Anda di halaman 1dari 20

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budidaya air laut adalah salah satu dari teknik pemanfaatan kawasan pantai

dan laut untuk memproduksi berbagai komoditas perikanan khususnya ikan kakap

putih (Lates calcarifer) secara berkelanjutan, bahkan menjadi harapan

pertumbuhan ekonomi di masa mendatang (Akmal, 2011). Menurut Pridona, dkk.

(2018), ikan kakap putih (L. calcarifer) atau yang lebih dikenal dengan nama

lokal Seabass atau Baramundi merupakan jenis ikan yang mempunyai nilai

ekonomis yang tinggi, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri

maupun luar negeri. Menurut Priyono, dkk. (2013), ikan kakap putih (L.

calcarifer) adalah salah satu komoditas yang memiliki prospek cerah untuk dapat

dikembangkan.

Banyaknya jumlah permintaan ikan kakap putih (L. calcarifer) baik pasar

local maupun internasional mengakibat kanmeningkatnya produksi ikan kakap

putih di Indonesia. Produksi ikan kakap putih disektor pembenihan dan

pembesaran terus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pasar,namun

belum dapat mencukupi kebutuhan pasar bahkan sempat mengalami penurunan

ekspor. Penurunan ekspor disebabkan oleh produksi ikan kakap putih (L.

calcarifer) baik pembenihan maupun pembesaran sebagian besar berasal dar i

penangkapan langsung di alam(Ridho, 2016).

Sampai saat ini untuk memenuhi kebutuhan ekspor maupun konsumsi dalam

negeri, sebagian besar masih didominasi oleh hasil tangkapan. Sehubungan


2

dengan adanya permintaan yang cukup tinggi yang mana tidak dapat dipenuhi

dengan penangkapan dari alam, maka pembudidaya/pengusaha(investor) di

beberapa daerah perairan Indonesia telah melakukan pemeliharaan ikan kakap

putih (L. calcarifer) dalam keramba jaring apung dan tambak payau/laut.Kegiatan

budidaya ini tentunya sangat tergantung dengan ketersediaan benih secara

kontinyu, pada saat ini benih yang dipelihara selain berasal dari alam juga sudah

banyak yang berasal dari panti pembenihan (hatchery) (Ramadhani, 2010).

Pengembangan budidaya ikan kakap putih(L. calcarifer) sudah banyak dilakukan,

karena habitat dan penyebarannya yang sangat luas mulai dari air laut, air payau,

sampai air tawar (Rayes, dkk. 2013).

Padat tebar merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan hasil produksi benih kakap putih. Padat tebar yang optimal sangat

penting dalam keberhasilan budidaya kakap putih. Jika padat tebar yang terlalu

tinggi akan terjadi penurunan pemanfaatan makanan, pertumbuhan dan

kelangsungan hidup. Jika padat tebar terlalu rendah pemanfaatan ruang tidak

maksimum dan produksi tidak optimum (Azhari et al, 2017).

Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui padat tebar

yang optimal benih kakap putih (Lates calcarifer) terhadap pertumbuhan dan

kelangsungan hidup.

1.2 Tujuan Penelitan

Tujuan penelitian untuk mengetahui Laju pertumbuhan dan tingkat

kelangsungan hidup benih Ikan Kakap Putih(Lates calcarifer) pada Padat tebar

berbeda.
3

1.3 Manfaat Penelitian

Adapun Manfaat penelitian ini untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa

dan dapat dijadikan acuan referensi bagi pembaca serta bermanfaat bagi para

pembudidaya kakap putih.


4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer)

2.1.1 Klasifikasi Ikan Kakap Putih (Latescalcarifer)

Ikan kakap putih merupakan salah satu spesies dari genus Lates yang

memiliki nilai ekonomis tinggi. Menurut Razi (2013), klasifikasi ikan kakap putih

(L. calcarifer) adalah sebagai berikut: Fillum : Chordata,Sub Fillum :

Vertebrata,Kelas : Pisces,Sub Kelas : Teleostomi, Ordo :Percomorphi, Famili:

Centropomidae,Genus : Lates, Species : Lates calcarifer Bloch.

