Anda di halaman 1dari 5

HUBUNGAN KADAR IMUNOGLOBULIN-E SPESIFIK DENGAN HASIL UJI TUSUK

KULIT PENDERITA DERMATITIS ATOPIK ANAK

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit inflamasi kronis yang disertai gatal dan kelainan
kulit lain seperti xerosis, ekskoriasi, dan likenifikasi. Kebanyakan terjadi pada masa bayi dan
anak, sering dihubungkan dengan peningkatan kadar imunoglobulin E (IgE) dan adanya riwayat
atopi pada diri sendiri atau keluarga seperti rinitis alergi atau asma. (Leung et al., 2008;
Soeberyo, 2009).

DA ini biasanya ditemukan mulai dari umur 2 bulan dan sekitar 1 tahun pada 60% pasien, 30%
terlihat pertama kali pada usia 5 tahun, dan hanya 10% timbul dermatitis atopik antara usia 6
sampai 20 tahun. (Paller A, 2006) DA sangat jarang muncul pada usia dewasa. Sebanyak 60%
orang tua yang menderita DA, mempunyai anak yang juga menderita penyakit yang sama.
Prevalensi pada anak tinggi, yaitu sekitar 80% apabila kedua orangtuanya menderita DA.
(Amiruddin, 2003) Menurut International Study of Ashma and Allergies in Children, prevalensi
penderita DA pada anak bervariasi di berbagai Negara. Prevalensi DA pada anak di Iran dan
Cina kurang lebih sebanyak 2%, 20% di Australia, England, dan Skandinavia. Prevalensi yang
tinggi juga didapatkan di Negara Amerika Serikat yaitu sebesar 17,2%. (Zulkarnain, 2009)

Dermatitis Atopik (DA) dibagi menjadi 2 tipe : 1) bentuk murni tidak disertai keterlibatan
saluran napas, dan 2) bentuk campuran disertai gejala pada saluran napas. Bentuk murni dibagi
atas 2 tipe, yaitu : a) tipe intrinsik : tidak terdapat peningkatan IgE total serum, dan b) tipe
ekstrinsik : terdapat peningkatan IgE total serum, peningkatan profil sitokin yaitu IL-4 dan IL-
13, adanya sensititasi terhadap alergen hirup dan alergen makanan pada uji kulit (Wutrich and
Grendelmeier, 2002, Soeberyo, 2009). Bos menyatakan bahwa DA harus ditandai dengan
peningkatan IgE. Hanifin Rajka menyebutkan salah satu Kriteria minor DA adalah peningkatan
kadar IgE serum (Wuthrich and Grendelmeier, 2002; Yusuf et al., 2008)

Pemeriksaan kadar IgE total serum dilakukan untuk menunjang diagnosis penyakit alergi. Selain
pada penyakit alergi, peningkatan kadar IgE total serum juga ditemukan pada penyakit parasit
serta beberapa jenis penyakit imunodefisiensi. Oleh karena kadar IgE total serum tidak dapat
dijadikan pegangan dalam menegakkan diagnosis, maka untuk mencari hubungan mekanisme
alergi dan timbulnya lesi DA perlu diukur kadar IgE spesifik terhadap alergen tertentu.
Pengukuran adanya antibodi spesifik yang bersifat positif di dalam serum penderita terhadap
suatu alergen lingkungan tertentu akan lebih berarti daripada pengukuran IgE total serum. Kadar
normal IgE total serum tidak menyingkirkan adanya penyakit atopik tetapi kadar IgE spesifik,
walaupun rendah, dapat menentukan adanya penyakit atopik pada penderita. (Dewi dan Sukanto,
2001)
Etiologi dan patogenesis DA sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Banyak faktor yang
mempengaruhi, baik eksogen atau endogen, maupun keduanya. Faktor-faktor yang berperan
antara lain faktor genetik, disfungsi sawar kulit, imunologis, lingkungan, dan psikologis. (Leung
and Soter, 2001; Leung et al., 2008; Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010) Sensitisasi
makanan dan alergen hirup memegang peranan pada patogenesis penyakit atopi. Asma, rinitis
alergika, dan DA mempunyai dasar kelainan respon hipersensitivitas IgE dan inflamasi jaringan
spesifik yang ditandai dengan infiltrasi lokal limfosit T, eosinofil, dan monosit/makrofag.
Jaringan yang sedang mengalami inflamasi akut akan tampak infiltrasi limfosit T dengan
ekspresi interleukin (IL)-4, IL-5, dan IL-13. Sitokin ini diperkirakan memegang peranan utama
pada respon alergi. Penderita atopi mempunyai suatu kecenderungan hipersensitivitas terhadap
alergen. Alergen yang sering disebut sebagai pemicu timbulnya lesi pada penderita DA antara
lain makanan, serbuk sari bunga (pollen), dan debu rumah.(Wisesa T, 2009) Pemberian makanan
padat yang terlalu dini akan meningkatkan kejadian DA pada anak. Makanan yang sering
merupakan faktor pencetus terjadinya DA adalah susu sapi, telur, makanan hasil laut misalnya
ikan dan udang serta buah-buahan atau sayur-sayuran tertentu misalnya kacang-kacangan,
(Lokanata, 2006) sedangkan alergen/ iritan yang tersebar di udara sekeliling yang paling sering
adalah tungau debu rumah. (Dewi, 2004)

