Anda di halaman 1dari 11

MENDEKATKAN ANDA DE NGAN BAIT UL L AH

Blog pribadi saya ini memuat hal- h al yan g b er kait an d en g an akt if it as


keseharian saya, baik kehidupan di m asyar akat , kan t o r d an lain n ya.
Semoga bermanfa at bagi yang mam p ir d i b lo g p r ib ad i in i, salam san t un
dan terima kasih t elah berkunjung.

BERANDA HUBUNGI ROUF ANNISA TRAVEL ASOSIASI HIMPUH CEK NOMOR PORSI HAJI SIPATUH DAFTAR PPIU BERIZIN CEK VISA

Jumat, 01 November 2013


ARCHIVES TERJEMAHKAN

► 2019 (2) SEJARAH PEREKEMBANGAN ILMU POLITIK


Select Language
► 2018 (7) BAB I
► 2017 (1) Powered by Translate
PENDAHULUAN
► 2016 (3)
► 2015 (17) A. Latar Belakang Masalah PENCARIAN
► 2014 (22)
Berbicara masalah perkembangan mengenai ilmu politik jelas Telusuri
▼ 2013 (27)
▼ November (2)
bahwa seiring dengan perkembangan zaman maka perkembangan ilmu
SBY SEBAGAI PRESIDEN politikpun terus mengalami peningkatan dan terus berkembang, kebutuhan
MERANGKAP KETUA MY FACEBOOK
UMUM PARTAI
akan pentingnya ilmu politik dalam keberlangsungan hidup bernegara dan
peran serta memajukan atas bangsa ini. Maka ilmu politikpun menjadi Rouf Al-bantaniy
SEJARAH
PEREKEMBANGAN dianggap sangat penting untuk menopang kemajuan tersebut. Manusia
ILMU POLITIK
yang terus menerus melakukan penelitian terhadap aspek kehidupan Buat Lencana Anda
► Oktober (1)
politik itu sendiri. Ilmu politik yang dianggap sebagai bagian dari ilmu
► Juni (2)
yang sangat penting terhadap pengelolaan ketatanegaraan maka mulai dari PENGUNJUNG
► Mei (2)
► April (2)
SD, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi memberikan pengajaran tentang Site Meter
► Maret (7) aspek berpolitik, kalau dalam pendidikan dasar sampai sekolah menengah
► Januari (11) atas itu terdapat didalam mata pelajaran PKN yang juga sama terdapat
► 2012 (44) didalamnya pola pengajaran/transper ilmu politik terhadap siswanya, maka
► 2011 (21) di tingkat perguruan tinggi sekarang sudah banyak fakultas atau jurusan
► 2010 (17) atau perguruan tinggi khusus yang mewadahi secara khusus mengenai
► 2009 (126) ilmu politik. Sebagai contoh FISIP, STISIP, dan ini merupakan ciri bahwa
► 2008 (30) benar ilmu politik dari zaman ke zaman terus mengalami perkembangan.
Sekarang zaman terus menuntut kita untuk terus berusaha dan terus
mengembangkan perkembangan terhadap ilmu itu sendiri, sangat penting
kiranya untuk mahasiswa hokum memahami betul akan esensi dari ilmu
SUBSCRIBE politik itu sendiri, dengan belajar serta mengkaji mengenai ilmu politik
kita mengaktualisasikan dalam kehidupan bernegara/ dalam mengurusi
RSS Feed (xml) bidang kepemerintahan.
POWERED BY
B. Rumusan Masalah
Skin Design:
Free Blogger Skins Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1) Apa yang dimaksud dengan ilmu politik?
2) Bagaimana sejarah perkembangan ilmu politik?
3) Bagaimana perkembangan ilmu politik sebagai disiplin ilmu?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Ilmu Politik


Politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem
politik yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu
dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Politik selalu menyangkut tujuan-
tujuan dari seluruh masyarakat dan bukan tujuan pribadi seseorang.
Lagipula politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai
politik dan kegiatan individu.
Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau kepolitikan.
Politik merupakan usaha untuk mecapai kehidupan yang lebih baik. Di
Indonesia kita mengenal pepatah gemah ripah loh jinawi, orang yunani
kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia
atau the good life.[1] Pemikiran mengenai politik didunia barat banyak
dipengaruhi oleh pemikiran filsuf yunani kuno abad ke- 5 SM, plato dan
Aristoteles menganggap politik sebagai suatu usaha untuk mencapai
masyarakat politik (polity) yang terbaik.
Bahwa politik dalam suatu Negara (state) berkaitan dengan
masalah kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making),
kebijakan publik (public policy), dan alokasi atau distribusi (allocation or
distribution).
Tidak dapat disangkal bahwa kegiatan politik disamping terdapat
segi-segi positif, juga mencakup segi-segi negatifnya. Hal inidisebabkan
karena politik mencerminkan tabiat manusia, baik nalurinya yang baik
maupun nalurinya yang buruk, perasaan manusia yang beraneka ragam
sifatnya, sangat mendalam dan sering bertentangan, mencakup rasa cinta,
benci, setia, bangga, malu dan marah.[2]
Politik menurut Rod Hogue adalah kegiatan yang menyangkut cara
bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang
bersifat kolektif dan mengikat meelalui usaha untuk mendamaikan
perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggotanya. Sedangkan politik
menurut Andrew Heywood adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan
untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-
pertauran umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak terlepas
dari gejala konflik dan kerjasama.

