Anda di halaman 1dari 70

[Type text] [Type text] [Type text]

[Type text] [Type text] [Type text]


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Menurut kamus kedokteran Dorland, Lupus Eritematosus Sistemik adalah
gangguan jaringan penyambung generalisata kronik yang dapat bersifat ringan
hingga fulminans dimana adanya temuan autoantibodi yang menyerang komponen
sitoplasma dan inti sel, ditandai oleh adanya erupsi kulit, atralgia, arthritis, nefritis,
pleuritis, pericarditis, leucopenia atau trombositopenia, anemia hemolitik, lesi
organ, manifestasi neurologik, limfadenopati, demam dan berbagai gejala
5
konstitusional lainnya. Sedangkan menurut buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, LES
adalah prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap
komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang
1
luas. Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif yang ditandai dengan periode
6
tenang dan eksaserbasi.
Kata “lupus” dalam bahasa latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari
bahasa yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah
merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar
4
rash.

2.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit rematik
utama di dunia dan dalam 40 tahun terakhir ini, insidensi LES meningkat tiga kali
lipat karena kemajuan ilmu kedokteran bidang reumatologi dalam mendiagnosis LES
1,7
melalui kriteria ACR. Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu 52
kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi per tahunnya sekitar 5.1 kasus per
100.000 penduduk. Di negara Asia-Pasifik, prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-45.3
kasus per 100.000 penduduk dengan Australia sebagai negara dengan prevalensi
tertinggi yaitu 45.3 kasus per 100.000 penduduk. Di Asia, prevalensi LES yaitu

[Type text] [Type text] [Type text]


sekitar 4.3-37.7 kasus per 100.000 penduduk dimana negara Cina memiliki insidensi
4
terbanyak yaitu 3.1 kasus per 100.000 penduduk.

[Type text] [Type text] [Type text]


Di Indonesia belum ada data epidemiologi LES yang mencakup seluruh wilayah
Indonesia. Beberapa data di Indonesia dari pasien yang dirawat di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ditemukan 37,7 % kasus LES
1
pada tahun 1998-1990. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total kunjungan pasien di poliklinik
Reumatologi Penyakit Dalam, sementara pada tahun 2010 di RS Hasan Sadikin Bandung
3
terdapat 291 pasien (10.5%) dari total pasien yang berobat ke poliklinik Reumatologi.
Onset penyakit LES 65% terjadi antara usia 16-55 tahun, 20% sebelum usia 16 tahun
dan 15% setelah usia 55 tahun dimana 90% pasien LES adalah perempuan usia muda dengan
1,7
insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi.
3
Rasio penyakit LES pada perempuan dan laki-laki adalah 9:1. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes, dilaporkan prevalensi LES pada
perempuan yaitu sekitar 7.7-68.4 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi 1.4-5.4
kasus, sedangkan prevalensi LES pada laki-laki 0.8-7.0 kasus per 100.000 penduduk
4
dengan insidensi 0.4-0.8 kasus tiap tahunnya.
Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, dimana angka
3
kematian pasien LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.
Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dari pengamatan 108
3
orang pasien yang berobat dari tahun 1990-2002.
Sedangkan berdasarkan usia, angka survival rate SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan
3
20 tahun adalah 93-97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%, dan 53-64%. Hasil studi yang
dilakukan oleh Rupert W.Jakes tahun 2012 menyatakan survival rate
4
LES 93-98% dalam 1 tahun, 60-97% dalam 5 tahun, dan 70-94% dalam 10 tahun.
Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi
(termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa), sedangkan dalam jangka
panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis Penyebab tingginya angka
morbiditas dan mortalitas pada LES di negara Asia-Pasifik yaitu 30-80% karena infeksi,
19-95% penyakit LES yang aktif, 6-40% keterlibatan kardiovaskular, dan 7-36% karena
4
adanya abnormalitas ginjal.

[Type text] [Type text] [Type text]


Prognosis LES sangat bervariasi. Di negara Asia-Pasifik, prognosis LES tampak
lebih baik pada negara Cina (Shanghai, survival rate 98% dalam 5 tahun),

Referat Lupus Eritomatosus Sistemik


6

[Type text] [Type text] [Type text]


Hong Kong (survival rate 97% dalam 5 tahun dan 94% dalam 10 tahun), Korea
Selatan (survival rate 94% dalam 5 tahun), akan tetapi di negara Australia survival
4
rate LES hanya 60% dalam 5 tahun.

2.3 Etiologi
Faktor genetik, imunologis, lingkungan dan hormon dianggap sebagai
etiologi LES, yang mana keempat faktor ini saling terkait. Faktor lingkungan dan
hormon berperan sebagai pencetus penyakit pada individu peka genetik. Faktor
lingkungan yang dianggap sebagau pencetus antara lain yaitu infeksi, sinar
8
ultraviolet, pemakaian obat-obatan, stress mental maupun fisik.

a) Antibodi Antinuklear (ANA)9


ANA diarahkan untuk melawan beberapa antigen nucleus dan dapat
dikelompokkan menjadi empat kategori:
1. Antibodi terhadap DNA
2. Antibodi terhadap histon
3. Antibodi terhadap protein nonhiston yang terikat pada RNA
4. Antibodi terhadap antigen nucleolus
b) Faktor Genetik 7,9
1. Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar monozigotik dan kembar
dizigotik (1-3%).
2. Anggota keluarga mempunyai risiko yang meningkat untuk menderita
LES dan hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis
tidak terkena dapat menunjukkan adanya autoantibodi. Ikatan saudara
kandung memiliki risiko 30 kali lebih besar untuk menderita penyakit
LES.