Teknik diagnostik yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya antara lain, penentuan
kadar IgE total serum, pemeriksaan IgE spesifik, skin prick test (SPT)/ uji tusuk kulit (UTK)
maupun atopy patch test. (Dewi and Sukanto, 2001)

UTK merupakan suatu metode uji alergi yang banyak digunakan di poliklinik dengan prinsip uji
untuk mendeteksi alergen yang melibatkan reaksi hipesensitivitas tipe I pada kulit. Pada reaksi
hipersensitivitas tipe I alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa
produksi IgE. IgE akan terikat pada reseptor Fc sel mast di kulit yang selanjutnya menyebabkan
degranulasi sel mast. (Daniel, 2000; Lachapelle and Maibach, 2003)

Penelitian ini mencari adakah hubungan antara kadar IgE spesifik dengan hasil UTK pada DA
anak, dimana dari hasil penelusuran kepustakaan dan publikasi nasional dan internasional tidak
ditemukan laporan penelitian tentang hubungan kadar IgE spesifik dengan hasil UTK pada DA
anak di Makassar
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DERMATITIS ATOPIK

1. Definisi

Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit yang bersifat menahun dan kumat-kumatan,
umumnya muncul pada waktu bayi, kanak-kanak ataupun dewasa yang mempunyai riwayat
atopik pada diri sendiri atau pada keluarganya, baik berupa asma, rinitis alergi, konjungtivitis
ataupun DA (Wutrich and Grendelmeier, 2002; Leung et al., 2008; Friedmann, Ardern-Jones &
Holden, 2010)

Atopi dapat didefinisikan sebagai sifat hipersensitivitas kulit dan membran yang bersifat mukosa
familial, terhadap bahan-bahan dari lingkungan, yang berhubungan dengan peningkatan sekresi
IgE dan/atau keadaan reaktivitas jaringan yang mengalami perubahan, pada kulit penderita DA
atau paru penderita asma (Wollenberg and Bieber, 2000, Leung, 2000)

2. Insidensi dan Prevalensi

Penelitian epidemiologi menunjukan bahwa prevalensi DA terus meningkat dan mencapai angka
estimasi 20% pada populasi umum (Laughter et al., 2000; Kagi et al., 1994) Data morbiditas di
10 rumah sakit besar yang tersebar di Indonesia menunjukan bahwa DA mencapai 36% dari
keseluruhan diagnosis dermatitis. (Anonim-1, 2005)

Perkembangan kajian epidemiologi DA sangat lambat, hal ini disebabkan oleh beragamnya
manifestasi klinis DA, masih terdapatnya perbedaan cara pencatatan serta tidak seragamnya
pengertian terminologi terkait DA. Perbedaan ini menyebabkan studi banding antar negara
menjadi tidak mudah, variasi yang ditemukan sangat besar, berkisar antara 0,7% sampai 20,1%
(Williams, 2000; Beltrani and Boguniewicz, 2004)

Sekitar 60% kasus dermatitis terjadi pada tahun pertama kehidupan, 85% DA terjadi pada 5
tahun pertama dan jarang terjadi setelah umur 45 tahun. (Beltrani and Boguniewicz, 2004)
Dermatitis atopik dapat mengenai kedua jenis kelamin, kejadian saat dewasa lebih banyak pada
wanita, sedang pada anak-anak lebih banyak laki-laki (Friedmann, Ardern-Jones & Holden,
2010)

Boediardja (1996) mengumpulkan data prevalensi dalam kurun waktu 1 tahun (Oktober 1994 –
September 1995) diperoleh dari 10 rumah sakit terbesar di Indonesia dengan jumlah total 3237,
kelompok umur terbanyak 5 – 14 tahun diikuti 1 – 4 tahun dan sisanya penderita dewasa. Jumlah
penderita perempuan sebanyak 1851 orang sedangkan laki-laki sebanyak 1386 orang. (Boediarja,
1999)

Survei di negara berkembang menemukan 10-20% anak menderita DA (Williams, 2000)


Prevalensi pada anak etnis Asia belum banyak dilaporkan. Angka prevalensi yang pernah
dilaporkan adalah 20,1% di Hongkong, 19% di Jepang dan 20,8% di Singapura. (Tay et al.,
2002) Prevalensi DA di Indonesia sendiri juga bervariasi. Data dari tujuh RS di lima kota besar
di Indonesia pada tahun 2000 menemukan DA masih menempati peringkat pertama (23,67%)
dari 10 besar penyakit kulit anak (Anonim-2., 2000) Data serupa pada tahun 2005 dari 10 RS
besar di seluruh Indonesia menemukan angka 36% dari seluruh kasus (Anonim-1, 2005)