B. Sejarah Perkembangan Ilmu Politik


Ilmu politik merupakan salah satu ilmu tertua dari berbagai
cabang ilmu yang ada, meskipun beberapa cabang ilmu
pengetahuan yang ada telah mencoba melacak asal-usul
keberadaannya hingga zaman yunani kuno, tetapi hasil yang
dicaopai tidak segemilang apa yang telah dicapai oleh ilmu politik.
[3]
Apabila ilmu politik di pandang semata-mata sebagai salah
satu cabang dari ilmu-ilmu social yang memilik dasar, rangka,
focus, dan ruang lingkup yang jelas, maka dapat dikatakan bahwa
ilmu politik masih muda usianya karena baru lahir pada akhir abad
ke-19. Pada tahap itu ilmu politik berkembang secara pesat
berdampingan dengan cabang-cabang ilmu social lainnya, seperti
sosiologi, antropologi, ekonomi, dan psikologi, dalam
perkembangan ini saling mempengaruhi.[4]
Untuk mengetahui perkembangan ilmu politik, kita harus
meninjau ilmu politik dalam kerangka yang luas.
Sebagaimana telah diterangkan pada presentasi makalah
minggu yang lalu bahwa ilmu politik ditinjau dari kerangka yang
luas telah ada sekitar tahun 427 S.M. Sebagai pembahasan
secara rasional dari berbagai aspek negara dan kehidupan politik,
maka ilmu politik tersebut memiliki umur yang lebih tua lagi. Ilmu
tersebut dikatakan tua karena pada taraf perkembangannya, ilmu
politik masih bersandar pada sejarah dan filsafat.
Contohnya di Yunani Kuno misalnya, pemikiran mengenai
negara sudah dimulai pada tahun 450 S.M., yang terbukti dalam
karya-karya ahli seperti Herodotus, Plato, Aristoteles, Socrates, dan
lain sebagainya. Bahkan Plato yang telah meletakan dasar-dasar
pemikiran ilmu politik dikenal sebagai Bapak filsafat politik,
sedangkan Aristoteles yang telah meletakan dasar-dasar
keilmuan dalam kajian politik dikenal sebagai Bapak ilmu politik.

