Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sindroma koroner akut (SKA) merupakan kumpulan gejala klinis yang

menggambarkan kondisi iskemik miokard akut. Nyeri dada adalah gejala utama yang

dijumpai serta dijadikan dasar diagnostik dan terapeutik awal, namun klasifikasi

selanjutnya didasarkan pada gambaran elektrokardiografi (EKG). Terdapat dua

klasifikasi pasien SKA berdasarkan gambaran EKG yaitu infark miokard dengan

elevasi segmen ST (STEMI) dan infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI).

NSTEMI biasanya disebabkan oleh penyempitan arteri koroner yang berat,

sumbatan arteri koroner sementara, atau mikroemboli dari trombus dan atau materi-

materi atheromatous. Dikatakan NSTEMI bila dijumpai peningkatan biomarkers

jantung tanpa adanya gambaran ST elevasi pada EKG, apabila tidak didapati

peningkatan enzim-enzim jantung kondisi ini disebut dengan unstable angina (UA)

dan diagnosis banding diluar jantung harus tetap dipikirkan.

Setiap tahunnya di Amerika Serikat 1.360.000 pasien datang dengan SKA,

810.000 diantaranya mengalami infark miokard dan sisanya dengan UA. Sekitar dua

per tiga pasien dengan infark miokard merupakan NSTEMI dan sisanya merupakan

STEMI. Didunia sendiri, lebih dari 3 juta orang pertahun diperkirakan mendapatkan

STEMI dan lebih dari 4 juta orang mengalami NSTEMI. Di Eropa diperkirakan

insidensi tahunan NSTEMI adalah 3 dari 1000 penduduk, namun angka ini cukup

bervariasi di negara-negara lain. Angka mortalitas di rumah sakit lebih tinggi pada

1
STEMI namun mortalitas jangka panjang didapati dua kali lebih tinggi pada pasien-

pasien dengan NSTEMI dalam rentang 4 tahun.

Mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara bebas,

mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktifitas guna

mempertahankan kesehatannya (Hidayat, 2009). Perubahan mobilisasi akan

mempengaruhi fungsi metabolisme endokrin, resorpsi kalsium, dan fungsi system

gastrointestinal. Dalam penanganan pasien dengan SKA & NSTEMI dapat dilakukan

dengan memberikan terapi fisik yaitu dengan memberikan terapi mobilisasi dini pada

pasien SKA &NSTEMI.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana penanganan kondisi kegawatdaruratan dan kekritisan bagi pasien

SKA & NSTEMI setelah di EKG

1.3 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui penanganan kondisi kegawatdaruratan dan

kekritisan bagi pasien SKA & NSTEMI setelah di EKG

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengertian SKA & NSTEMI

2. Untuk mengetahui penanganan SKA & NSTEMI

3. Untuk mengetahui perbedaan penanganan SKA & NSTEMI

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI SKA (SYNDROME KORONER AKUT)

Sindroma koroner akut (SKA) merupakan kumpulan gejala klinis yang

menggambarkan kondisi iskemik miokard akut. Nyeri dada adalah gejala utama yang

dijumpai serta dijadikan dasar diagnostik dan terapeutik awal, namun klasifikasi

selanjutnya didasarkan pada gambaran elektrokardiografi (EKG). Terdapat dua

klasifikasi pasien SKA berdasarkan gambaran EKG yaitu infark miokard dengan

elevasi segmen ST (STEMI) dan infark miokard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI).

Syndrome coroner akut adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia miokard yang

terjadi akibat kurangnya aliran darah ke miokardium berupa nyeri dada, perubahan

segmen ST pada Electrocardiogram (EKG), dan perubahan biomarker jantung (Kumar

& Cannon, 2009). Keadaan iskemia yang akut dapat menyebabkan nekrosis

miokardial yang dapat berlanjut disebabkan karena adanya gangguan aliran darah ke

jantung. Daerah otot yang tidak dapat aliran darah dan tidak dapat mempertahankan

fungsinya dikatakan mengalami infark (Guyton, 2007).

Menurut WHO tahun 2014, penyakit jantung iskemik merupakan penyebab

utama kematian didunia (12,8%) sedangkan di Indonesia menempati diurutan ke tiga. Di

negara industri dan negara-negara sedang berkembang syndrome coroner akut (SKA)

masih menjadi masalah kesehatan public yang bermakna (O’Gara, et al., 2012)

Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis

secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika

dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal

dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard

3
sebelumnya serta faktor-faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes melitus,

dislipidemia, merokok, stress serta sakit jantung koroner pada keluarga.

Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI,

seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun

STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi

hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.

2.1.2 Nyeri dada

Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan

tepat apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang

salah, dalam jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat.

Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Seorang

dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan

nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien

IMA.

Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :

1. Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial.

2. Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti

ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.

3. Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,

punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.

4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau oabat nitrat.

5. Faktor pencetus : latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah makan.

6. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas, lemas.

Dapat juga ditanyakan: Riwayat penyakit terdahulu, obat-obatan yang pernah

dikonsumsi, alergi terhadap sesuatu, riwayat penyakit keluarga

4
2.1.3Pemeriksaan Fisik

Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali

ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30menit

dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Tanda fisis lain pada disfungsi

ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan

split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late

sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan

pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38°C dapat dijumpai dalam minggu

pertama pasca STEMI.

Kemudian pada pemeriksaan fisik lain, dapat dilihat,

1. Apakah pasien tampak sakit berat?

2. Apakah pasien kesakitan, tertekan, nyaman, muntah, cemas, berkeringat, pucat,

sianosis, atau takipnea?

3. Apakah perfusi pasien cukup ataukah perifer teraba dingin?

4. Adakah stigmata kolesterolemia atau merokok?

5. Adakah anemia atau sianosis atau parut bedah (misalnya bekas CABG)?

6. Nadi: perhatikan kecepatan, irama, isi, dan sifat. Apakah nadi perifer teraba dan

sama kuat?

7. TD: apakah sama di kedua lengan?

8. JVP: meningkat atau tidak?

9. Gerak dada: apakah mengembang simetris

10. Auskultasi: apakah lapang paru bersih? Adakah bunyi tambahan—ronki, rub, atau

wheezing? Periksa bunyi jantung untuk mencari murmur, gesekan perikard, dan

irama gallop.

5
11. Periksa edema perifer, pergelangan tungkai, dan sakrum. Abdomen: adakah nyeri

tekan, tahanan, nyeri lepas, bising

12. Usus, organomegali, aneurisma? Adakah keluaran urin? SSP: adakah kelemahan,

defisit fokal?

13. EKG sangat vital dalam diagnosis MI

2.1.4 Pemeriksaan Penunjang

1. Elektrokardiogram (EKG)

Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri

dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam

10 menit sejak kedatangan IGD. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostic untuk

STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial

dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus

dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. pada pasien

dengan STEMI inferior. EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan

infark pada ventrikel kanan.

Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami

evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard

gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika

obstruksi thrombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak

kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya

mengalami angina pectoris tak stabil atau Non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa

elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q.

sbelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan

gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard non transmural jika EKG

hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T, namun ternyata

6
tidak selalu ada korelasi gambaran patologisi EKG dengan lokasi infark (mural/

transmural) sehingga terminology IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA

mural/ nontransmural.

Gambaran spesifik pada rekaman EKG

Daerah infark Perubahan EKG

Anterior Elevasi segmen ST pada lead V3 -V4, perubahan

resiprokal (depresi ST) pada lead II, III, aVF.

Inferior Elevasi segmen T pada lead II, III, aVF, perubahan

resiprokal (depresi ST) V1 – V6, I, aVL.

Lateral Elevasi segmen ST pada I, aVL, V5 – V6.

Posterior Perubahan resiprokal (depresi ST) pada II, III, aVF,

terutama gelombang R pada V1 – V2.

7
Ventrikel kanan Perubahan gambaran dinding inferior

Lokasi Infark Q-wave / Elevasi ST A. Koroner

Anteroseptal V1 dan V2 LAD

Anterior V3 dan V4 LAD

Lateral V5 dan V6 LCX

Anterior ekstrinsif I, a VL, V1 – V6 LAD / LCX

High lateral I, a VL, V5 dan V6 LCX

Posterior V7 – V9 (V1, V2*) LCX, PL

Inferior II, III, dan a VF PDA

Right ventrikel V2R – V4R RCA

Gelombang R yang tinggi dan depresi ST di V1 – V2 sebagi mirror image dari perubahan

sedapan V7 – V9.

LAD = Left Anterior Descending artery; PL = PosteriorDescending Artery.

LCX = Left Circumflex.; RCA= Right Coronary Artery.

