Anda di halaman 1dari 7

A.

Konsep Dasar Konflik


a. Pengertian Konflik
Setiap individu mempunyai kebutuhan (needs) yang harus
dipenuhi. Namun, tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi melalui
usaha seorang diri. Melainkan memerlukan bantuan individu lain.
Kondisi ini merupakan konsekuensi logis dan adanya keterbatasan
yang dimiliki individu. Itulah sebabnya manusia disebut sebagai
makhluk sosial.
Sebagai makhluk sosial, sebuah individu akan berkumpul
membentuk kelompok tertentu berdasarkan kesamaan, misalnya
kesamaan dalam dalam hal tujuan, latar belakang pendidikan,
sosial ekonomi, rasial, pengalaman, dan kesukaan (hobi). Sejumlah
kesamaan tersebut, pada saatnya akan membutuhkan ikatan
perasaan senasib sepenanggungan, yang akhirnya berkumpul dan
mengadakan ikatan tertentu dalam bentuk kelompok khusus.
Mereka memberi nama pada masing-masing kelompoknya, agar
bisa membedakan dari yang lainnya. Setiap aggota kelompok
merasa saling membutuhkan untuk bertukar pikiran, berbagai rasa,
dan menampilkan kekuatan-kekuatan potensialnya masing-masing.
Di antara anggota akan tampil salah seorang yang paling menonjol,
untuk selanjutnya menjadi seorang pemimpinyang akan membawa
dan mempengaruhi anggota kelompoknya kea rah yang diinginkan.
Sementara itu, anggota lainnya akan segera mengambil perannya
sebagai anggota kelompok. Inilah embrio bagi tumbuhnya
organisasi-organisasi yang lebih professional. Agar setiap
organisasi berfungsi secara efektif, individu dan kelompok yang
saling bergantung harus membentukhubungan kerja dalam
lingkungan batas organisasi, diantara orang-orang antar individual
dan diantara kelompok. Individu dan kelompok dapat bergantung
satu sama lain untuk memperolah informasi, bantuan, atau tindakan
yang terkoordinasi. Ketergantungan semacam itu dapat membantu
perkembangan kerjasama dan konflik. Terdapat perbedaan
pandangan para pakar terkait dalam mengartikan konflik.
Setidaknya ada tiga kelompok pendekatan dalam mengartikan
konflik, yaitu pendekatan individu, pendekatan organisasi, dan
pendekatan sosial.
Pengertian konflik yang mengacu kepada pendekatan
individu antara lain dikemukakan oleh Ruchyat dan Winardi.
Ruchyat (2001:2) mengemukakan konflik individu adalah konflik
yang terjadi dalam diri seseorang. Senada dengan pendapat
Winardi (2004:169) mengemukakan konflik individu adalah
konflik yang terjadi dalam individu bersangkutan. Hal ini terjadi
jika individu :
1. Harus memilih antara dua macam alternative positif
dan sama-sama memiliki daya tarik yang sama.
2. Harus memilih antara dua macam alternative
negative yang sama tidak memiliki daya tarik sama
sekali.
3. Harus mengambil keputusan sehubungan dengan
sebuah alternative yang memiliki konsekuensi positif
maupun negative yang berkaitan dengannya.
Pendekatan konflik yang mengacu pada pendekatan sosial
adalah seperti yang dikemukakan oleh Cummings dan Alisjahbana.
Cummings (1980:41) mendefinisikan konflik sebagai suatu proses
interaksi sosial, dimana dua orang atau lebih, atau dua kelompok
atau lebih berbeda atau bertentangan dalam pendapat atau tujuan
mereka. Alisjahbana (1986:139) mengartikan konflik sebagai
perbedaan pendapat dan pandangan diantara kelompok-kelompok
masyarakat yang akan mencapai nilaimyang sama.
Pengertian konflik yang mengacu kepada pendekatan
organisasi antara lain dikemukakan oleh beberapa pakar berikut.
Luthans (1985) mengartikan konflik sebagai ketidaksesuaian nilai
atau tujuan antara anggota kelompok organisasi. Dubrint
(1984:346) mengartikan konflik sebagai pertentangan antara
individu atau kelompok yang dapat meningkatkan ketegangan
sebagai akibat saling menghalangi dalam pencapaian tujuan.
Winardi (2004:1) mengemukakan bahwa konflik adalah oposisi
atau pertentangan pendapat atau orang-orang, kelompok-
kelompok, ataupun juga organisasi-organisasi. Sedarmayanti
(2000:137) mengemukakan konflik merupakan perjuanagan antara
kebutuhan, keinginan, gagasan, kepentingan ataupun pihak saling
bertentanagan, sebagai akibat dari adanya perbedaan sasaran
(goals); nilai tantangan (values); pikiran (cogmition); perasaan
(affect); dan perilaku (behaviour). James A. F. Stoner (1986:550)
menyatakan bahwa konflik organisasi adalah perbedaan pendapat,
antara dua atau lebih banyak anggota organisasi atau kelompok,
karena harus membagi sumber daya yang langka atau aktivitas
kerja dan/atau pandangan yang berbeda.1
Kata konflik menurut bahasa Yunani configure, conflict
yang berarti saling berbenturan. Arti kata ini menunjukan pada
semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, ketidakserasian,
pertentangan, perkelahian, oposisi, da interaksi-interaksi yang
antagonis bertentangan (Kartini Kartono, 1991: 213). Konflik
adalah “relasi-relasi psikologis yang antagonis, berkaitan dengan
tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan, interes-interes eksklusif
yang tidak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang
bermusuhan, dan struktur-struktur nilai yang berbeda”. Fingk
(dalam Kartini Kartono, 1991) menyebutkan bahwa konflik
merupakan “interaksi yang antagonis , mencakup tingkah laku
yang lahiriah yang tampak jelas, mulai dari bentuk-bentuk
perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tidak langsung sampai
pada perlawanan terbuka”.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
onflik adalah suatu peretntangan dan ketidalsesuaian kepentingan,
tujuan, dan kebutuhan dalam situasi formal, sosia;, dan psikologis,
sehingga menjadi antagonis, ambivalen, dan emosional. Dengan
demikian, unsur-unsur konflik terdiri atas :