Mengenai konsep negara ideal pada masa plato (427 – 347 SM)
dan selanjutnya dilanjutkan oleh aristoteles (384 – 322 SM) paling tidak
ada 3 buah karya yang sangat relevan dengan masalah kenegaraan, yaitu:
pertama ’politea’ (the Republica); kedua, Politicos, (the Stateman); dan
ketiga, Nomoi (the Law).[5] Keduanya memandang Negara dari perspektif
filosof yang melihat semua pengetahuan merupakan suatu kesatuan yang
utuh.[6]
Politea ini muncul dilatarbelakangi adanya penyelenggaraan
negara yang dipimpin oleh orang yang haus oleh harta, kekuasaan, dan
gila hormat. Pemerintah sewenang-wenang yang tidak memperhatikan
penderitaan rakyatnya. Oleh karena itu, pemikirannya yang dituangkan
dalam Politea adalah, suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang
rakus dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi. Agar supaya negara
menjadi baik, maka pemimpin negara harus diserahkan kepada filosof,
kerena filosof adalah manusia yang arif bijaksana, yang menghargai
kesusilaan, berpengetahuan tinggi. Filosoflah yang paling mengetahui apa
yang baik bagi semua orang, dan apa yang buruk yang harus dihindari.
Karena itu kepada filosoflah seharusnya pimpinan negara dipercayakan,
tidak usah dikhawatirkan bahwa ia akan menyalahgunakan kekuasaan
yang diserahkan kepadanya. Ternyata, cita-cita yang ideal tersebut tidak
pernah terwujud, karena hampir tidak mungkin mencari manusia yang
sempurna, bebas hawa nafsu dan kepentingan pribadi.
Berdasarkan kenyataan inilah kemudian muncul pemikian
’Politicos’, yang menganggap bahwa adanya hukum untuk mengatur
warga negara, sekali lagi hanya untuk warga negara saja. Hukum yang
dibuat manusia tentunya tidak harus berlaku bagi penguasa itu sendiri,
karena penguasa di samping memiliki pengetahuan untuk memerintah juga
termasuk pengetahuan membuat hukum.
Dalam pemikiran selanjutnya, yang disebut ’Nomoi’ yang
kemudian dilanjutkan oleh muridnya bernama Aristoteles. Menurut
Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan
konstitusi dan berkedaulatan hukum, dengan menyatakan, ’Aturan yang
konstitusional dalam negara konstitusional dalam negara berkaitan secara
erat, juga dengan pertanyaan kembali apakah lebih baik diatur oleh
manusia atau hukum terbaik, selama suatu pemerintahan menurut hukum,
oleh sebab itu supremasi hukum diterima sebagai tanda negara yang baik
dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang tak selayaknya’.[7]
Warisan jaman romawi kuno kepada ilmu politik yang utama
adalah sumbangannya dibidang hokum, yurisprudensi dan administrasi
Negara, kesemua bidnag tersebut sejalan dengan stoicisme mengenai
kesamaan manusia, persaudaraan setiap orang , ketuhanan dan keunikan
nilai individu, yang bagaimanapun rendahnya, mempercayai cahaya tuhan
menjiwai seluruh semesta. Filsafat demokrasi dengan asumsinya tentang
rasionalitas, moralitas dan persamaan serta konsepnya tentang hokum
alam dan hak-hak alamiah, banyak menurun dari faham stoic dan cicero,
yang memadukan filsafat stoic kedalam pemikiran barat.[8]
Kemudian selaama abad pertengahan, Negara menjadi kurang
penting dibandingkan gereja, yang bisa memaksakan kekuasaanya pada
raja dan memecat para pangeran dan mengatur kebijakan umum. Dibawah
dominasi intelektual dan politik gereja Kristen, pemikiran politik pada
abad pertengahan peratama-tama berurusan dan untuk menjawab
persoalan mengenai yang seharusnya (nilai), bukan pertanayaan tentang
yang ada (fakta). Dengan demikian pemikiran politik pada masa abad
pertengahan lebih dekat dengan tradisi Plato (filsafat) daripada dengan
tradisi Aristoteles (ilmu).[9]
Di Asia ada beberapa pusat kebudayaan terkait dengan
perkembangan ilmu politik, antara lain : India dan China yang telah
mewariskan tulisan-tulisan politik yang bermutu. Tulisan-tulisan dari India
terkumpul antara lain dalam kesusastraan Dharmasastra dan Arthasastra
yang berasal dari masa kira-kira 500 SM. Di antara Filsuf China yang
terkenal, seperti : Confucius atau Kung Fu Tzu (500 SM), Mencius (350
SM) dan mazhab Legalist (antara lain Shang Yang 350 SM).
Di Indonesia kita mendapati beberapa karya tulisan yang
membahas masalah sejarah dan kenegaraan, seperti : Negara Kertagama
(yang ditulis pada masa Majapahit sekitar abad ke-13 dan 15 M) dan
Babad Tanah Jawi. Namun sayang di negara-negara Asia tersebut
kesusastraan yang mencakup bahasan politik mulai akhir abad ke-19 telah
mengalami kemunduran karena terdesak oleh pemikiran Barat yang
dibawa oleh negara-negara, seperti : Inggris, Jerman, Amerika Serikat dan
Belanda dalam rangka imperialism.
Di Negara-negara benua Eropa sendiri bahasan mengenai politik
pada abad ke-18 dan ke-19 banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum, karena
