M.Yasir Said
SUMMARY
1
PEMBAHASAN
2
a. Penggunaan konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum adat untuk
dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Unsur Hukum Adat terdiri dari Unsur asli (bagian terbesar), (bersifat
turun-temurun) dan Unsur agama (sebagian kecil). Sedangkan sumber
hukum adat menurut van Vollenhoven :
3
c. Keputusan-keputusan (ketetapan-ketetapan) kepala Indonesia dalam
mengadili persengkataan;
Namun dalam hal ini adat harus dapat dibedakan dengan hukum
adat. Ciri Pembeda antara Adat dan Hukum Adat (berdasarkan konsepsi
L. Pospisil) adalah sebagai berikut:
4
4. Ciri penguat (Attribute of sanction), bahwa hukum itu mempunyai
penguat (sanksi), baik sanksi jasmani berupa hukuman badan,
maupun sanksi rihani seperti rasa takut, malu, benci, dll.
5
antara pelanggaran pidana dan perdata.
dilanggar.
6
khususnya Belanda di pusat-pusat dagang VOC. Pada awalnya hukum
Belanda yang diterapkan di daerah kekuasaannya adalah hukum yang
berlaku bagi kapal-kapal VOC. Bagian terbesar hukum kapal tersebut
adalah hukum disiplin (tucht recht). Namun pada akhirnya hukum
Belanda juga diberlakukan kepada pribumi dalam beberapa hal. Menurut
Utrecht, hukum Belanda yang berlaku di daerah kekuasaan VOC terdiri
dari :1
1
E. Utrecht. 1965. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II. Universitas, Bandung.
7
Untuk merapikan plakaat tersebut, Gubernur Jenderal Van Diemen
(1636-1646) meminta bantuan Joan Maetsyucker, seorang pensiunan dari
Hof Van Justitie (setingkat MA) untuk mengumpulkan dan menyusun
plakaat yang telah diterbitkan. Pada tahun 1642, seluruh plakaat berhasil
dihimpun, kemudian diumumkan dengan nama Statuten Van Batavia
(Statuta Betawi). Statuta tersebut berlaku sebagai hukum positif dan
memiliki kekuatan berlaku yang sama sebagaimana peraturan lain yang
telah ada. Mengenai pemberlakuannya, Statuta Betawi ditujukan kepada
orang pribumi maupun orang pendatang. Selanjutnya Pada tahun 1766
dihasilkan kumpulan plakaat ke-2 diberi nama Statuta Bara
2
Iwhaq. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Ed.1 Cet.1. Sinar Grafika, Jakarta. hlm.
16
3
S.R. Sianturi. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya.
Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta. hlm. 43
8
hukuman mati bagi seorang istri yang melakukan perzinahan, hukum
potong tangan bagi orang mencuri, hukuman menumbuk kepala dengan
alu lesung bagi orang yang membunuh tanpa hak.
Dilihat dari isi Koninklijk Besluit itu mempunyai dua sifat tergantung
dari kebutuhannya, yaitu :
9
Dalam rangka melaksanakan pemerintahan di Nederlands Indie
(Hindia Belanda), raja mengangkat Komisaris Jenderal yang terdiri atas
Elout, Buyskes, dan Vander Capellen. Para Komisaris Jenderal itu tidak
membuat peraturan baru untuk mengatur pemerintahannya, dab tetap
memberlakukan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku
pada masa Inggris berkuasa di Indonesia, yakni mengenai landrente dan
usaha pertanian dan susunan pengadilan buatan Raffles. Dalam bidang
hukum peraturan yang berlaku bagi orang Belanda tidak mengalami
perubahan, karena menunggu terwujudnya kodifikasi hukum yang
direncanakan oleh pemerintah Belanda. Lembaga peradilan yang
diperlakukan bagi orang pribumi tetap dipergunakan peradilan Inggris.
10
jajahan di Belanda mengangkat Komisi undang-undang bagi Hindia
Belanda yang terdiri atas Mr. Scholten van Oud Haarlem sebagai ketuaMr.
J. Schmither, dan Mr. J.F.H. van Nes sebagai anggota. Komisi ini dalam
tugasnya dapat menyelesaikan beberapa peraturan yang kemudian oleh
Mr. H.L. Wicher disempurnakan, yaitu :
11
dan harta kerajaan di bagian dari dunia. Ayat II dan IV aturan tentang
kebijasanaan pemerintah ditetapkan melalui undang-undang sistem
keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal-hal lain yang
menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau
diperlukan akan diatur melalui undang-undang.
