BERANDA HUBUNGI ROUF ANNISA TRAVEL ASOSIASI HIMPUH CEK NOMOR PORSI HAJI SIPATUH DAFTAR PPIU BERIZIN CEK VISA
BAB II
PEMBAHASAN
Mengenai konsep negara ideal pada masa plato (427 – 347 SM)
dan selanjutnya dilanjutkan oleh aristoteles (384 – 322 SM) paling tidak
ada 3 buah karya yang sangat relevan dengan masalah kenegaraan, yaitu:
pertama ’politea’ (the Republica); kedua, Politicos, (the Stateman); dan
ketiga, Nomoi (the Law).[5] Keduanya memandang Negara dari perspektif
filosof yang melihat semua pengetahuan merupakan suatu kesatuan yang
utuh.[6]
Politea ini muncul dilatarbelakangi adanya penyelenggaraan
negara yang dipimpin oleh orang yang haus oleh harta, kekuasaan, dan
gila hormat. Pemerintah sewenang-wenang yang tidak memperhatikan
penderitaan rakyatnya. Oleh karena itu, pemikirannya yang dituangkan
dalam Politea adalah, suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang
rakus dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi. Agar supaya negara
menjadi baik, maka pemimpin negara harus diserahkan kepada filosof,
kerena filosof adalah manusia yang arif bijaksana, yang menghargai
kesusilaan, berpengetahuan tinggi. Filosoflah yang paling mengetahui apa
yang baik bagi semua orang, dan apa yang buruk yang harus dihindari.
Karena itu kepada filosoflah seharusnya pimpinan negara dipercayakan,
tidak usah dikhawatirkan bahwa ia akan menyalahgunakan kekuasaan
yang diserahkan kepadanya. Ternyata, cita-cita yang ideal tersebut tidak
pernah terwujud, karena hampir tidak mungkin mencari manusia yang
sempurna, bebas hawa nafsu dan kepentingan pribadi.
Berdasarkan kenyataan inilah kemudian muncul pemikian
’Politicos’, yang menganggap bahwa adanya hukum untuk mengatur
warga negara, sekali lagi hanya untuk warga negara saja. Hukum yang
dibuat manusia tentunya tidak harus berlaku bagi penguasa itu sendiri,
karena penguasa di samping memiliki pengetahuan untuk memerintah juga
termasuk pengetahuan membuat hukum.
Dalam pemikiran selanjutnya, yang disebut ’Nomoi’ yang
kemudian dilanjutkan oleh muridnya bernama Aristoteles. Menurut
Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan
konstitusi dan berkedaulatan hukum, dengan menyatakan, ’Aturan yang
konstitusional dalam negara konstitusional dalam negara berkaitan secara
erat, juga dengan pertanyaan kembali apakah lebih baik diatur oleh
manusia atau hukum terbaik, selama suatu pemerintahan menurut hukum,
oleh sebab itu supremasi hukum diterima sebagai tanda negara yang baik
dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang tak selayaknya’.[7]
Warisan jaman romawi kuno kepada ilmu politik yang utama
adalah sumbangannya dibidang hokum, yurisprudensi dan administrasi
Negara, kesemua bidnag tersebut sejalan dengan stoicisme mengenai
kesamaan manusia, persaudaraan setiap orang , ketuhanan dan keunikan
nilai individu, yang bagaimanapun rendahnya, mempercayai cahaya tuhan
menjiwai seluruh semesta. Filsafat demokrasi dengan asumsinya tentang
rasionalitas, moralitas dan persamaan serta konsepnya tentang hokum
alam dan hak-hak alamiah, banyak menurun dari faham stoic dan cicero,
yang memadukan filsafat stoic kedalam pemikiran barat.[8]
Kemudian selaama abad pertengahan, Negara menjadi kurang
penting dibandingkan gereja, yang bisa memaksakan kekuasaanya pada
raja dan memecat para pangeran dan mengatur kebijakan umum. Dibawah
dominasi intelektual dan politik gereja Kristen, pemikiran politik pada
abad pertengahan peratama-tama berurusan dan untuk menjawab
persoalan mengenai yang seharusnya (nilai), bukan pertanayaan tentang
yang ada (fakta). Dengan demikian pemikiran politik pada masa abad
pertengahan lebih dekat dengan tradisi Plato (filsafat) daripada dengan
tradisi Aristoteles (ilmu).[9]
Di Asia ada beberapa pusat kebudayaan terkait dengan
perkembangan ilmu politik, antara lain : India dan China yang telah
mewariskan tulisan-tulisan politik yang bermutu. Tulisan-tulisan dari India
terkumpul antara lain dalam kesusastraan Dharmasastra dan Arthasastra
yang berasal dari masa kira-kira 500 SM. Di antara Filsuf China yang
terkenal, seperti : Confucius atau Kung Fu Tzu (500 SM), Mencius (350
SM) dan mazhab Legalist (antara lain Shang Yang 350 SM).