itu ilmu politik hanya berfokus pada negara. Selain ilmu hukum, pengaruh
ilmu sejarah dan filsafat pada ilmu politik masih terasa sampai perang
Dunia II.
Di Amerika Serikat terjadi perkembangan berbeda, karena ada
keinginan untuk membebaskan diri dari tekanan yuridis, dan lebih
mendasarkan diri pada pengumpulan data empiris. Perkembangan
selanjutnya bersamaan dengan perkembangan sosiologi dan psikologi,
sehingga dua cabang ilmu tersebut sangat mempengaruhi ilmu politik.
Perkembangan selanjutnya berjalan dengan cepat, dapat dilihat dengan
didirikannya American Political Science Association (APSA) pada 1904.
[10]
Ilmu politik masa kini telah berkembang dari berbagi bidang studi
yang berkaitan termasuk sejarah, filsafat, hokum dan ekonomi. Ditinjau
dari tahap perkembangannya sebagai ilmu, memang tidak dapat disangkal
bahwa ilmu politik agak tertinggal dibelakang jika dibandingkan dengan
ilmu lainnya, seperti ilmu ekonomi yang mengalami kemajuan yang pesat
seiring denagn era “revolusi industry” pertengahan abad XVIII.
Sesudah perang dunia ke II perkembangan ilmu politik semakin
pesat. Di Negara Belanda, dimana waktu itu penelitian mengenai Negara
dimonopoli oleh Fakultas Hukum, didirikan Faculteit der Sociale
Wetenschappen pada tahun1947 di Amsterdam. Di Indonesia pun didirikan
fakultas-fakultas yang serupa, yang dinamakan fakultas Ilmu Sosial dan
Politik (seperti pada Universitas Gajah Mada, Yogyakarta) atau Fakultas
ilmu-ilmu Sosial (seperti pada Universitas Indonesia, Jakarta) dimana ilmu
politik merupakan Departemen tersendiri. Akan tetapi, oleh karena
pendidikan tinggi ilmu Hukum sangat maju, tidaklah mengherankan
apabila pada permulaan perkembangannya, ilmu politik di Indonesia
terpengaruh kuat oleh ilmu itu. Akan tetapi dewasa ini konsep-konsep
ilmu politik yang berangsur-angsu mulai di kenal.
Pesatnya perkembangan ilmu politik sesuda perang dunia ke II
tersebut juga disebabkan karena mendapat dorongan kuat dari beberapa
badan internasional, terutam UNESCO(United Nations Educational
Scientific and Cultural Organization). Terdorong oleh tidak adanya
keseragaman dalam terminology dalam ilmu politik, UNESCO dalam
tahun 1948 menyelenggarakan suatu survey mengenai kedudukan ilmu
politik dalam kira-kira 30 negara. Proyek ini dipimpin oleh W. Ebenstein
dari Princeton University Amerika Serikat kemudian di bahas oleh
beberapa ahli dalam suatu pertemuan di Paris dan menghasilkan buku
“Contemporary Political Science”.[11]
Selanjutnya UNESCO bersama International Political Science
Association (IPSA) yang mencakup kira-kira ssepuluh negara, diantaranya
negara Barat, di samping India, Meksiko, dan Polandia. Pada tahun 1952
hasil penelitian ini dibahas di suatu konferensi di Cambridge, Inggris dan
hasilnya disusun oleh W. A. Robson dari London School of Economics and
Political Science dalam buku The University Teaching of Political Science.
Buku ini diterbitkan oleh UNESCO untuk pengajaran beberapa ilmu social
(termasuk ekonomi, antropologi budaya, dan kriminologi) di perguruan
tinggi. Kedua karya ini ditujukan untuk membina perkembangan ilmu
politik dan mempertemukan pandangan yang berbeda-beda. Pada masa-
masa berikutnya ilmu-ilmu sosial banyak memanfaatkan penemuan-
penemuan dari antropologi, sosiologi, psikologi, dan ekonomi, dan dengan
demikian ilmu politik dapat meningkatkan mutunya dengan banyak
mengambil model dari cabang ilmu sosial lainnya. Berkat hal ini, wajah
ilmu politik telah banyak berubah dan ilmu politik menjadi ilmu yang
penting dipelajari untuk mengerti tentang politik.
Oleh karena itu, sejarah ringkas perkembangan ilmu politik yang
paling mudah kita pahami menurut sejarah adalah bahwa politik sudah
ditemukan dalam literature klasik yunani kuno. Periode awal ada Plato,
kkemudian disusul oleh muridnya Aristoteles yang mengemukakan
gagasan besar dan brilian mengenai upaya mencapai kebaikan bersama.
Kemudian disambung pada awal abad pertengahan ada pemikir seperti
augustinus (354-430) dengan doktrin tentang dua belah pedang (civitate
dei dan civitate terena). Kemudian ditengah abad pertengahan ada
Thomas Aquinas (1225-1274) yang memberikan gambaran pentingnya
hokum sebagai roda penggerak kehidupan kemasyarakatan. Lantas pada
abad pencerahan, pemikir seperti Niccolo Machiaveli (1469-1527),
Thomas Hobbes (1588-1778), john Locke (1632-1704), Montesquieu
(1689-1755), serta jean Jacques Rousseau (1712-1778) yang menjelaskan
berbagai hal tentang politik. Kemudian pemikir-pemikir abad Modern
mulai dari Karl Marx hingga Gabriel Almond, Robert Dahl, juga Samuel
Huntington. Bahwa menurut mereka semua tuujuan dari politik adalah
melembagakan kebaikan bersama, melalui organisasi yang kemudian kita
kenal sampai saat ini dengan pemerintah.[12]