3. Pada populasi kulit orang putih di Amerika Utara terdapat hubungan


positif antara LES dengan gen HLA kelas II, terutama pada lokus HLA-
DQ.

[Type text] [Type text] [Type text]


4. Beberapa pasien LES sekitar 6% mengalami defisiensi komponen
komplemen yang diturunkan. Kekurangan komplemen akan mengganggu

[Type text] [Type text] [Type text]


pembersihan kompleks imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi
jaringan, yang menimbulkan jejas jaringan.

Tabel 2.1 Antibodi Antinuklear Pada Berbagai Penyakit Autoimun

Sumber : Vinay Kumar, 2007.

c) Faktor Lingkungan 2,7,9


Adanya sindrom menyerupai lupus pada pasien yang meminum obat
tertentu, seperti prokainamid dan hidralazin. Obat-obat ini mengganggu

[Type text] [Type text] [Type text]


ekspresi dari sel T CD4+ dengan menghambat metilasi DNA dan menstimulus
ekspresi antigen LFA-1 sehingga memicu autoreaktivasi pada

[Type text] [Type text] [Type text]


LES. Oleh karena itu, sebagian besar penderita yang diobati dengan prokainamid
selama lebih dari 6 bulan akan menghasilkan ANA disertai gambaran LES yang
muncul 15% - 20% pada pasien tersebut.
Pajanan sinar ultraviolet merupakan faktor lingkungan lain yang dapat
memperburuk penyakit tersebut pada banyak individu. Sekitar 70% pasien LES akan
mengalami flare ketika terpajan dengan sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet dapat
meningkatkan apoptosis keratinosit, merusak DNA dan meningkatkan jejas jaringan
yang akan melepaskan pembentukan kompleks imun DNA / anti-DNA yang dapat
menstimulus respon autoimun pada LES.
Infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) merupakan faktor yang dapat meningkatkan
terjadinya LES. EBV akan mengaktivasi sel limfosit B dan menstimulus interferon α
(IFN α) untuk produksi sel plasmasitoid dendirtik yang akan memicu respon imun.
Selain itu, EBV juga memiliki untaian asam amino yang menyerupai untaian asam
amino manusia yang akan menstimulus respon autoimun pada LES.
9
d) Faktor Imunologis
Bermacam-macam kelainan imunologis baik pada sel T maupun sel B pada pasien
LES sulit untuk mengidentifikasi setiap salah satunya sebagai penyebab. Analisi
molekular terhadap antibodi anti-DNA untai ganda member petunjuk bahwa antibodi
tersebut tidak dihasilkan oleh susunan acak sel B aktif poliklonal, tetapi lebih banyak
berasal dari respon sel-B oligoklonal yang lebih selektif terhadap antigennya sendiri.
Sebagai contoh, antibodi anti-DNA pathogen pada pasien LES adalah kationik,
sedangkan antibodi yang dihasilkan oleh sel B yang teraktivasi secara poliklonal
adalah anionik dan nonpatogen. Oleh sebab itu, tanggung jawab autoimunitas pada
LES telah beralih ke sel T helper CD4+.

e) Faktor Hormonal 2
Perempuan memiliki respon antibodi lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini
disebabkan oleh efek estrogen yang bermanfaat terhadap sintesis antibodi. Perempuan
yang mengkonsumsi kontrasepsi oral yang terdapat kandungan estrogen atau yang
menggunakan hormone replacement therapy

[Type text] [Type text] [Type text]


[Type text] [Type text] [Type text]
memiliki risiko 2 kali lipat terkena LES. Estradiol akan berikatan pada
reseptor sel T dan sel limfosit B, meningkatkan aktivasi sel T dan sel limfosit
B tersebut.

Gambar 2.1 Keterkaitan antara factor genetik, epigenetic dan lingkungan


pada LES.
Sumber : Ellen M.G, 2014.

2.4 Patogenesis
Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan
toleransi-diri. Akibatnya terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat
merusak jaringan secara langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks imun.
Antibodi tersebut melawan komponen nuclear dan sitoplasma sel host yang tidak
9
spesifik terhadap organ. Proses ini diawali dengan faktor pencetus yang ada
dilingkungan, dapat berupa infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia.
8
Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh yaitu :
1. Sel T dan sel B menjadi autorektif
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain

[Type text] [Type text] [Type text]


a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun
maupun sitokin di dalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis

[Type text] [Type text] [Type text]


c. Hilangnya toleransi imun dimana sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen
kerena adanya mimikri molekuler

Gambar 2.2 Model pathogenesis LES

Sumber : Vinay Kumar, 2009.

Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai


macam antibodi di dalam tubuh yang disebut autoantibodi.
Selanjutnya antibodi tersebut akan membentuk kompleks
imun. Kompleks imun tersebut akan terdeposisi pada
jaringan atau organ yang akhirnya

[Type text] [Type text] [Type text]


[Type text] [Type text] [Type text]
8
menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.