1
1. Adanya pertentangan, ketidaksesuaian, perbedaan.
2. Adanya pihak-pihak yang berkonflik .
3. Adanya situasi dan proses.
4. Adanya tujuan, interes/kepentingan , kebutuhan.2

b. Beberapa Pandangan tentang Konflik dalam Organisasi


Robbins (2003:137) mengemukakan tiga pandangan
mengenai konflik, yaitu pandangan tradisional, pandangan
hubungan manusia, dan pandangan interaksionis.
Pandangan tradisional menganggap semua konflik buruk.
Konflik dipandang secara negative, dan disinonimkan dengan
istilah kekerasan, perusakan dan ketidakrasionalan demi
memperkuat konotasi negatifnya. Konflik memiliki sifat dasar
yang merugikan dan harus dihindari. Pandangan tradisional ini
menganggap konflik sebagao hasil disfungsional akibat
komunikasi yang buruk, kurangnya keterbukaan dan
kepercayaan antara orang-orang, dan kegagalan para manajer
untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi para karyawan.
Pandangan hubungan manusia menyatakan baghwa
konflikmerupakan peristiwa yang wajar dalam dalam semua
elompok dan organisasi. karena konflik itu tidak terelakan.,
aliran hubungan manusia menganjurkan penerimaan konflik.
Konflik tidak akan disingkirkan, dan bahkan adakalanya
konflik membawa manfaat pada kinerja kelompok. Sementara
pendekatan hubungan manusia menerima konflik, pendekatan
interaksionis mendorong konflik atas dasar bahwa kelompok
yang kooperatif, tenang, damai serasi cenderung menjadi
statis., apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan
perubahan dan inovasi. Oleh karena itu, sumbangan utama dari
pendekatan interaksionis adalah mendorong pemimpin
kelompok untuk mempertahankan suatu tingkat minimum
berkelanjutan dari konflik. Dengan adanya pandangan ini
menjadi jelas bahwa untuk mengatakan bahwa konflik itu

2
seluruhnya baik atau buruk tidaklah tepat. Apakah suatu
konflik itu baik atau buruk tergantung pada tipe konflik.
Winardi (2004) menggambarkan pandangan kuno dan
pandangan modern tentang konflik yang menjadi pembaca
antara konflik masa lalu dan konflik masa kini dalam
organisasi.3