C. Perkembangan Ilmu Politik Sebagai Sebuah Disiplin Ilmu


Menurut S. P. Varma ilmu politik merupakan salah satu ilmu tertua
dari berbagai cabang ilmu yang ada, tentunya bila hal ini ditinjau sebagai
sebuah pembahasan secara rasional dari berbagai aspek negara dan
kehidupan politik, sedangkan Miriam Budiardjo menjelaskan apabila ilmu
politik dipandang semata-mata sebagai salah satu cabang dari ilmu-ilmu
sosial yang memiliki dasar, rangka, fokus dan ruang lingkup yang jelas
maka dapat dikatakan bahwa ilmu politik masih muda usianya karena baru
lahir pada akhir abad ke-19.[13]
Sampai abad ini ilmu politik sebagai salah satu disiplin dari ilmu-
imu sosial telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sejak
kelahirannya, maka apabila kita tinjau dari buku Varma tentang sejarah
perkembangan ilmu politik beliau membagi perkembangan ilmu politik
pada tiga periode yaitu, periode tradisional, behavioralisme (pendekatan
perilaku) dan post behavioralisme (pendekatan pasca perilaku), dari
ketiga periode tersebut Varma menjelaksan ciri-ciri, ruang lingkup serta
objek kajiannya.
Pada periode klasik ilmu politik memusatkan perhatiannya kepada
masalah negara ideal, para pemikir politik abad pertengahan ini
melibatkan diri mereka pada pengembangan suatu kerangka bagi adanya
kerajaan Tuhan di dunia, sedangkan para pemikir politik pada zaman
sesudahnya telah melibatkan diri mereka pada masalah-masalah lainya
seperti kekuasaan, wewenang dan lain-lain. Tetapi pada masa selanjutnya,
ilmu politik berfokus kepada masalah kelembagaan dan pendekatan yang
digunakan semakin luas. Pendekatan yang digunakan pada saat itu bersifat
historis dalam pengertian bahwa para pemikir politik lebih memusatkan
perhatianya pada upaya melacak serta menggambarkan berbagai fenomena
politik yang ada, atau pada perkembangan lembaga-lembaga politik yang
bersifat khusus.[14]
Jadi pada periode ini (periode tradisional) menurut Varma
penekanan utama objek kajian ilmu politik menitikberatkan pada
pendekatan kelembagaan dan aspek kesejarahan, walaupun terkadang para
pemikir ilmu politik ini juga mencoba juga menganalisis konsep-konsep
seperti : negara, hak-hak, keadilan dan tentang cara kerja pemerintahan,
tetap kita akan sulit membedakan antara ilmu politik dan ilmu sejarah pada
periode ini. Saat itu ilmu politik masih merupakan sebuah disiplin ilmu
sosial yang hanya dapat dipelajari di perpustakaan atau ruang-ruang
belajar dari pada pembelajaran di lapangan, di mana interaksi-interaksi
politik sebenarnya terjadi disana.
Kencenderungan ilmu politik menggunakan analisa sejarah terus
berlanjut, sampai kemudian pendekatan sejarah ini ditambah dengan
perspektif normatif, sehingga para penulis politik mulai membahas teori
perbandingan pemerintahan dengan meneliti kekurangan dan kelebihan
dari berbagai lembaga politik, misalnya penelitian perbandingan sistem
presidensil dan parlementer, sistem pemilihan distrik dan proporsional
serta negara kesatuan dan negara federal. Tetapi penambahan perspektif
baru pada penelitian ilmu politik tidak membawa perubahan yang
fundamental bagi perkembangan ilmu politik. Pada perkembangan
selanjutnya pendekatan ilmu politik ditambahkan lagi dengan pendekatan
yang bersifat taksonomi deskriptif, di mana ada suatu penekanan yang
begitu besar pada pengumpulan dan penggolongan fakta-fakta tentang
lembaga-lembaga serta proses-proses politik.
Pendekatan-pendekatan yang dilakukan dalam ilmu politik
tradisional sebagaimana digambarkan yaitu bersifat analisisa historis,
legal kelembagaan, normatif perspektif dan taksonomi deskriptif, tidak
begitu eksklusif satu sama lain dan kadang-kadang objek penelitian mereka
saling bertemu satu-sama lain. Terlepas dari beberapa kekurangan
pendekatan penelitian ilmu politik dalam kerangka tradisional, para
ilmuwan politik pada masa itu menurut Varma telah mengembangkan
pengetahuan yang lebih luas tentang cara kerja berbagai lembaga politik,
dari pada apa yang dilakukan pada beberapa abad sebelumnya. Mereka
telah berhasil menyelidiki dimana kekuasaan terletak dalam suatu
masyarakat serta bagaimana proses operasional kekuasaan tersebut di
dalam sebuah institusi lembaga pemerintahan.
Menurut Varma penekanan metodelogi penelitian pada struktur-
struktur lembaga politik formal oleh para ilmuwan politik tradisional,
secara perlahan mulai membuka jalan baru bagi penelitian ilmu politik
yang lebih terarah, sehingga ruang lingkup ilmu politik tidak lagi terbatas
pada filsafat politik dan deskripsi kelembagaan saja. Terdapat suatu
kecenderungan yang lebih besar dalam meneliti lembaga atau organisasi
politik menggunakan metodelogi yang bersifat empiris. Bahkan ada
keinginan untuk lebih memanfaatkan disiplin ilmu lain sebagai alat bantu
analisa politik, seperti pemakaian metode kuntitatif dan penggunaan
peralatan riset untuk mengumpulkan dan mengolah data-data politik yang
ditemukan.
Perkembangan ini menurut Varma terjadi bukan sepenuhnya jasa
dari kaum behavioralis, sebelum pendekatan perilaku menjadi kiblat
pendekatan penelitian politik, para ilmuwan politik sudah mempunyai
keinginan ilmu politik menjadi subjek yang bersifat interdisipliner.
Walaupun kemudian penelitian politik yang dihasilkan oleh para ilmuwan