2.1.2 Morfologi Ikan Kakap Putih (Latescalcarifer)

Ikan kakap putih memiliki badan memajang, gepeng, batang sirip ekor

lebar, kepala lancip dengan bagian atas cekung dan cembung didepan sirip

punggung. Mulut lebar, gigi halus dan bagian bawah preoporculum berduri kuat.

Operkulum mempunyai duri kecil, cuping bergerigi diatas pangkal gurat sisi. Sirip

punggung berjari- jari keras 7–9 dan 10–11 jari jari lemah. Sirip dada pendek dan

membulat. Sirip punggung dan sirip dubur mempunyai lapisan bersisik. Sirip

dubur bullat,berjari keras 3dan berjari lemah 7–8. Sirip ekor bulat. Sisik bertipe

sisir besar. Tubuh berwarna dua tingkatan yaitu kecoklatan dengan bagian sisik

dan perut berwarna keperakan untuk ikan yang hidup dilaut dan coklat keemasan

pada ikan yang ada dilingkungan tawar. Ikan dewasa berwarna kehijauan atau

keabu – abuan pada bagian atas dan keperakan(Razi, 2013). Bentuk ikan kakap

putih (L. Calcarifer) adalah pipih dan ramping dengan ekor meruncing kearah

ujung.
5

Gambar 2-1. Morfologi ikan kakap putih (Lates calcarifer)


(Sumber: Razi, 2013)

Keistimewaan ikan ini adalah merupakan jenis ikan euryhaline dan

katadromus, untuk mempertahankan kelestarian populasinya ikan jantan yang

telah berbobot 2–2,5kg dapat berubah kelamin menjadi betina (hermaprodit

protandri) dan hanya sekitar 50% dari populasinya tetap berkelamin jantan

(Mustahal dalam Putri, 2018).

2.2 Habitat dan Penyebaran Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer)

Ikan kakap putih selama kurang lebih 2-3 tahunhidup diperairan tawar

seperti sungai dan danau yang berhubungan dengan laut dengan ukuran 3–5kg.

Ikan dewasa yang berumur 3–4 tahun beruaya kemuara sungai, danau atau laguna

yang mempunyai salinitas 30–32 ppm, permil untuk pematangan kelamin,

kemudian memijah (Greydalam Razi, 2013). Pergerakan kearea pemijahan

biasanya terjadi pada akhir musim panas dan pemijahan terjadi pada awal musim

penghujan.Pemijahan pada musim penghujan terjadi karena salinitas dan suhu

merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi siklus pemijahan.Bila

musim hujan terlambat kemungkinan musim pemijahan juga terlambat.Biasanya

ikan kakap putih memijah pada permulaan bulan gelap atau bulan penuh mulai

pukul enam sore sampai delapan malam bersamaan dengan datangnya air pasang
6

(Razi,2013).Ikan kakap putih (L. calcarifer) adalah ikan yang bersifat katadrom

yang terdistribusi secara luas di wilayah Pasifik Indo Barat dari Teluk Persia, dan

seluruh negara-negara Asia Tenggara ke Australia. Ikan kakap putih merupakan

ikan yang mempunyai toleransi yang cukup besar terhadap kadar garam

(euryhaline) (Tarwiyah dalam Yaqin, 2018). Ikan kakap putih (L. calcarifer)

memiliki kisaran toleransi fisiologis yang cukup luas, serta pertumbuhannya yang

cukup cepat sehingga siap dipanen dengan ukuran 350g sampai 3kg alam waktu

6-24 bulan (FAO dalam Yaqin, 2018).

