Anda di halaman 1dari 37

MANAJEMEN FARMASI RUMAH SAKIT

STUDI KASUS DENGAN DIAGNOSA UTAMA PNEUMONIA

Disusun Oleh:
Kelompok 8
Sanses Atana 19/451230/FA/12449
Winda Eka A 19/451251/FA/12470
Eri Nurqolifah 19/451140/FA/12359
Rizqi Dinni F 19/451227/FA/12446
Annisa Tri R 19/451105/FA/12324

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
STUDI KASUS DENGAN DIAGNOSIS UTAMA GANGGUAN

PNEUMONIA

A. Tinjauan Pustaka
1. Definisi
Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak yang ditandai

dengan dinding dada bawah tertarik ke dalam atau nafas cepat (40 sampai 50 kali atau

lebih tiap menit) (Misnadiarly, 2008).

Pneumonia merupakan infeksi akut di parenkima paru-paru dan sering

mengganggu pertukaran gas. Bronkopneumonia melibatkan jalan nafas distal dan

alveoli; pneumonia lobular melibatkan bagian dari lobus; dan pneumonia lobar

melibatkan seluruh lobus. Komplikasi meliputi hipoksemia, gagal respiratori, efusi

pleural, empiema, akses paru-paru, dan bakteremia, disertai penyebaran infeksi ke

bagian tubuh lain yang menyebabkan meningitis, endokarditis, dan perikarditis.

Umumnya, prognosisnya baik bagi orang yang memiliki paru-paru normal dan

ketahanan tubuh yang cukup baik sebelum pneumonia menyerang (Williams, 2008).

Pneumonia merupakan salah satu penyakit yang sudah dikenal baik oleh

masyarakat awam; penyakit tersebut dapat menyerang setiap umur. Kesehatan

umum yang buruk, penyakit yang menyelingi, penyakit obstruksi paru-paru akut

atau kronik dan cedera inhalasi yang mengenai sel epitel trakeobronkial (disebabkan

oleh rokok atau asap yang merugikan), semuanya merupakan faktor resiko yang

merupakan faktor predisposisi pneumonia.

Pneumonia komunitas atau community acquired pneumonia (CAP) merupakan

salah satu amsalah kesehatan yang dijumpai di seluruh dunia. Insidensi pneumonia

komunitas meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Komorbiditas merupakan

determinan penting pada risiko terjadinya pneumonia dan mempengaruhi prognosis.


Penyakit yang mempengaruhi pneumonia adalah keganasan, DM, panyakit paru kronik,

penyakit ginjal kronik, gagal jantung kongestif, dan penyakit serebrovaskular (Sari et

al., 2016).

Menurut survei kesehatan rumah tangga tahun 2002, penyakit saluran napas

merupakan penyebab kematian nomor 2 di Indonesia. Data dari SEAMIC Health

Statistic tahun 2001 menunjukkan bahwa influenza dan pneumonia merupakan

penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia,

nomor 3 di Singapura dan Vietnam. Laporan di WHO tahun 1999 menyebutkan bahwa

penyebab kematian akibat infeksi saluran napas akut termasuk influenza dan

pneumonia. Di Amerika Serikat, terdapat dua juta sampai tiga juta kasus

pneumonia per tahun dengan jumlah kematian rata-rata 45.000 orang. Faktor sosial

ekonomi yang rendah mempertinggi angka kematian (Misnadiarly, 2008).

2. Patofisiologi

Perjalanan mikroorganisme bisa sampai ke paru-paru, antara lain :

a. Melalui inhalasi (penghirupan) mikroorganisme dari udara yang tercemar

b. Melalui aliran darah dari infeksi organ tubuh yang lain

c. Melalui migrasi (perpindahan) organisme langsung dari infeksi di dekat paru-

paru.

(Misnadiarly, 2008).

Pada individu yang sehat, patogen yang mencapai paru dikeluarkan atau

tertahan dalam pipi melalui mekanisme pertahanan diri seperti refleks batuk, klirens

mukosiliaris, dan fagositosis oleh makrofag alveolar.

Pada individu yang rentan, patogen yang masuk ke dalam tubuh

memperbanyak diri, melepaskan toksin yang bersifat merusak dan menstimulasi

respons inflamasi dan respons imun, yang keduanya mempunyai efek samping
merusak. Reaksi antigen-antibodi dan endotoksin yang dilepaskan oleh beberapa

mikroorganisme merusak membran mukosa bronkhial dan membran alveolokapilar.

Inflamasi dan edema menyebabkan sel-sel acini dan bronkhioles terminalis terisi

oleh debris infeksius dan eksudat, yang menyebabkan abnormalitas ventilasi

perfusi. Jika pneumonia disebabkan oleh Staphylococcus atau bakteri gram negatif

dapat terjadi juga nekrosis parenkim paru.

3. Klasifikasi

Menurut buku Pneumonia Community, pedoman diagnosis dan

penatalaksanaan di Indonesia yang dikeluarkan Perhimpunan dokter Paru Indonesia

(PDPI) 2003, menyebutkan tiga klasifikasi pneumonia.

Berdasarkan Klinis dan epidemiologis :

a. Pneumonia komunitas, meliputi infeksi saluran pernapasan bawah yang

terjadi dalam 48 jam setelah dirawat di rumah sakit pada pasien yang belum

pernah dirawat di rumah sakit selama >14 hari. Organisme yang paling

sering diidentifikasi adalah Streptococcus pneumoniae (20-75%),

Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, dan Legionella spp,

patogen bakteri “atipikal” (2-25%) dan infeksi virus (8-12%) adalah

penyebab yang relatif sering.

b. Pneumonia nosokomial, setiap infeksi saluran pernapasan bawah yang

berkembang >2 hari setelah dirawat di rumah sakit.

c. Pneumonia aspirasi, infeksi oleh bakteri dan organisme anaerob lain setelah

aspirasi.
Berdasarkan bakteri penyebab

a. Pneumonia bakteri/tipikal

Pneumonia ini dapat menyerang semua usia dan dapat menyerang

siapa saja. Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit,

usia lanjut, malnutrisi, bakteri pneumonia dapat dengan cepat berkembang

biak dan merusak paru-paru. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus

paru-paru, ataupun seluruh lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus

paru-paru menjadi terisi cairan. Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan cepat

menyebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Bakteri Pneumococcus

adalah kuman yang paling umum sebagai penyebab pneumonia tersebut.

b. Pneumonia akibat virus

Penyebab utama pneumonia virus adalah virus influenza. Gejala

awal dari pneumonia virus sama seperti gejala influenza yaitu demam, batuk

kering, sakit kepala, nyeri otot, dan kelemahan. Dalam 12-36 jam penderita

dapat menjadi sesak, batuk lebih parah dan berlendir sedikit. Terdapat panas

tinggi disertai membirunya bibir.

c. Pneumonia jamur

Sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada

penderita dengan daya tahan lemah. Gejala pneumonia jenis ini biasanya

didahului dengan infeksi saluran napas yang ringan satu minggu sebelumnya.