politik ini dapat dianggap sangat akurat dengan peralatan riset yang sangat
primitif, tapi bagi Varma perkembangan tersebut belum menunjukan
bahwa ilmu politik mampu menjangkau metode pengumpulan,
pengelolaan serta analisa data yang canggih dan teliti.
Oleh karena itu ketidakpuasan terhadap keadaan ilmu politik
benar-benar tidak dapat dihindari. Ketidakpuasan ini menyebabkan
keresahan serta tuntutan supaya ilmu politik membutuhkan unit analisa,
metode, teknik, dan teori sistematis yang baru, terlebih pada masa perang
dunia kedua ada kesan disiplin ilmu politik tidak diakui oleh pemerintah
Amerika Serikat terbukti dengan tidak dilibatkanya para ilmuwan politik
dalam proses pengambilan sebuah keputusan, berbeda dengan para
ilmuwan sosial dari disiplin ilmu ekonomi, ilmu sosiologi dan antropologi,
mereka mampu memberikan peranan pada setiap pembuatan kebijakan
pemerintah. Ada juga pendapat yang menjelaskan bahwa lembaga-
lembaga politik tidak lagi dianggap sebagai unit-unit dasar analisa dan
penelitian, sehingga penelitian lebih dititik beratkan ke arah perilaku
individu-individu dalam situasi-situasi politik, kedua hal tersebut menjadi
faktor pendorong lahirnya pendekatan perilaku (behavioral approach).
Pendekatan perilaku dalam ilmu politik menurut David E
Apter[15] menggunakan paradigma ilmu pengetahuan alam yang
dihubungkan dengan doktrin positivisme Saint Simon yang menekankan
metode-metode ilmiah. Positivisme merupakan perkembangan lebih lanjut
dari aliran empirisme yang didukung oleh para filosof Inggris seperti
Locke, Berkeley dan Hume.[16] Empirisme seperti yang kita ketahui
bersama meyakini bahwa realitas adalah sesuatu yang hadir melalui data
sensoris, dengan kata lain pengetahuan kita harus berawal dari verifikasi
empirik dengan mengatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah
ilmu-ilmu positif atau sains (ilmu-ilmu yang berangkat dari fakta-fakta
yang terverifikasi dan terukur secara ketat). Kemunculan positivisme ini
tidak dapat dilepaskan dari iklim kultur saat itu yang memungkinkan
berkembangnya gerakan untuk menerapkan cara kerja sains dalam
berbagai bidang kehidupan manusia.
Sehingga positivisme menurut Donny Gahral Adian,[17] menjadi
sebuah dogma epistemik dengan mengklaim bahwa ilmu pengetahuan
haruslah mengikuti doktrin unified science apabila ingin disebut ilmu
pengetahuan ilmiah bukan semata-mata pengetahuan sehari-hari praktis
eksistensial. Menurutnya positivisme memiliki beberapa ciri yang antara
lain :
1) Objektif / bebas nilai, dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai
mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dengan realitas
dengan bersikap bebas nilai
2) Fenomenalisme : tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi,
ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-
impresi tersebut
3) Reduksionisme : realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat
diamati
4) Mekanisme : tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan
prinsip-prinsip sistem-sistem mekanis.
Para ilmuwan politik ini kemudian berusaha menjadikan disiplin
ilmu politik menjadi ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah dan sistematis,
sehingga bisa disejajarkan dengan ilmu-ilmu pengetahuan lain (baik ilmu
sosial dan ilmu alam), salah satu caranya dengan menggunakan logika
positivisme seperti yang dijelaskan diatas sebagai metode penelitian untuk
memahami realitas politik yang terjadi di masyarakat. Mereka berargumen
bahwa penelitian di bidang politik harus mempunyai relevansi langsung
dengan kenyataan politik praktis yang ada.
Beberapa ilmuwan politik seperti Charles Beard, AL Lowell dan
Arthur Bentley memainkan peranan yang sangat penting dalam upaya
memperluas ruang lingkup ilmu politik ini dengan penggunaan metode
teknik statistik, sedangkan Arthur Bentley memberikan sumbangan dua
gagasanya untuk pendekatan perilaku yaitu gagasan kelompok dan konsep
tentang proses. Selain ketiga ilmuwan politik tersebut perkembangan
pendekatan perilaku menganal Charles Merriam, sumbangan Charles
Merriam dalam perkembangan pendekatan perilaku dalam ilmu politik
adalah :
1) Ia berkeinginan penelitian-penelitian di bidang politik benar-benar
memanfaatkan kemajuan inteligensia manusia yang telah di bawa ke
dunia oleh ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam dan mendorong
adanya penelitian yang bersifat kooperatif dan kolaboratif
2) Ia berpendapat bahwa pendekatan disiplin sejarah tidak relevan
digunakan sebagai salah satu pendekatan yang digunakan dalam ilmu
politik, dengan alasan pendekatan historis mengabaikan faktor-faktor
psikologis, sosial dan ekonomi.
Pendekatan perilaku mencapai puncak perkembangnya setelah
perang dunia kedua, ilmu politik tidak lagi dianggap sebagai ilmu
pengetahuan kelas dua, perkembangan ini tentunya tidak lepas dari
dukungan berbagai organisasi penderma (donatur) seperti Carnegie,
Rockefeller dan Ford yang memberikan dana bagi penelitian-penelitian
perilaku, tanpa dukungan organisasi-organisasi ini, penelitian perilaku
yang banyak memakan biaya tidak akan pernah berkembang dengan baik
hingga saat ini.
Menurut Varma mengutip pendapat Waldo perkembangan
pendekatan perilaku dalam ilmu politik selain mengandung sisi positif