2. Laboratorium

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK) MB dan cardiac specific

troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai

petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada

8
keadaan ini juga akan diikuto peningkatan CKMB, pada pasoen dengan elevasi ST dan

gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera meungkin dan tidak tergantung pada

pemeriksaan biomarker.

Peningkatn nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada

nekrosis jantung (infark miokard).

1. CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam

10- 24 jam dan kembali normal dalam 2- 4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan

kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.

2. cTn: ada 2 jenis cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2jam bila ada infark

miokard dan mencapai puncak dalam 10- 24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi

setelah 5- 14 hari, sedangkan cTnI setelah 5- 10 hari.

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:

3. Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4- 8

jam.

4. Creatinine kinasi (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan

mencapai puncak dalam 10- 36 jam dan kembali normal dalam 3- 4 hari.

5. Latic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24- 48 jam bila ada infark miokard,

mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8- 14 hari.

3. Ekokardiogram

Dilakukan untuk menentukan dimensi serambi, gerakan katup atau dinding

ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi katup. Dapat pula digunakan untuk melihat

luasnya iskemia bila dilakukan waktu dada sedang berlangsung.

9
4. Angiografi Koroner

Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar x pada

jantung dan pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk menemukan letak

sumbatan pada arteri koroner.

2.2 DEFINISI NSTEMI

Sindroma klinis yang episodik ini disebabkan oleh iskemia miokard yang sementara.

Biasanya mempunyai karakteristik tertentu:

1. Lokasinya biasanya di dada, substernal atau sedikitdi kirinya, dengan penjalaran ke

leher, rahang, bahu kiri sampai dengan lengan dan jari-jari bagian ulnar,

punggung/pundak kiri.

2. Nyeri berhubungan dengan aktivitas, hilang dengan istirahat; tapi tak berhubungan

dengan gerakan pernapasan atau gerakan dada ke kiri dan kekanan. Nyeri juga dapat

dipresipitasi oleh stres fisik ataupun emosional.

3. Kuantitas: Nyeri yang pertama sekali timbul biasanya agak nyata, dari beberapa

menit sampai kurang dari 20 menit. Bila lebih dari 20 menit dan berat maka harus

dipertimbangkan sebagai angina tak stabil (unstable angina pectoris = UAP)

sehingga dimasukkan ke dalam sindrom koroner akut = "acute coronary syndrome"

= ACS, yang memerlukan perawatan khusus.

Pada AP stabil, nyeri dada yang tadinya agak berat, sekalipun tidak termasuk

UAP, berangsur-angsur turun kuantitas dan intensitasnya dengan atau tanpa

pengobatan, kemudian menetap (misalnya beberapa hari sekali, atau baru timbul

pada beban/stres yang tertentu atau lebih berat dari sehari-harinya).

Pada sebagian pasien lagi nyeri dadanya bahkan berkurang terus sampai

akhirnya menghilang, yaitu menjadi asimtomatik, walaupun sebetulnya adanya

10
iskemia tetap dapat terlihat misalnya pada EKG istirahatnya, keadaan yang disebut

sebagai "silent iskhemia" sedangkan pasien-pasien lainnya lagi yang telah menjadi

asimtomatik, EKG istirahatnya normal pula, dan iskemia baru terlihat pada stres tes

pengobatan, kemudian menetap (misalnya beberapa hari sekali, atau baru timbul

pada beban/stres yang tertentu atau lebih berat dari sehari-harinya).

Kemudian yang dimasukkan ke dalam angina tak stabil yaitu: (1) pasien

dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, di mana angina cukup berat dan

frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari. (2) pasien dengan angina yang

makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu serangan angina timbul lebih

sering, dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan faktor presipitasi makin ringan. (3)

pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat.

Menurut pedoman American College of ( (ACC) dan America Heart

Association (AHA) angina tak stabil dan infark tanpa elevasi (NSTEMI = non ST

elevation myocardial infarktion) ialah apakah iskemia yang timbul cukup berat

sehingga menimbulkan kerusakan pada miokardium, sehingga petanda kerusakan

miokardium dapat diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai

keluhan sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun dengan ataupun tanpa

perubahan EKG untuk seperti adanya depresi segmen ST ataupun elavasi sebentar

atau adanya gelombang T yang negatif kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12 jam

tahap awal serangan, angina tak stabil seringkali tak bias dibedakan dari NSTEMI.

Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab angina pektoris tak stabil,

sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang

sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Terjadinya ruptur

menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi

terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% terjadi infark

11
dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%, dan

hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.

1. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST

Angina pektoris tak stabil (unstable angina = UA) dan infark miokard akut

tanpa elevasi ST (non ST elevation miocardial infarction = NSTEMI) diketahui

merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran

klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis

NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA menunjukkan bukti

adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung. Gejala yang paling

sering dikeluhkan adalah nyeri pda, yang menjadi salah sata gejala yang paling

sering didapatkan pada pasien yang datang ke IGD.

Non ST elevation myocardial Infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh

penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang

diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses

vasokonstriksi koroner. Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala di

epigastrium dengan ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar,

nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering

ditemukan pada NSTEMI. Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada iskemia pada

NSTEMI telah diketahui dengan baik, gejala tidak khas seperti dispneu, mual,

diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas, atau leher juga terjadi

dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.9

Gambaran elektrokardiogram (EKG), secara spesifik berupa deviasi segmen ST

merupakan hal penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada Thrombolysis in

Myocardial (TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0,05 mV

12
merupakan prediktor outcome yang buruk. Kaul et al. menunjukkan peningkatan

risiko outcome yang buruk meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi

segmen ST, dan baik depresi segmen ST maupun perubahan troponin T keduanya

memberikan tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan NSTEMI.

2. Perikarditis

Perikarditis adalah peradangan perikard parietalis, iseralis atau keduanya.

Respons perikard terhadap eradangan bervariasi dari akumulasi cairan atau darah

Efusi perikard), deposisi fibrin, proliferasi jaringan fibrosa, embentukan granuloma

atau kalsifikasi. Itulah sebabnya manifestasi klinis perikarditis sangat bervariasi dari

yang tidak khas sampai yang khas.

Perkarditis akut adalah perdangan primer maupun sekuder perkardium

parietalis/viseralis atau keduanya. Etiologi bervariasi luas dari virus, bakteri,

tuberkulosis, jamur,uremia, neoplasia, autoimun, trauma, infark jantung sampai ke

idiopatik.

Nyerinya bersifat khas yaitu retrosternal dan prekordial kiri, menjalar ke

belakang dari tepi trapezius. Keluhan paling sering adalah sakit/nyeri dada yang tajam,

retrosternal atau sebelah kiri. Bertambah sakit bila bernapas, batuk atau menelan.

Keluhan lainnya rasa sulit bernapas karena nyeri pleuritik di atas atau karena efusi

perikard. Pemeriksaan jasmani didapatkan friction rub presistolik, sistolik atau

diastolik. Bila efusi banyak atau cepat terjadi,akan didapatkan tanda tamponad.

Elektrokardiografi menunjukkan elevasi segmen ST. Gelombang T umumnya ke atas,

tetapi bila ada miokarditis akan ke bawah (inversi).

Foto jantung normal atau membesar (bila ada efusi perikard). Foto paru dapat

normal atau menunjukkan patologi (misalnya bila penyebabnya tumor paru, TBC,

13
dan lain-lain). Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan: leukosit, ureum, kreatinin,

enzim jantung, mikrobiologis parasitologis, serologis, virologis, patologis dan

imunologis untuk mencari penyebab peradangan dari sediaan darah, ciran perikard

dan atau jaringan biopsy perikard.

3. Miokarditis

Miokarditis merupakan penyakit inflamasi pada miokard, yang bisa

disebabkan karena infeksi maupun non infeksi. Patofisologi miokarditis belum

sepenuhnya dimengerti. Miokarditis primer diduga karena infeksi virus akut atau

lespons autoimun pasca infeksi viral. Miokarditis sekunder adalah inflamasi miokard

yang disebabkan patogen spesifik.

Manifestasi klinis miokarditis bervariasi, mulai dari asimptomatik (self-

limited disease) sampai syok kardiogenik. Gejala paling jelas yang menunjukkan

miokarditis adalah sindrom infeksi viral dengan demam, nyeri otot, nyeri sendi, dan

malaise. Sebagian besar pasien tidak mempunyai keluhan kardiovaskular yang

spesifik namun mungkin memiliki kelainan segmen ST dan gelombang T pada

elektrokardiogram (EKG). Nyeri dada ditemukan sampai dengan 35 persen pasien

dan mungkin berupa iskemia yang khas, atau pada umumnya perikardial. Nyeri dada

biasanya menunjukkan perikarditis yang terkait, namun terkadang dikarenakan

adanya iskemia miokard.