[Type text] [Type text] [Type text]


Gambar 2.3 Tiga tahap patogenesis penyakit kompleks imun sistemik
Sumber : Vinay Kumar, 2009

[Type text] [Type text] [Type text]


Karakteristik patogenesis dari LES yaitu sistem imun yang menyerang nuklear
endogen yang dianggap sebagai autoantigen. Autoantigen dikeluarkan oleh sel yang
mengalami apoptosis kemudian akan dipresentasikan oleh sel dendritik ke sel T. Sel T
mensekresikan sitokin yaitu interleukin 10 (IL10) dan IL23 yang mengaktivasi sel B
untuk memproduksi antibodi. Nukleosome endogen dapat berikatan dengan molekular
patogen reseptor dan dapat menstimulus pengeluaran interferon α (IFN α) sehingga
memicu terjadinya inflamasi. Selain itu juga nucleosome dapat berikatan dengan reseptor
permukaan sel seperti BCR (B cell antigen reseptor) dan TLR (Toll like reseptor). Pada
7
pasien dengan SLE yang aktif terdapat peningkatan ekspresi TLR9.

[Type text] [Type text] [Type text]


Pada LES sebagian besar autoantibodi yang dihasilkan akan langsung menyerang
kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosome, nukleolar RNA,
spliceosomal RNA. Saat terjadi apoptosis, antigen tersebut bermigrasi ke permukaan sel
dan mengaktivasi sistem imun untuk produksi autoantibodi. Hiperreaktivitas dari sel T
dan sel limfosit B pada LES ditandai dengan meningkatnya ekspresi molekul HLA-D dan
CD40L. Hasil akhir dari ini

[Type text] [Type text] [Type text]


yaitu produksi autoantibodi dan pembentukan kompleks imun yang terdeposisi di
jaringan sehingga membuat (1) sequestrasi dan destruksi sel-sel yang diselubungi Ig yang
beredar di sirkulasi, (2) fiksasi dan cleaving komplemen, (3) pengeluaran kemotoksin,
2
peptide vasoaktif, dan enzim-enzim yang mendestruksi jaringan.

Gambar 2.4 Patogenesis pada LES


Sumber : George Berstias, 2012.

[Type text] [Type text] [Type text]


[Type text] [Type text] [Type text]
2.5 Patofisiologi

Gambar 2.5 Mekanisme sistemik pada LES


Sumber : Simanta Pathak, 2011

Abnormalitas imun pada LES terbagi menjadi 2 fase yaitu (a)


meningkatnya serum antinuklear dan autoantibodi anti-glomerular, (b)
terbentuknya kompleks imun pada organ target yang menyebabkan kerusakan
11
organ. Defek mekanisme regulasi imun seperti klirens apoptosis dan kompleks
imun merupakan kontributor pada LES. LES ditandai dengan adanya produksi
autoantibodi, terbentuknya kompleks imun, dan aktivasi komplemen yang tidak
terkendali. LES disebabkan oleh interaksi antara gen dan faktor lingkungan
sehingga menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon tersebut terdiri dari
hiperaktivitas sel T helper sehingga terjadi hiperaktivitas sel B. Terjadi gangguan
2
mekanisme downregulating yang menimbulkan respon imun abnormal.

[Type text] [Type text] [Type text]


[Type text] [Type text] [Type text]
Gambar 2.6 Patofisiologi LES
Sumber : Harrison, 2011

Pada LES penanganan pada komplek imun terganggu, dapat berupa


gangguan klirens kompleks imunt, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam
hati dan penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini
memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit
mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ
dan terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan
aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi
inflamasi. Reaksi inflamasi inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau
gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura,
2
kulit dan sebagainya.

2.6 Manifestasi Klinis


Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit
dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam

[Type text] [Type text] [Type text]


tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun
12
diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun.

[Type text] [Type text] [Type text]


Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5 tahun.
Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi. Onset penyakit
dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak dengan sinar matahari,
12
infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa.
A. Gejala Konstitusional
Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Pada anak-anak yang paling sering adalah
anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan, limfadenopati dan irritable.
13
Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-menerus.

B. Gejala Muskuloskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan dapat berupa athralgia (90%)
dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi
interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal,
siku dan pergelangan kaki. Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya
simetris, terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif
terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis
pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat.
Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah dalam pengobatan
13
kortikosteroid.
C. Gejala Mukokutan

Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus LES.

1). Lesi Kulit Akut


Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu
(butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua
pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan
bervariasi dari merah pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly
patches. Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah
terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal
dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan.

[Type text] [Type text] [Type text]


[Type text] [Type text] [Type text]
13
Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.

Gambar 2.7 Lupus eritematosus kutaneus akut


Sumber : George, 2012

2). Lesi Kulit Sub Akut

Gambar 2.8 Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.

Sumber : George, 2012

3). Lesi Diskoid


Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun. Sekitar 7 %
lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu di monitor
secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi
antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni
ringan. Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada,
punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter

[Type text] [Type text] [Type text]


\

[Type text] [Type text] [Type text]


5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri. Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema,
hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,
tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah
berlangsung lama akan terbentuk sikatrik. Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-
kanak. Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari LES daripada
sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa
14
kanak-kanak.

Gambar 2.9 Facial discoid

Sumber : George, 2012

4). Livido Retikularis


Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis kulit dapat
menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga
13
tampak perdarahan dan eritema periungual.