2.3 Pakan dan Kebiasaan Makan

Ikan kakap putih (L. calcarifer) adalah ikan yang tinggal di habitat air laut,

tawar, payau, muara dan perairan pesisir. Menurut Utojo dalam Yaqin (2018),

ikan kakap putih (L. calcarifer) yang belum terdomestikasi di alam memiliki sifat

predator karnivora, yang dominan memakan ikan yang lebih kecil dan kelompok

udang-udangan krustasea. Adapun jenis-jenis makanannya berupa crustacea,

gastropoda serta berbagai jenis plankton namun utamanya adalah urochordata.

Umumnya ikan kakap putih (L. calcarifer) yang berukuran besar baik panjang

maupun tinggi tubuhnya, memangsa jenis-jenis ikan maupun invertebrata

berukuran lebih kecil dari pada ukuran bukaan mulutnya yang berada didekat

permukaan di sekitar perairan karang. Jenis kakap putih ini biasanya menempati

daerah perairan pantai berkarang hingga kedalaman 100 meter (Batara dalam

Putri, 2018). Fahmawati dalam Yaqin (2018), ikan kakap putih (L. calcarifer)

yang telah terdomestikasi, akan diberikan pakan berupa pelet atau pakan buatan.

Jenis pelet yang diberikan ialah pelet tenggelam. Menurut Jaya, dkk (2013), pakan
7

yang akan diberikan pada benih ikan kakap putih selama pemeliharaan harus

disesuai dengan kebutuhan benih ikan yang dipelihara, baik dari segi jumlah,

waktu, syarat fisik (ukuran dan bentuk) serta kandungan nutrisi, agar pemberian

pakan buatan berupa pelet ini tepat sesuai dengan kebutuhan dan memiliki

kualitas nutrisi yang baik untuk hidup benih ikan kakap putih (L. calcarifer,).

2.4 Pengaruh Padat Penebaran Ikan Terhadap Kelangsungan Hidup

Padat penebaran merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam budidaya.

Padat tebar adalah jumlah ikan yang ditebar dalam wadah budidaya persatuan luas

atau volume (Hickling, 1971). Untuk meningkatkan produktivitas lahan dalam

pengelolaan budidaya dapat dilakukan dengan padat penebaran. Faktor - faktor

yang mempengaruhi padat penebaran antara lain adalah kualitas air, pakan, dan

ukuran ikan (Azhari dalam Agustine,2018). Tingkat kelangsungan hidup ikan yaitu

nilai persentase jumlah ikan yang hidup selama masa pemeliharaan tertentu.

Faktor yang mempe-ngaruhi kelangsungan hidup benih yaitu kualitas induk,

kualitas telur, kualitas air, serta perbandingan antara jumlah pakan dan

kepadatannya (Effendi, 1997).

Apabila padat tebar terlalu tinggi dapat menurunkan tingkat kelangsungan

hidup, kualitas air dan pertumbuhan yang lambat, keragaman ukuran ikan. Padat

tebaryang rendah dapat mengakibatkan produksi rendah dalam kegiatan budidaya

(Slembrouck et al., 2005). Penyakit dan kekurangan oksigen dapat mengurangi

jumlah ikan, terutama ikan yang berukuran kecil (Hepher dan Pruginin,

1981).Mortalitas dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal, Faktor internal

dipe-ngaruhi oleh umur dan penyesuaian ikanterhadap lingkungan. Faktor


8

eksternal meliputi kondisi abiotik, kompetisi antar spesies, tingginya jumlah

populasi dalam ruang gerak yang sama, dan kurangnya pakan yang tersedia akibat

adanya pena-nganan yang kurang baik(Royce dalam Agustine,2018).). Proses

fisiologi dan tingkah laku ikan terhadap ruang gerak akan terganggu, sebagai

dampak dari peningkatan padat penebaran sehingga pemanfaatan makanan,

pertumbuhan, dan kelangsungan hidupmengalami penurunan (Wedemeyer,

1996).Pada keadaan lingkungan yang baik dan pakan mencukupi, peningkatan

padat penebaran akan disertai dengan peningkatan hasil (produksi) (Azhari dalam

Agustine,2018).)

