Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH FARMAKOTERAPI

PENGGUNAAN OBAT INSULIN TIDAK RASIONAL

Untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah farmakoterapi

Dosen Pengampu: Ririn Lispita W., M.Si.Med.,Apt

Tanggal : 15 Oktober 2018

Disusun Oleh :

Kelas A

1. Muhammad Iqbal Al Hakiem (165010011)


2. Tya Puspa Ningrum (165010019)
3. Retno Putri Panuluh (165010057)
4. Herlina Andriani (165010061)
5. Ticia Windasari (165010080)

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS WAHID HASYIM

SEMARANG

2018
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah farmakoterapi
tentang penggunaan obat insulin tidak rasional.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semuanya
dan dapat diterima oleh Ibu Ririn Lispita W., M.Si.Med.,Apt selaku dosen pengampu mata
kuliah ini.

Semarang, 15 Oktober 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………...ii
BAB I Pendahuluan…………………………………………………………………………..1
a. Latar Belakang………………………………………………………………………..1
b. Rumusan Masalah…………………………………………………………………….2
c. Tujuan Masalah……………………………………………………………………….2
BAB II Pembahasan………………………………………………………………………......3
BAB III Penutup………………………………………………………………………………6
a. Kesimpulan……………………………………………………………………………6
b. Saran…………………………………………………………………………………...6
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………….7
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar belakang
Penyakit tidak menular merupakan penyebab kematian utama secara global. Salah
satu jenis penyakit tidak menular yang selalu mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun adalah penyakit diabetes mellitus tipe 2. Diabetes mellitus tipe 2 merupakan
penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak dapat menghasilkan hormon insulin
yang cukup atau ketika tubuh tidak efektif menggunakan insulin yang dihasilkan.
Penderita didiagnosis DM apabila kadar glukosa darah puasa lebih dari 126 mg/ dl
atau kadar glukosa darah sewaktu lebih dari 200 mg/dl.(Meidikayanti & Wahyuni,
2017)
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun
karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara
normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulin
banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.Pada
penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang
berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun
seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes
melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut. (Fatimah, 2015)
Angka kejadian DM di dunia dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan.
Data terakhir dari World Health Organization (WHO) menunjukkan pada tahun 2000
sebanyak 150 juta penduduk dunia menderita DM dan angka ini akan menjadi dua
kali lipat sampai pada tahun 2025. International Diabetes Federation (2014) telah
melaporkan terdapat kematian sebesar 4,6 juta setiap tahunnya dan lebih dari 10 juta
pasien mengalami kelumpuhan dan komplikasi seperti serangan jantung, stroke, gagal
ginjal, kebutaan dan amputasi. (Meidikayanti & Wahyuni, 2017)
Indonesia menduduki posisi ke-empat sebagai salah satu negara dengan kasus
diabetes tertinggi dengan jumlah penderita 8,4 juta jiwa. Prevalensi penyakit DM di
provinsi Kalimantan Barat berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia pada tahun
2013 sebesar 0,8%. (Robiyanto dkk, 2017).
Kerasionalan pengobatan suatu penyakit terdiri atas ketepatan terapi yang
dipengaruhi oleh proses diagnosis, pemilihan terapi, pemberian terapi, serta evaluasi
terapi. Rasionalitas penggunaan obat terhadap suatu penyakit dapat diidentifikasi
menggunakan indikator 8 tepat dan 1 waspada (Robiyanto dkk, 2017).
Tingginya prevalensi DM tipe 2 dikarenakan pola hidup masyarakat yang
cenderung konsumtif dan kurangnya aktivitas fisik yang dilakukan. Pedoman terapi
klinis digunakan sebagai acuan dalam menentukan lini terapi di antara berbagai
pilihan obat yang tersedia untuk mengobati DM tipe 2 sehingga dapat diambil
keputusan pengobatan yang tepat berdasarkan kondisi klinis pasien (Robiyanto dkk,
2017).
Berdasarkan latar belakang di atas maka tujuan dari makalah ini ialah untuk
mengetahui pola peresepan dan evaluasi rasionalitas obat antidiabetika pada pasien
DM tipe 2 di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Pontianak.
II. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian penggunaan obat rasional?
2. Bagaimana suatu obat dikatakan rasional atau tidak rasional?
3. Bagaimana kasus tersebut dikatakan tidak rasional?
4. Bagaimana cara mengatasi penggunaan obat insulin yang tidak rasional?

III. Manfaat
1. Sebagai bahan penelitian dan referensi bagi kalangan akademisi yang
mempelajari tentang penggunaan obat yang rasional khususnya yang berkaitan
dengan penggunaan obat insulin.
2. Sebagai informasi bagi masyarakat umum agar mengetahui pemakaian obat yang
rasional.

IV. Tujuan
1. Untuk mengetahui rasional dan tidak rasionalnya suatu obat.
2. Untuk mengetahui cara mengatasi masalah pada penggunaan obat insulin yang
tidak rasional
BAB II

PEMBAHASAN

Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang sesuai dengan
kebutuhannya, untuk periode waktu yang kuat dan dengan harga yang paling murah untuk pasien
dan masyarakat.

Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:

a. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat.
Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan
terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang
diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
b. Tepat Indikasi Penyakit
Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik misalnya antibiotik yang
diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini
hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
c. Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan
dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek
terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
d. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi
obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan
rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping.
Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar
terapi yang diharapkan.
e. Tepat Cara Pemberian
Obat yang diminum atau digunakan diberikan dengan cara yang tepat
contohnya antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula
antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan,
sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya.
f. Tepat Interval Waktu Pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar
mudah ditaati oleh pasien.
g. Tepat lama pemberian
Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing.
Misalnya, pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari
12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang yang sedang
tumbuh.
h. Tepat penilaian kondisi pasien
Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat
pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita
dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan,
karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara
bermakna.
i. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta
tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau
Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar
obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan
mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di
bidang pengobatan dan klinis.
j. Tepat informasi Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat
penting dalam menunjang keberhasilan terapi.
k. Tepat tindak lanjut (follow-up)
Saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya tindak
lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek
samping. Sebagai contoh, terapi dengan teofilin sering memberikan gejala
takikardi. Jika hal ini terjadi, maka dosis obat perlu ditinjau ulang atau bisa saja
obatnya diganti.
l. Tepat penyerahan obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan
pasien sendiri sebagai konsumen. Proses penyiapan dan penyerahan harus
dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya.
Dalam menyerahkan obat juga petugas harus memberikan informasi yang tepat
kepada pasien.
m. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan, ketidaktaatan
minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:
- Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
- Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
- Jenis sediaan obat terlalu beragam
- Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
- Pasien tidak mendapatkan informasi / penjelasan yang cukup mengenai cara
minum / menggunakan obat
- Timbulnya efek samping
Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional sangat beragam dan bervariasi
tergantung dari jenis ketidakrasionalan penggunaannya. Dampak negatif ini dapat saja hanya
dialami oleh pasien yaitu berupa efek samping, dan biaya yang mahal, maupun oleh populasi
yang lebih luas berupa resistensi kuman terhadap antibiotik tertentu dan mutu pelayanan
pengobatan secara umum.

Salah satu kasus penggunaan obat tidak rasional yang kami dapatkan yaitu terdapat dua
orang pasien yang menggunakan insulin Lantus dan satu orang pasien menggunakan insulin
Apidra. Terapi insulin pada pasien DM tipe 2, meskipun jarang, tetap dapat digunakan untuk
pasien dengan risiko gagal terapi oral, kendali kadar glukosa darah yang buruk, riwayat
pankreatektomi atau disfungsi pankreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa darah yang lebar,
riwayat ketoasidosis, riwayat penggunaan insulin > 5 tahun, dan penyandang DM > 10 tahun

Dilihat dari data pasien kasus dapat dikatakan tidak rasional karena tidak tepat indikasi

Kasus ini terdapat dua orang pasien yang menggunakan insulin. Insulin
yang digunakan oleh pasien pertama ialah insulin golongan long acting yaitu Lantus dengan
durasi kerja panjang dan insulin golongan rapid acting yaitu Apidra dengan onset kerja yang
cepat. Alasan pasien mendapatkan dua jenis insulin dan obat antidiabetika ialah karena kadar
HbA1C pasien yang bernilai 10. Insulin long acting umumnya digunakan untuk menjaga agar
kadar gula darah tetap terkontrol dalam jangka waktu yang panjang bersamaan dengan
pemakaian obat antidiabetika oral yang dikonsumsi yaitu Actos yang dapat meningkatkan
sensitivitas dari insulin itu sendiri. Insulin rapid acting digunakan untuk memberikan efek
penurunan kadar gula darah yang cepat pada pasien setelah disuntikkan ke dalam tubuh pasien
sesuai dengan dosis anjuran dokter.

Cara mengatasi dari ketidakrasionalan obat karena tidak tepat indikasi yaitu penderita
memperoleh polimorfisme untuk kondisi yang indikasinya cukup mendapatkan terapi obat
tunggal, penderita memperoleh terapi obat untuk mengatasi efek obat yang tidak dikehendaki
yang disebabkan oleh obat lain yang seharusnya dapat digantikan dengan obat yang lebih sedikit
efek sampingnya, dan melihat kondisi medis penderita dapat ditangani dengan terapi non obat.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kasus dengan ketidakrasionalan penggunaan obat insulin yang tidak tepat indikasi diatasi
dengan cara penderita memperoleh polimorfisme untuk kondisi yang indikasinya cukup
mendapatkan terapi obat tunggal, penderita memperoleh terapi obat untuk mengatasi efek obat
yang tidak dikehendaki yang disebabkan oleh obat lain yang seharusnya dapat digantikan dengan
obat yang lebih sedikit efek sampingnya, dan melihat kondisi medis penderita dapat ditangani
dengan terapi non obat.

B. Saran

Perlu adanya pemberian edukasi bagi pasien maupun tenaga kesehatan dalam memberi
terapi insulin yang rasional.
DAFTAR PUSTAKA

Robiyanto , Nur A. & Eka K. U., Pola Peresepan Dan Rasionalitas Pengobatan Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rsud Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Pontianak, Pontianak :
Social Clinical Pharmacy Indonesia Journal.
Meidikayanti1 Wulan & Chatarina Umbul Wahyuni, 2017, Hubungan Dukungan Keluarga
Dengan Kualitas Hidup Diabetes Melitus Tipe 2 Di Puskesmas Pademawu, Surabaya :
Jurnal Berkala Epidemiologi.
Fatimah Restyana Noor, 2015, Diabetes Melitus Tipe 2, Lampung: J Majority.

Anda mungkin juga menyukai