[Type text] [Type text] [Type text]


Gambar 2.10 A) Livido retikularis B) eritema periungual. Sumber :
George, 2012

[Type text] [Type text] [Type text]


5). Urtikaria
Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang
14
secara klinis dan serologis.
D. Kelainan pada Ginjal
Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis.
Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama
terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis adalah:
i. Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis
ii. Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis
iii. Kelas III: focal lupus nephritis
iv. Kelas IV: diffuse lupus nephritis
v. Kelas V: membranous lupus nephritis
vi. Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis
Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus LES. Manifestasi paling sering ialah
proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal yaitu
nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan
kelainan yang paling berat. Klinis tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi,
serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis membranosa lebih
jarang ditemukan. Ditandai dengan sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal
ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi
2,13
progresif.

E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)


Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis
menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih sering
unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya efusi
13
menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.
F. Pneuminitis Interstitial
Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak dapat
13
diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.

[Type text] [Type text] [Type text]


[Type text] [Type text] [Type text]
G. Gastrointestinal
Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri akut abdomen,
muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis intestinalis. Gejala
menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya mendapat pengobatan yang
13
adekuat.
H. Hati dan Limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai
13
ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau kembali normal.
I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis
Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya berupa
limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Kelenjar parotis membesar
13
pada 60% kasus LES.
J. Susunan Saraf Tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya
15
bersifat sementara.
K. Susunan Saraf Pusat
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan dan
kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Diagnosa
lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan psikososial
reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan
antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu
dilakukan. Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu
psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan
bersamaan dengan gejala aktif LES pada sistem-sistem lainnya. Pasien
menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas kelainan organik
10
otak. Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain
yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis transversal,
hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic meningitis, chorea,
defisit kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer dan sebagainya.
Mekanisme

[Type text] [Type text] [Type text]


[Type text] [Type text] [Type text]
terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor
yang memegang peranan antara lain vaskulitis, deposit gamma globulin di
15
pleksus koroideus.
L. Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,
Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis
13
trombositopenia, dan lekopenia.
M. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali
hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh
13
darah dan aktivasi komplemen lokal.
N. Kardiovaskuler

LES dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang pada akhirnya


dapat mengakibatkan terjadi infark miokard. Gagal jantung dan angina
pektoris, valvulitis, vegetasi pada katup jantung merupakan beberapa
13
manifestasi lainnya.

2.7 Diagnosis

Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American College of


Rheumatology 1997 yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut SLE jika
3
ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria tersebut.

[Type text] [Type text] [Type text]


[Type text] [Type text] [Type text]
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki sensitifiitas
85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya
ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES.
Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum
3
tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan.

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Kelainan laboratorium pada LES diantaranya anemia hemolitik dan anemia


nomositer, leukopenia, trombositopenia, laju endap darah yang cepat,
hiperglobulinemia dan bila terdapat sindrom nefrotik, albumin akan rendah.

[Type text] [Type text] [Type text]


Biasanya kelainan faal hepar dan penurunan komplemen serum juga ada. Proteinuria,
biasanya bersifat gross proteinuria, merupakan gejala penting. Faktor

[Type text] [Type text] [Type text]


rematoid positif kira-kira 33% kasus. Urin diperiksa untuk mengetahui adanya protein,
leukosit, eritrosit dan silinder. Uji ini dilakukan untuk menentukan adanya komplikasi
ginjal dan untuk memantau perkembangan penyakit LES. Berikut pemeriksaan
3
penunjang minimal yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring LES :
1. Hemoglobin. Leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2. Urin rutin dan mikroskopik protein kuantitatif 24 jam, bila diperlukan
pemeriksaan kreatinin darah
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati dan profil lipid)
4. PT dan aPTT
5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen C3 C4
6. Foto polos toraks (pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis)

3
Rekomendasi
- Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE
- Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
- Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak
menyingkirkan diagnosis SLE

Fenomena Sel S.E dan tes sel S.E


Sel L.E terdiri atas granulosit neutrofilik yang mengandung bahan nuclear basofilik
yang telah difagositosis, segmen nuklearnya berpindah ke perifer. Fenomena ini
disebabkan oleh factor antinuclear (factor L.E dan yang lain) yang menyerang bahan
nuclear di dalam sel yang rusak. Bahan nuclear yang berubah dikelilingi neutrofil
(bentuk rosette) yang memfagositosis bahan tersebut. Tes sel L.E kini tidak penting
karena pemeriksaan antibodi antinuclear lebih sensitif.
Antibodi antinuclear (ANA)
Pada pemeriksaan imunofluoresensi tak langsung dapat ditunjukkan (ANA) pada 90%
12
kasus. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya antibody yang mampu
menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi adanya ANA, juga

[Type text] [Type text] [Type text]


berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan antibody spesifik. Pola ANA dapat
diketahui dari pemeriksaan preparat yang diperiksa di

[Type text] [Type text] [Type text]


13
bawah lampu ultraviolet. Terdapat 4 pola ANA ialah membranosa (anular,
peripheral), homogen, berbintik dan nuclear. Yang dianggap spesifik untuk L.E.S
ialah pola membranosa, terutama jika titernya tinggi. Pola berbintik juga umum
16
terdapat pada L.E.S. Pada homogen kurang spesifik.
Lupus band test
Pada pemeriksaan imunofluoresens langsung dapat dilihat pita terdiri atas deposit
granular immunoglobulin G, M atau A dan komplemen C3 pada taut epidermal-
dermal yang disebut lupus band. Caranya disebut lupus band test, specimen diambil
dari kulit yang normal. Tes tersebut positif pada 90-100% kasus L.E.S dan 90-95%
16
kasus L.E.D.