2.5 Pengaruh Padat Tebar Terhadap Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah perubahan ukuran pada periode waktu tertentu atau

proses perubahan biomass atau jumlah individu pada periode waktu tertentu.

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu faktor internal dan

eksternal. Faktor internal meliputi sifat genetik, umur, sex dan kondisi fisiologis

ikan. Faktor eksternal berhubungan dengan pakan dan lingkungan. Sebagian besar

energi dari makanan digunakan untuk metabolisme basal (pemeliharaan), sisanya

untuk aktivitas, pertumbuhan, dan reproduksi (Fujaya, 2004). Faktor eksternal

diantaranya adalah komposisi kimia air dan tanah, suhu air, bahan buangan

metabolit, ketersediaan oksigen dan ketersediaan pakan.

Faktor kimia mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan,

bahkan dapat berakibat fatal diantaranya adalah oksigen, karbondioksida,

hidrogen sulfida, keasaman dan alkalinitas, yang pada akhirnya mempengaruhi

terhadap makanan (Effendi, 1997). Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor genetik,


9

hormon, dan lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang paling penting adalah

zat hara (Fujaya, 2004). Jika padat penebaran tinggi, maka laju pertumbuhan

harian ikan rendah. Jika disuatu perairan terdapat pakan alami yang tinggi serta

padat tebar rendah maka akan menghasilkan pertumbuhan ikan yang maksimal

(Rachmansyah dalam Agustine,2018).).

Daya dukung perairan setempat dapat mempengaruhi padat penebaran

yang optimum pada suatu ikan, sehingga dapat menghasilkan produksi yang

maksimum. Peningkatan padat penebaran dapat meningkatakan hasil jika

dilakukan dengan pengelolaan pakan dan lingkungan (Hepher, 1981). Peningkatan

padat tebar dapat mempengaruhi penurunan pertumbuhan ikan, tetapi selama

penurunannya tidak terlalu besar dibandingkan peningkatan padat tebar maka,

produksi akan tetap meningkat. Ketika penurunan pertumbuhan yang terjadi

semakin besar maka penurunan produksi akan terjadi hingga mencapai tingkat

pertumbuhan nol. Dapat diartikan bahwa hasil ikan yang ditebar telah mencapai

nilai carrying capacity atau daya dukung maksimum wadah budidaya. Jika padat

penebaran yang tinggi tidak diimbangi dengan pemberian pakan yang diberikan

serta kualitas air terkontrol, akan menyebabkan penurunan laju pertumbuhan ikan

dan jika telah sampai pada batas tertentu maka pertumbuhannya akan berhenti

sama sekali (Hepher dan Pruginin, 1981). Jika ketersediaan pakan hanya cukup

untuk pemeliharaan tubuh, namun tidak mencukupi untuk pertumbuhan maka

partumbuhan akan terhenti. Untuk menjaga tingkat potensial pertumbuhan

terhadap jumlah pakan harus ditingkatkan atau dengan penambahan food

supplement.
10

Meningkatnya laju konsumsi oksigen sejalan dengan meningkatnya laju

metabolisme (Zonneveld et al., 1991). Konversi pakan dan laju pertumbuhan juga

bergantung pada oksigen. Pakan yang memiliki gizi yang cukup dapat

menghasilkan pertumbuhan yang optimal. Oksigen dan amoniak dapat

mempengaruhi stres pada ikan. Kandungan oksigen yang rendah dapat

menurunkan tingkat konsumsi pakan ikan (nafsu makan), karena oksigen sangat

dibutuhkan untuk respirasi, proses metabolisme di dalam tubuh, aktivitas

pergerakan dan aktivitas pengelolaan makanan.