Kadang-kadang pasien mengalami sindrom klinik serupa dengan infark

miokard akut, dengan nyeri dada iskemia dan elevasi segmen ST pada EKG.

Disfungsi pada ventrikel kiri mungkin muncul pada kurang dari setengah pasien dan

cenderung bersifat difus. Vasopasme koroner juga dihubungkan dengan miokarditis

akut.

I. Working Diagnosis

14
Berdasarkan anamanesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang telah

disebutkan dalam data skenario. Pria tersebut dapat didiagnosis menderita sindroma

koroner akut. Sindroma koroner akut adalah suatu keadaan klinis tingkat miokard

iskemik akut tergantung derajat oklusi yang terjadi, dapat berupa angina pectoris tidak

stabil, infark miokad akut elevasi ST dan infark miokard akut tanpa elevasi ST.

Namun dalam scenario kasus diatas, pria tersebut dapat digolongkan dalam infark

miokard dengan elevasi ST.

Penyakit jantung iskemik tersebut adalah sekelompok sindrom yang berkaitan

erat yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium

dan aliran darah. Penyebab tersering penyakit jantung iskemik adalah menyempitnya

lumen arteria koronaria oleh aterosklerosis. Bila terjadi penyempitan aterosklerotik

lumen sebesar 75% atau lebih pada satu atau lebih arteria koronaria besar, setiap

peningkatan aliran darah koroner yang mungkin terjadi akibat vasodilatasi koroner

kompensatorik akan kurang memadai untuk memenuhi peningkatan kebutuhan

jantung.

II. Etiologi

Terjadinya Infark miokard akut biasanya dikarenakan aterosklerosis pembuluh

darah koroner. Nekrosis miokard akut terjadi akibat penyumbatan total arteri

koronaria oleh trombus yang terbentuk pada plak aterosklerosis yang tidak stabil. Ini

semua juga sering mengikuti ruptur plak pada arteri koroner dengan stenosis ringan.

Penurunan aliran darah koroner dapat juga disebabkan oleh syok dan hemoragic.

Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard merupakan dasar

dari terjadinya proses iskemik tersebut. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga

15
disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner,

abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.

III. Epidemiologi

Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering

di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih

dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit. Walaupun laju

mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekitar 1 di antara 25

pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama

setelah IMA. Di Inggris penyakit kardiovaskular membunuh 1 dari 2 penduduk

dalam populasi, dan menyebabkan hamper sebesar 250.000 kematian pada tahun

1998.

IV. Patofisiologi

Infark mikard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran

darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak

aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang

berkembang secara lambat biasanya tidak metnicu STEMI karena berkembangnya

banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi

secara cepat pada lokasi ipjuri vaskular, di mana injuri ini dicetuskan oleh faktor-

faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.

Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami

fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis,

sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri

koroner. Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus,

yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respons terhadap

trombolitik.

16
Keterangan gambar:

1) Lesi inisiasi dan akumulasi lipid ekstraselular dalam intima;

2) Evolusi stadium fibrofatty,

3) Lesi progresi dengan ekspresi prokoagulan dan lemahnya fibrous cap. Sindrom koroner

akut berkembang jika plak vulnerabel dan risiko tinggi mengalami disrupsi pada fibrous

cap.

4) Disrupsi plak adalah rangsangan terhadap trombogenesis. Resorpsi trombus dilanjutkan

dengan akumulasi kolagen dan pertumbuhan sel otot polos.

5) Selanjutnya disrupsi plak vulnerabel atau plak risiko tinggi mengakibatkan pasien

mengalami nyeri iskemia akibat penurunan aliran arteri koroner epikardial yang terlibat.

Reduksi aliran dapat menyebabkan oklusi trombus total (bawah kanan) atau oklusi trombus

subtotal (bawah kiri) Pasien dengan nyeri iskemia dapat berupa elevasi ST atau tanpa

elevasi segmen ST pada EKG. Pasien dengan elevasi ST sebagian besar berkembang

menjadi infark miokard gelombang Q, sebagian kecil berkembang menjadi infark miokard

gelombang non Q. Pasien tanpa elevasi segmen ST dapat mengalami angina pektoris tak
17
stabil atau infark miokard akut tanpa elevasi ST. Sebagian besar pasien dengan NSTEMI

berkembang menjadi infark miokard non Q, dan sebagian kecil menjadi infark miokard

gelombang Q.