Anti-ds-DNA

Anti autoantibody yang lain selain ANA ialah anti-ds-DNA, yang spesifik untuk
S.L.E, tetapi hanya ditemukan pada 40-50% penderita. Antibodi ini mempunyai
hubungan dengan glomerulonefritis. Adanya antibodi tersebut dan kadar komplemen
16
yang rendah dapat meramalkan akan terjadinya hematuria dan atau proteinuria.

Anti-Sm
Selain anti-ds-DNA, masih ada antibody yang lain yang spesifik ialah anti-Sm, tetapi
hanya terjadi pada sekitar 20-30% penderita dan tidak ditemukan pada penyakit
16
lain.

3
2.9 Diagnosis Banding
Beberapa penyakit dengan gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes
laboratorium yang serupa dengan LES yaitu:
a. Undifferentiated connective tissue disease
b. Sindroma Sjögren
c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
d. Fibromialgia (ANA positif)
e. Purpura trombositopenik idiopatik
f. Lupus imbas obat

[Type text] [Type text] [Type text]


g. Artritis reumatoid dini

[Type text] [Type text] [Type text]


h. Vaskulitis
Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan L.E.S mempunyai gejala-gejala
yang dapat menyerupai L.E.S yakni artritis reumatika, sklerosis sistemik,
12
dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.


Artritis Reumatika. Otot dan kekakuan sendi biasanya paling sering di pagi
hari. Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah mulai pada
persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Awitannya biasanya akut,
bilateral, dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada
14
pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit.

Sklerosis Sistemik. Penyakit ini disebut juga skleroderma sistemik.
Skleroderma merupakan kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-bercak
putih kekuning-kuningan dan keras yang seringkali mempunyai halo ungu
disekitarnya. Sklerosis sistemik seperti skleroderma sirkumskripta tetapi secara
12
berturut-turut mengenai alat-alat viseral.

Dermatomiositis. Penyakit mulai dengan perubahan khas pada muka
(terutama pada palpebra) yakni terdapat eritema dan edema berwarna merah
ungu kadang-kadang juga livid. Pada palpebra terdapat telangiektasis, disertai
paralisi otot-otot ekstraokular. Pada fase berikutnya timbul perubahan-
perubahan kutan yang menetap dan menyerupai Lupus Eritematosus. Kelainan
di muka menjalar ke leher, toraks, lengan bawah, dan lutut. Manifestasi
patognomonik ialah papul Gottron yaitu papul keunguan di bagian dorsolateral
sendi interfalangeal dan atau metakarpofalangeal. Fase ini disertai demam
12
intermiten, takikardi, hiperhidrosis, dan penurunan berat badan.

Purpura Trombositopenik. Penyakit ini juga dikenal sebagai sindrom
Moschowite dengan trias : trombositopenia, anemia hemolitik, dan gangguan
susunan saraf pusat. Gejala yang timbul adalah demam, purpura berupa
ekimosis, ikterus, pembesaran limpa, disfungsi ginjal, artritis, pleuritis,
15
fenomena Raynaud, nyeri perut, dan pembesaran hati.
2.10 Derajat Berat Ringannya LES

[Type text] [Type text] [Type text]


 Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa

25

[Type text] [Type text] [Type text]


3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.
 Penyakit LES dengan tingkat keparahan sedang ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
 Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan
keadaan sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri
koronaria, miokarditis,tamponade jantung, hipertensi maligna.
2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis,
emboli paru,infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)
6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis,
sindroma demielinasi. mononeuritis, polineuritis, neuritis optik,
psikosis, sindroma demielinasi.
7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit
<1.000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik
trombositopenia, thrombosis vena atau arteri.
2.11 Pengelolaan
Tujuan
Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien LES melalui pengenalan
dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan SLE adalah
a)mendapatkan masa remisi yang panjang, b) menurunkan aktivitas penyakit
seringan mungkin, c) mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar
aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang optimal.
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik adalah 1) Edukasi dan konseling,

[Type text] [Type text] [Type text]


2)Program rehabilitasi, 3) Pengobatan medikamentosa (OAINS, Anti malaria,
3
steroid, Imunosupresan / Sitotoksik).

26

[Type text] [Type text] [Type text]


3
Pengobatan LES Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.

a. Pengobatan LES Ringan

Pilar pengobatan pada LES ringan dijalankan secara bersamaan dan


berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas
tercapai, yaitu:

Obat-obatan

- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.


- Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan
pengelolaan nyeri dan inflamasi.
- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi
ringan)
- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin
250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal
akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis
5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.
-
Kortikortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang
setara .
-
Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection faktor sekurang-
3
kurangnya 15 (SPF 15).

b. Pengobatan LES Sedang

Pilar penatalaksanaan LES sedang sama seperti pada LES ringan kecuali pada
pengobatan. Pada LES sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta
mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter: 20
mg / hari prednison atau yang setara.

c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa

[Type text] [Type text] [Type text]


Pilar pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada penggunaan obat-
obatannya. Pada LES berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan
3
sebagaimana tercantum pada bagan .

