Anda di halaman 1dari 17

HUKUM BISNIS

HUKUM PERJANJIAN DAN ASPEK HUKUM


LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN (LPS)
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Hukum Bisnis yang
diempu oleh: Syaffarman Rusli, M. H. Kes.

Disusun Oleh:

KELOMPOK 1

Faisal Azi (165108019 )

Kariska Safitri ( 165108042 )

Kharisna Monita (165108128 )

Nuraeni Erina Aswari ( 165108061 )

Akuntansi S1 Semester 7

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI DAN BISNIS

PERDANA MANDIRI

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat rahmat
dan karunia-Nya, kami dapat merampungkan tugas matakuliah Hukum Bisnis yang berjudul
“Hukum Perjanjian dan Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan” ini. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
makalah ini.

Adapun materi dalam makalah ini tersusun atas tiga bab yang meliputi BAB
I:Pendahuluan, BAB II: Pembahasan, dan BAB III: Penutup. Materi yang disampaikan dalam
makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan untuk mengetahui apa-apa mengenai
Hukum Perjanjian dan Aspek Hukum Lembaga Penjamin Simpanan.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan
karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada, sehingga kami
berharap para pembaca dan khususnya kepada Dosen matakuliah Hukum Bisnis yakni Bapak
Syaffarman Rusli, M. H. Kes. dapat memberikan kritik dan saran baik secara tulisan maupun
lisan yang membangun kepada kami demi menyempurnakan makalah ini dan penulisan
makalah di kesempatan berikutnya.

Semoga makalah ini berguna bagi kami pada khususnya dan bagi para pembaca pada
umumnya. Semoga materi yang disampaikan dalam makalah ini dapat menjadi tambahan
pengetahuan bagi kita semua.

Purwakarta, September 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam sebuah kerjasama bisnis dibutuhkan sebuah ikatan yang disebut dengan
perjanjian. Perjanjian itu harus berisi tentang hal-hal yang sudah disepakati oleh kedua
belah pihak yang berkepentingan atau yang membuat janji, tidak diperbolehkan ada satu
diantaranya yang merasa dirugikan atas perjanjian itu. Seringnya kegiatan perjanjian ini
dilakukan oleh banyak masyarakat dan lingkungan bisnis, maka makalah ini pun berisi
tentang apa-apa saja yang meliputi tentang perjanjian.
Tidak hanya mengenai perjanjian, makalah kami pun membahas terkait Lembaga
Penjamin Simpanan. Lembaga yang dibentuk pada 22 September 2004 ini memiliki
sejarah, fungsi, tugas, dan wewenang tentunya, maka dari itu kami membahas semua itu di
dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, masalah yang dapat
diidentifikasi dalam diskusi ini adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan Perjanjian?


2. Apa saja objek dan subjek Perjanjian?
3. Apa saja azas-azas dalam hukum Perjanjian?
4. Apa saja syarat-syarat sah Perjanjian?
5. Apa saja bentuk-bentuk Perjanjian?
6. Bagaimana penyusunan Perjanjian atau Anatomi Kontrak?
7. Apa itu Wanprestasi/ Ingkar Janji?
8. Apa itu Lembaga Penjamin Simpanan dan bagaimana sejarahnya?
9. Apa fungsi dari Lembaga Penjamin Simpanan?
10. Apa tugas dari Lembaga Penjamin Simpanan?
11. Apa wewenang dari Lembaga Penjamin Simpanan?

1.3 Tujuan Penulisan


Diskusi penelitian ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas dari Mata Kuliah
Hukum Bisnis dan mendapatkan pengetahuan mengenai segala sesuatu tentang Perjanjian
dan Lembaga Penjamin Simpanan.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat yang kami dapatkan dari diskusi penelitian yang kami lakukan merupakan
manfaat akademik. Bagi dunia pendidikan, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan akuntansi khususnya pada materi Hukum Bisnis. Sebagai
informasi bagi mahasiswa dalam mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai Hukum
Bisnis.
1.5 Metodologi Penulisan
Dalam penyusunan makalah penelitian ini, penelitian yang kami gunakan adalah
penelitian kepustakaan dengan mendapatkan informasi melalui buku.
1.6 Sistematika Pembahasan
Sistematika hasil dari pengumpulan data serta untuk mempermudah pengetahuan dalam
pembahasan makalah, maka penulisan makalah ini dituangkan ke dalam tiga bab yang
masing-masing bab diuraikan kembali ke dalam sub bab dengan sistematika sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan gambaran tentang isi dari materi makalah yang terdiri dari latar
belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, serta
sistematika pembahasan.
BAB II PEMBAHASAN
Pada bab ini berisi tentang penjelasan dari permasalahan yang telah dirumuskan pada
bab sebelumnya.
BAB III PENUTUP
Bab ini terdiri dari kesimpulan dari kegiatan diskusi.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Perjanjian