Berdasarkan Predileksi

a. Pneumonia Lobaris, pneumonia yang terjadi pada satu lobus (percabangan

besar dari pohon bronkus) baik kanan maupun kiri.


b. Pneumonia bronkopneumonia, pneumonia yang ditandai bercak-bercak

infeksi pada berbagai tempat di paru. Bisa kanan maupun kiri yang

disebabkan virus atau bakteri dan sering terjadi pada bayi maupun oran

Untuk pneumonia pneumokokus, ada 4 stadium penyakit :

a. Stadium 1, disebut hiperemia adalah respons inflamasi awal yang

berlangsung di daerah paru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan

peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler ditempat infeksi.

Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator inflamasi dari sel-sel mast

setelah mengaktifkan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator

tersebut antara lain histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga

mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin

dan prostaglandin untuk memvasodilatasi otot polos vaskular paru,

meningkatkan peningkatan aliran darah ke area cedera, dan meningkatkan

permeabilitas kapiler. Hal ini menyebabkan eksudat plasma ke dalam ruang

interstitial sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan

alveolus. Penimbunan cairan diantara kapiler dan alveolus meningkatkan

jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida untuk berdifusi

sehingga terjadi penurunan kecepatan difusi gas. Karena oksigen kurang larut

dibandingkan dengan karbondioksida, perpindahan oksigen ke dalam darah

paling terpengaruh, yang sering menyebabkan penurunan saturasi oksigen

hemoglobin. Dalam stadium pertama pneumonia ini, infeksi menyebar ke

jaringan sekitarnya akibat peningkatan aliran darah dan rusaknya alveolus

terdekat serta membran kapiler di sekitar tempat infeksi seiring dengan

berlanjutnya proses inflamasi.


b. Stadium 2, disebut hepatisasi merah. Stadium ini terjadi sewaktu alveolus

terisi sel darah merah, eksudat, dan fibrin, yang di hasilkan pejamu sebagai

bagian dari reaksi inflamasi.

c. Stadium 3, disebut hepatisasi kelabu, terjadi sewaktu sel-sel darah putih

membuat kolonisasi di bagian paru yang terinfeksi. Pada saat ini, endapan

fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sel

debris

d. Stadium 4, disebut stadium resolusi, terjadi sewaktu respons imun dan

inflamasi mereda; sel debris, fibrin, dan bakteri telah dicerna; dan makrofag,

sel pembersih pada reaksi inflamasi, mendominasi.

4. Gambaran klinis
Menurut WHO, gambaran klinis pneumonia meliputi :

 Pneumonia ringan

Ditandai dengan adanya batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas

cepat saja. Indikator napas cepat pada anak umur 2 bulan-11 bulan adalah >50

kali/menit dan pada anak umur 1-5 tahun adalah >40 kali/menit

 Pneumonia berat

Batuk dan atau kesulitan bernapas, sakit kepala, foto dada yang menunjukkan

gambaran pneumonia (infiltratluas, konsolidasi, dan lain-lain).

Selain gambaran di atas, tanda pneumonia antara lain sebagai berikut :

 Napas cepat :

 anak umur <2 bulan: >60 kali/menit

 anak umur 2-11 bulan: >50 kali/menit

 anak umur 1-5 tahun: >40 kali/menit

 anak umur >5 tahun: >30 kali/menit


 Suara merintih pada bayi muda.

 Pada auskultasi terdengar ronki, suara pernapasan menurun, suara pernapasan

bronkial. Dalam keadaan sangat berat, bayi tidak dapat disusui atau

minum/makan atau memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar,

sianosis, diare dan distress pernapasan

(Rasyid, 2013).

Selain itu, tanda dan gejala yang paling banyak ditemui pada pasien pneumonia

adalah sebagai berikut :

 Suhu tubuh >37,5◦C/ riwayat demam

 Batuk

 Perubahan karakteristik dahak/purulent

 Rhinorrhea

 Dyspnea

 Malaise/letargi

 Sesak napas

 Sakit kepala

 Nyeri thoraks

 Pemeriksaan fisik: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan

ronki

 Leukosit >15.000/ mm3 meningkatkan probabilitas pasien emnderita

pneumonia akibat infeksi bakteri daripada virus, tetapi hasil ini tergantung

stadium penyakit (Juven et al., 2003; Sari et al., 2016).


5. Tatalaksana

Penatalaksanaan untuk pneumonia bergantung pada penyebab, sesuai yang

ditentukan berdasarkan pemeriksaan sampel sputum pra pengobatan. Terapi yang dapat

dilakukan antara lain :

a. Terapi non farmakologi

 Istirahat

 Hidrasi untuk membantu mengencerkan sekresi

 Terapi oksigen yang dilembabkan dilakukan untuk menangani hipoksia

 Penanganan tambahan meliputi makanan kaya-kalori, asupan cairan yang

cukup, dan beristirahat di ranjang

 Teknik napas dalam untuk meningkatkan ventilasi alveolus dan mengurangi

resiko atelektasis.

(Corwin, 2007).
b. Terapi Farmakologi

 Antibiotik, terutama untuk pneumonia bakteri. Pneumonia lain dapat diobati

dengan antibiotik untuk mengurangi resiko infeksi sekunder yang dapat

berkembang dari infeksi asal. Antibiotik yang biasa diberikan adalah

Penisilin, Ampisilin, Eritromisin, Tetrasiklin, Gentamisin, dan lain-lain.

 Analgesik bisa diberikan untuk meredakan nyeri dada pleuritik.

 Mukolitik, membantu mengencerkan sekresi sehingga sekresi dapat keluar pada

saat batuk

 Bronkodilator, untuk meningkatkan diameter lumen percabangan

trankeobronkial sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara.

 Kortikosteroid, berguna pada keterlibatan luas dengan hipoksemia dan bila

reaksi inflamasi mengancam kehidupan

c. Tahapan Terapi

 Tindakan suportif, meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8 kPa (SaO2

< 90 %) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan stabilitas

hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi noninvasif (misalnya tekanan jalan

napas positif kontinu) atau ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada gagal

napas. Fisioterapi dan bronkoskopi: membantu bersihan sputum (Ward, dkk,

2006)

 Pasien antibiotik awal, menggambarkan “tebakan terbaik”, berdasarkan pada

klasifikasi pneumonia dan kemungkinan organisme, karena hasil mikrobiologis

tidak tersedia selama 12 – 72 jam. Terapi disesuaikan bila ada hasil dan

sensitivitas antibiotik. American dan British Thoracic Societies (ATS, BTS)

menganjurkan protokol antibiotik awal berikut ini untuk CAP (pneumonia

komunitas) :
 Pasien yang tidak dirawat di Rumah Sakit, biasanya memberikan respons

terhadap terapi oral dengan amoksisilin atau makrolid baru atau doksisiklin.