Dari keterangan diatas dapat kita ketahui bahwa proses aterosklerosis atau dapat disebut

aterogenesis merupakan hal yang berperan penting dalam penyakit sindroma koroner akut

termasuk di dalamnya infark miokard akut dengan elevasi ST. Berikut ini akan dibahas

selanjutnya mengenai aterosklerosis dan patofisiologinya.

Aterosklerosis

Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri koronaria yang

paling sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa

dalam arteri koronaria, sehingga secara progresif mempersempit lumen pembuluh darah. Bila

lumen menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan

aliran darah miokardium. Bila penyakit ini semakin lanjut, maka penyempitan lumen akan

diikuti perubahan pembuluh darah yang mengurangi kemampuan pembuluh untuk melebar.

Dengan demikian keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan oksigen menjadi tidak

stabil sehingga membahayakan miokardium.

Lesi biasanya diklasifikasikan sebagai endapan lemak, plak fibrosa, dan lesi komplikata

(Gbr. 31-3), sebagai berikut:

18
1. Endapan lemak, yang terbentuk sebagai tanda awal aterosklerosis, dicirikan dengan

penimbunan makrofag dan sel-sel otot polos terisi lemak (terutama kolesterol oleat) pada

daerah fokal tunika intima (lapisan terdalam arteri). Makrofag tersebut akan memfagosit

lemak dan berubah menjadi foam sel. Sebagian endapan lemak berkurang, tetapi yang lain

berkembang menjadi plak fibrosa.

2. Plak fibrosa (atau plak ateromatosa) merupakan daerah penebalan tunika intima yang

meninggi dan dapat diraba yang mencerminkan lesi paling khas aterosklerosis. Biasanya,

plak fibrosa berbentuk kubah dengan permukaan opak dan mengilat yang menyembul ke

arah lumen sehingga menyebabkan obstruksi. Plak fibrosa terdiri atas inti pusat lipid dan

debris sel nekrotik yang ditutupi pleh jaringan fibromuskular mengandung banyak sel-sel

otot polos dan kolagen. Sejalan dengan semakin matangnya lesi, terjadi pembatasan aliran

darah koroner dari ekspansi abluminal, remodeling vaskular, dan stenosis luminal. Setelah

itu terjadi perbaikan plak dan disrupsi berulang yang menyebabkan rentan timbulnya

fenomena yang disebut "ruptur plak" dan akhirnya trombosis vena.


19
3. Lesi lanjut atau komplikata terjadi bila suatu plak fibrosa rentan mengalami gangguan

akibat kalsifikasi, nekrosis sel, perdarahan, trombosis, atau ulserasi dan dapat

menyebabkan infark miokardium.

Meskipun penyempitan lumen berlangsung progresif dan kemampuan pembuluh darah

untuk berespons juga berkurang, manifestasi klinis penyakit belum tampak sampai proses

aterogenik mencapai tingkat lanjut. Lesi bermakna secara klinis yang mengakibatkan iskemia

dan disfungsi miokardium biasanya menyumbat lebih dari 75% lumen pembuluh darah.

Penting diketahui bahwa lesi-lesi aterosklerotik biasanya berkembang pada segmen

epikardial di sebelah proksimal dari arteria koronaria, yaitu pada tempat lengkungan tajam,

percabangan, atau perlekatan. Lesi-lesi ini cenderung terlokalisasi dan fokal dalam

penyebarannya tetapi, pada tahap lanjut, lesi-lesi yang tersebar difus menjadi menonjol.

Patogenesis Aterosklerosis

Patogenesis aterosklerosis merupakan suatu proses interaksi yang kompleks, dan hingga

saat ini masih belum dimengerti sepenuhnya. Interaksi dan respons komponen dinding

pembuluh darah dengan pengaruh unik berbagai stresor (sebagian diketahui sebagai faktor

risiko) yang terutama dipertimbangkan. Dinding pembuluh darah terpajan berbagai iritan yang

terdapat dalam hidup keseharian. Diantaranya adalah faktor-faktor hemodinamik, hipertensi,

hiperlipidemia, serta derivat merokok dan toksin (misal, homosistein atau LDL-C teroksidasi).

Dari kesemua agen ini, efek sinergis gangguan hemodinamik yang menyertai fungsi sirkulasi

normal yang digabungkan dengan efek merugikan hiperkolesterolemia dianggap merupakan

factor terpenting dalam pathogenesis aterosklerosis. Berikut ini gambaran terjadinya proses

aterosklerosis yang berperan penting dalam patofisiologi infark miokard secara umum.