Perjajian atau Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau
dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
2.2 Objek dan Subjek Perjanjian
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan
kewajiban sehingga memiliki kewenangan untuk bertindak. Subjek hukum terdiri atas
manusia dan badan hukum.
1. Manusia
Berlakunya manusia sebagai pembawa hak (subjek hukum) mulai dari saat ia
dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia. Seorang bayi yang masih
dalam kandungan ibunya dapat dianggap telah dilahirkan bilamana kepentingan si
anak menghendakinya, misalnya untuk menjadi ahli waris. Apabila si anak
meninggal sewaktu dilahirkan maka ia dianggap tidak pernah ada (pasal 2
KUHPdt).
Menurut hukum, setiap orang dianggap cakap bertindak sebagai subjek hukum,
kecuali oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap (pasal 1329 KUHPdt).
Orang yang cakap adalah orang yang telah dewasa (telah berusia 21 tahun) dan
berakal sehat, sedangkan orang yang tidak cakap adalah orang yang belum dewasa
dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan, yang terjadi karena gangguan jiwa,
pemabuk atau pemboros.
2. Badan Hukum
Badan hukum adalah badan atau perkumpulan yang diciptakan oleh hukum oleh
karenanya dapat bertindak seperti manusia. Sebagai pembawa hak yang tidak
berjiwa badan hukum dapat melakukan persetujuan-persetujuan, memiliki
kekayaan yang terlepas dari kekayaan anggotanya dan bertindak melalui
perantaraan pengurusnya.
Bedanya dengan manusia ialah badan hukum tidak dapat melakukan
perkawinan, tidak dapat dihukum penjara (kecuali hukuman denda). Adapun bentuk
badan hukum adalah:
1. Badan hukum publik, adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan
hukum publik, yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau
negara umumnya. Contohnya Negara RI, Pemda tk. I, II, BI, Perusahaan
Negara.
2. Badan hukum perdata (sipil), adalah badan hukum yang didirikan
berdasarkan hukum sipil atau hukum perdata yang menyangkut
kepentingan-kepentingan pribadi orang di dalam badan hukum itu. Badan
hukum ini merupakan badan swasta yang didirikan oleh orang pribadi untuk
tujuan tertentu yaitu mencari keuntungan, sosial, pendidikan, ilmu
pengetahuan, politik, kebudayaan, kesenian, dan sebagainya menurut
hukum yang berlaku secara sah. Contohnya PT, koperasi, yayasan, dan
sebagainya.
Objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum dan dapat
menjadi pokok dari suatu hubungan hukum yang biasanya berbentuk benda atau hak
yang dapat dimiliki dan dikuasai oleh subjek hukum.
Menurut pasal 503 KUHPdt benda dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Benda berwujud, adalah benda yang dapat dilihat, diraba dan dirasakan
dengan indra manusia, misalnya rumah, tanah, sepeda motor.
2. Benda tidak berwujud, adalah benda yang hanya dapat dirasakan saja
(semua hak), misalnya hak cipta, paten, merek.
Sedangkan menurut pasal 504 KUHPdt benda dibagi menjadi:
1. Benda tetap, adalah benda yang karena sifat, tujuan atau penetapan undang-
undang dinyatakan sebagai benda tetap. Contohnya tanah beserta segala
sesuatu yang melekat diatasnya seperti bangunan atau tumbuhan (karena
sifatnya), mesin-mesin pabrik dan sarang burung yang dapat dimakan,
dimana oleh pemiliknya dihubungkan atau dikaitkan pada benda tetap yang
merupakan benda pokoknya (karena tujuannya) dan segala hak atas benda
tetap seperti HGU, HGB (karena penetapan undang-undang).
2. Benda bergerak, adalah benda yang karena sifat dan ketentuan undang-
undang dianggap sebagai benda bergerak. Contohnya meja, sepeda, hewan
(karena sifatnya), hak atas benda bergerak seperti saham-saham dalam PT,
hak pakai (gebruik) atas benda bergerak (karena undang-undang).
2.3 Asas-Asas Dalam Perjanjian Hukum
Asas-asas dalam Hukum Perjanjian adalah sebagai berikut:
1. Asas Konsensualisme (Persesuaian Kehendak)
Asas Konsensualisme merupakan asensial dari Hukum Perjanjian. Sepakat
mereka yang mengikatkan diri telah dapat melahirkan Perjanjian.Asas Konsensualisme
menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuatdua orang atau lebih telah mengikat
sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian
tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan,atau konsensus
meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata.Asas
konsensualisme mempunyai arti yang terpenting,bahwa untuk melahirkan perjanjian
cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu (dan perikatan yang ditimbukanl
karenanya) sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus. Pada detik
tersebut perjanjian tersebut sudah sah mengikat,buakn pada detik-dtik lain yang
terkemudian atau yang sebelumnya.Asas ini ditemukan dalam pasal 1320 KUH Perdata
dan dalam pasal 3120 KUH Perdata ditemukan istilah "semua" menunjukkan bahwa
setiap orang diberikan kesempatan untuk menyatakan keinginannya (Will) yang rasanya
baik untuk meneiptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan A
Kebebasan Mengadakan Perjanjian.
2. Asas Kebebasan Berkontrak(Freedom Of Contract)
Asas Kebebasan Berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat(1)
KUH Perdata yang berbunyi "semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Berdasarkan Asas Kebebasan
Berkontrak,maka orang pada asasnya dapat membuat perjanjian dengan isi yang
bagaimanapun juga, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum. yang dimaksud undang-undang disini adalah undang-undang yang
bersifat memaksa. Dalam sistem terbuka hukum perjanjian atau asas kebebasan
berkontrak yang penting adalah "semua perjanjian"(perjanjian dari macam apa saja),
akan tetapi yang lebih penting lagi adalah bagian "mengikatnya" perjanjian sebagai
Undangundang.Kebebasan Berkontrak merupakan asas yang sangat penting dalam
hukum pe:ganjian.Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas,pancaran dari
Hak Arasi Manusia.
3. Asas Kekuatan Mengikat Perjanjian
Asas ini juga disebut sebagai asas pengikatnya suatu perjanjian,yang berarti
para pihak yang mambuat perjanjian itu terikat pada kesepakatan perjanjian yang telah
mereka perbuat.Dengan kata lain perjanjian yang diperbuat secara sah berlaku seperti
berlakunya undang-undang bagi para pihak yang membutnya.Asas Pacta Sun Servanda
ini terdapat dalam ketentuan pasal 1338 ayat(1) dan ayat (2) KUH Perdata yang
menyatakan"semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang mambuatnya.Perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali kecuali
dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan yang oleh undang-undang sudah
dinyatakan cukup untuk itu.
Dari perkataan "berlaku sebagai undang-undang dan tidak dapat ditarik
kembali" berarti bahwa perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya, bahkan
perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan pihak lawannya, berarti
para pihak harus mentaati apa yang mereka sepakati bersama. Pelanggaran terhadap isi
perjanjian oleh salah satu pihak menyebabkan pihak lain dapat melakukan tuntutan atas
dasar wanprestasi dari pihak lawan. Asas ini berarti siapa yang berjanji harus
menepatinya atau siapa berhutang harus membayarnya.
4. Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik dalam bahasa hukumnya disebut de goedetrow.Asas ini
berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Mengenai asa itikad baik ini terdapat
dalam pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menentukan"persetujuan-persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik". Itikad baik dapat dibedakan dalam pengertian subjektif
dan objektif.Itikad baik dari segi subjektif berarti kejujuran.
Hal ini berhubungan erat dengan sikap batin seseorang pada saat membuat
perjanjian. Itikad baik dalam segi objektif berarti kepatutan yang berhubungan dengan
pelaksanaan perjanjian atau pemenuhan prestasi dan cara melaksanakan hakdan
kewajiban haruslah mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
5. Asas Kepercayaan(Vetrouwensbeginsel)
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain,menumbuhkan
kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang
janjinya dengan kata lain akan memenuhi prestasinya dibelakang hari. Tanpa adanya