Pasien dengan gejala berat atau beresiko mengalami infeksi S. pneumonia

resisten obat diobati dengan beta laktam ditambah makrolida atau doksisiklin;

atau flourokuinolon antipneumokokus saja.

 Pasien yang dirawat di rumah sakit, terapi awal harus mencakup organisme

“atipikal” dan S. pneumoniae. Makrolid intravena digabung dengan beta laktam

atau fluorokuinolon antipneumokous atau sefuroksim. Jika tidak berat,

kombinasi ampisilin dan makrolida (oral atau i.v).

(Ward, dkk, 2006).

B. Kasus Dan Pengembangannya

 Kasus

Pasien N perempuan usia 48 tahun datang ke RS dengan keluhan sesak nafas

dan batuk sejak 2 minggu yang lalu. 10 HSMRS demam (+), sesak (+). Minum masih

mau, BAK terakhir 3 jam SMRS, Riwayat HT dan DM disangkal.

Pemeriksaan fisik: suhu 39°C, TD 130/90 mmHg, HR 116 kali/menit, RR 44 kali/menit.

Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan : Leukosit : 15.000/mikroL, Neutrofil :

55.9%, Limfosit : 29.0 %, Monosit : 7.9 %, Eosinofil : 5.1 %, Basofil : 0.0 %. Eritrosit

: 3.29. Hb : 10 g/dL. Hematokrit : 28.1% . MCV : 85.6 fl. MCH : 26.1 pg. MCHC :30.5

g/dL. Trombosit : 353. Kreatinin : 1.57 mg/dL. Ureum : 167 mg/dL.

Hasil pemeriksaan rontgen thorax menunjukkan kesan pneumonia dextra.

Diagnosa : Pneumonia

Rencana pengobatan :

Azithromicin injeksi 1 x 500 mg iv

Ceftriaxon injeksi 2 x 1 gram iv


Methylprednisolon injeksi 2 x 125 mg

Paracetamol tablet 3 x 500 mg

Acetylcistein kapsul 3 x 200 mg

Ketosteril tablet 3 x 1 tablet

Pantoprazole injeksi 2 x 40 mg iv

Ondansetron tablet 2 x 8 mg

Flixotide inhalasi 2 mL tiap 8 jam

Pertanyaan :

Susun rencana farmasi dengan metode SOAP!

1. Riwayat Pasien Sekarang

Pasien N perempuan usia 48 tahun datang ke RS dengan keluhan sesak nafas dan

batuk sejak 2 minggu yang lalu. 10 HSMRS demam (+), sesak (+). Minum masih

mau, BAK terakhir 3 jam SMRS, Riwayat HT dan DM disangkal.

2. Riwayat Penggunaan Obat

Pasien belum mendapatkan pengobatan sebelum masuk RS

3. Riwayat Alergi

Pasien tidak memiliki riwayat alergi apapun.

4. Riwayat Penyakit

Pasien tidak memiliki riwayat HT maupun DM.

5. Riwayat Sosial

Tidak ada data

6. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada data

7. Hasil Pemeriksaan Fisik

a. Tekanan Darah : 130/90 mmHg


b. Heart Rate : 116/menit (Nadi normal: 60-100x/menit)

c. Respiratory Rate : 44/menit (16-20x/menit)

d. Suhu Tubuh : 39oC (normal: 36-37,5oC)

e. Berat Badan : - kg

8. Hasil Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik Lain

a. Leukosit : 15.000/mikroL (normal : 4-11 (x103/ µL))

b. Neutrofil : 55.9% (normal: 40-75%)

c. Limfosit : 29.0 % (normal: 20-45%)

d. Monosit : 7.9 % (normal: 2,0-5,0%)

e. Eosinofil : 5.1 % (normal: 1,0-6,0%)

f. Basofil : 0.0 % (normal: 0,0-1,0%)

g. Eritrosit : 3.29 (RBC perempuan normal: 3,8-5,8 (x106/ µL))

h. Hb : 10 g/dL (perempuan normal: 11,5 – 16,5 g/dL)

i. Hematokrit : 28.1% (perempuan normal: 37-47%)

j. MCV : 85.6 fl (normal: 76-98,0 fl)

k. MCH : 26.1 pg (normal: 27,0-32,0 pg)

l. MCHC : 30.5 g/dL(normal: 30-35 g/dL)

m. Trombosit : 353 (normal: 150-450 (x 103 / µL))

n. Kreatinin : 1.57 mg/dL (normal: 0,6-1 mg/dL)

o. Ureum : 167 mg/dL (normal: 6-20 mg/dL)