12
1. Kitab hukum pidana untuk golongan Eropa melalui Staadsblad
1866 Nomor 55 sebagai hasil saduran dari Code Penal yang berlaku
di Belanda pada waktu itu;
2. Algement Politie Strafreglement sebagai tambahan kitab hukum
pidana untuk golongan Eropa tahun 1872 Nomor 85 yang isinya
hampir sama dengan Kitab Hukum Pidana Eropa tahun 1866;
3. Politie Stafreglement bagi orang bukan eropa melalui Staatsblad 1872
Nomor 111;
4. Wetboek van Strafrecht diundangkan pada tahun 1915 dengan
Staatsblad 1915 Nomor 732 di Hindia Belanda dalam suatu
kodifikasi yang berlaku bagi semua golongan penduduk mulai
tanggal 1 Januari 1918.
13
van Strafrecht (WvS) 1915 Nomor 732. Sedangkan untuk Hukum acara
yang dilaksanakan dalam proses pengadilan bagi golongan Eropa di Jawa
dan Madura diatur dalam Reglement op de Burgerlijk Rechts Vordering
untuk perkara perdata dan Reglement op de Straf Vordering untuk proses
perkara pidana, yang keduanya mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
1918.
14
b. Staatsblad 1931 Nomor 53 tentang pengangkatan wali di Jawa
dan Madura;
a. Hukum pidana materiil, yaitu Wetboek van Strafrecht sejak tahun 1918
berdasarkan Staatsblad 1915 Nomor 723
b. Hukum acara perdata untuk daerah Jawa dan Madura, adalah Inlands
Reglement (IR) dan hukum acara pidana bagi mereka diatur dalam
Herziene Inlands Reglement (HIR) berdasarkan Staatsblad 1941 Nomor
44 tanggal 2 Februari 1941. HIR ini berlaku di landraat Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Susunan peradilan bagi pribumi di
Jawa dan Madura adalah :
c. District Gerecht, di daerah pemerintahan distrik (kewedanaan);
d. Regentscaps Gerecht, di daerah kabupaten yang diselenggarakan oleh
Bupati, dan sebagai pengadilan banding;
e. Landraad, terdapat di kota kabupaten dan beberapa kota lainnya yang
diperlukan adanya pengadilan ini, dan mengadili perkara banding
yang diajukan atas putusan Regentschaps Gerecht
15
Bagi daerah-daerah di luar Jawa dan Madura, susunan organisasi
peradilannya untuk golongan pribumi diatur dalam Rechtsreglement
Buitengewesten (RBg), dan lembaga peradilannya adalah :
16
1. Pengadilan Swapraja
2. Pengadilan Agama
3. Pengadilan Militer
Berdasarkan Pasal 163 jo. Pasal 131 IS. Maka golongan penduduk dan
sistem hukumnya dapat dilihat dalam matrik di bawah ini.
o Hukum Perdata
Berlaku hukum adat
17
mereka (kecuali yang
tunduk pada hukum
Eropa)
o Hukum Pidana
Berlaku WvS
(Wetboek van
Strafrecht)
o Hukum Acara
Tidak diatur
sehingga dapat
mengikuti golongan
Eropa terkadang
pribumi
Hukum Perdata
Aturan yang digunakan
adalah Hukum Adat, BW,
WvK untuk beberapa
Indonesia asli pengecualian
Keturunan lain Hukum Pidana
yang sudah aturan yang digunakan
lama menetap di adalah WvS (Wetboek van
Bumiputera Indonesia Strafrecht)
sehingga sudah Hukum Acara
melebur ke untuk acara perdata aturan
dalam Indonesia yang digunakan adalah IR
asli (Inlands Reglement).
Sedangkan acara pidana
menggunakan HIR
(Herziene Inlands
Reglement)
18
Masa Jepang (Osamu Seirei) (1942-1945)
Untuk golongan Eropa, Timur Asing Cina, Timur asing bukan Cina
dan Indonesia yang secara sukarela tunduk kepada hukum perdata Eropa
tetap berlaku baginya Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel
(WvK) serta aturan-aturan hukum perdata Eropa yang tidak
dikodifikasikan.
19
Gun Sirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur susunan lembaga
peradilan yang terdiri atas :
Bentuk tata hukum dan politik hukum yang akan berlaku masa itu
dapat dilihat pada Pasal 1 dan 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar
1945, yaitu Pasal 1 yang berbunyi :
20
Pasal 2 menyebutkan :
Hal tersebut telah ditentukan dalam Pasal 192 KRIS yang berbunyi :
21
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut,
ditambah atau atas kuasa konstitusi ini.”
22
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3. Undang-Undang/ PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang).
4. Peraturan Pemerintah (PP).
5. Keputusan Presiden (Keppres).
6. Peraturan Pelaksana lainnya seperti : Peraturan Menteri; Instruksi
Menteri; dan lain-lain.