1. 3. Faktor resiko dan faktor pencetus

DA merupakan proses yang disebabkan oleh multifaktor, yaitu sebagai hasil peran kerjasama
faktor genetik, lingkungan berupa paparan alergen, iritan atau perubahan cuaca, stres psikologis,
disfungsi sawar kulit dan abnormalitas imunologi. Faktor resiko terjadinya DA antara lain :
(Kang K, 2003; Simpson E, 2005; Leung D, 2008)

a. Genetik

Dalam suatu penelitian yang dilakukan pada 372 penderita DA, ditemukan insiden alergi
pernapasan perseorangan sebesar 95% dan riwayat atopi dalam keluarga sebesar 73%. Dalam
kohort tersebut, insiden asma alergik dan rhinitis alergi pada anggota keluarga penderita yang
tidak mengalami alergi pernapasan perseorangan cukup tinggi, masing-masing sebesar 73% dan
32%. Namun insiden DA dalam keluarga penderita DA yang mengalami alergi pernafasan atau
tidak, masing-masing adalah 34% dan 27%. Hal ini menunjukkan bahwa pewarisan DA tidak
berhubungan dengan DA itu sendiri namun sangat dipengaruhi oleh fase atopik terutama alergi
pernapasan.

Observasi klinis mendorong para peneliti untuk menyelidiki gen-gen spesifik yang terlibat dalam
atopi dan DA. Terdapat dua metode yang digunakan. Pertama, linkage analisis yang menentukan
hubungan antara fenotif DA dengan kromosom tertentu. Kedua, menyelidiki hubungan DA
dengan polimorfisme atau mutasi gen spesifik. Beberapa kromosom diduga berhubungan dengan
faktor-faktor imunologis esensi al yang mengkode AD dan berperan dalam pathogenesis
penyakit ini. Kromosom 5q31 mengandung cluster family gen IL-4, termasuk gen sitokin
multiple yang mengkode sitokin-sitokin Th2, seperti IL-4,IL-5 dan IL-13.

a. Laktasi, terjadi perbedaan bayi yang mendapat air susu ibu ( ASI ) dengan yang non
ASI. Makin panjang waktu mendapat ASI makin kecil kemungkinan untuk mendapat
DA.
b. Sosioekonomi, lebih banyak ditemukan pada status sosial yang tinggi dibandingkan
dengan status sosial yang lebih rendah.
c. Polusi lingkungan, antara lain daerah industri dengan peningkatan polusi udara,
pemakaian pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan
kelembaban udara, asap rokok, penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula
pada kelembaban, penggunaan sampo dan sabun yang berlebihan dan deterjen yang tidak
dibilas dengan sempurna.
d. Jumlah anggota keluarga: kejadian DA berbanding terbalik dengan banyaknya jumlah
anggota keluarga.
DAFTAR PUSTAKA

Abramovits, W. (2005) Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermtol, 53, 86-93.

Amiruddin D.(2003) Dermatitis Atopik dan Penanganannya. In. Amiruddin D, editors. Ilmu
Penyakit Kulit. 1st ed. Makassar.p. 297-312.

Anonim-1 (2005) Laporan morbiditas sub bagian dermatologi anak di beberapa rumah sakit di
Indonesia.BOS, J. D. (2006) Immunology of atopic dermatitis. In Harper, J., Oranje, A. & Prose,
N. (Eds.) Textbook of pediatric dermatology. 2 ed. London, Blackwell.

Anonim-2. (2000) Data jumlah kunjungan baru dan lama pasien kulit anak di 7 rumah sakit di
Indonesia.

Ardiana D, Hutomo MM,Sawitri. (2004) Kadar eosinophil cationic protein serum pada
Dermatitis Atopik. Berkala Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 16 (2): 114-120)

Arshad,S. (2002) Allergy An Illustrated Colour Text, Edinburgh, Churchill Livingstone.

Baratawijaya K.G. (2006) Imunologi Dasar, In Baratawijaya K.G, editor. Jakarta, Balai Penerbit
FKUI.

Beltrani, V. & Boguneiwicz, M. (2004) Atopic Dermatitis. Dermatology Online Journal, 9, 1-28.

Blauvelt A, Hwang S & Udey M. (2003) Allergic and Immunologic Diseases of the Skin. J
Allergy Clin Immunol 11,560-569.

Boediarja, S. (1999) Diagnosis Dermatitis Atopi pada Bayi dan Anak. Simposium Mini dan
Lokakarya Dermatitis Atopi pada Bayi dan Anak, 1, 681-700.

Boguniewicz, M & Leung D. (2000) Atopic Dermatitis. In Leung, D & Greaves,M (Eds)
Allergic Skin Diseases. New York, Marcel Dekker: 125-156

Bohme M, Svensson A, Kull I, Wahlgren C. (2000) Hanifin’s and Rajka’s Minor Criteria for
Atopic Dermatitis: Which do 2-year-old exhibit? American Academy of Dermatology. 43(5):
785-792

CentnerJ, de Week AL. (1995) Atlas of Imuno-Allergology. Seatle. Hogrete & Hubber publisher.

Cianferoni A and Spergel JM. (2009) Food Allergy: Review, Classification and Diagnosis.
Allergology International, 58:457-466

Daniel, P. S. (2000) Mechanisms of hypersensitivity, San Francisco, Prentice-Hall International


Incorporation

Anda mungkin juga menyukai