juga mengandung sisi negatif, sisi positif perkembangan pendekatan
perilaku bagi ilmu politik diantaranya mendorong ilmu politik
menggunakan metode-metode cabang ilmu sosial dan ilmu alam yang
telah lebih dulu maju dalam metode penelitian dan riset, sehingga
pendekatan penelitian yang digunakan ilmu politik bisa lebih
komprehensif untuk menjelaskan banyak fenomena politik yang terjadi,
apalagi dengan menerapkan sebanyak mungkin logika matematis
khususnya metode statistik kuantitatif dalam pendekatan perilaku bisa
mencapai generalisasi yang lebih tinggi yang mampu menerangkan banyak
fenomena dengan lebih jelas. Sedangkan sisi negatifnya pendekatan
perilaku menentang analisa kelembagaan serta menentang upaya
melibatkan ilmu politik dengan masalah-masalah moral dan etika serta
menghindari pemihakan ilmuwan dalam penelitianya.[18]
Sisi negatif dari pendekatan perilaku ini kemudian menjadi embrio
ketidakpuasan beberapa kalangan yang memunculkan pendekatan baru
dalam ilmu politik yang disebut pendekatan pasca perilaku (post
behavioral approach). Pendekatan pasca perilaku sangat dipengaruhi oleh
aliran kiri baru yang menjadi sebuah fenomena politik era tahun 1960an di
Amerika Serikat serta beberapa negara Eropa saat itu. Istiah kiri baru
pertama kali digunakan oleh kelompok Marxis liberal yang berpusat di
sekitar New left Review , istilah itu kemudian digunakan oleh gerakan
mahasiswa dunia.[19]
Pemikiran kaum kiri baru ini sangat dipengaruhi oleh para
intelektual Frankfurt di Jerman, mereka membudayakan aliran sosial kritis
yang bersifat emansipatoris, teori emansipatoris menurut mereka harus
memenuhi tiga syarat :
1) Bersikap kritis dan selalu curiga terhadap zamanya
2) Berpikir secara historis, berpijak pada masyarakat dalam prosesnya
yang historis
3) Tidak memisahkan teori dan praksis, tidak melepaskan fakta dari
nilai.
Teori kritis senantiasa menolak logika pengetahuan yang
dikembangkan oleh aliran positivisme, menurut mereka positivisme hanya
merekontruksi hukum-hukum kausal yang bekerja dalam suatu tatanan
masyarakat yang bisa diverifikasi melalui empirical test, sehingga
“membutakan” para ilmuwan sosial bahwasanya perilaku manusia tidak
bisa dipandang sebagai manifestasi suatu tata kausalitas, perilaku manusia
lebih menampilkan simbol yang berarti terhadap makna yang
mendasarinya.
Selain itu positivisme membimbing pelaku sejarah dan ilmuwan
sosial pada total pasitivity, kriteria bebas nilai yang diajukan membuat
ilmuwan tidak mampu melihat sesuatu yang salah dalam masyarakat, tugas
seorang ilmuwan hanya memaparkan, mendeskripsikan realitas sedetil-
detilnya lewat fakta-fakta yang terukur sehingga proses-proses sosial yang
sifatnya melampaui fakta-fakta yang terukur menjadi tertutupi. Realitas
yang dideskripsikanya adalah realitas statis dengan hukum-hukum
objektif, sedangkan realitas sesungguhnya adalah realitas yang penuh
dinamika.[20]
Pengaruh teori kritis berimbas juga pada perkembangan ilmu
politik selanjutnya, banyak para ilmuwan politik dan sosial
mempertanyakan kembali pendekatan perilaku dalam menjelaskan
berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat, serangkaian pertemuan
digelar oleh Asosiasi Ilmu Politik Amerika (APSA) merespon
ketidakpuasan pendekatan perilaku selama ini, terlebih-lebih suatu forum
rapat (Caucus) pada tahun 1969 telah mengeluarkan manifestonya, bahwa
dibutuhkan pendekatan ilmu politik baru yang diarahkan untuk melayani
rakyat miskin, tertindas dan terbelakang, baik dalam negara mereka sendiri
maupun di luar negara, dalam perjuanganya melawan hirarki-hirarki,
kelompok elit serta bentuk-bentuk manipulasi kelembagaan yang telah
mapan.[21]
Munculnya pendekatan pasca perilaku ini dalam ilmu politik
merupakam sebuah antitesa terhadap kemapanan logika positivisme yang
dikembangkan dalam pendekatan perilaku, pendekatan ini menitikberatkan
supaya para ilmuwan politik mampu memahami masalah sosial dan politik
yang terjadi dengan memberikan sumbangan pemikiran bagi
pemecahanya. Secara garis besar dalam bukunya Varma menjelaskan dua
tuntutan utama pendekatan pasca perilaku yaitu relevansi dan tindakan,
termasuk ada tujuh karakter yang dimiliki oleh kaum pendekatan pasca
perilaku. Ketujuh karakter tersebut adalah :[22]
1. Dalam penelitian politik subtansi harus mendahului teknik artinya
bahwa setiap penelitian politik yang akan dilaksankan terlebih dahulu
harus memiliki tujuan untuk memecahkan permasalahan sosial politik
yang terjadi.
2. Perubahan sosial harus menjadi penekanan yang utama pada
pendekatan ilmu politik, nilai social transformation menjadi kebutuhan
utama dari pada social preservation.
3. Ilmu politik tidak boleh melepaskan dirinya dari realitas sosial.
4. Ilmu politik jangan melepaskan dirinya dari sistem nilai.
5. Tugas utama ilmuwan ialah mempunyai peranan yang harus dimainkan
dalam masyarakat serta melindungi peradaban nilai-nilai kemanusiaan.
6. Ilmu pengetahuan khususnya ilmu politik memiliki komitmen untuk
bertindak. Ilmu politik bagi mereka harus menggantikan ilmu yang
bersifat kontemplatif.
7. Kaum intelektual memiliki peranan positif dalam masyarakat dan
peranan ini menentukan tujuan yang pantas bagi masyarakat serta
membuat masyarakat bergerak sesuai dengan tujuan itu.