kepercayaan itu maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan kedua belah pihak,
dengan kepercayaan ini kedua pihak mengikatkan dirinya untuk keduanya prrjanjian itu
mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
6. Asas Personalia
Asas ini merupakan asas pertama dalam hukum perjanjian yang pengaturannya
dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 1315 KUH Perdatya yang bunyinya" pada
umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri". Dari rumusan tersebut diketahui
bahwa pada dasarnya suatu perjanjian dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai
iadividu atau pribadi hanya dapat mengikat dan berlaku untuk dirinya sendiri.
7. Asas Persamaan Hukum
Asas ini menempatkan para pihak didalam persamaan derajat dan tidak dibeda-
bedakan baik dari warna kulitnya,bangsa.kekayaan,jabatan dan lain-lain. Masing-masing
pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk saling
menghormati satu sama lain sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
8. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu.
Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai
kekuatan untuk menuntut prestasi jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi
melalui kekayaan debitur,namun kreditur memikul beban untuk melaksanakan perjanjian
itu dengan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
9. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian
hukum.Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai
undang-undang bagi para pihak.
10. Asas Moral
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar,dimana suatu perbuatan sukarela
seseorang ddak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak
debitur.juga hal ini dapat terlihat dalam Zaakwarneming, dimana seseorang yang
melakukan perbuatan sulcxela(moral) yhang bersangkutan mempunyai kewajiban
(hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya juga asas ini terdapat
dalam pasal 1339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang memberi motivasi pada yang
bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan kesusilaan(moral), sebagai
panggilan hati nuraninya.
11. Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUH Perdata.Asas kepatutan disini
barkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.Asas ini merupakan ukuran tentang
hubungan yang ditentukan juga oleh rasa keadilan masyarakat.
12. Asas Kebiasaan
Asas ini diatur dalam pasal 1339 jo. Pasal 1347 KUH Perdata,yang dipandang
sebagai bagian dari perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa saja yang secara tegas
diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam kebiasaan dan lazim diikuti.
13. Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung arti bahwa antara kreditur dan debitur harus
dilindungi oleh hukum.Namun yang perlu mendapat perlindungan adalah pihak debitur
karena piuhak ini berada pada posisi yang lemah.
Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan daripada pihak dalam menentukan
dan membuat suatu perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa dari keseluruhan asas tersebut diatas merupakan hal yang penting
dan mutlak harus diperhatikan bagi para pembuat perjanjian sehingga tujuan akhir dari
suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.
2.4 Syarat-Syarat Sah Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat:
1. Sepakat mereka yang mengingkatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu Hal Terentu
4. Suatu sebab yang halal
Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif, karena berkenaan
dengan para subjek yang membuat perjanjian itu. Sedangkan
syarat ketiga dan keempat dinamakan syarat objektif karena berkenaan dengan objek
dalam perjanjian tersebut.
Syarat Pertama “Sepakat mereka yang mengikat kandiri” berarti, para pihak
yang membuat perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok atau
materi yang diperjanjikan, dimana kesepakatan itu harus dicapai dengan tanpa ada
paksaan, penipuan atau kekhilafan (Pasal 1321 KUH Perdata). Misalnya, sepakat untuk