B. Strategi Manajemen Konflik


Strategi manajemen konflik diterapkan untuk menjadikan
konflik dan pemecahannya sebagai pendinamisasi dan
pengoptimalan pencapaian tujuan organisasi. Hal ini bergantung
pada pemimpin organisasi, apakah memiliki pandangan tradisional,
behavioural, atau pandangan interaksi dalam memandang
organisasi yang dipimpinnya. Bagaimanapun, konflik pasti akan
terjadi didalam organisasi, baik yang bersekala besar maupu yang
berskala kecil. Oleh sebab itu konflik-konflik itu perlu dikelola
agar menjadi potensi untuk mengefektifkan organisasi. Depdikbud
(1981), Gordon (1990), dan Miftah Thoha (1995) mengemukakan
strategi manajemen konflik secara umum sebagai berikut :
1. Strategi menang-kalah
Dengan menggunakan strategi menang kalah, salah satu pihak
menang dan salah satu pihak kalah, termasuk didalamnya
menggunakan wewenang atau kekuasaan untuk menekan salah
satu pihak. Bisa jadi, pihak yang kalah akan bertingkah laku
non-produktif, kurang aktif, dan tidak mengidentifikasikan
dirinya dengan tujuan organisasi.
2. Strategi kalah-kalah
Strategi kalah-kalah berate semua pihak yang berkonflik
menjadi kalah. Strategi ini dapat berupa kompromi (keduanya
sama-sama berkorban atas kepentingannya) , dan arbitrase
(menggunakan pihak ketiga).
3. Strategi menang-menang
Strategi menang-menang yaitu konflik dipecahkan melalui
metode “problem solving”(pemecahan masalah).

3
Penelitian menunjukan bahwa :
1. Metode pemecahan masalah mempunyai hubungan positif
dengan manajemen konfik yang efektif.
2. Pemecahan masalah banyak yang digunakan oleh pihak-
pihak yang memiliki kekuasaan, tetapi lebih menyukai bekerja
sama (dalam Scmuck, 1976) menunjukkan beberapa cara jika
menggunakan stategi manajemen konflik tertentu :
1. Jika menggunakan strategi menang-kalah, cara yang
ditempuh bisa :
a. Menghilangkan pergolakan dengan menggunakan
pertimbangan
b. Satu pihak
c. Diadakan resolusi dengan keputusan pihak luar.
d. Persetujuan melalui wasit.
2. Menghindari konflik dengan mengurangi
interdependensi :
a. Satu pihak menarik diri untuk bertindak lebih lanjut.
b. Mencari kesamaan-kesamaan jika terjadi konflik
interes.
c. Memisahkan pihak-pihak yang berkonflik.

3. Mengusahakan kesepakatan melalui pemecahan


masalah secara kreatif.
a. Secara umum, cara ini dilakukan dengan cara
menentukan masalah pokoknya, mengidentifikasi
alternative, mengevaluasi alternative, menentukan
alternative, terbaik, implementasi alternative dan
follow-up.
Strategi mengatasi konflik menurut (Dunnete, 1976) :
1. Forcing (pemaksaan)
Menyangkut penggunaan kekersan, ancaman, dan taktik-taktik
penekanan yang membuat lawan melakukan seperti yang
dikehendaki.
2. Avoding (penghindaran)
Berati menjauh dari lawan konflik. Penghindaran hanya cocok
bagi individu atau kelompok yang tidak tergantung pada lawan
individu atau kelompok konflik dan tidak mempunyai
kebutuhan lanjut untuk berhubunagan dengan lawan konflik.
3. Compromising (pengompromian)
Berati tawar menawar untuk melakukan kompromi sehingga
mendapatkan kesepakatan. Tujuan masing-masing pihak adalah
untuk mendapatkan kesepakatan terbaik yang saling
menguntungkan. Pengompromian akan berhasil apabila kedua
belah pihak saling menghargai dan saling percaya.
4. Collaborating
Berati kedua belah pihak yang berkonflik masih saling
mempertahankan keuntungan terbesar bagi dirinya atau
kelompoknya saja.
5. Smoothing (penghalusan) atau Iconciliation
Berate tindakan mendamaikan yang berusaha untuk
memperbaiki hubungan dan menghindarkan rasa permusuhan
terbuka tanpa memecahkan dasar ketidaksepakatan itu.
Conciliation berbentuk mengambil muka (menjilat) dan
pengakuan. Conciliation cocok digunakan apabila kesepakatan
itu sudah tidak relevan lagi dalam hubungan kerja sama.4

4 Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, (PT. Bumi Aksara, Jakarta
Timur 2008), Hlm 438

Anda mungkin juga menyukai