Di Indonesia kita mendapati beberapa karya tulisan yang
membahas masalah sejarah dan kenegaraan, seperti : Negara Kertagama
(yang ditulis pada masa Majapahit sekitar abad ke-13 dan 15 M) dan
Babad Tanah Jawi. Namun sayang di negara-negara Asia tersebut
kesusastraan yang mencakup bahasan politik mulai akhir abad ke-19 telah
mengalami kemunduran karena terdesak oleh pemikiran Barat yang
dibawa oleh negara-negara, seperti : Inggris, Jerman, Amerika Serikat dan
Belanda dalam rangka imperialism.
Di Negara-negara benua Eropa sendiri bahasan mengenai politik
pada abad ke-18 dan ke-19 banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum, karena
itu ilmu politik hanya berfokus pada negara. Selain ilmu hukum, pengaruh
ilmu sejarah dan filsafat pada ilmu politik masih terasa sampai perang
Dunia II.
Di Amerika Serikat terjadi perkembangan berbeda, karena ada
keinginan untuk membebaskan diri dari tekanan yuridis, dan lebih
mendasarkan diri pada pengumpulan data empiris. Perkembangan
selanjutnya bersamaan dengan perkembangan sosiologi dan psikologi,
sehingga dua cabang ilmu tersebut sangat mempengaruhi ilmu politik.
Perkembangan selanjutnya berjalan dengan cepat, dapat dilihat dengan
didirikannya American Political Science Association (APSA) pada 1904.
[10]
Ilmu politik masa kini telah berkembang dari berbagi bidang studi
yang berkaitan termasuk sejarah, filsafat, hokum dan ekonomi. Ditinjau
dari tahap perkembangannya sebagai ilmu, memang tidak dapat disangkal
bahwa ilmu politik agak tertinggal dibelakang jika dibandingkan dengan
ilmu lainnya, seperti ilmu ekonomi yang mengalami kemajuan yang pesat
seiring denagn era “revolusi industry” pertengahan abad XVIII.
Sesudah perang dunia ke II perkembangan ilmu politik semakin
pesat. Di Negara Belanda, dimana waktu itu penelitian mengenai Negara
dimonopoli oleh Fakultas Hukum, didirikan Faculteit der Sociale
Wetenschappen pada tahun1947 di Amsterdam. Di Indonesia pun didirikan
fakultas-fakultas yang serupa, yang dinamakan fakultas Ilmu Sosial dan
Politik (seperti pada Universitas Gajah Mada, Yogyakarta) atau Fakultas
ilmu-ilmu Sosial (seperti pada Universitas Indonesia, Jakarta) dimana ilmu
politik merupakan Departemen tersendiri. Akan tetapi, oleh karena
pendidikan tinggi ilmu Hukum sangat maju, tidaklah mengherankan
apabila pada permulaan perkembangannya, ilmu politik di Indonesia
terpengaruh kuat oleh ilmu itu. Akan tetapi dewasa ini konsep-konsep
ilmu politik yang berangsur-angsu mulai di kenal.
Pesatnya perkembangan ilmu politik sesuda perang dunia ke II
tersebut juga disebabkan karena mendapat dorongan kuat dari beberapa
badan internasional, terutam UNESCO(United Nations Educational
Scientific and Cultural Organization). Terdorong oleh tidak adanya
keseragaman dalam terminology dalam ilmu politik, UNESCO dalam
tahun 1948 menyelenggarakan suatu survey mengenai kedudukan ilmu
politik dalam kira-kira 30 negara. Proyek ini dipimpin oleh W. Ebenstein
dari Princeton University Amerika Serikat kemudian di bahas oleh
beberapa ahli dalam suatu pertemuan di Paris dan menghasilkan buku
“Contemporary Political Science”.[11]
Selanjutnya UNESCO bersama International Political Science
Association (IPSA) yang mencakup kira-kira ssepuluh negara, diantaranya
negara Barat, di samping India, Meksiko, dan Polandia. Pada tahun 1952
hasil penelitian ini dibahas di suatu konferensi di Cambridge, Inggris dan
hasilnya disusun oleh W. A. Robson dari London School of Economics and
Political Science dalam buku The University Teaching of Political Science.
Buku ini diterbitkan oleh UNESCO untuk pengajaran beberapa ilmu social
(termasuk ekonomi, antropologi budaya, dan kriminologi) di perguruan
tinggi. Kedua karya ini ditujukan untuk membina perkembangan ilmu
politik dan mempertemukan pandangan yang berbeda-beda. Pada masa-
masa berikutnya ilmu-ilmu sosial banyak memanfaatkan penemuan-
penemuan dari antropologi, sosiologi, psikologi, dan ekonomi, dan dengan
demikian ilmu politik dapat meningkatkan mutunya dengan banyak
mengambil model dari cabang ilmu sosial lainnya. Berkat hal ini, wajah
ilmu politik telah banyak berubah dan ilmu politik menjadi ilmu yang
penting dipelajari untuk mengerti tentang politik.