9. Hasil Pemeriksaan Rontgen thorax : Pneumonia dextra

10. Diagnosis Dokter

Pasien mengalami pneumonia

 Rencana Pengobatan

a) Azithromicin injeksi 1 x 500 mg iv


b) Ceftriaxon injeksi 2 x 1 gram iv

c) Methylprednisolon injeksi 2 x 125 mg

d) Paracetamol tablet 3 x 500 mg

e) Acetylcistein kapsul 3 x 200 mg

f) Ketosteril tablet 3 x 1 tablet

g) Pantoprazole injeksi 2 x 40 mg iv

h) Ondansetron tablet 2 x 8 mg

i) Flixotide inhalasi 2 mL tiap 8 jam

C. Rencana Farmasi berdasarkan metode SOAP

Masalah Terapi Saat ini Subjektif dan Assesment Plan


Objektif

Pneumonia Azitromicin Subjective : Terapi azitromicin Terapi dilakukan


injeksi • Sesak nafas injeksi perlu selama 7-10,
1 x 500 mg iv • Batuk sejak 2 dilanjutkan dengan diawali dengan
minggu yang terapi azitromisin setidaknya 2 hari
lalu 500 mg secara oral penggunaan iv
Objective : hingga 7-10 hari azitromicin 500 m
• Leukosit : dan dilanjutkan
15.000/mikroL dengan azitromicin
(normal : 4-11 oral 500 mg hingga
(x103/ µL)) 7-10 hari
• Neutrofil : pengobatan.
55.9% (Medscape)
(normal: 40-
Ceftriaxon injeksi Dosis ceftriaxone Dosis ceftriaxone
75%)
2 x 1 gram iv yang diberikan sebaiknya dikurangi
• Limfosit :
berlebih untuk menjadi 1 gram 1 x
29.0 %
pengobatan pasien sehari secara
(normal: 20-
dengan CAP. intravena. Dengan
45%)
terapi untuk CAP
• Monosit : 7.9 selama 7-14 hari
% (normal: pengobatan
2,0-5,0%) (Lutfiyya dkk,
• Eosinofil : 5.1 2016)
% (normal: Diagnosis and
1,0-6,0%) Treatment of CAP
• Basofil : 0.0 %
(normal: 0,0-
1,0%)
Methylprednisolon Dosis Pengobatan
• Eritrosit : 3.29
injeksi Methylprednisolon methylprednisolone
(RBC
2 x 125 mg yang diberikan untuk pasien CAP
perempuan
berlebih dan dengan umur >18
normal: 3,8-
sebaiknya tahun dilakukan
5,8 (x106/
dilakukan tapering selama 20 hari.
µL))
dose selama masa  7 hari pertama :
• Hb : 10 g/dL
pengobatan hingga 40 mg 1 x
(perempuan
selesai yaitu total sehari
normal: 11,5 –
20 hari terapi  7 hari kedua :
16,5 g/dL)
20 mg 1 x
• Hematokrit :
sehari
28.1%
 3 hari
(perempuan
selanjutnya : 12
normal: 37-
mg 1 x sehari
47%)
 3 hari diakhir :
• MCV : 85.6 fl
4 mg 1 x sehari
(normal: 76-
(Feldman and
98,0 fl)
Anderson, 2016)
• MCH : 26.1
Corticosteroid and
pg (normal:
CAP
27,0-32,0 pg)
• MCHC : 30.5
g/dL(normal:
30-35 g/dL)
• Trombosit :
353 (normal:
150-450 (x 103
/ µL))
• Kreatinin :
1.57 mg/dL
(normal: 0,6-1
mg/dL)
• Ureum : 167
mg/dL
(normal: 6-20
mg/dL)

Demam Paracetamol tablet Subjektif: Perlu terapi untuk Dosis dewasa: 325-
3 x 500 mg - mengobati demam 650 mg setiap 4-6
Objektif: pasien. jam atau 1000 mg,
Suhu tubuh Dosis paracetamol 3-4x/hari.
pasien: 39oC sudah sesuai untuk Maksimal dosis: 4
mengatasi demam g/hari (DIH, 2009).
pasien
Direkomendasikan
paracetamol tablet
500 mg PO, tiga
kali sehari bila perlu
(demam).

Paracetamol
diberikan hingga
suhu tubuh pasien
kembali normal.
Batuk Acetylcystein Subjektif: Perlu terapi untuk Direkomendasikan
kapsul 3 x 200 mg Batuk sejak 2 mengobati batuk Acetylcistein
minggu pasien. kapsul 200 mg PO,
Dosis 3 kali sehari
Objektif: Acetylcystein (MIMS, 2015).
- sudah sesuai untuk
mengatasi batuk
pasien

Profilaksis Pantoprazole Subjektive:- PPI (Pantoprazole) Dilakukan


stress 2 x 40 mg (IV) Objektive: dapat penggantian
peptic ulcer Leukosit : memperparah Pantoprazole
15.000/mikroL kondisi pneumonia dengan Ranitidine
(normal : 4-11 dengan cara dosis 3x50 mg (IV)
(x103/ µL)) memperbanyak karena resiko
jumlah koloni peningkatan koloni
bakteri yang dapat bakteri pada pasien
memperburuk pneumonia lebih
kondisi pasien rendah
(Fohl & Regal,
(Bashar et al., 2013;
2011);
DIH, 2009)
(Anandani, 2019).

Obat tanpa Ondansentron Subjective: - Ondansentron Penghilangan


indikasi 2x8 mg (PO) Objective: - tidak diperlukan ondansentron dari
karena tidak rencana terapi
adanya keluhan pasien
mual muntah dari
pasien

Obat tanpa Flixotide inhalasi Subjective : Terapi flixotide -


indikasi 2 ml tiap 8 jam • Sesak inhalasi 2 ml tidak
nafas perlu diberikan
karena
• Batuk meningkatkan (Sibila et al., 2013;
sejak 2 minggu risiko pneumonia. Restrepo et al.,
yang lalu Selain itu pada 2018).
kasus tidak
disebutkan bahwa
sesak dan batuk
yang dikeluhkan
pasien disebabkan
COPD

Penurunan Ketosteril tablet Subjective : - Terapi ketosteril Terapi ketosteril


fungsi 3x1 tablet tablet perlu diberikan dengan
Objective :
ginjal diberikan karena dosis 1 tablet 3 kali
Kreatinin :
berdasarkan data sehari setela makan
1.57 mg/dL
objektif pasien
(normal: 0,6-1 (Chen et al., 2012;
menunjukkan nilai
mg/dL) Wu et al., 2017).
kreatinin dan
Ureum : ureum melebihi
167 mg/dL normal. Pasien
(normal: 6-20 diasumsikan
mg/dL) mengalami
gangguan ginjal.
Ketosteril
diberikan sebagai
renoprotektif

D. Pembahasan
Pasien belum mendapatkan terapi pengobatan sebelum masuk ke rumah sakit.

Sehingga pasien memerlukan pengobatan. Gejala-gejala yang dialami pasien seperti sesak

napas dan batuk sejak 2 minggu, serta sejak 10 HSMRS pasien mengeluhkan demam dan
sesak napas merupakan beberapa gejala yang dialami oleh pasien pneumonia. Untuk

penegakan diagnosis dan pemilihan terapi yang tepat, perlu pemeriksaan lanjutan.

Pemeriksaan hematologi dan rontgen sudah dilakukan. Hasil pemeriksaan laboratorium

menunjukkan : Leukosit : 15.000/mikroL, Neutrofil : 55.9%, Limfosit : 29.0 %, Monosit

: 7.9 %, Eosinofil : 5.1 %, Basofil : 0.0 %. Eritrosit : 3.29. Hb : 10 g/dL. Hematokrit :

28.1%. MCV : 85.6 fl. MCH : 26.1 pg. MCHC :30.5 g/dL. Trombosit : 353. Kreatinin :

1.57 mg/dL. Ureum : 167 mg/dL. Hasil pemeriksaan rontgen thorax menunjukkan kesan

pneumonia dextra. Hal ini memperkuat diagnosis dari dokter yaitu pasien menderita

pneumonia. Pasien memerlukan terapi untuk pneumonia dan demam pasien.

Dari pemeriksaan rontgen thorax menunjukkan kesan pneumonia dextra, hasil

tersebut memperkuat diagnosis dokter yaitu pneumonia (Community-acquired

pneumonia/CAP). Oleh karena itu, penekanan pengobatan yang dipilih ditujukan pada

penyebab pneumonia yaitu bakteri. Tujuan pengobatan pneumonia adalah menyembuhkan

pneumonia, mencegah kekambuhan, komplikasi, dan kematian pasien. Secara garis besar,

pengobatan pneumonia adalah eradikasi bakteri penyebab pneumonia. Eradikasi tersebut

dapat dilakukan dengan terapi antibiotik yang sesuai.