Menurunnya nafsu makan pada ikan dapat menyebabkan penurunan

pertumbuhan. Jika kadar amonia yang tinggi akibat hasil metabolisme pada media

pemeliharaan dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan karena dapat menurunkan

konsumsi oksigen akibat kerusakan pada insang, penggunaan energi berlebih

akibat stres yang ditimbulkan, dan mengganggu proses peningkatan oksigen

dalam darah, yang dapat menyebabkan kematian (Boyd, 1990). Padat penebaran

dapat mempengaruhi keagresifan ikan. Ikan yang dipelihara dalam padat

penebaran yang rendah lebih agresif, dibanding ikan yang dipelihara dalam padat

penebaran tinggi akan lambat pertumbuhannya karena tingginya tingkat kompetisi

dan banyaknya sisa - sisa metabolisme yang tertimbun di dalam air (Bardach

dalam Agustine,2018).).

2.6 Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup

Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran bobot maupun panjang tubuh

ikandalam suatu periode. Pertumbuhan tersebut disebabkan oleh perubahan

jaringan akibat pembelahan sel secara mitosis dan pembesaran sel sehingga terjadi
11

pertambahan sel, urat daging, dan tulang yang merupakan bagian terbesar dalam

tubuh ikan yang menyebabkan pertambahan bobot ikan (Effendie dalam Yaqin

2018). Hal ini terjadi masuknya energi dan asam amino (protein) kedalam tubuh

yang berasal dari makanan. Senyawa yang berasal dari makanan tersebut akan

digunakan tubuh untuk metabolisme dasar, pergerakan produksi organ seksual dan

menngganti sel-sel yang tidak terpakai (Effendie dalam Jumiati, 2017).

Kelangsungan hidup merupakan jumlah dari berbagai umur dan dapat diartikan

pula sebagai jumlah ikan yang hidup sampai saat masa akhir pemeliharaan

(Effendi dalam Minggu, 2017).

2.4 Kualitas Air

Air merupakan media yang sangat penting bagi kehidupan ikan yang

bergantung pada kualitas air. Kualitas air adalah salah saru dari faktor yang sangat

mendukung dari keberhasilan suatu usaha budidaya (Sahputra, dkk.,2017).

Menurut Hanuddin, dkk (2018), faktor kimia dan fisika merupakan parameter

pendukung yang meliputi suhu, pH, oksigen terlarut, amoniak dan salinitas. Salah

satu dari faktor yang mempengaruhi tingkat kelansungan hidup ikan yang

dibudidayakan adalah kualitas air, dimana ikan kakap putih(L. calcarifer)

memiliki kemampuan bertoleransi terhadap salinitas yang sangat tinggi, yaitu ikan

kakap putih dapat hidup pada kisaran salinitas 0-33 ppm (Sudjiharno dalamJaya,

dkk, 2013). Ikan kakap putih (L. calcarifer) merupakan ikan yang mempunyai

toleransiyang cukup besar terhadap kadar garam (euryhaline)dan merupakan ikan

katadromous (dibesarkan di air tawar dan kawin di laut) serta termasuk kedalam

ikan karnivora (Febianto dalam Ridho, 2016).


12

Berdasarkan SNI dalam Anriyono, dkk (2018), kisaran nilai pH untuk

budidaya ikan kakap putih yaitu 7,0-8,5. Suhu optimal bagi kehidupan dan

pertumbuhan ikan kakap putih (L. calcarifer) adalah 260C-320C sedangkan untuk

oksigen terlarut ikan kakap putih (L. calcarifer) dewasa membutuhkan oksigen

terlarut ≥ 4 ppm.
13

BAB 3 MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan November sampai dengan Desember,

penelitian bertempat di Balai Perikanan Budidaya Air Payau(BPBAP) Takalar,

Kabupaten Takalar, Provinsi sulawesi selatan.

3.2 Organisme Uji

Organisme uji yang digunakan adalah Ikan kakap putih(L. calcarifer)

diperoleh dari hasil kegiatan pembenihan BPBAP Takalar.