[Type text] [Type text] [Type text]


Gambar 2.12 Algoritma penatalaksanaan LES berdasarkan derajat beratnya.
Sumber : Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011

Tabel 2.1 Jenis Dan Dosis Obat Yang Dipakai Pada SLE

Jenis Obat Dosis Jenis Evaluasi Pemantauan


Toksisitas Awal
Klinis Laboratorik
OAINS Tergantung Perdarahan Darah rutin, Gejala Darah rutin,
OAINS saluran cerna, kreatinin, gastro- kreatinin,
hepatotoksik, urin rutin, intestinal AST/ALT
sakit kepala, AST/ALT setiap 6 bulan.
hipertensi,
aseptic,
meningitis,
nefrotoksik.

Kortiko- Tergantung Cushingoid, Gula darah, Tekanan Glukosa


steroid derajat SLE hipertensi, profil lipid, darah

[Type text] [Type text] [Type text]


dislipidemi, DXA,
ostoenekrosis, tekanan

[Type text] [Type text] [Type text]


hiperglisemia, darah
katarak,
osteoporosis.
Klorokuin 250 mg/hari Retinopati, Evaluasi Fundusk
(3,5-4 keluhan GIT, mata, G6PD opi dan
mg/kgBB/ rash, mialgia, pada pasien lapangan
hari) sakit kepala, berisiko pandang
anemi mata
Hidrosiklor 200-400mg/ hemolitik setiap 3-
o- kuin hari dengan 6 bulan.
defisiensi
G6PD.

Azatioprin 50-150 mg Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi


per hari, , lengkap, mielo- lengkap tiap 1-
dosis hepatotoksik, kreatinin, supresif 2 minggu dan
terbagi 1-3, gangguan AST/ALT selanjutnya 1-3
tergantung limfoprolifera bulan interval.
berat badan tif AST tiap tahun
dan pap smear
secara teratur.

Siklofosfamid Per oral; 50- Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi
150 mg per , gangguan lengkap, mielo- lengkap dan
hari. IV : limfoprolifera hitung jenis supresif, urin lengkap
500-750 tif, leukosit, hematuri tiap bulan,
2
mg/m keganasan, urin a dan sitologi urin
dalam imunosupresi lengkap. infertilita dan pap smear
Dextrose f, sistitis s. tiap tahun
250 ml, hemoragik, seumur hidup.
infuse infertilitas
selama sekunder.
1jam.

Metotreksat 7,5-20 mg/ Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi


minggu, , fibrosis lengkap, mielo- lengkap,
dosis hepatic, foto toraks, supresif, terutama
tunggal atau sirosis, serologi sesak hitung
terbagi 3. infiltrate hepatitis nafas, trombosit tiap
Dapat pulmonal dan B&C, AST, mual dan 4-8 minggu,
diberikan fibrosis. fungsi hati muntah, AST/ALT dan
pula melalui kreatinin. ulkus albumin tiap 4-
injeksi. mulut. 8 minggu, urin

[Type text] [Type text] [Type text]


lengkap dan
kreatinin.

[Type text] [Type text] [Type text]


Siklosporin 2,5-5 Pembengkaka Darah tepi Gejala Kreatinin,
A mg/kgBB n, nyeri gusi, lengkap, hipersens LFT, Darah
atau sekitar peningkatan kreatinin, itifitas tepi lengkap.
100-400 mg TD, urin terhadap
per hari peningkatan lengkap castor oil
dalam 2 pertumbuhan LFT. (bila obat
dosis rambut, diberikan
tergantung gangguan injeksi),
berat badan. fungsi ginjal, TD,
nafsu makan fungsi
menurun, hati dan
tremor. ginjal.

Mikofenolat 1000-2000 Mual, diare, Darah tepi Gejala Darah tepi


mofetil mg dalam 2 leukopenia. lengkap, gastroint lengkap
dosis. feses estinal; terutama
lengkap. mual, leukosit dan
muntah. hitung
jenisnya.

Kortikortikosteroid

Kortikortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.


Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, kortikosteroid
tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai anti inflamasi dan imunosupresi.
Dosis kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi.

Indikasi Pemberian Kortikortikosteroid ;

Pembagian dosis kortikosteroid membantu kita dalam menatalaksana kasus


rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis
sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi
pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus,
lupus cerebral.Efek samping kortikortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu,
dengan meminimalkan jumlah kortikortikosteroid, akan meminimalkan juga risiko
3
efek samping.

[Type text] [Type text] [Type text]


\

[Type text] [Type text] [Type text]


Obat Imunosupresan atau Sitotoksik

Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa


digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin,
mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis,
perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara
kortikortikosteroid dan imunosupresan /sitotoksik karena memberikan hasil
3
pengobatan yang lebih baik.

17
Pencegahan
Penderita harus menghindarkan trauma fisik, sinar matahari, lingkungan yang
sangat dingin dan stress emosional. Antara pencegahan yang dapat dilakukan adalah:

Memakai krim (sunscreen) apabila keluar dari rumah

Memakai pakaian yang menutup ekstremitas

Mengelakkan pemberhentian penggunaan kortikosteroid secara tiba-tiba.

Istirahat

Jika penderita menderita demam atau ada tanda-tanda infeksi maka harus diobati
dengan segera.

Mengkonsumsi vitamin antioksidan untuk mengurangkan efek daripada stress
oksidatif

Perubahan gaya hidup untuk meningkatnya daya imun.

Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi,
gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya
mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas
yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup.

Hindari Merokok

Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi

Hindari stres dan trauma fisik

Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia

Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00

Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon
estrogen.

