Anda di halaman 1dari 7

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Lini Produksi


Lini produksi adalah penempatan area-area kerja di mana operasi-operasi
diatur secara berurutan dan material bergerak secara kontinu melalui operasi yang
terangkai seimbang. Menurut karakteristik proses produksinya, lini produksi
dibagi menjadi lini fabrikasi dan lini perakitan. Lini fabrikasi merupakan lini
produksi yang terdiri atas sejumlah operasi pekerjaan yang bersifat membentuk
atau mengubah bentuk benda kerja. Lini perakitan merupakan lini produksi yang
terdiri atas sejumlah operasi perakitan yang dikerjakan pada beberapa stasiun
kerja dan digabungkan menjadi benda assembly atau subassembly (Baroto, 2002).
Kriteria umum keseimbangan lini produksi adalah memaksimalkan
efisiensi atau meminimumkan balance delay. Tujuan pokok dari penggunaan
metode ini adalah untuk mengurangi atau meminimumkan waktu menganggur
(idle time) pada lini yang ditentukan oleh operasi yang paling lambat. Tujuan
perencanaan keseimbangan lini adalah mendistribusikan unit-unit kerja atau
elemen-elemen kerja pada setiap stasiun kerja agar waktu menganggur dari
stasiun kerja pada suatu lini produksi dapat ditekan seminimum mungkin,
sehingga pemanfaatan dari peralatan maupun operator dapat digunakan
semaksimal mungkin. Lini perakitan (assembly line) adalah sebuah lini produksi
yang mana material atau bahan bergerak secara continue dalam tingkat rata-rata
seragam pada seluruh urutan stasiun kerja di mana pekerjaan perakitan dilakukan
(Baroto, 2002).
Persyaratan umum yang harus digunakan dalam suatu keseimbangan lini
produksi adalah dengan meminimumkan waktu menganggur (idle time) dan
meminimumkan pula keseimbangan waktu senggang (balance delay). Tujuan dari
lini produksi yang seimbang yaitu menyeimbangkan beban kerja yang
dialokasikan pada setiap work station sehingga setiap work station selesai pada
waktu yang seimbang dan mencegah terjadinya bottle neck. Bottle neck yaitu

4
5

suatu operasi yang membatasi output dan frekuensi produksi. Tujuan lain dari lini
produksi yang seimbang yaitu menjaga agar lini perakitan tetap lancar dan
berlangsung terus menerus dan meningkatkan efisiensi atau produktivitas
(Gaspersz, 2004).
Tanda-tanda ketidakseimbangan pada suatu lini produksi dapat dilihat dari
beberapa hal, seperti adanya stasiun kerja yang sibuk dan waktu menganggur yang
mencolok, selain itu adanya produk setengah jadi pada beberapa stasiun kerja.
Adapun hal-hal yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan pada lini produksi
antara lain adalah perencanaan lini yang salah, peralatan atau mesin yang sudah
tua sehingga sering mengalami kerusakan, operator yang kurang terampil, metode
kerja yang kurang baik (Biegel, 1992).

2.2 Keseimbangan Lini atau Line Balancing


Tujuan perencanaan keseimbangan lini adalah mendistribusikan unit-unit
kerja atau elemen-elemen kerja pada setiap stasiun kerja agar waktu menganggur
dari stasiun kerja pada suatu lini produksi dapat ditekan seminimal mungkin,
sehingga pemanfaatan dari peralatan maupun operator dapat digunakan
semaksimal mungkin. Syarat dalam pengelompokkan stasiun kerja dalam line
balancing yaitu hubungan dengan proses terdahulu, jumlah stasiun kerja tidak
boleh melebihi jumlah elemen kerja, dan waktu siklus lebih dari atau sama dengan
waktu maksimum dari setiap waktu di stasiun kerja dari tiap elemen pengerjaan
(Baroto, 2002).
Penyeimbangan lini perakitan berhubungan erat dengan produksi massal.
Sejumlah pekerjaan perakitan dikelompokkan ke dalam beberapa pusat pekerjaan,
yang untuk selanjutnya disebut sebagai stasiun kerja. Waktu yang diizinkan untuk
menyelesaikan elemen pekerjaan itu ditentukan oleh kecepatan lini perakitan di
mana semua stasiun kerja sedapat mungkin memiliki kecepatan produksi yang
sama. Jika suatu stasiun bekerja di bawah kecepatan lini maka stasiun tersebut
akan memiliki waktu menganggur. Tujuan akhir penyeimbangan lini adalah
memaksimasi kecepatan di setiap stasiun kerja sehingga dicapai efisiensi kerja
yang tinggi di setiap stasiun kerja (Kusuma, 2004).
6