melakukan jual-beli tanah, harganya, cara pembayarannya, penyelesaian sengketanya,
dan sebagainya.
Syarat Kedua, “kecakapan untuk membuat suatu perikatan” Pasal 1330
KUHper sudah mengatur pihak-pihak mana saja yang boleh atau dianggap cakap untuk
membuat perjanjian, yakni sebagai berikut:
Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
1. Orang yang belum dewasa.
2. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan. Seperti cacat, gila, boros, telah
dinyatakan pailit oleh pengadilan, dan sebagainya.
3. Seorang istri. Namun, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun
1963, seorang isteri sekarang sudah dianggap cakap untuk melakukan perbuatan
hukum.
4. Dengan kata lain, yang cakap atau yang dibolehkan oleh hukum untuk membuat
perjanjian adalah orang yang sudah dewasa, yaitu sudah berumur genap 21 tahun
(Pasal 330 KUHPerdata), dan orang yang tidak sedang di bawah pengampuan.
Syarat Ketiga “suatu hal tertentu” maksudnya adalah dalam membuat
perjanjian, apa yang diperjanjikan (objek perikatannnya) harus jelas. Setidaknya jenis
barangnya itu harus ada (lihat Pasal 1333 ayat 1). Misalnya, jual beli tanah dengan luas
500 m2, terletak di Jl. Merpati No 15 Jakarta Pusat yang berbatasan dengan sebelah
utara sungai ciliwung, sebelah selatan Jalan Raya Bungur , sebelah timur sekolah dasar
inpres, dan sebelah barat tempat pemakaman umum.
Syarat Keempat “suatu sebab yang halal” berarti tidak boleh memperjanjikan
sesuatu yang dilarang undang-undang atau yang bertentangan dengan hukum, nilai-
nilai kesopanan ataupun ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Misalnya
melakukan perjanjian jual beli Narkoba, atau perjanjian jual beli orang/manusia, dsb.
Perjanjian semacam ini adalah dilarang dan tidak sah. Jika sudah memenuhi ke empat
syarat di atas, maka perjanjian tersebut adalah sah. Tapi, perjanjian bisa diminta
dibatalkan bahkan batal demi hukum jika tidak mmenuhi syarat ini.
2.5 Bentuk-Bentuk Perjanjian
Bentuk-bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis
dan tidak tertulis. Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak
dalam bentuk tulisan. Sedangkan perjanjian lisan suatu perjanjian yang dibuat oleh para
pihak dalam wujud lisan --cukup kesepakatan para pihak--.
Ada tiga bentuk perjanjian tertulis, sebagimana dikemukakan berikut ini:
1. Perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan
saja. Perjanjian itu hanya mengikat para pihak dalam perjanjian, tetapi tidak
mempunyai kekuatan mengikat pihak ketiga. Dengan kata lain, jika perjanjian
tersebut disangkal pihak ketiga maka para pihak atau salah satu pihak dari
perjanjian itu berkewajiban mengajukan bukti-bukti yang diperlukan untuk
membuktikan keberatan pihak ketiga dimaksud tidak berdasar dan tidak dapat
dibenarkan.
2. Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak. Fungsi
kesaksian notaris atau suatu dokumen semata-mata hanya untuk melagilisir
kebenaran tanda tangan para pihak. Akan tetapi, kesaksian tersebut tidaklah
mempengaruhi kekuatan hukum dari isi perjanjian. Salah satu pihak mungkin saja
menyangkal isi perjanjian namun pihak yang menyangkal itu adalah pihak yang
harus membuktikan penyangkalannya.
3. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel. Akta
notariel adalah akta yang dibuat di hadapan dan di muka pejabat yang berwenang
untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk itu adalah notaris, camat, PPAT, dan lain-
lain. Jenis dokumen ini merupakan alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang
bersangkutan maupun pihak ketiga.
2.6 Penyusunan Perjanjian/ Anatomi Kontrak
Penyusunan kontrak ini memerlukan kejelian dan ketelitian dari para pihak
maupun para notaris. Jika keliru dalam penyusunan kontrak maka akan menimbulkan
permasalahan di dalam pelaksanaannya. Ada lima tahap dalam penyusunan kontrak di
Indonesia, yaitu sebagai berikut:
1. Pembuatan draft pertama, yang meliputi:
a. Judul Kontrak
b. Pembukaan
c. Pihak-Pihak dalam Kontrak
d. Racital –Latar Belakang terjadinya Kontrak--.
e. Isi Kontrak
f. Penutup