3.3 Alat dan Bahan

Tabel 3-1. Alat penelitian yang digunakan

Nomor Nama Alat Fungsi/Kegunaan


1. Baskom Wadah pemeliharaan ikan kakap putih
2. Mistar Mengukur panjang tubuh ikan kakap putih
3. Alat tulis Mencatat data penelitian
4. Serok ikan Menangkap ikan kakap putih
5. Timbangan digital Menghitung bobot ikan kakap putih
6. DO meter Mengukur oksigen terlarut dalam air
7. pH meter Mengukur derajat keasaman dalam air
8. Thermometer Mengukur suhu dalam air
9. Kamera Dokumentasi

Bahan yang akan digunakan pada saat penelitian tertera pada Tabel 3-2

Tabel 3-2 Bahan penelitian yang digunakan


Nomor Nama Alat Fungsi/Kegunaan
1. Benih ikan kakap putih Organisme uji
2. Kaporit Sterilisasi wadah
3. Natrium thiosulfat Anti racun
4. Air laut Media
5. Pakan komersial Pakan buatan
(groufer)
14

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Persiapan Wadah

Wadah yang digunakan adalah baskom. Baskom tersebut ditempatkan di

dalam ruangan pembesaran BPBAP Takalar. Jumlah baskom yang digunakan

untuk penelitian ini berjumlah 20 buah, yakni untuk 5 perlakuan dan 4 ulangan

dengan dilengkapi aerasi sebagai suplai oksigen.

3.4.2 Manajemen Pemberian Pakan kakap putih

Pemberian Pakan kakap putih diberikan 3 kali sehari pukul 08.00, 12.00

dan 17.00 dengan takaran yang sudah ditentukan. Pakan yang diberikan yaitu

pakan buatan sesuai dengan bukaan mulutnya.

3.5 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5

perlakuan dan 4 ulangan.

A= padat tebar 15 ekor

B= padat tebar 18 ekor

C= Padat tebar 21 ekor

D= padat tebar 25 ekor

E= padat tebar 28 ekor

Susunan rancangan penelitian Tabel 3-3 :

A3 C1 B2 A2 C2 A4 C5 D2 E1 B3

C4 D1 A1 E2 D3 B1 E3 A2 C3 D4

Dimana :

A1, A2, A3, A4 : Perlakuan A ulangan 1,2,3 dan 4;


15

B1 , B2, B3, B4 : Perlakuan B ulangan 1,2,3 dan 4;


C1, C2, C3, C4 : Perlakuan C ulangan 1,2,3 dan 4;
D1, D2, D3,D4: Perlakuan D ulangan 1,2,3 dan 4;
E1,E2, E3,E4 : Perlakuan E ulangan 1,2,3 dan 4.

3.6 Variabel Pengamatan

3.6.1 Pertumbuhan bobot mutlak

Menurut Effendi dalam Mulyadi., dkk (2010), pertumbuhan bobot mutlak

ikan dihitung dengan menggunakan rumus:

Wm = Wt - Wo

Dimana:

Wm = Pertumbuhan bobot mutlak rata-rata (g)


Wt = Bobot rata-rata ikan pada akhir penelitian (g)
Wo = Bobot rata-rata ikan pada awal penelitian (g)

3.6.2 Pertumbuhan panjang mutlak

Menurut Karlyssa., dkk (2013), pertumbuhan panjang mutiak ikan dihitung

dengan menggunakan rumus:

Pm = Lt - Lo

Dimana:

Pm = Pertumbuhan panjang mutlak (cm)


Lt = Panjang rata-rata ikan pada akhir penelitian (cm)
L0 = Panjang awal ikan pada awal penelitian (cm)

3.6.3 Kelangsungan Hidup (KH)

Menurut Nugroho dalam Karlyssa (2013),kelangsungan hidup (KH) dapat

dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:


16

Dimana:

KH : Kelangsungan hidup (%)


Nt : Jumlah benih diakhir pemeliharaan (ekor)
No : Jumlah benih diawal pemeliharaan (ekor)