20
21
V. Penatalaksanaan

Tatalaksana Awal

1. Tatalaksana Pra Rumah Sakit

Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika pada pramedis di

ambulans yang sudah terlatih untuk mengintepretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali

komando medis online yang bertanggung jawab pasa pemberian terapi. Di Indonesia saat ini

pemberian trombolitik pra hospital ini belum bisa dilakukan.

2. Tatalaksanan di Ruang Emergensi

Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup : mengurangi /

menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi

segera, triase pasien risiko rendah ke ruang yang tepat di rumah sakit dan menghindari

pemulangan cepat pasien dengan STEMI.

Tatalaksana Umum

1. Oksigen

Suplemen Oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%.

Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.

2. Nitrogliserin

Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat

diberikan smapai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga

dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan

meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena

infark atau pembuluh kolateral.

3. Mengurangi dan menghilangkan nyeri dada

a. Morfin

22
Morfin sangan efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam

tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat

diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.

b. Aspirin

Inhibisi cepat sikooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2

dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi.

Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.

c. Penyekat beta

Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain

nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5

menit sampai total 3 dosis. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan

dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan

100 mg tiap 12 jam.

4. Inhibitor ACE

Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas

bertambah dengan penambahanaspirin dan penyekat beta. Pemberian inhibitor ACE

harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung.

Terapi Reperfusi Farmakologis

Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan disfungsi dan

dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI menjadi pump failure atau

takiaritmia ventrikular yang maligna.

Sasaran terapi hiperfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical

contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau

23
door-to-balloon (atau medical contact-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90

menit.

Obat fibrinolitik yang dapat diberikan untuk terapi reperfusi adalah streptokinase (SK),

Tissue plasminogen activator (tPA, alteplase), reteplase (retavase), Tenekteplase (TNKase).

Percutaneous Coronary Intervention (PCI)

Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasty dan atau stenting tanpa didahului

fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengambalikan perfusi pada STEMI

jika dilakukan dalam beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari

fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome

klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. Dibandingkan trombolisis, PCI

primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien < 75 tahun), risiko

perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang – kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan

darah lebih matur dan mudah hancur dengan obat fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih

mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya

sarana, hanya di beberapa rumah sakit.

VI. Prognosis

Terdapat bcberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA:

Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisis bedside sederhana; S3 gallop, kongesti paru

dan syok kardiogenik. Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks

jantung dan pulmonary capillary-wedge pressure.

24
VII. Komplikasi

1. Disfungsi Ventrikular

Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran dan

ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodeling

ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam

hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setalah infark ventrikel kiri mengalami

dilatasi.. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen noninfark, mengakibatkan penipisan

yang disproposional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan

yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada

apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan.

2. Gangguan Hemodinamik

Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit

pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal

pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang

tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada

pemeriksaan rontgen sering dijumpai kongesti paru.

25
3. Syok Kardiogenik

Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik mempunyai penyakit arteri

koroner multivesel.

4. Infark Ventrikel Kanan

Sekitar sepertiga pasien dengan infark inferiposterior menunjukkan sekurang-

kurangnya nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien dengan infark terbatas

primer pada ventrikel kanan. Infrak ventrikel kanan secara klinis menyebabkan tanda gagal

ventrikel kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul’s, hepatomegali) dengan

atau tanpa hipotensi. Elevasi segmen ST sadapan EKG sisi kanan, terutama sadapan V4R,

seting dijumpai dalam 24 jam pertama pasien infark ventrikel kanan.

5. Aritmia Pasca STEMI

Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setlah onset gejala.

Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan system saraf autonom,

gangguan elektrolit, iskemia pada perlambatan konduksi di zona iskemia miokard.

6. Ekstrasistol Ventrikel

Depolarisasi pematur ventrikel sporadic yang tidak sering, dapat terjadi pada hampir

semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Hipokalemia dan hipomagnesimia

merupakan factor resiko fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI, konsentrasi kalium serum

diupayakan mencapai 4,5 mmol ? liter dan magnesium 2,0 mmol/liter.

7. Takikardia dan Fibrilasi Ventrikel

Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardia dan fibrilasi ventricular dapat terjadi tanpa

tanda bahaya aritmia sebelumnya.