Memuat tata cara pengesahan suatu kontrak.

2. Saling menukar draft kontrak


3. Jika perlu diadakan revisi
4. Dilakukan penyelesaian akhir
5. Penutup dengan penanda-tanganan kontrak oleh masing-masing pihak
2.7 Wanprestasi/ Ingkar Janji
Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak dipenuhi atau ingkar
janji atau kelalaian yang dilakukan oleh debitur baik karena tidak melaksanakan apa
yang telah diperjanjikan maupun malah melakukan sesuatu yang menurut perjanjian
tidak boleh dilakukan.
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu "wanprestatie" yang
artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-
pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu
perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.
Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya dan
membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut
pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum
diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.
2.8 Lembaga Penjamin Simpanan
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah suatu lembaga independen yang
berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Badan ini dibentuk
berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan yang ditetapkan pada 22 September 2004. Undang-undang ini
mulai berlaku efektif 12 bulan sejak diundangkan sehingga pendirian dan operasional
LPS dimulai pada 22 September 2005.
Industri perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam
perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional. Stabilitas industri perbankan sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian
secara keseluruhan.
Pada tahun 1998, krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia,
yang ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank, mengakibatkan menurunnya tingkat
kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi,
pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas
seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket
guarantee). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998
tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan
Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran
Bank Perkreditan Rakyat.
Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat menumbuhkan
kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang lingkup
penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi
pengelola bank maupun masyarakat.
Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi
nasabah penyimpan serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan
yang sangat luas lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang
terbatas.
Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai
pelaksana penjaminan dana masyarakat.
Pada tanggal 22 September 2004, Presiden Republik Indonesia mengesahkan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Berdasarkan Undang-Undang tersebut, LPS, suatu lembaga independen yang berfungsi
menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas
sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya, dibentuk.
Undang-undang ini berlaku efektif sejak tanggal 22 September 2005, dan sejak
tanggal tersebut LPS resmi beroperasi.
2.9 Fungsi dari Lembaga Penjamin Simpanan
Lembaga Penjamin Simpanan berfungsi untuk menjamin simpanan nasabah
bank dan turun aktif dalam menjaga stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya.
Sejak tanggal 22 Maret 2007 dan seterusnya, nilai simpanan yang dijamin LPS
maksimum sebesar Rp. 100.000.000 per nasabah per bank, yang mencakup pokok dan
bunga/bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah. Bila nasabah bank memiliki
simpanan lebih dari Rp. 100.000.000 maka sisa simpanannya akan dibayarkan dari hasil
likuidasi bank tersebut.
Tujuan kebijakan publik penjaminan LPS tersebut adalah untuk melindungi
simpanan nasabah kecil karena berdasarkan data distribusi simpanan per 31
Desember 2006, rekening bersaldo sama atau kurang dari Rp. 100.000.000 mencakup
lebih dari 98% rekening simpanan.
Sejak terjadi krisis global pada tahun 2008, Pemerintah kemudian
mengeluarkan Perpu No. 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang mengubah nilai
simpanan yang dijamin oleh LPS menjadi Rp. 2.000.000.000. Perpu ini dapat
disesuaikan kembali, apabila krisis global meluas atau mereda.
2.10 Tugas dari Lembaga Penjamin Simpanan
Tugas dari Lembaga Penjamin Simpanan adalah sebagai berikut:
1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan
2. Melaksanakan penjaminan simpanan
3. Merusmuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara
stabilitas sistem perbankan.
4. Merumuskan dan menetapkan serta melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank
Gagal yang tidak berdampak sistemik
5. Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik
2.11 Wewenang dari Lembaga Penjamin Simpanan
Wewenang dari Lembaga Penjamin Simpanan adalah sebagai berikut:
1. Menetapkan dan memungut premi penjaminan.
2. Menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi
peserta
3. Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban Lembaga Penjamin Simpanan
4. Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporangan
keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar
kerahasiaan bank
5. Melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/ atau konfirmasi atas data tersebut pada
angka
6. Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim
7. Menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi
kepentingan dan/atau atas nama Lembaga Penjamin Simpanan, guna
melaksanakan sebagian tugas tertentu
8. Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan
simpanan
9. Menjatuhkan sanksi administrative
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Perjanjian merupakan suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak,berdasarkan pihak mana yang berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Dalam hal
perjanjian diperlukan beberapa syarat untuk disahkannya suatu perjanjian
diantaranya yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk
membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.
Perjanjian memiliki beberapa bentuk yang dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang
dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Sedangkan perjanjian lisan adalah
suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan --cukup kesepakatan
para pihak--.
Salah satu bentuk kesalahan dalam perjanjian adalah wanprestasi yaitu
pelaksanaan kewajiban yang tidak dipenuhi atau ingkar janji atau kelalaian yang
dilakukan oleh debitur baik karena tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan
ataupun malah melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Maka akibat dari ingkar janji tersebut pihak debitur perlu membayar segala
kerugian karena musnahnya atau rusaknya barang-barang milik kreditur akibat
kelalaian debitur.
Untuk menuntut ganti rugi harus ada penagihan terlebih dahulu, kecuali dalam
peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak memerlukan adanya teguran. Ketentuan
tentang ganti rugi diatur dalam pasal 1246 KUHPerdata, yang terdiri dari tiga
macam, yaitu biaya, rugi dan bunga. Jadi ganti rugi yang ditimbulkan akibat
wanprestasi itu hanya boleh diperhitungkan berdasar sejumlah uang. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kesulitan dalam penilaian jika harus
diganti dengan cara lain.
Berikutnya adalah mengenai Lembaga Penjamin Simpanan. LPS adalah
suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan
di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan pada 22
September 2004. Undang-undang ini mulai berlaku efektif 12 bulan sejak
diundangkan sehingga pendirian dan operasional LPS dimulai pada 22
September 2005.

Anda mungkin juga menyukai