Oleh karena itu, sejarah ringkas perkembangan ilmu politik yang
paling mudah kita pahami menurut sejarah adalah bahwa politik sudah
ditemukan dalam literature klasik yunani kuno. Periode awal ada Plato,
kkemudian disusul oleh muridnya Aristoteles yang mengemukakan
gagasan besar dan brilian mengenai upaya mencapai kebaikan bersama.
Kemudian disambung pada awal abad pertengahan ada pemikir seperti
augustinus (354-430) dengan doktrin tentang dua belah pedang (civitate
dei dan civitate terena). Kemudian ditengah abad pertengahan ada
Thomas Aquinas (1225-1274) yang memberikan gambaran pentingnya
hokum sebagai roda penggerak kehidupan kemasyarakatan. Lantas pada
abad pencerahan, pemikir seperti Niccolo Machiaveli (1469-1527),
Thomas Hobbes (1588-1778), john Locke (1632-1704), Montesquieu
(1689-1755), serta jean Jacques Rousseau (1712-1778) yang menjelaskan
berbagai hal tentang politik. Kemudian pemikir-pemikir abad Modern
mulai dari Karl Marx hingga Gabriel Almond, Robert Dahl, juga Samuel
Huntington. Bahwa menurut mereka semua tuujuan dari politik adalah
melembagakan kebaikan bersama, melalui organisasi yang kemudian kita
kenal sampai saat ini dengan pemerintah.[12]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau kepolitikan.
Politik merupakan usaha untuk mecapai kehidupan yang lebih baik. Di
Indonesia kita mengenal pepatah gemah ripah loh jinawi, orang yunani
kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia
atau the good life. Bahwa politik dalam suatu Negara (state) berkaitan
dengan masalah kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision
making), kebijakan publik (public policy), dan alokasi atau distribusi
(allocation or distribution).
Sejarah ringkas perkembangan ilmu politik dapat kita pahami
menurut pembabakan sejarah yang dimulai dan sudah ditemukan dalam
literature klasik Yunani kuno, kemudian pada awal abad pertengahan,
kemudian ditengah abad pertengahan, kemudian abad pencerahan, dan
kemudian abad Modern.
Sampai abad ini ilmu politik sebagai salah satu disiplin dari ilmu-
imu sosial telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sejak
kelahirannya, maka apabila kita tinjau tentang sejarah perkembangan ilmu
politik perkembangan ilmu politik terbagi pada tiga periode yaitu, periode
tradisional, behavioralisme (pendekatan perilaku) dan post
behavioralisme (pendekatan pasca perilaku).
B. Saran
Perkembangan ilmu politik akan tarus dianamis seiring dengan
perkembangn gejala atau perubahan social dalam masyarakat, oleh karena
itu sebagai mahasiswa kita harus benyak belajar tentang politik yang baik
agar dapat diperguankan dalam kehidupan sehari-hari dalam
bermasyarakat dan bernegara.
Semoga makalah yang ada di tangan kawan-kawan sekalian,
walaupun banyak kekurangan disana sini memberikan manfaat bagi kita
semua. Kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan dari kawan-
kawan semua.
DAFTAR PUSTAKA
Carlton Clymer Rodee, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: Rajawali Press, 2009
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik Sebuah Bahasa Memahami Ilmu Politik,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007
[1] Miriam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008), h. 13
[2] Ibid, h. 17
[3] S.P. Varma, Teori Politik modern, (Jakarta: Rajawali, 1987), h. 3
[4] Miriam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, h. 5
[5] Azhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-
unsurnya, (Jakarta: UI Press, 1995), h. 19
[6] Carlton Clymer Rodee, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 6
[7] Ibid, h. 20
[8] Carlton Clymer Rodee, Pengantar Ilmu Politik, h. 6-7
[9] Ibid, 7
[10] Miriam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, h. 6
[11] Ibid, h. 7
[12] Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik Sebuah Bahasa Memahami Ilmu Politik,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 1
[13] S.P. Varma, Teori Politik modern, h. 3. Lihat juga Miriam Budiardjo, Dasar-
Dasar Ilmu Politik, h. 5
[14] S.P. Varma, Teori Politik modern, h. 3
[15] David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: CV.Rajawali, 1988), h. 333.
[16] Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer : Atheisme, Positivieme Logis,
Neo Marxisme, Posmodernisme dan Post Ideology Syndrome, (Yogyakrata : Jalasutra, 2001), h.
30
[17] Ibid, h. 36
[18] S.P. Varma, Teori Politik modern, h. 31
[19] Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer, (Jakarta : PT. Bina Aksara,
1986), h. 228
[20] Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer : Atheisme, Positivieme Logis,
Neo Marxisme, Posmodernisme dan Post Ideology Syndrome, h. 66-68.
[21] S.P. Varma, Teori Politik modern, h. 46-47
[22] S.P. Varma, Teori Politik modern, h. 53-56
Diposting oleh ROUF IBNU MU'TH I di Jumat, November 0 1, 2013
Label: POLITIK, POLITIK HUKUM
0 K O M E N TA R :
P O S T I N G K O M E N TA R