26
8. Fibrilasi ventrikel

9. Fibrilasi atrium

10. Aritmia supraventrikular

11. Asistol Ventrikel

12. Bradiaritmia dan blok

13. Komplikasi mekanik

14. Perikarditis

VIII. Preventive

Sepertinya yang sering disinggung sebelumnya etiologi utama STEMI ini adalah karena

thrombus yang diinduksi oleh pembentukan plak aterosklerotik. Oleh sebab itu, upaya

preventif atau pencegahan yang dapata dilakukan ialah lebih diutamakan pada pencegahan

pembentukan aterosklerotik dalam pembukuh darah koroner. Sekarang dianggap terdapat

banyak faktor yang saling berkaitan dalam mempercepat proses aterogenik. Telah ditemukan

beberapa faktor yang dikenal sebagai faktor risiko yang meningkatkan kerentanan terhadap

terjadinya aterosklerosis koroner pada individu tertentu. Tiga faktor risiko biologis yang tidak

dapat diubah, yaitu: usia, jenis kelamin laki-laki, dan riwayat keluarga. Faktor risiko

tambahan lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi memperlambat proses aterogenik.

Faktor risiko utama yang dapat diubah adalah: peningkatan kadar lipid serum; hipertensi;

merokok sigaret; diabetes melitus; gaya hidup yang tidak aktif, obesitas (terutama ripe

abdominal), dan peningkatan kadar homosistein. Oleh sebab itu, tentunya untuk mencegah

terjadinya penyakit ini, perlu memperbaiki factor-faktor resiko yang dapat diubah, seperti

tidak merokok, gaya hidup sehat, dan pola makan yang baik.

27
BAB III

KESIMPULAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembelajaran yang telah dijabarkan diatas, maka saya dapat

menyimpulkan bahwa pria dalam scenario kasus tersebut dapat didiagnosis menderita

sindroma koroner akut dengan jenis infark miokard dengan elevasi ST. Jadi berdasarkan

semua hal yang telah dipelajari, dapat disimpulkan bahwa hipotesis diterima.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo Aru W, et all. Infark Miokard dengan Elevasi ST. Idrus Alwi(eds). Buku ajar IPD.

Jilid 2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia;2015.h.1741-54.

2. Gleadle Jonathan. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit

Erlangga; 2014.h.166;170-71;112-3

3. Hudak, Gallo, Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, EGC : Jakarta; 1995

4. Dharma Surya. Pedoman Praktis Sistematika Interpretasi EKG. EGC: Jakarta; 2009

5. Kee JL. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostic. Edisi 6. Jakarta. EGC:

2017. h.149-5;295-7

6. Sudoyo Aru W, et all. Angina Pektoris Tak Stabil. Hanafi B. Trisnohadi(eds). Buku ajar

IPD. Jilid 2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia;2009.h.1728-32.

29
7. Isselbacher, et all. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam (eds 13). Volume 3.

Jakarta: EGC;2008.h.1201-44.

8. Sudoyo Aru W, et all. Angina Pektoris Stabil. A. Muin Rahman(eds). Buku ajar IPD. Jilid

2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia;2009.h.1735-9.

9. Sudoyo Aru W, et all. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST. A. Muin Rahman(eds).

Buku ajar IPD. Jilid 2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia;2009.h.1757-65.

10. Sudoyo Aru W, et all. Perikarditis. Marulam M. Panggabean(eds). Buku ajar IPD. Jilid 2.

Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia;2009.h.1725-26.

11. Sudoyo Aru W, et all. Miokarditis. Idrus Alwi, Lukman H. Makmun(eds). Buku ajar IPD.

Jilid 2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia;2009.h.1711-3.

12. Corry Catharina Silaen. Perbandingan Kadar Adiponektin Antara Angina Pektoris Stabil

Dengan Sindroma Koroner Akut. Makalah. Medan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK

Universitas Sumatera Utara;2008.

13. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins. Buku ajar patologi robbins. Edisi ke-7.

Jakarta: EGC; 2007.h.408-15

14. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.

Jakarta: EGC; 2005.h.578-87.

15. H Gray, Keith D, Morgan. Lecture Notes Kardiologi. Edisi ke-4. Jakarta:

Erlanga;2005.h.107-50

16. Diana Lyrawati. Sindrom Koroner Akut - Farmakologi. 30 Oktober 2010. Diunduh dari:

http//yrawati.files.wordpress.com.pdf

30
31

Anda mungkin juga menyukai