Terdapat beberapa istilah dalam line balancing yaitu precedence diagram,


assemble product, work element, waktu operasi, work station, cycle time, station
time, idle time, balance delay, line efficiency. Berikut ini merupakan penjelasan
masing-masing istilah tersebut (Baroto, 2002):
1. Precedence diagram merupakan gambaran secara grafis dari urutan operasi
kerja, serta ketergantungan pada operasi kerja lainnya yang tujuannya untuk
memudahkan pengontrolan dan perencanaan kegiatan yang terkait di
dalamnya. Tanda-tanda dalam precedence diagram yaitu simbol lingkaran
dengan huruf atau nomor di dalamnya untuk mempermudah identifikasi dari
suatu proses operasi, tanda panah menunjukkan ketergantungan dan urutan
proses operasi. Dalam hal ini, operasi yang berada pada pangkal panah berarti
mendahului operasi kerja yang ada pada ujung anak panah. Angka di atas
simbol lingkaran adalah waktu standar yang diperlukan untuk menyelesaikan
setiap operasi (Baroto, 2002).
2. Assemble product adalah produk yang melewati urutan work station di mana
tiap work station (WS) memberikan proses tertentu hingga selesai menjadi
produk akhir pada perakitan akhir. Work element atau elemen kerja
merupakan bagian dari seluruh proses perakitan yang dilakukan. Waktu
operasi (ti) adalah waktu standar untuk menyelesaikan suatu operasi.
3. Work station (WS) adalah tempat pada lini perakitan di mana proses perakitan
dilakukan. Setelah menentukan interval waktu siklus, maka jumlah stasiun
kerja efisien dapat diterapkan dengan rumus berikut (Baroto, 2002).
n

∑t i
i =1
K min =
CT
Keterangan:
ti = waktu operasi atau elemen (i = 1,2,3,...,n)
CT = waktu siklus stasiun kerja
n = jumlah elemen
Kmin = jumlah stasiun kerja minimal
7

4. Cycle time (CT) atau waktu siklus merupakan waktu yang diperlukan untuk
membuat satu unit produk per satu stasiun. Apabila waktu produksi dan target
produksi telah ditentukan, maka waktu siklus dapat diketahui dari hasil bagi
waktu produksi dan target produksi. Dalam mendesain keseimbangan lini
produksi untuk sejumlah produksi tertentu, waktu siklus harus sama atau
lebih besar dari waktu operasi terbesar yang merupakan penyebab terjadinya
bottle neck (kemacetan) dan waktu siklus juga harus sama atau lebih kecil
dari jam kerja efektif per hari dibagi dari jumlah produksi per hari, yang
secara matematis dinyatakan sebagai berikut (Baroto, 2002).
P
t i maks ≤ CT ≤
Q

Keterangan:
ti maks = waktu operasi terbesar pada lini
CT = Cycle time atau waktu siklus
P = jam kerja efektif per hari
Q = jumlah produksi per hari
5. Station time (ST) merupakan jumlah waktu dari elemen kerja yang dilakukan
pada suatu stasiun kerja yang sama (Baroto, 2002).
6. Idle time (I) merupakan selisih atau perbedaan antara Cycle time (CT) dan
Station time (ST) atau CT dikurangi ST (Baroto, 2002).
7. Balance delay (BD) sering disebut balancing loss adalah ukuran dari ukuran
ketidakefisienan lini yang dihasilkan dari waktu menganggur sebenarnya
yang disebabkan karena pengalokasian yang kurang sempurna di antara
stasiun-stasiun kerja. Balance delay ini dinyatakan dalam persentase. Balance
delay dapat dirumuskan sebagai berikut (Purnomo, 2004).
n

(N × CT) - ∑ t i
i =1
BD = × 100% = 100% - Efisiensi Lintasan
(N × CT)
Keterangan:
n = jumlah elemen kerja yang ada
N = jumlah stasiun kerja yang terbentuk
8

CT = Cycle time atau waktu siklus

∑t i = jumlah waktu operasi dari semua operasi

ti = waktu operasi
BD = balance delay (%)
8. Efisiensi lini adalah rasio antara waktu yang digunakan dengan waktu yang
tersedia. Berkaitan dengan waktu yang tersedia, lini akan mencapai
keseimbangan apabila setiap daerah pada lini mempunyai waktu yang sama.
Setelah diseimbangkan, maka dalam lini perakitan terbentuk stasiun kerja-
stasiun kerja yang terhubung secara seri. Pendistribusian elemen kerja-elemen
kerja yang ada sehingga membentuk stasiun kerja dilakukan dengan
berdasarkan waktu siklus (CT) sehingga waktu yang tersedia di setiap stasiun
kerja adalah sebesar CT, dan waktu yang tersedia dalam lini perakitan secara
total adalah CT dikalikan dengan stasiun kerja yang terbentuk. Rumus untuk
menentukan efisiensi lini perakitan setelah proses keseimbangan lini adalah
sebagai berikut.
n

