Anda di halaman 1dari 6

Analisis Faktor Pemicu Perkembangan Mioma Uteri

pada Wanita Dewasa Akhir


Naomi Heidi Amarda Murti
Prodi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
naomi.heidi18@student.uns.ac.id

Abstract. The most common tumour in female reproductive system is uterine myoma. The
high risk of development of uterine myoma is age. Early middle age woman (ages 35-44) is
period of age beyond young adulthood but before the onset of old age. In this period of age,
uterine myoma is very common.This study used a qualitative method. Women diagnosed with
uterine myoma participated in this study. To collect data, observation and interview were
needed. The conclusion of this study will prove the risk of development of uterine myoma in
early middle age woman.

Keywords: risk, uterine myoma, development, early middle age woman

1. PENDAHULUAN

Kesehatan adalah suatu hal yang istimewa bagi setiap manusia, begitu juga dengan kesehatan
organ reproduksi. Setiap orang selalu mengharapkan untuk tidak mengalami suatu penyakit pada
bagian reproduksi. Kesehatan reproduksi berkaitan erat dengan angka kematian pada suatu negara.
Hal ini dikarenakan, banyak penyakit reproduksi yang mampu menghilangkan nyawa seseorang.
Mioma uteri termasuk dalam suatu masalah pada organ reproduksi yang sangat umum di
masyarakat.
Mioma uteri adalah suatu tumor jinak yang ada di sekitar rahim. Mioma uteri merupakan
suatu pertumbuhan abnormal dari otot polos rahim dan jaringan ikat yang menyertainya. Benih-
benih keabnormalan otot polos menyebar pada miometrium, yang kemudian secara lambat akan
terus membesar untuk membentuk suatu tumor yang bahkan beratnya bisa mencapai 10 kg atau
melebihinya (Apriyani dan Sumarni, 2013). Namun baru-baru ini mioma uteri biasanya dapat
dideteksi lebih cepat karena pemahaman masyarakat akan gejalanya dengan USG. Hal ini, akan
membuat penanganan mioma uteri akan lebih cepat sehingga tak akan menimbulkan masalah yang
lebih serius. Mioma uteri sebenarnya bukanlah masalah yang amat serius, dikarenakan masih
tergolong tumor jinak. Namun jika terus dibiarkan, mioma uteri dapat membawa ke masalah yang
lebih menakutkan, bahkan dapat mengarah ke pertumbuhan kanker.
Mioma uteri adalah penyakit reproduksi wanita yang paling sering ditemukan. Di Indonesia,
mioma uteri dikabarkan menyerang satu dari tiga wanita. Mioma uteri jarang ditemukan pada wanita
berusia 20 tahun. Bahkan mioma uteri belum pernah ada yang dilaporkan muncul pada wanita yang
belummengalami masa pubertas (menstruasi). Biasanya pertumbuhan mioma uteri ini terjadi pada
wanita berusia dewasa akhir yaitu pada usia 35-44 tahun. Pada masa menopause, mioma uteri
biasanya cenderung menyusut dikarenakan hormon estrogen yang tak lagi diproduksi. Penyebab dari
pertumbuhan mioma uteri belum dapat ditemukan secara pasti, namun beberapa hal dianggap
sebagai pemicu dari mioma uteri termasuk umur seseorang.
Hormon estrogen memiliki peran yang penting dalam perkembangan mioma uteri, hal ini
dikarenakan tingginya penderita mioma uteri pada usia 35-44 tahun. Dikutip dari Oktaviana dan
Pranajaya (2014) kadar estrogen pada wanita sebelum menarche biasanya sangat rendah, lalu akan
meningkat seiring dengan masa reproduksi dan akan menurun pada masa menopause. Semakin
terpaparnya wanita dengan hormone estrogen, maka akan semakin tinggi pula kemungkinan wanita
tersebut memiliki mioma uteri.
Wanita yang memiliki kasus mioma uteri pada keadaan hamil, biasanya kasus tersebut akan
hilang dengan sendirinya saat wanita tersebut melahirkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
wanita yang hanya hamil sekali ataupun tidak pernah hamil memiliki faktor risiko perkembangan
mioma uteri lebih besar daripada wanita yang aktif dalam memiliki anak. Proses ovulasi yang tidak
pernah dibuahi memicu perkembangan mioma uteri.
Mioma uteri memiliki gejala yang tidak terlalu menonjol dirasakan penderitanya. Mioma
uteri yang sampai menimbulkan gejala hanya dirasakan oleh 35-50% dari penderita mioma uteri.
Gejala yang umum ditimbulkan pada penderita mioma uteri yaitu pendarahan yang berlebihan, rasa
nyeri yang kian menyiksa, dan tekanan pada sekitar panggul yang menjalar hingga ke punggung
(Cahyasari dan Sakti, 2014). Pendarahan secara berlebihan ialah gejala yang paling sering dialami
oleh 30% penderita mioma uteri. Meskipun tak begitu menimbulkan gejala, namun 60% dari operasi
pengangkatan rahim banyak disebabkan karena mioma uteri. Mioma uteri menimbulkan masalah
yang cukup menggelisahkan karena etiologidari mioma uteri belum begitu jelas. Walau angka
mortalitas mioma uteri cenderung rendah, namun morbiditas mioma uteri cukup rendah karena
terjadi pendarahan yang hebat, begitu pula dengan penurunan kesuburan yang sangat mungkin
terjadi pada penderita mioma uteri.
Menurut Lilyani (2012) pengobatan mioma uteri di Indonesia pada umumnya ialah tindakan
bedah berupa histerektomi (pengangkatan rahim) dan miomektomi (pengangkatan mioma) pada
wanita yang masih ingin memiliki keturunan. Pada operasi miomektomi, beberapa peluang dapat
menyebabkan mioma uteri akan tumbuh lagi pada wanita tersebut. Mioma uteri sebenarnya akan
tuntas pengobatannya apabila seluruh rahim dari penderita tersebut diangkat, namun hal ini tentu
menimbulkan kecemasan pada wanita karena harus merasakan menopause dini.
Dalam studi ini, peneliti ingin membahas tentang analisis faktor pemicu perkembangan
mioma uteri pada wanita dewasa akhir. Hal itu dikaitkan dengan adanya perubahan hormon estrogen
dan progesteron terkait dengan perubahan usia pada wanita.