Pasien merupakan seorang wanita dewasa, berusia 48 tahun. Setelah dokter sudah

mendiagnosis, maka dipilihkan terapi pneumonia (Community-acquired pneumonia)

untuk pasie. Terapi yang dipilih disesuaikan dengan guideline yaitu:

a. Terapi azitromicin injeksi 1 x 500 mg iv, kemudian perlu dilanjutkan dengan terapi

azitromisin 500 mg secara oral hingga 7-10 hari. Terapi dilakukan selama 7-10, diawali

dengan setidaknya 2 hari penggunaan iv azitromicin 500 m dan dilanjutkan dengan

azitromicin oral 500 mg hingga 7-10 hari pengobatan.

b. Ceftriaxone 1 gram, satu kali sehari secara intravena, dengan terapi untuk CAP selama

7-14 hari pengobatan (Lutfiyya dkk, 2016, Diagnosis and Treatment of CAP).
c. Pengobatan methylprednisolone untuk pasien CAP dengan umur >18 tahun dilakukan

selama 20 hari (Feldman and Anderson, 2016, Corticosteroid and CAP).

- 7 hari pertama : 40 mg 1 x sehari

- 7 hari kedua : 20 mg 1 x sehari

- 3 hari selanjutnya : 12 mg 1 x sehari

- 3 hari diakhir : 4 mg 1 x sehari

Kemudian untuk demam pasien, pasien diberi paracetamol tablet 500 mg PO, tiga

kali sehari selama pasien masih demam. Paracetamol diberikan hingga suhu tubuh pasien

kembali normal. Bila suhu tubuh pasien sudah kembali normal yaitu sekitar 36-37,5oC,

pemberian parasetamol dapat dihentikan. Sementara itu, untuk menangani keluhan batuk

yang dialami pasien, direkomendasikan Acetylcistein kapsul 200 mg PO, 3 kali sehari

diminum bersama dengan makanan. Acetylcysteine adalah obat golongan mukolitik yang

berfungsi untuk mengencerkan dahak yang menghalangi saluran pernapasan dan sekaligus

membantu untuk melancarkan saluran pernapasan.

Pada pasien pneumonia perlu adanya profilaksis untuk mencegah terjadinya stress

peptic ulcer. Stress peptic ulcer sering terjadi pada pasien rawat inap, begitu pula pada

pasien pneumonia. Profilaksis yang diresepkan oleh dokter adalah pantoprazole (IV) 2x40

mg. Pantoprazole adalah obat golongan Proton Pump Inhibitor (PPI). Ada beberapa

penelitian yang menyatakan bahwa PPI dapat meningkatkan risiko pneumonia. PPI

memang lebih efektif sebagai profilaksis stress peptic ulcer karena memiliki kemampuan

yang baik dalam meningkatkan pH dan menekan asam lambung, namun di samping itu

risiko pneumonia juga meningkat (Bashar et al., 2013). Hal ini dikarenakan peningkatan

pH dan penekanan asam lambung yang baik oleh PPI secara tidak langsung dapat

meningkatkan koloni bakteri di lambung, dimana dengan refluks esofagus dan aspirasi

isi lambung dapat menyebabkan kolonisasi bakteri pada saluran napas ataupun
pneumonia. Karena asam lambung mempunyai peranan penting dalam mengeliminasi

bakteri yang tertelan dari saluran cerna, sehingga jelas terlihat secara biologi bahwa

peningkatan pH lambung dapat menyebabkan peningkatan jumlah bakteri patogen dan

infeksi selanjutnya (Anandani, 2019). Karena pertimbangan tersebut, maka rencana

profilaksis diganti dengan Ranitidine 3x50 mg (IV). Hal ini dikarenakan risiko

peningkatan koloni bakteri pada pasien pneumonia lebih rendah (Bashar et al., 2013).

Ada satu obat yang mana pemberiannya tidak ada indikasi pada pasien yaitu Ondansentron

(PO) 2 x 8 mg. Dalam kasus ini pasien tidak mengeluhkan mual muntah sehingga terapi

Ondansentron (PO) 2 x 8 mg tidak diberikan kepada pasien.

Terapi flixotide inhalasi 2 ml tiap 8 jam tidak direkomendasikan dalam rencana

kefarmasian pasien. Terapi flixotide inhalasi 2 ml tidak perlu diberikan karena

meningkatkan risiko pneumonia. Selain itu pada kasus tidak disebutkan bahwa sesak dan

batuk yang dikeluhkan pasien disebabkan COPD (Sibila et al., 2013; Restrepo et al.,

2018). Selain itu, untuk terapi Ketosteril 3x 1 tablet diperlukan untuk mengembalikan nilai

normal serum keratin dan ureum. Terapi ketosteril tablet perlu diberikan karena

berdasarkan data objektif pasien menunjukkan nilai kreatinin dan ureum adalah Kreatinin:

1.57 mg/dL (normal: 0,6-1 mg/dL), dan Ureum: 167 mg/dL (normal: 6-20 mg/dL)

melebihi normal, sehingga perlu diberikan terapi profilaksis untuk mencegah terjadinya

gangguan ginjal. Ketosteril diberikan sebagai renoprotektif.

E. Parameter Pemantauan

a. Paracetamol

a) Parameter Efektifitas

Subjektif : Demam pasien hilang

Objektif : Suhu tubuh normal 36-37,5oC


b) Parameter Toksisitas :

Subjektif : mual, muntah, sakit kepala, insomnia

Objektif: Penurunan fungsi liver dilihat dari pemeriksaan enzyme yang

menentukan adanya kerusakan pada liver yaitu dilihat : SGPT/

SGOT. Kerusakan liver ringan maka peningkatan SGPT

menonjol sedangkan pada kerusakan lebih berat peningkatan

SGOT lebih menonjol. Nilai normal SGOT : <25 U/L

sedangkan untuk SGPT: <29 U/L

b. Acetylcysteine Kapsul

a) Parameter Efektifitas :

Subjektif : batuk teratasi, dahak mudah dikeluarkan

Objektif : -

b) Parameter Toksisitas :

Subjektif : mual, muntah, bronkospasme, bronkokonstriksi

Objektif : -

c. Azitromicin

a) Parameter Efektifitas :

Subjektif : Sesak nafas akibat pneumonia berkurang; Batuk berkurang; Suhu

tubuh kembali normal

Objektif : Suhu tubuh normal = 36°C; Leukosit normal 3500 – 10500 / µL

b) Parameter Toksisitas :

Subjektif : Mual muntah, pusing, lemas, nafsu makan menurun, diare, mulut

pahit

Objektif : -
d. Ceftriaxon

a) Parameter Efektifitas :

Subjektif : Sesak nafas akibat pneumonia berkurang; Batuk berkurang; Suhu

tubuh kembali normal

Objektif : Suhu tubuh normal = 36°C; Leukosit normal 3500 – 10500 / µL

b) Parameter Toksisitas :

Subjektif : mual muntah, diare, feses hitam, kelelahan lemas, sariawan

Objektif : -

e. Methylprednisolone

a) Parameter Efektifitas :

Subjektif : -

Objektif : -

b) Parameter Toksisitas :

Subjektif : Nyeri kepala, Mual muntah, Gelisah, Bengkak pergelangan kaki,

Kelemahan otot.