∑t i
i =1
Eff = × 100 %
CT × N
Keterangan:
n = jumlah elemen kerja yang ada
CT = Cycle time atau waktu siklus
N = jumlah stasiun kerja yang terbentuk
Keseimbangan lini yang baik adalah jika efisiensi setelah diseimbangkan
lebih besar dari efisiensi sebelum diseimbangkan (Purnomo, 2004).
.
2.3 Metode Keseimbangan Lini
Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam keseimbangan
lini, salah satunya adalah metode heuristik. Karena masalah keseimbangan lini
produksi merupakan persoalan-persoalan kombinasi yang belum bisa dipecahkan
secara praktis, maka berkembanglah metode heurisitik sebagai suatu metode yang
dapat memecahkan masalah keseimbangan lini secara praktis. Prosedur heurisitik
9

untuk memecahkan masalah keseimbangan lini ini pertama kali dikembangkan


oleh Fred M. Tonge (Hartini, 2011).
Pendekatan secara heuristik ini didasarkan atas penyederhanaan persoalan
kombinasi yang kompleks sehingga dapat dipecahkan secara sederhana dan
dengan metode yang mudah dimengerti. Pendekatan dengan metode heuristik ini
sebenarnya tidak menjamin suatu solusi optimal sehingga kriteria yang pokok
untuk suatu pendekatan dengan metode heuristik adalah pemecahan masalah akan
lebih baik dan lebih cepat, lebih murah dan lebih mudah untuk diaplikasikan ke
komputer, dan usaha yang dikeluarkan relatif lebih murah. Langkah awal dari
setiap metode keseimbangan lini dengan menggunakan metode heuristik yang ada
bermula dari precedence diagram dan matriks precedence. Pembuatan precedence
diagram biasanya menggunakan data yang berasal dari peta proses perakitan.
Kemudian langkah selanjutnya akan mengalami perbedaan sesuai dengan cirinya
masing-masing (Hartini, 2011).
Salah satu metode heuristik yang umum digunakan dengan teknik manual
adalah metode Region Approach atau metode pendekatan wilayah. Metode ini
dikembangkan oleh Bedworth untuk mengatasi kekurangan metode bobot posisi.
Metode ini juga belum mampu menghasilkan solusi optimal, tetapi sudah cukup
baik dan mendekati optimal. Pada prinsipnya metode ini berusaha membebankan
terlebih dahulu operasi yang memiliki tanggung jawab keterdahuluan yang besar.
Bedworth menyebutkan bahwa kegagalan metode bobot posisi adalah
mendahulukan operasi dengan waktu operasi terbesar daripada operasi dengan
waktu operasi yang tidak terlalu besar, tetapi diikuti oleh banyak operasi lainnya
(Kusuma, 2004).
Metode Region Approach memiliki beberapa langkah dalam
penyelesainnya. Langkah-langkah dasar metode Region Approach adalah sebagai
berikut (Kusuma, 2004):
1. Hitung kecepatan lintasan yang diinginkan. Kecepatan lintasan adalah
kecepatan produksi yang diinginkan atau kecepatan operasi paling lambat jika
waktu operasi paling lambat itu lebih kecil dari kecepatan lintasan yang
diinginkan.
10

2. Bagi jaringan kerja ke dalam wilayah-wilayah dari kiri ke kanan. Gambar


ulang jaringan kerja, sedapat mungkin tempatkan seluruh pekerjaan di daerah
yang paling ujung kanan.
3. Dalam setiap wilayah, urutkan pekerjaan mulai dari waktu operasi terbesar
sampai dengan waktu operasi terkecil.
4. Bebankan pekerjaan dengan urutan sebagai berikut:
a. Daerah paling kiri terlebih dahulu.
b. Antar wilayah, bebankan pekerjaan dengan waktu operasi terbesar
pertama kali.
c. Pada akhir tiap pembebanan stasiun kerja, putuskan apakah utilisasi
waktu telah dapat diterima. Jika tidak, periksa seluruh pekerjaan yang
memenuhi hubungan keterkaitan dengan operasi yang telah dibebankan.

Anda mungkin juga menyukai