3.6.4 Kualitas Air

Kualitas air yang akan diamati selama penelitian tertera pada Tabel 3-4

sebagai berikut:

Tabel 3-4. Parameter kualitas air


Nomor Parameter Waktu Pengamatan
1. Oksigen terlarut Setiap hari
2. pH (Derajat keasaman) Setiap hari
3. Suhu Setiap hari
4. Amoniak Awal dan akhir

3.7 Analisis Data

Data hasil pengamatan yang diperoleh dilakukan uji keterpenuhan asumsi

analisis ragam(ANOVA), yaitu uju keaditifan model (Uji Tukey), uji kesamaan

ragam perlakuan (Uji Bartlett) dan Uji sebaran data (Uji Kolmogorov Smirnov)

dengan menggunakan program aplikasi Excel 2016 dan Minitab 16. Selanjutnya

jika diperoleh pengaru perlakuan (P < 0,05) akan dilanjutkan dengan Uji Kontras

Polinomial Ortogonal. Model matematik dari rancangan tersebut menurut

Montgomery (1991) adalah :

Yij =µ + ɽi + Ɛij

Dimana :
17

Yij = nilai pengamatan pada kelompok ke-j yang memperoleh perlakuan ke-i ;

µ = nilai tengah populasi

ɽi = pengaru adiktif kelompok ke-i;

Ɛij =pengaru aditif galat percobaan dalam kelompok ke-j yang memperoleh

perlakuan ke-i

i = perlakuan 1,2,3,4,5

J = Kelompok 1,2,3,4

Hipotesis yang akan diuji, yaitu:

1. H0 : ɽ = 0 (perlakuan tidak berpengaru terhadap respon yang diamati)

HT Paling sedikit ada satu perlakuan dimana ɽ ≠ 0

2. H0 : ɽopt = 0 (tidak terdapat perlakuan optimum terhadap respon yang

diamati)

HT : Paling sedikit ada satu perlakuan optimum dimana ɽopt = 0

Jika perlakuan memberikan pengaru (P < 0,05), maka akan dilanjutkan

dengan uji kontras polinomial ortogonal. Menurut Gomez (1995). Derajat suatu

polinomial ke-n digunakan untuk mengetahui hubungan antara pengubah respon

Y dan pengubah prediktor X sebagai berikut:

Y = ɑ + β1X + β2X² + .... + βn X


18

DAFTAR PUSTAKA

Akmal, S, G., 2011. Pembenihan dan Pembesaran Ikan Kakap Putih


(Lates calcarifer) di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut,
Lampung. Program Keahlian Teknologi Produksi dan Manajemen
Perikanan Budidaya Program Diploma Institut Pertanian Bogor.

Agustine ,T., U, M., 2018 Keragaan benih ikan kakap putih (lates calcarifer )
yang dipelihara pada waring apung di tambak dengan padat tebar berbeda
pada fase pendederan. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Lampung,
Bandar Lampung.

Azhari, A., A Muchlisin, Z., & Dewiyanti, I. (2017). Pengaruh Padat Penebaran
terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Benih Ikan Seurukan
(Osteochilus vittatus). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan Perikanan
Unsyiah, 2(1), 12 - 19.

Effendi, I .(2004). Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya, Jakarta. 192 hlm.

Hanuddin, Hurmasyitah dan Defira, C. N., 2018. Pengaruh Pemberian Pakan


Alami yang Berbeda Terhadap Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Ikan
Kakap Putih (Lates calcarifer). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan
Perikanan Unsyiah. Vol. 3. No. 1. Hal: 56-65.

Hepher, B., and Pruginin, Y. (1981). Commercial Fish Farming with Special
Reference to Fish Culture in Israel. John Willey and Sons, New York. 261
hlm.

Hickling, C. F. (1971). Fish Culture. Faber and Faber, London. 348 hlm.