Objektif : -

f. Ranitidine

a) Parameter Efektifitas :

Subjektif : Tidak terjadi stress peptic ulcer, pneumonia pasien membaik

Objektif : Platelet count<50; INR>1,5; Leukosit kembali normal 4-11 (x103/

µL)

b) Parameter Toksisitas :

Subjektif : Sakit kepala, mual muntah, insomnia, nyeri perut, diare

Objektif : -
g. Ketosteril

a) Parameter Efektifitas :

Subjektif : -

Objektif : Kreatinin kembali normal (0,6-1 mg/dL), Ureum kembali normal

(6-20 mg/dL).

b) Parameter Toksisitas :

Subjektif : -

Objektif : Hiperkalsemia (normal: 8,8-10,4 mg/dL)

F. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)

a. Farmakologis

1. Paracetamol

 Indikasi :

Analgesik-antipiretik (menurunkan demam).

 Dosis

Dewasa: 325-650 mg setiap 4-6 jam atau 1000 mg, 3-4x/hari. Maksimal dosis:

4 g/hari

 Efek samping dan cara pengatasannya :

Efek samping dari obat ini jarang terjadi. Efek samping yang paling umum

adalah mual, muntah, sakit kepala dan insomnia. Efek samping lain yang

mungkin terjadi: rash di kulit, penurunan jumlah sel-sel darah, seperti sel darah

putih (leukopenia) atau trombosit, serta kerusakan pada hati dan ginjal jika

menggunakan obat ini secara berlebihan (nephrotoxicity with chronic

overdose). Obat ini dapat menyebabkan overdosis jika digunakan lebih dari 200

mg/kg, atau lebih dari 10 gram, dalam 24 jam. Efek samping obat ini jarang
terjadi, namun apabila mengalami gejala tersebut maka segera hubungi dokter

untuk diberikan terapi simptomatik atau terapi lebih lanjut jika diperlukan.

 Kategori Obat :

Paracetamol tergolong kategori B sehingga masih dapat digunakan untuk ibu

hamil.

 Instruksi penggunaan obat :

- Paracetamol dikonsumsi dengan dosis yaitu 500 mg PO, tiga kali sehari bila

perlu (demam).

- Cara penggunaan : Obat dapat diminum sebelum atau sesudah makan. Jangan

mengonsumsi paracetamol melebihi dosis yang ditentukan, terlalu banyak

mengonsumsi obat ini bisa merusak organ hati. Apabila melewatkan waktu

mengonsumsi paracetamol, jangan minum dua dosis sekaligus dengan maksud

menggantikannya.

 Kontraindikasi:

Parasetamol jangan diberikan kepada penderita hipersensitif/alergi terhadap

Paracetamol. Penderita gangguan fungsi hati berat.

 Perhatian

Harap berhati-hati bagi penderita gangguan ginjal, gangguan hati, malnutrisi,

dehidrasi, dan bagi orang yang sering mengonsumsi minuman keras (alkohol)

dalam jangka lama. Untuk orang dewasa, jangan mengonsumsi lebih dari 4

gram per 24 jam. Untuk anak-anak, pastikan dosis diberikan sesuai dengan

umur. Jika terjadi alergi atau overdosis, segera hubungi dokter.


 Penyimpanan :

Paracetamol disimpan dalam suhu ruang, didalam kotak obat atau didalam

toples yang terhindar dari cahaya matahari langsung dan jauh dari jangkauan

anak – anak.

2. Acetylcysteine

 Indikasi :

Gangguan pada saluran pernapasan yang dicirikan dengan adanya hipersekresi

yang kental dan lengket, seperti bronkitis, pneumonia.

Acetylcysteine adalah obat golongan mukolitik yang berfungsi untuk

mengencerkan dahak yang menghalangi saluran pernapasan dan sekaligus

membantu untuk melancarkan saluran pernapasan. Obat ini juga berkhasiat

sebagai anti radikal bebas dan antioksidan.

 Dosis

Dewasa: 600 miligram per hari sebagai dosis tunggal, atau dibagi menjadi tiga

dosis, 200 mg, 3 kali sehari.

 Efek samping dan cara pengatasannya :

Efek samping dari obat ini jarang terjadi. Efek samping yang paling umum

adalah mengantuk, mual, muntah, bronkospasme, bronkokonstriksi. Efek

samping obat ini jarang terjadi, namun apabila mengalami gejala tersebut maka

segera hubungi dokter untuk diberikan terapi simptomatik atau terapi lebih

lanjut jika diperlukan.

 Kategori Obat :

Tergolong kategori B sehingga masih dapat digunakan untuk ibu hamil.

 Instruksi penggunaan obat :

- Acetylcistein dikonsumsi dengan dosis yaitu 200 mg PO, tiga kali sehari.
- Cara penggunaan : Obat dapat diminum bersama makan. Kapsul acetylcysteine

sebaiknya langsung ditelan. Jangan mengunyah atau menghancurkan kapsul.

 Kontraindikasi:

Hipersensitivitas

 Perhatian:

Pasien dengan asma.

 Penyimpanan :

Acetylcystein disimpan dalam suhu ruang, didalam kotak obat atau didalam

toples yang terhindar dari cahaya matahari langsung dan jauh dari jangkauan

anak – anak.

3. Ranitidine

 Indikasi :

Digunakan untuk terapi profilaksis terjadinya stress peptic ulcer pada pasien

pneumonia

 Dosis

Dewasa:

50 mg tiap 6-8 jam (IV)

150 mg tiap 12 jam (PO)

 Efek samping dan cara pengatasannya :

Efek samping yang dapat terjadi adalah sakit kepala, mual muntah, insomnia,

nyeri perut, diare. Apabila terjadi efek samping di atas, pasien diberitahu untuk

segera menghubungi dokter

 Kategori Obat :

Ranitidine tergolong kategori B sehingga masih dapat digunakan untuk ibu

hamil.
 Instruksi penggunaan obat :

Ranitidine diinjeksikan tiap 8 jam dengan dosis 50 mg (untuk profilaksis stress

peptic ulcer)

 Kontraindikasi:

Ranitidine jangan diberikan kepada penderita porfiria akut dan hipersensitivitas

terhadap ranitidine.

 Perhatian

Bagi wanita hamil dan menyusui, sesuaikan dosis dengan anjuran dokter,

Konsultasikan dosis ranitidine untuk anak- anak dengan dokter,

Berhati- hati bagi penderita gangguan ginjal dan hepar.