23
Dasar Pemikiran dan Latar Belakang Amandemen UUD 1945
24
c. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi
persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan
pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak
tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan
oligopoli.
1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU/PERPU
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan Menteri
7. Instruksi Menteri
1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU
4. PERPU
5. PP
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah
1. UUD 1945
2. UU/PERPU
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah
25
Menurut UU No. 12 Tahun 2011:
1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU/PERPU
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten
MPR
26
dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan
dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD,
GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden.
Susunan keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan utusan
daerah serta utusan golongan yang diangkat.
PRESIDEN
DPR
27
Memberikan persetujuan atas PERPU.
Memberikan persetujuan atas Anggaran.
Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta
pertanggungjawaban presiden.
28
Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check
and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang
berdasarkan fungsi masing-masing.
Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta
membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan
sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum.
Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan
maing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan
negara demokrasi modern.
MPR
DPR
29
DPD
BPK
PRESIDEN
30
Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus
memperhatikan pertimbangan DPR.
Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus
memperhatikan pertimbangan DPR.
Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden
dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat
melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden
dalam masa jabatannya.
MAHKAMAH AGUNG
MAHKAMAH AGUNG
MAHKAMAH KONSTITUSI
31
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD.
Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan
masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan
ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari
3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan
eksekutif.
4
Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, telaah kritis atas teori-teori hukum,
(Jakarta: Rajawali Press), 1960, hlm. 143.
32
selalu dilihat dari perspektif keadilan hukum. Positivisme menekankan
setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan suatu kebenaran,
hendaknya menjadikan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan objektif
dan harus dilepaskan dari berbagai macam konsepsi metafisis subjektif.
Ketika pemikiran positivisme diterapkan ke dalam bidang hukum,
positivisme hukum melepaskan pemikiran hukum sebagaimana dianut
oleh para pemikir aliran hukum alam. Jadi setiap norma hukum haruslah
eksis secara objektif sebagai norma-norma yang positif. Hukum tidak
dikonsepkan sebagai asas-asas moral yang abstrak tentang hakikat
keadilan, melainkan sesuatu yang telah dipositifkan sebagai
undang-undang guna menjamin kepastian hukum.
Model penegkan hukum di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh
pemikiran positivisme. Menurut Hans Kelsen bahwa norma hukum yang
sah menjadi standar penilaian bagi setiap perbuatan yang dilakukan oleh
setiap individu/kelompok dalam masyarakat. Standar penilaian
dimaksud adalah hubungan antara perbuatan manusia dengan norma
hukum. Jadi norma hukum menjadi ukuran untuk menghukum
seseorang atau tidak, dan mengklaim seseorang bersalah atau tidak harus
diukur berdasarkan pasal dalam peraturan tertulis, tanpa memperhatikan
aspek moral dan keadilan. Hukum sebagai sistem norma yang berlaku
bagi masyarakat Indonesia, senantiasa dihadapkan pada perubahan sosial
yang sedemikian dinamis seiring dengan perubahan kehidupan
masyarakat, baik dalam konteks kehidupan individual, soaial maupun
politik bernegara. Pikiran bahwa hukum harus peka terhadap
perkembangan masyarakat dan bahwa hukum harus disesuaikan atau
menyesuaikan diri dengan keadaan yang telah berubah, sesungguhnya
terdapat dalam alam pikiran manusia Indonesia.
Kaum positivisme mengartikan keadilan hukum sebagai legalitas.
Suatu perturan hukum dikatakan adil jika benar-benar diterapkan pada
semua kasus. Demikian sebaliknya, suatu peraturan hukum dianggap
tidak adil jika hanya diterapkan pada suatu kasus tertentu, dan tidak
diterapkan pada kasus lain yang sama. Substansi keadilan hukum dalam
pandangan positivism adalah penerapan hukum dengan tanpa
memandang nilai dari suatu aturan hukum (asas kepastian). Jadi hukum
33
dan keadilan adalah dua sisi mata uang. Kepastian hukum adalah adil,
dan keadilan hukum berarti kepastian hukum.
Doktrin positivisme ini masih diterapkan dalam proses penegakan
hukum di Indonesia, terutama pada bidang pidana menyangkut
penerapan pasal dan prosedur dalam sistem pelaksanaan hukum. Oleh
karena prinsip yang mengacu pada aturan hukum tertulis sehingga
banyak kasus dalam sengketa lingkungan, para pelaku kejahatan selalu
dinyatakan bebas dari tuntutan hukum karena tidak memenuhi
unsur-unsur dalam aturan hukum lingkungan. Wajar jika dikatakan
bahwa wajah penegakan hukum di Indonesia dinyatakan dengan
ungkapan “hukum tumpul keatas tajam kebawah”. Kenyataan ini sangat
bertentangan dengan asas “equality before the law”.
Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran
Sociological Jurisprudence yang lebih mengarahkan perhatiannya pada
kenyataan hukum daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam
masyarakat. Kenyataan hukum pada dasarnya adalah kemauan publik,
jadi tidak sekedar hukum dalam pengertian law in books (hukum tertulis).
Sociological Jurisprudence menunjukkan kompromi yang cermat antara
hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya
kepastian hukum (positivism law) dan living law sebagai wujud
penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam
pembentukan hukum dan orientasi hukum.
Aliran Sociological Jurisprudence dalam ajarannya berpokok pada
pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup (living law),
atau dengan perkataan lain suatu pembedaan antar kaidah-kaidah
hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Bahwa hukum positif hanya
akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada
badan-badan legislatif, keputusan-keputusan badan judikatif ataupun
ilmu hukum, akan tetapi justru terletak di dalam masyarakat itu sendiri.
Roscoe Pound menyatakan dan menjelaskan sebuah ringkasan
antinomi lain yang berwujud ketegangan antara hukum dan aspek-aspek
lain dari kehidupan bersama. Filsafat hukum mencerminkan keadaan
bersitegang antara tradisi dan kemajuan, stabilitas dengan perubahan
34
serta kepastian hukum. Sebegitu jauh, karena salah satu tugas hukum
adalah untuk menegakkan ketertiban.5
Dalam buku lain, Pound menjelaskan bahwa tugas pokok pemikiran
modern mengenai hukum adalah tugas rekayasa sosial. Pound berusaha
untuk memudahkan dan menguatkan tugas rekayasa sosial ini. Dengan
merumuskan dan menggolongkan kepentingan-kepentingan sosial yang
keseimbangannya menyebabkan hukum berkembang.6
Dalam paham sosiologi hukum, yang dikembangkan oleh aliran
Pragmatic Legal Realism yang dipelopori antara lain oleh Roscoe Pound
memiliki keyakinan bahwa hukum adalah “a tool of social engineering”
atau “alat pembaharuan masyarakat” atau menurut Mochtar
Kusumaatmadja “sarana perubahan masyarakat”, dalam konteks
perubahan hukum di Indonesia harus diarahkan ke jangkauan yang lebih
luas, yang berorientasi pada :
1. Perubahan hukum melalui peraturan perundangan yang lebih
bercirikan sikap hidup serta karakter bangsa Indonesia, tanpa
mengabaikan nilai-nilai universal manusia sebagai warga dunia,
sehingga kedepan akan terjadi transformasi hukum yang lebih
bersifat Indonesiani (mempunyai seperangkat karakter bangsa yang
positif).
2. Perubahan hukum harus mampu membimbing bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang mandiri, bermartabat dan terhormat dimata
pergaulan antar bangsa, karena hukum bisa dijadikan sebagai sarana
mencapai tujuan bangsa yang efektif.
Perubahan hukum di Indonesia pada kenyataannya berlangsung,
baik yang dilakukan oleh penyelenggara negara yang berwenang
(lembaga legislatif dan eksekutif) melalui penciptaan berbagai peraturan
perundangan yang menjangkau semua fase kehidupan baik yang
berorientasi pada kehidupan perorangan, kehidupan sosial maupun
5
Purnadi Purbacaraka, Renungan tentang Filsafat Hukum, (Palembang :
Lembanga Penelitian Hukum Fakultas Hukum UNSRI), 1978, hlm.34-35
6
Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Idealisme Filosofis dan Problema
Keadilan, (Jakarta: Rajawali Press),1990, hlm.141.
35
kehidupan bernegara (politik) atau yang diusulkan oleh berbagai
lembaga yang memiliki komitmen tentang pemabruan dan pembinaan
hukum, sehingga mampu mengisi kekosongan hukum dalam berbagai
aspek kehidupan. Dengan perencanaan yang baik, perubahan hukum
dapat diarahkan sesuai dengan konsep pembangunan hukum di
Indonesia, yang menurut Mochtar Kusumaatmadja harus dilakukan
dengan jalan :
1. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional
dengan antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasiserta
unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan
memperhatikan kesadaran hukum masyarakat.
2. Menertibkan fungsi lembaga hukum menurut proporsinya
masing-masing.
3. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum.
4. Memupuk kesadaran hukum masyarakat, serta
5. Membina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah/ negara
ke arah komitmen yang kuat dalam penegakan hukum, keadilan serta
perlidungan terhadap harkat dan martabat manusia.
36