[Type text] [Type text] [Type text]


3
2.12 LES dan Kehamilan
Kesuburan penderita LES sama dengan populasi wanita bukan LES. Beberapa
penelitian mendapatkan kekambuhan lupus selama kehamilan namun umumya
ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada saat nefritis masih aktif maka 50-60%
eksaserbasi, sementara jika nefritis lupus dalam keadaan remisi 3-6 bulan sebelum
konsepsi hanya 7-10% yang mengalami kekambuhan. Kemungkinan untuk
mengalami preeklampsia dan eklampsia juga meningkat pada penderita dengan
nefritis lupus dengan faktor predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma anti
fosfolipid (APS). Penanganan penyakit LES sebelum, selama kehamilan dan pasca
persalinan sangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
1. Jika penderita LES ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya setelah 6
bulan aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi total. Pada
lupus nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan remisi total. Hal ini
dapat mengurangi kekambuhan lupus selama hamil.
2. Medikamentosa:
a) Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu tidak melebihi 7,5
mg/hari prednison.
b) DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan dengan penuh kehati-
hatian. Perhatikan rekomendasi sebelum memberikan obat-obat.
Kontraindikasi untuk hamil pada wanita dengan LES
Sebaiknya penderita lupus tidak hamil dalam kondisi berikut ini:
- Hipertensi pulmonal yang berat (Perkiraan PAP sistolik >50 mm Hg atau
simptomatik)
- Penyakit paru restriktif (FVC <1 l)
- Gagal jantung
- Gagal ginjal kronis (Kr >2.8 mg/dl)
- Adanya riwayat preeklamsia berat sebelumnya atau sindroma HELLP
(Hemolitic anemia, elevated liver function test, low platelet) walaupun sudah
diterapi dengan aspirin dan heparin
- Stroke dalam 6 bulan terakhir
- Kekambuhan lupus berat dalam 6 bulan terakhir.

[Type text] [Type text] [Type text]


32

[Type text] [Type text] [Type text]


A. Laporan Kasus
A.1 Identifikasi
Nama : Ny. Ir. Emilia Arief
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 29/08/1952
Usia : 64 tahun
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Jl. Swadaya Raya no.5 04/01 Kelurahan Duren Sawit
Jakarta Timur
A.2 Anamnesis (Alloanamnesis)
Keluhan Utama:
Kesadaran menurun beberapa jam SMRS disertai demam sudah 3 hari, pasien mengalami
kejang klonik di IGD ± 3 menit, obat SLE dihentikan oleh pasien sendiri dalam ±1 bulan
Riwayat anestesi dan operasi : Tidak ada
Riwayat penyakit paru/ asma : Tidak ada
Riwayat penyakit jantung/ vaskular : Tidak ada
Riwayat penyakit diabetes mellitus : Diabetes Mellitus Type II
Riwayat penyakit neuro/muskuloskeletal : SLE Cerebral
Riwayat gangguan pembekuan darah : Tidak ada
Riwayat penyakit gastrointestinal : Tidak ada
Riwayat penyakit ginjal/urologi : Tidak ada
Penyakit alergi obat/makanan : Tidak ada
Riwayat minum alkohol : Tidak ada

A.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : TSB, GCS 8 (E2M3V3)
Kesadaran : Sopor
Tanda Vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 110x/mnt
Pernafasan : 24 x/mnt
Suhu : 39oC
Tinjauan Sistem
Kepala : Normocephali, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
Mata : Re +/+, isokor, 2-3 mm
Leher : KGB tidak teraba membesar
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
Palpasi : sulit dievaluasi
Perkusi : sonor-sonor
Auskultasi : BND vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Tidak terdapat vena-vena yang melebar
Palpasi : sulit dievaluasi

[Type text] [Type text] [Type text]


Perkusi : pekak
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : perut tampak datar
Auskultasi : Bising usus (+) 5x/menit
Perkusi : timpani
Palpasi : supel
Urogenital : dengan kateter urin
Ekstremitas : lateralisasi (-) refleks patologis (+/+)
A.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (01/06/2017)
Darah Perifer
LED : 14
Hemoglobin : 14.800 g/dL
Leukosit : 13,3 x 103 mm3
Eritrosit : 4.94 x106
Hematokrit : 44%
Trombosit : 228 x 103 mm3
Retikulosit : 21 permil

Hitung Jenis Leukosit


Basofil :0
Eosinofil :0
Neutrofil Batang :0
Neutrofil Segmen : 87
Limfosit :7
Monosit :6

Urine Lengkap
Berat Jenis : 1.015 gr/ml
Warna : Kuning Tua
Kejernihan : Keruh
Nitrit : positif
Reaksi/PH : 6,0
Protein : +3 / 300 mg/dL
Glukosa : 3+/1000 mg/dL
Urobilinogen : 0,2
Bilirubin : Negatif
Keton : Negatif

Sedimen
Leukosit : 646 / LPB
Eritrosit : 2830 / LPB
Epitel :6
Silinder :8

[Type text] [Type text] [Type text]


Bakteri : 3240 / LPB

Kreatinin
Kreatinin : 1.5 mg/dL
GFR CKD-EPI: 36.554
SGPT : 27

Gula Darah
Sewaktu
16.48 : 583
18.20 : 443
20.00 : 418
21.00 : 327
22.00 : 206
23.00 : 107
24.00 : 90

Elektrolit
Natrium : 152 mmol/l
Kalium : 3,4 mEg/l

Analisa Gas Darah


Bahan : Arteri
Hemoglobin : 14,8 mg/dL
Temperatur : 38.3o C
FiO2 : 6.0 Liter/menit
PH : 7.469
pCO2 : 30.8 mmHg
pO2 : 98