 Penyimpanan :

Ranitidine disimpan dalam suhu ruang, didalam kotak obat atau didalam toples

yang terhindar dari cahaya matahari langsung dan jauh dari jangkauan anak –

anak.

4. Azitromisin

 Indikasi :

Digunakan untuk terapi utama antibiotik pada pasien pneumonia sebelum

masuk rumah sakit (CAP).

 Dosis

Dewasa:

500 mg 1x sehari PO, dilanjutkan 250 mg 1x sehari PO selama 4 hari, atau;

2 g tablet extended release suspensi PO 1x sehari, atau;

500 mg IV sebagai single dose selama 2 hari, dilanjutkan 500 mg PO 1x sehari

untuk melengkapi terapi antibiotic selama 7-10 hari.


 Efek samping dan cara pengatasannya :

Efek samping yang dapat terjadi adalah diare, mual sakit perut, dan loose stool.

Apabila terjadi efek samping di atas, pasien diberitahu untuk segera

menghubungi dokter.

 Kategori Obat :

Azitromisin tergolong kategori B sehingga masih dapat digunakan untuk ibu

hamil.

 Instruksi penggunaan obat :

Azitromisin diawali dengan 500 mg IV, setelah 2 hari lalu dilanjutkan dengan

terapi oral 500 mg 1x sehari untuk memenuhi kaidah terapi antibiotic selama 7-

10 hari.

 Kontraindikasi:

Azitromisin jangan diberikan kepada pasien hipersenditivitas, mempunyai

riwayat cholestatic jaundice atau kerusakan hati dikarenakan penggunaan

azitromisin.

 Perhatian

Bagi wanita hamil dan menyusui, sesuaikan dosis dengan anjuran dokter,

Konsultasikan dosis azitromisin untuk anak- anak dengan dokter,

Berhati- hati bagi penderita gangguan ginjal dan hepar.

 Penyimpanan :

Azitromisin disimpan dalam suhu ruang, didalam kotak obat atau didalam

toples yang terhindar dari cahaya matahari langsung dan jauh dari jangkauan

anak – anak.
5. Ceftriaxone

 Indikasi :

Digunakan untuk terapi utama antibiotik pada pasien pneumonia sebelum

masuk rumah sakit (CAP).

 Dosis

Dewasa:

1 g IV setiap 24 jam.

 Efek samping dan cara pengatasannya :

Efek samping yang dapat terjadi adalah nyeri tenggorokan, nyeri perut, mual,

muntah, diare, feses hitam. Apabila terjadi efek samping di atas, pasien

diberitahu untuk segera menghubungi dokter

 Kategori Obat :

Ceftriaxon tergolong kategori B sehingga masih dapat digunakan untuk ibu

hamil.

 Instruksi penggunaan obat :

Ceftriaxon diinjeksikan tiap 24 jam dengan dosis 1 g.

 Kontraindikasi:

Ranitidine jangan diberikan kepada penderita porfiria akut dan hipersensitivitas

terhadap ranitidine.

 Perhatian

Bagi wanita hamil dan menyusui, sesuaikan dosis dengan anjuran dokter,

Konsultasikan dosis ceftriaxon untuk anak- anak dengan dokter,

Berhati- hati bagi penderita gangguan ginjal, hepar, pencernaan (misal colitis)

serta penyakit kantong empedu.


 Penyimpanan :

Ranitidine disimpan dalam suhu ruang, didalam kotak obat atau didalam toples

yang terhindar dari cahaya matahari langsung dan jauh dari jangkauan anak –

anak.

6. Metilprednisolon

 Indikasi :

Digunakan untuk terapi profilaksis dan selama pasien sedang menjalankan

terapi untuk pneumonia yang dideritanya serta agar memperkecil terjadinya

mortalitas

 Dosis

Dewasa: 40 mg 1 x sehari dalam waktu 20 hari terapi sambil melakukan

tappering dose

 Efek samping dan cara pengatasannya :

Efek samping yang dapat terjadi adalah nyeri kepala, mual muntah, gelisah,

bengkak pergelangan kaki, kelemahan otot. Apabila terjadi efek samping di

atas, pasien diberitahu untuk segera menghubungi dokter

 Kategori Obat :

Methylprednisolon tergolong kategori C sehingga tidak dapat digunakan bagi

ibu hamil dan menyusui

 Instruksi penggunaan obat :

Obat diberikan secara Injeksi diawal mulai dari

40 mg 7 hari pertama

20 mg 7 hari kedua

12 mg 3 hari

3 hari terakhir 4 mg
semua diberikan 1 x sehari

 Kontraindikasi:

Methylprednisolone kontraindikasi pada berbagai keadaan seperti adanya

riwayat hipersensitivitas terhadap obat ini atau komponennya, serta pada pasien

dengan infeksi fungal sistemik.

 Perhatian

Hindari menggunakan obat ini jika Anda sedang menderita infeksi jamur. Harap

berhati-hati menggunakan obat ini jika Anda sedang menderita diabetes,

hipertensi, penyakit ginjal, penyakit hati, penyakit

jantung, osteoporosis, hipotiroidisme, glaukoma, katarak, dan TBC. Beri tahu

dokter jika Anda pernah menderita peradangan usus, gangguan pembekuan

darah, depresi, psikosis, dan kejang. Hindari melakukan vaksinasi selama Anda

menjalani pengobatan dengan methylprednisolone. Beberapa jenis vaksin,

seperti vaksin MMR, vaksin polio, dan vaksin influenza, dapat berkurang

efektivitasnya selama Anda mengonsumsi obat ini. Beri tahu dokter jika akan

menjalani operasi dalam waktu dekat. Dokter dapat menyesuaikan dosis

methylprednisolone hingga meminta Anda untuk menghentikan konsumsi

methylprednisolone untuk sementara. Jika terjadi reaksi alergi atau overdosis,

segera hubungi dokter.

 Penyimpanan :

Methylprednisolon disimpan dalam suhu ruang, didalam kotak obat atau

didalam toples yang terhindar dari cahaya matahari langsung dan jauh dari

jangkauan anak – anak.


7. Ketosteril

 Indikasi :

Digunakan sebagai renoprotektif dalam pencegahan dan pengobatan kerusakan

yang disebabkan oleh kelebihan atau defisiensi metabolism protein pada

penyakit gagal ginjal kronik

 Dosis

Dewasa:

3 x sehari 1 tablet setelah makan

 Efek samping dan cara pengatasannya :

Efek samping yang dapat terjadi adalah Hiperkalsemia. Oleh karena itu

diperlukan adanya monitoring terhadap kadar kalsium di dalam darah. Apabila

terjadi efek samping di atas, pasien diberitahu untuk segera menghubungi

dokter.