2. METODE

Metode yang digunakan pada studi ini ialah metode kualitatif. Menurut Sedarmayanti dan
Hidayat (2011:33) penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan pada kondisi objek yang
alami, peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, data
yang dihasil kan bersifat deskriptif, analisis data dilakukan secara induktif, dan penelitian ini lebih
menekankan makna daripada generalisasi. Pada dasarnya penelitian kualitatif ini didasarkan pada
metode wawancara dan observasi data. Subjek yang dipilih dalam penelitian ini memiliki kriteria
yang sesuai dengan pembahasan jurnal, yaitu wanita penderita mioma uteri yang berusia antara 35-44
tahun.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi pasien Heni Diah Fari, didapatkan data bahwa
Heni saat ini berusia 48 tahun, dan mioma uteri pada Heni mencapai panjang 17 cm sepanjang kepala
manusia dewasa. Ia mengetahui adanya mioma uteri pada usia 40 tahun, saat itu Heni melakukan tes
USG dengan keinginannya pribadi, tanpa merasakan gejala mioma uteri. Mioma uteri pada saat itu
disebut oleh dokter yang menanganinya saat itu ialah sepanjang 12 cm. Heni menuturkan bahwa
pasien-pasien di rumah sakit tempatnya berobat, memiliki kisaran usia antara 35-44 tahun. Saat ini,
Heni telah melakukan operasi pengangkatan rahim.
Beberapa tahun sebelumnya, Heni sempat bernat untuk mengangkat rahimnya. Namun
dikarenakan ucapan dokter yang menanganinya saat itu, mengatakan bahwa mioma uteri milik heni
akan mengecil ketika menjelang menopause, heni mengundurkan niatnya untuk melakukan operasi.
Kecemasan juga menjadi ancaman dalam diri Heni untuk berani mengambil tindakan operasi
pengangkatan rahim.

Hingga beberapa tahun setelahnya, gejala-gejala mulai timbul pada diri Heni. Mual, muntah,
cepat letih, dan pendarahan menstruasi yang tidak teratur menjadi ketakutan yang kembali
menghantui diri Heni. Hal itu terus diabaikannya hingga saatnya Heni jatuh pingsan di kamar mandi.
Akhirnya ia memberanikan diri untuk mengecek kesehatannya pada dokter di suatu puskesmas. Dua
kali, Heni diperiksa, namun dua dokter umum itu sama-sama menyimpulkan bahwa Heni memiliki
sakit maagpada lambungnya. Ia terus diberi obat maag, yang diminumnya, tanpa mengurangi efek
rasa sakit yang ia rasakan. Setelah itu, keluarga Heni meyakinkan Heni untuk melakukan tes USG.
Mereka cenderung kurang percaya dengan diagnosis dokter umum yang menyatakan Heni hanya sakit
maag.

Beberapa hari kemudian, Heni melakukan tes USG. Dari hasil tes tersebut, diketahui bahwa
mioma uteri dalam perut Heni telah mencapai panjang 17 cm. Heni sangat kaget, begitu juga dengan
dokter yang memeriksanya saat itu. Dokter kemudian memberikan Heni surat rujukan untuk
melakukan tindakan operasi pengangkatan Rahim. Heni sempat cemas, ia menganggap bahwa dengan
diangkatnya rahim miliknya, akan menjadi akhir dari kisah hidupnya. Kemudian ia mendapat
semangat dan akhirnya operasi pengangkatan rahim dilaksanakan. Untuk memulai operasi, ia
ditranfusikan dua kantong darah untuk menambah Hb. Setelah pelaksanaan operasi, berat badan Heni
turun hingga 10 kilogram.