Perkembangan ilmu politik tersebut membuat kita mengerti tentang


sejarah tahapan-tahapan perkembangan ilmu politik, dari tahapan ilmu
politik yang menggunakan pendekatan tradisional, perilaku dan pasca
perilaku. Dinamika perkembangan ilmu politik tersebut tidak bisa
dilepaskan dari konstruksi serta relevansi sosial yang terjadi saat itu,
menurut penulis pendekatan ketiganya merupakan bentuk responsif ilmu
politik terhadap perubahan serta dinamika yang terjadi di masyarakat.
Pendekatan perilaku muncul karena desakan situasi dan kondisi saat itu di
Amerika Serikat supaya ilmu politik bisa disejajarkan dengan ilmu-ilmu
pengetahuan lainya, sehingga kebutuhan akan unit analisa komprehensif
yang mencakup logika matematis, statistik kuantitatif, psikologi, sosiologi
dan beberapa metodelogi ilmu alam sangat dibutuhkan. Unit analisa
tersebut tentu saja tidak cukup memberikan kepastian ilmu politik bisa
diakui sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah dan
sistematis. Ilmu politik harus bisa merubah dirinya menjadi ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan logika positivisme, sebuah logika yang
diciptakan untuk menempatkan ilmu pengetahuan dalam wilayah
objektifitas, netralitas dan bebas nilai, karena ilmu sosial pada umumnya
termasuk didalamnya ilmu politik sangat rentan dengan unsur-unsur
subjektifisme.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau kepolitikan.
Politik merupakan usaha untuk mecapai kehidupan yang lebih baik. Di
Indonesia kita mengenal pepatah gemah ripah loh jinawi, orang yunani
kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia
atau the good life. Bahwa politik dalam suatu Negara (state) berkaitan
dengan masalah kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision
making), kebijakan publik (public policy), dan alokasi atau distribusi
(allocation or distribution).
Sejarah ringkas perkembangan ilmu politik dapat kita pahami
menurut pembabakan sejarah yang dimulai dan sudah ditemukan dalam
literature klasik Yunani kuno, kemudian pada awal abad pertengahan,
kemudian ditengah abad pertengahan, kemudian abad pencerahan, dan
kemudian abad Modern.
Sampai abad ini ilmu politik sebagai salah satu disiplin dari ilmu-
imu sosial telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sejak
kelahirannya, maka apabila kita tinjau tentang sejarah perkembangan ilmu
politik perkembangan ilmu politik terbagi pada tiga periode yaitu, periode
tradisional, behavioralisme (pendekatan perilaku) dan post
behavioralisme (pendekatan pasca perilaku).

B. Saran
Perkembangan ilmu politik akan tarus dianamis seiring dengan
perkembangn gejala atau perubahan social dalam masyarakat, oleh karena
itu sebagai mahasiswa kita harus benyak belajar tentang politik yang baik
agar dapat diperguankan dalam kehidupan sehari-hari dalam
bermasyarakat dan bernegara.
Semoga makalah yang ada di tangan kawan-kawan sekalian,
walaupun banyak kekurangan disana sini memberikan manfaat bagi kita
semua. Kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan dari kawan-
kawan semua.

DAFTAR PUSTAKA

Azhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-


unsurnya, Jakarta: UI Press, 1995

Carlton Clymer Rodee, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: Rajawali Press, 2009

David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, Jakarta: CV.Rajawali, 1988

Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer : Atheisme, Positivieme


Logis, Neo Marxisme, Posmodernisme dan Post Ideology Syndrome,
Yogyakrata : Jalasutra

Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik Sebuah Bahasa Memahami Ilmu Politik,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007

Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer, Jakarta : PT. Bina


Aksara, 1986
Miriam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008

S.P. Varma, Teori Politik modern, Jakarta: Rajawali, 1987

[1] Miriam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008), h. 13
[2] Ibid, h. 17
[3] S.P. Varma, Teori Politik modern, (Jakarta: Rajawali, 1987), h. 3
[4] Miriam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, h. 5
[5] Azhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-
unsurnya, (Jakarta: UI Press, 1995), h. 19
[6] Carlton Clymer Rodee, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 6
[7] Ibid, h. 20
[8] Carlton Clymer Rodee, Pengantar Ilmu Politik, h. 6-7
[9] Ibid, 7
[10] Miriam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, h. 6
[11] Ibid, h. 7
[12] Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik Sebuah Bahasa Memahami Ilmu Politik,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 1
[13] S.P. Varma, Teori Politik modern, h. 3. Lihat juga Miriam Budiardjo, Dasar-
Dasar Ilmu Politik, h. 5
[14] S.P. Varma, Teori Politik modern, h. 3
[15] David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: CV.Rajawali, 1988), h. 333.
[16] Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer : Atheisme, Positivieme Logis,
Neo Marxisme, Posmodernisme dan Post Ideology Syndrome, (Yogyakrata : Jalasutra, 2001), h.
30
[17] Ibid, h. 36
[18] S.P. Varma, Teori Politik modern, h. 31
[19] Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer, (Jakarta : PT. Bina Aksara,
1986), h. 228
[20] Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer : Atheisme, Positivieme Logis,
Neo Marxisme, Posmodernisme dan Post Ideology Syndrome, h. 66-68.
[21] S.P. Varma, Teori Politik modern, h. 46-47
[22] S.P. Varma, Teori Politik modern, h. 53-56
Diposting oleh ROUF IBNU MU'TH I di Jumat, November 0 1, 2013
Label: POLITIK, POLITIK HUKUM

0 K O M E N TA R :

P O S T I N G K O M E N TA R

Masukkan komentar Anda...

Beri komentar sebagai: djosua@gmail. Logout

Publikasikan Pratinjau Beri tahu saya

LINK KE POSTING INI

Buat sebuah Link

Posting Lebih Baru Beranda Posting Lama

Langganan: Posting Komentar (Atom)

Skin Design: Islam Mumtaz Layout

Anda mungkin juga menyukai