Jaya, B., Agustriani, F., dan Isnaini, 2013. Laju Pertumbuhan dan Tingkat
Kelangsungan Hidup Benih Kakap Putih (Lates calcarifer, Bloch) dengan
Pemberian Pakan yang Berbeda. Program Studi Ilmu Kelautan FMIPA
Universitas Sriwijaya, Inderalaya, Indonesia. Email:berry_sfc@yahoo.com
Maspari Journal. Vol. 5. No. 1. Hal: 56-63.

Jumiati. 2017. Pengaruh Salinitas dan Dosis Pakan Komersial yang Berbeda
Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila Merah (orechromis sp.). Skripsi.
Fakultas Peternakan dan Perikanan. Universitas Tadulako. Palu.

Karlyssa, F, J., Irwanmay., dan Leidonald, R, 2013. Pengaruh Padat Penebaran


Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan Nila Gesit
(Oreochromis niloticus). Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
19

Mulyadi, M. T. Usman dan Suryani, 2010. Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan


yang Berbeda terhadap Pertumbuhan dan Kelulushidupan Benih Ikan
Selais (Ompok hypothalmus). Berkala Perikanan Terubuk., 38(2) 21-40.

Pridona, R., Rusliadi, dan Tang, U., 2018. Pengaruh Penambahan Squalene pada
Artemia sp. dengan Dosis yang Berbeda terhadap Pertumbuhan dan
Kelulushidupan Larva Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer). Jurusan
Budidaya Perairan FAPERIKA Universitas Riau.

Priyono, A., Selamet, B., Aslianti, T., Setiadharma, T., Setyadi I., Permana, G.,
dan Setiawibawa, G. N., 2013. Pembesaran Kakap Putih, seabass (Lates
calcarifer) di Tambak dengan Pemberian Pakan Pelet Kandungan Protein
Berbeda untuk Calon Induk Melalui Seleksi Pertumbuhan. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut, Bali.

Putri, D., F., 2018. Pengaruh Pemberian Pakan dengan Kadar Protein Berbeda
terhadap Pertumbuhan Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer) yang
Dipelihara di Bak Terkontro. Skripsi. Jurusan Perikanan dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung Bandar Lampung.

Ramadhani Bebbi Viana, 2010. Manajemen Pemeliharaan Benih Ikan Kerapu


Macan (Epinephelus fuscoguttatus) di Balai Budidaya Air Payau
Situbondo Provinsi Jawa Timur. Fakultas Perikanan dan Kelautan,
Universitas Airlangga. Probolinggo, Jawa Timur. PKL. Hal: 1.

Rayes, R. D., Sutresna, W., Diniarti, N., dan Supii, A. I., 2013. Pengaruh
Perubahan Salinitas terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Ikan Kakap Putih
(Lates calcarifer Bloch). Jurnal Kelautan. Vol. 6. No. 1. Hal: 1907-9931.

Razi, F., 2013. Penanganan Hama dan Penyakit pada Ikan Kakap Putih. Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan. Pusat
Penyuluhan Kelautan dan Perikanan.

Ridho, R., dan Patriono, E., 2016. Aspek Reproduksi Ikan Kakap Putih (Lates
calcarifer Block) di Perairan Terusan dalam Kawasan Taman Nasional
Sembilang Pesisir Kabupaten Banyuasin. Jurnal penelitian saing. Vol. 18.
NO. 1. Hal. 1.

Setiawati, K., M., Zafran dan Kusumawati, D., 2016. Pembesaran Kerapu Sunu
Plectropomus leopardus dalam Keramba Jaring Apung dengan Frekuensi
Pemberian Pakan yang Berbeda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis. Vol. 8. No. 2. Hlm. 605-61.

Yaqin, A., 2018. Pengaruh Pemberian Pakan dengan Kadar Protein Berbeda
terhadap Performa Pertumbuhan Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer) Di
20

keramba Jaring Apung. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Lampung,


Bandar Lampung.

Wedemeyer, G.A. (1996). Physiology of Fish in Intensive Culture System.


Chapman and Hall, USA. 226 hlm.

Anda mungkin juga menyukai