Mioma uteri memiliki kecenderungan meningkat dengan bertambahnya umur, namun akan
mengecil setelah masa menopause. Pada penelitian di India bahwa kasus mioma uteri banyak terjadi
pada usia 35-44 tahun. Hal tersebut didasari dengan perubahan hormonal pada usia tertentu. Hormon
estrogen dan progesteron merupakan hal yang sangat berkaitan dengan mioma uteri. Menurut
Octaviana dan Pranajaya (2014), estrogen kian meningkat pasca menarche hingga akhirnya
mengalami penurunan ataupun penghentian produksi estrogen setelah menopause. Berkebalikan
dengan estrogen, hormon progesteronakan terus menurun seiring bertambahnya usia. Hormon
progesteron merupakan penghambat alami dalam perkembangan tumor, khususnya mioma uteri.
Maka dengan menurunnya hormon progesteron, kemungkinan kasus mioma uteri lebih tinggi
daripada masa remaja (Cahyaningtyas, 2010). Namun pada beberapa kasus, wanita yang telah
menopause ada pula yang masih memiliki perkembangan mioma uteri, namun itu hanya 10%
kemungkinan. Hal tersebut perlu dicurigai karena apabila masih berkembang setelah menopause,
mioma uteri memiliki kemungkinan untuk tumbuh menjadi sebuah keganasan sehingga perlu adanya
tindakan histerektomi.

Penyakit multifaktorial disebut-sebut sebagai penyebab mioma uteri, namun hal ini belum dapat
dibuktikan secara pasti. Mioma uteri ialah sebuah tumor monoklonal hasil dari mutasi somatik sel
yang berada di miometrium berupa sel neoplasmik.keabnormalitasan sel mioma uteri terdapat pada
kromosomnya. Selain perubahan genetik, faktor-faktor lain yang berpengaruh ialah beberapa hormon
seperti estrogen, dan progesteron. Dengan stimulasi hormone estrogen, menimbulkan proliferasi di
rahim, sehingga perkembangan yang berlebihan dapat terbentuk dari garis endometrium, mioma akan
tumbuh (Thomason, 2008).

Hormon yang memengaruhi perkembangan mioma uteri:

a. Estrogen

Mioma uteri umumnya ditemukan setelah menarche. Pertumbuhan tumor terjadi secara cepat
selama kehamilan dan terapi estrogen eksogen. Namun mioma uteri akan kalah dengan janin dalam
kandungan, sehingga akan hilang dengan sendirinya. Hal itu terjadi karena penurunan reseptor
estrogen saat kehamilan. Saat menopause dan pengangkatan ovarium, mioma uteri juga akan
menghilang.

b. Progesteron

Reseptor progesteron meningkat selama masa kehamilan. Dapat disebut bahwa progesteron
merupakan inhibit alami dari estrogen. Progesteron mampu menghambat perkembangan mioma uteri
dengan cara mengaktifkan 17-Beta hidroxydesidrogenase. Selain itu, progesteron dapat menurunkan
jumlah reseptor estrogen pada mioma, hal ini berkaitan dengan dasar bahwa progesteron merupakan
inhibit alami dari estrogen.

4. SIMPULAN

Setelah dilakukandilakukannya observasi data dan wawancara mengenai kasus mioma uteri
pada pasien Heni, dapat disimpulkan bahwa usia dewasa akhir (35-44 tahun) merupakan faktor
pemicu dari perkembangan mioma uteri. Pada masa remaja, mioma uteri tidak pernah terjadi dan pada
masa menopause, mioma uteri sangat jarang terjadi dan apabila berkembang akan menuju ke arah
keganasan. Mioma uteri sering terjadi pada usia 35-44 tahun, karena terjadi perubahan hormonal pada
tubuh. Estrogen akan kian meningkat, sedangkan progesteron akan mengalami penurunan. Estrogen
sendiri, merupakan pemicu dari bertumbuhnya mioma uteri. Progesteron dapat menghambat
perkembangan mioma uteri dikarenakan progesteron mampu mengaktifkan 17-Beta
hidroxydesidrogenase dan mampu menurunkan reseptor estrogen.

5. SARAN

Setelah mengetahui risiko pemicu perkembangan mioma uteri, masyarakat diharapkanmengatu


pola makan dan olahraga dengan baik. Pada hakikatnya, penyakit tak akan muncul pada orang yang
mampu menjaga pola makan dan olahraganya. Mioma uteri memang hal yang wajar terjadi. Namun,
masyarakat diharapkan untuk lebih awas lagi mengenai berbagai gejala yang kurang terasa.
Masyarakat diharapkan untuk aktif memeriksakan diri pada dokter mengenai kesehatan tubuhnya.
Sebab, mioma uteri yang didiamkan dalam waktu lama, mampu menimbulkan masalah keganasan.
Apabila mioma uteri pada tahap dini dapat terdeteksi, maka pengobatannya akan lebih mudah lagi dan
akan semakin cepat untuk ditangani.

6. DAFTAR PUSTAKA

Buku

Cahyaningtyas, W. K. (2010). Faktor-faktor yang berpengaruh Kesehatan Reproduksi Wanita.


Edisi 2. Jakarta : Penerbit EGC.

Sugiono, D. (2008). Kamus besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Jurnal

Cahyasari, A. M., & Sakti Hastaning. (2014). Optimisme kesembuhan pada penderita
mioma uteri. Jurnal Psikologi Undip, 13(1), 21-23.

Djuwantono T. (2004). Terapi GnRH agonis sebelum histerektomi. Mioma: Farmacia 3,


38-41.

Fradhan P., Acharya N., Kharel B. (2006). Uterine myoma: a profile of nepalese women.
NJ Obstet Gynaecol 1(2), 47-50.

Leone FP., Lanzani C., Ferrazzi E. (2003). Use of strict sonohysterographic methods for
preoperative assessment of submucous myomas. Fertility and Sterility 79(4), 998-
1002.

Itsna, Ita Nur. (2017). Kesejahteraan spiritual dan tingkat kecemasan pada wanita dengan
mioma uteri dan kista ovarium. Jurnal Ilmu Kesehatan Bhamada 7(2), 96-102.

Octaviana Amrina, Pranajaya R. (2014). Usia dan paritas dengan kejadian mioma uteri.
Jurnal Keperawatan 10(2), 2019-214.

Lilyani D.I., Sudiat Muhammad, Basuki Rochman. (2012). The Relation of Risk Factors
and the Uterine Myomas Incidence at Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo
Semarang. Jurnal Kedokteran Muhammadiyah 1(1), 14-19.

Apriyani Yosi, Sumarni Sri. (2013). Analisa faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian mioma uteri di RSUD dr. Adhyatma Semarang.Jurnal Kebidanan 2(5),
36-46.
SKRIP WAWANCARA

Wawancara dengan pasien mioma uteri


Pewawancara: Perkenalkan nama saya Naomi, saya akan memberikan beberapa pertanyaan
mengenai mioma uteri, apakah Ibu bersedia?
Pasien: Bersedia
Pewawancara: Siapa nama Ibu? Berapa umur ibu?
Pasien: Heni Diah Fari, 48 tahun.
Pewawancara: Bisakah Ibu menceritakan tentang mioma uteri yang ada pada Ibu?
Pasien: Saya mengetahui tentang mioma uteri saat berusia 40 tahun. Saat itu, saya ingin
mengecek KB saya dengan tes USG, namun didapatkan gambaran bahwa saya memiliki
mioma uteri dengan ukuran 12 cm. Saat itu dokter menerangkan bahwa mioma uteri akan
mengecil sendiri ketika saya mengalami menopause, sehingga saya memutuskan untuk
menunggu menopause tanpa melakukan operasi karena kecemasan saya. Hingga beberapa
minggu sebelum saya operasi, saya mengalami gejala seperti mual, muntah, perut sakit dan
menstruasi dengan darah yang berlebihan. Saya sempat mengecek penyakit saya pada dokter
umum dua kali, namun kedua dokter tersebut menyimpulkan bahwa saya sakit maag. Hingga
saatnya saya pingsan, lalu memberanikan diri untuk melakukan tes USG kembali. Dokter dan
saya sempat bingung karena tes tersebut menunjukkan bahwa mioma uteri saya sudah
sepanjang 17 cm. Dokter menyarankan saya untuk melakukan operasi pengangkatan rahim
karena ukuran mioma yang terlalu besar.
Pewawancara: Lalu bagaimana jalannya operasi Ibu?
Pasien: Sebelum tindakan operasi, saya sempat ditranfusikan dua kantong darah untuk
menaikkan Hb darah. Setelah operasi, berat badan saya turun 10 kg.
Pewawancara: Apakah Ibu merasa cemas mengenai keberhasilan tindakan operasi?
Pasien: Saya jelas cemas, tapi di rumah sakit tempat saya dioperasi, ada banyak pasien yang
memiliki penyakit yang sama seperti saya. Umur mereka berkisar antara 35-44 tahun, jadi
saya memberanikan diri saya agar tidak terjadi keganasan di penyakit saya.
Pewawancara: Baik, terima kasih Ibu atas ketersediaannya di sesi wawancara ini.

Anda mungkin juga menyukai