Laboratorium (02/06/2017)

Gula Darah
Sewaktu

01.00 : 91 mg/dL
02.00 :105 mg/dL
03.00 : 156 mg/dL
05.00 : 233 mg/dL
06.00 : 257 mg/dL
07.00 : 253 mg/dL

Radiologi

[Type text] [Type text] [Type text]


Foto Thoraks (01/06/2017)

Cor : elongasi kalsifikasi aorta


Pulmo : tidak tampak kelainan radiologis
Sinus dan diafragma : dbn
Costae dan tulang-tulang : dbn
Kesan : kardiomegali, elongasi kalsifikasi aorta
CT Scan Otak

[Type text] [Type text] [Type text]


Kesan : subdural hematoma kronik frontoparietal kiri dan kanan

Elektrokardiogram

Diagnosis Pra Bedah : Cerebral SLE pro CVC


Rencana Tindakan : Central Venous Catheter
Operasi mulai pukul : 10.30
Operasi selesai pukul : 11.00
Lamanya : 30 menit
Tanggal : 02/06/2017

Kesimpulan
Pasien termasuk kategori ASA IV

[Type text] [Type text] [Type text]


Uraian Operasi
 Dalam posisi supine dilakukan aseptik antiseptik
 Dilakukan pemasangan CVC pada vena subclavicula dengan anastesi lokal
 Pada pemasangan luka dijahit ditutup kassa steril
 Perdarahan (-)

Instruksi
 Rontgen Thorax
 Bersihkan luka dengan Betadine dan Salep Antibacterial

BAB III
KESIMPULAN

Lupus Eritematosus Sistemik didefinisikan sebagai penyakit inflamasi autoimun


sistemik, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. Etiologi penyakit LES
merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor imunologis, faktor lingkungan, dan
faktor hormonal. Pada LES interaksi antar keempat faktor tersebut merespon tubuh untuk
membentuk autoantibodi, selanjutnya membentuk kompleks imun yang terdeposisi pada
jaringan atau organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
Gejala klinis dan perjalanan penyakit LES sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Diagnosis LES
menurut American College of Rheumatology (ACR) ditegakkan bila terdapat paling
sedikit 4 dari 11 kriteria ACR tersebut, meliputi : butterfly rash, bercak diskoid,
fotosensitf, ulkus mulut, arthritis, serositif, gangguan ginjal, gangguan saraf, gangguan
darah, gangguan imunologi dan gangguan antinuklear.
Penatalaksanaan LES dilaksanakan secara komprehensif meliputi non medika
mentosa dan medika mentosa. Tujuan dari terapi LES yaitu untuk meningkatkan
kesintasan dan kualitas hidup pasien LES melalui pengenalan dini dan pengobatan yang
paripurna.

[Type text] [Type text] [Type text]


[Type text] [Type text] [Type text]
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku


th
ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. 4 ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2009.
2. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci A.S., Kasper D.L,
Hauser S.L, Jameson J.L, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. Edisi 18. United States of America; Mc Graw Hill Companies; 2012. H
2724-35.
3. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Jakarta. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. 2011.
4. Jakes RW, et al. Systematic review of the epidemiology of systemic lupus
erythematosus in the Asia-Pasific region: prevalence, incidence, clinical features, and
mortality. Americam College of rheumatology 2012; 64(2) : 159-68.
th
5. Dorland WAN. Kamus saku kedokteran dorland. 28 ed. Hartanto YB, editor. Jakarta:
EGC; 2012.
6. Rosani S. Lupus eritematosus sistemik dalam kapita selekta kedokteran ed IV. Jakarta
: Media Aesculapius; 2014.h 842-45.
7. Bertsias G, et al. Systemic lupus erythematosus : pathogenesis and clinical features.
Eular textbook of rheumatic disease 2012; 20: 476-505.
8. Tjokoprawiro A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Surabaya : Universitas Airlangga;
2007. h 235-41.

th
9. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. 7 ed. Jakarta: EGC;
2009.

10. Ginzler EM. Systemic lupus erythematosus rheumatic disease clinics of north
America. Elsevier 2010; 36(1).
11. Pathak S. Cellular and molecular pathogenesis of systemic lupus erythematosus:
lessons from animal models. BioMed central 2011; 241(13) : 1-9.

[Type text] [Type text] [Type text]


12. Gill JM, et al. Diagnosis of systemic lupus eritematosus. American family physician
2003; 68(11) : 1-6.

Referat Lupus Eritomatosus Sistemik |Afiati 34

[Type text] [Type text] [Type text]


13. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus
Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,
Philadelphia. 2003. p810-813.
14. Bartels C, et al. Systemic lupus erythematosus (SLE) [Internet]. Medscape; 2014
[cited 2015 Mei 19]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/332244-
overview
15. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus
Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.
16. Budianti WK. Lupus eritemarosus kutan dalam ilmu penyakit kulit dan kelamin Ed 7.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2015. h.300-302.
17. Fritzpatrick’s. Systemic Lupus Erythematosus. Colour Atlas and Synopsis of
th
Clinical Dermatology. Wolf, Johnson, Suurmond. McGraw Hill. 5 edition. 2005. h
384-7.

[Type text] [Type text] [Type text]


Referat Lupus Eritomatosus Sistemik |Afiati 35

[Type text] [Type text] [Type text]

Anda mungkin juga menyukai