn bisa terserap dan terpisah dari air

4. PENGENDAPAN

Pengendapan diakukan dengan tujan supaya bahan yangtidak mudah larut bisa terpisah dari
air. Proses ini dilakukan dengan cara menambahkan elektrolit

5. PENYISIHAN

Penyisihan dapat dilakuan dengan cara mengoksidsi limbah cair sehingga zatorganis beracun
bisa terpisah dari air

6. MENGHILANGKAN MATERIAL ORGANIK

Pada cara penanganan limbah cair ini dilakukan dengan cara memberikan mikroorganisme
supaya material organik dalam air hancur atau hilang

7. MENGHILANGKAN ORGANISME PENYEBAB PENYAKIT

Pada proses ini, kita bisa menggunakan sinar ltravioletataupun menambahkan khlorin

8. PENGHANCURAN PARTIKEL PERUSAK

Ini perlu dilakukan untuk melindungi alat dari partiel – partikel yanng bersifat merusak
9. PENGGUNAAN KOLAM OKSIDASI

Ini merupakan metode penanganan limbah cair secara Biologi

10. PENGURANGAN LIMBAH CAIR

Jumlah limbah cair bisa dikurangi dengan cara mengefisienkan proses produksi sehingga
jumlah limbah cair yang dihasilkan bisa diminimalisir

Anda mungkin juga menyukai