 Kategori Obat :

Ketosteril tergolong kategori C sehingga masih dapat digunakan untuk ibu

hamil.

 Instruksi penggunaan obat :

Direkomendasikan 1 tablet PO, 3 kali sehari setelah makan. Tablet tidak boleh

dikunyah

 Kontraindikasi:

Hiperkalsemia, gangguan metabolisme asam amino, hamil, anak.

 Penyimpanan :

Hindari penyimpanan pada suhu diatas 30°C.


b. Non Farmakologis

1. Penggunaan obat

1. Obat paracetamol dapat dihentikan bila suhu tubuh pasien telah normal.

2. Penggunaan obat antibiotic secara i.v/i.m dilakukan oleh tenaga medis di rumah

sakit sesuai dengan durasi terapi untuk menghindari resistensi antibiotik.

2. Efek samping

Keluarga dan tenaga medis memantau terjadinya efek alergi pada pasien akibat

penggunaan antibiotik.

3. Pemantauan kondisi pasien

Keluarga pasien diminta mengamati sputum dari batuk pasien (warna dan intensitas

keluarnya). Bila perlu dibuat kultur sputum untuk memastikan bakteri pengeinfeksi

yang dapat dilakukan oleh tenaga medis

4. Life style

1. Pasien perlu istirahat yang cukup

2. Hidrasi untuk membantu mengencerkan sekresi

3. Mengonsumsi makanan kaya kalori contohnya : kacang, alpukat dll

4. Setelah Meninggalkan Rumah Sakit, keluarga pasien diminta menjaga

kebersihan diri pasien dan lingkungan (ventilasi udara dan cahaya juga dijaga)

5. Melakukan Teknik nafas dalam untuk meningkatkan ventilasi alveolus

G. Kesimpulan dan Saran

i. Kesimpulan

- Terapi kombinasi antibiotik azitromisin dan ceftriaxone. Azitromisin diberikan

dalam bentuk IV pada 2 hari awal lalu dilanjutkan oral, sedangkan ceftriaxone
diberikan secara IV selama 7-14 hari dengan monitoring ketat untuk mengetahui

durasi terapi antibiotic yang sesuai dengan kondisi pasien.

- Metilprednisolon diberikan untuk membantu terapi kombinasi antibiotic.

Secara EBM, metilprednisolon terbukti dapat memberikan manfaat yang

dibutuhkan oleh pasien dan dapat memperbaiki kualitas hidup pasien.

Sebaiknya obat steroid diberikan secara tappering dose untuk menghindari

terjadinya syok anafilaksis.

- Parasetamol digunakan untuk mengatasi demam dan Asetilsistein untuk

mengatasi batuk pada pasien. Dosis yang diberikan sudah sesuai.

- Pantoprazole diketahui dapat memperburuk kondisi pasien pneumonia,

direkomendasikan menggunakan Antagonis H2 Histamin yaitu Ranitidine

dengan dosis 3x 50 mg secara IV yang lebih aman.

- Ketosteril diberikan untuk memperbaiki nilai serum kreatinin dan ureum pasien,

agar kedepannya pasien tidak mengalami komplikasi gagal ginjal kronik.

- Ondansetron dan Flixotide tidak direkomendasikan kepada pasien karena belum

ada indikasi yang pasti dan jelas.

ii. Saran

- Dilakukan pemantauan terapi obat (PTO) pada pasien selama rawat inap untuk

menghindari kejadian tak terduga.

- Apoteker diharapkan melalukan evaluasi dan follow up terapi sebelum pasien

meninggalkan rumah sakit.

- Pasien dihimbau untuk tetap menjalankan terapi rawat jalan secara teratur dan

juga menjalankan terapi non farmakologi untuk memperbaiki kualitas hidup

pasien. Jadwal control pasien sangat disarankan.


H. Daftar Pustaka

Aberg, J.A., Lacy,C.F, Amstrong, L.L, Goldman, M.P, and Lance, L.L., 2009, Drug

Information Handbook, 17th edition, Lexi-Comp for the American Pharmacists

Association.

Anandani, A., 2018, Pencegahan Ventilator-Associated Pneumonia Dengan Pemberian

Profilaksis Stress Ulcers, The Indonesian Journal of Infectious Disease, Semarang.

Anonim, Tanpa Tahun, Medscape, dapat diakses melalui Medscape.com

Bashar, F.R., Manuchehrian, N., Mahmoudabadi, M., Hajiesmaeili, M.R., & Torabian, S.,

2013, Effects of Ranitidine and Pantoprazole on VentilatorAssociated Pneumonia:

A Randomized Double-Blind Clinical Trial, National Research Institute of

Tuberculosis and Lung Disease, Iran.

DiPiro, J. T., Wells, B. G., Schwinghammer, T. L., dan DiPiro, C. V., 2015,

Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edition, United States.

Feldman and Anderson, 2016, Corticosteroids in the adjunctive therapy of CAP : an

appraisal of recent meta analuses of clinical trials, Journal of thoracic disease.

Fohl, A.L., & Regal, R.E., 2011, Proton pump inhibitor-associated pneumonia: Not a

breath of fresh air after all?, World J Gastrointest Pharmacol Therapy, US.

ISO, 2013, Informasi Spesialite Obat (ISO) Indonesia, Vol. 48, Isfi Penerbitan, Jakarta.

Jayanti, dkk., 2016, Patofisiologi dan farmakoterapi pneumonia, Universitas Indonesia

Timur, Makassar.

Juven, T., Ruuskanen, O. dan Jussi, M., 2003, Symptoms and Signs of Community-

Acquired Pneumonia in Children, Scand J Prim Helath Care, 21 (1), 52-56.

Lutfyya Nawal, dkk, 2016, Diagnosis and treatment of CAP.

MIMS, 2015, MIMS Petunjuk Konsultasi, Edisi 15, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
Misnadiarly, 2008, Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak, Orang Dewasa,

Usia Lanjut, Pustaka Obor Populer, Jakarta.

Rasyid, Z., 2013, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumona Anak

Balita di RSUD Bangkinang Kabupaten Kampar, Jurnal Kesehatan Komunitas, 2

(3), 136-140.

Sari, E., Rumende, C. dan Harimurti, K., 2016, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan

Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut, Jurnal Penyakit Dalam Indonesia,

4 (3).

Saydam, Gouzali, 2011, Memahami Berbagai Penyakit: Pernapasan dan Gangguan

Pencernaan, CV. Alfabeta, Bandung.

Ward, dkk, 2006, At a Glance : Sistem Respirasi, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Wells, B. G., DiPiro, J. T., Schwinghammer, T. L., and DiPiro, C. V., 2015,

Pharmacotherapy Handbook, 9th Edition, McGraw-Hill Education, US.

Williams, Lippincott, 2011, Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit, PT. Indeks,

Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai