https://doi.org/10.32315/sem.1.a419
1,2,3
Dosen Tetap Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Aceh
Korespondensi: cutazmah@unimal.ac.id
Abstrak
Kota Lhokseumawe merupakan salah satu kota di Aceh yang memiliki bangunan bersejarah. Pada
masa penjajahan Belanda ada beberapa bangunan yang berdiri di masanya seperti rumah sakit,
kantor, benteng, stasiun kereta api, bioskop dan perumahan. Bangunan bersejarah tersebut tidak
terekspos karena saat itu kota Lhokseumawe merupakan ibukota dari Kabupaten Aceh Utara.
Bangunan bersejarah yang terekspos adalah makam-makam peninggalan kerajaan Pasai yang
terkenal. Perlu dilakukan pelestarian bangunan bersejarah untuk melindungi, merawat dan
memanfaatkan kembali bangunan tersebut. Dalam kajian ini ada empat bangunan bersejarah yang
akan dikaji yaitu Rumah Sakit, Stasuin kereta Api, Rumah Dinas Manteri Hewan dan Bioskop Puspa.
Beberapa bangunan sudah berubah fungsi, ada bangunan yang masih terawat, dan ada yang sudah
tidak terawat lagi.
Pendahuluan
Bangunan bersejarah merupakan peninggalan dan hasil karya dari orang-orang yang pernah
tinggal/menetap di suatu tempat. Mereka membangun dengan menggunakan metode struktur
sederhana. Bukan saja bangunan yang direncanakan pada masa itu, tetapi ada peninggalan lain
seperti jembatan, makam, patung, dan kawasan. Bangunan berdiri tegak dengan menggunakan
material yang sederhana berasal dari daerah sendiri.
Kota Lhokseumawe merupakan kawasan pesisir yang pada zaman dahulu merupakan tempat
persinggahan pedagang dari Cina, Arab, Eropah dan Hindia. Sekitar tahun 670-an Kota
Lhokseumawe mempunyai pelabuhan tempat bersandarnya kapal-kapal pendatang. Pelabuhan
Lhokseumawe telah menjadi pelabuhan hubungan utama di kawasan ini selama lebih dari 150 tahun
sebelum fungsi ini diambil alih oleh Pelabuhan Pulau Pinang pada tahun 1790-an dan kemudian oleh
Pelabuhan Singapura pada tahun 1820-an. Pada akhir masa penjajahan Belanda pada tahun 1904
ada beberapa bangunan masih berdiri sampai saat ini, seperti rumah sakit, kantor, benteng, goa,
stasiun kereta api, bioskop dan perumahan.
Bangunan bersejarah tersebut tidak terekspos karena saat itu kota Lhokseumawe merupakan
ibukota dari Kabupaten Aceh Utara. Saat itu yang terekspos bangunan bersejarah adalah makam-
makam peninggalan kerajaan Pasai yang terkenal. Kawasan makam-makam ini direnovasi dan
dijadikan tempat wisata sejarah, dapat dikunjungi oleh masyarakat Aceh maupun masyarakat luar.
Pada tahun 2001 Kabupaten Aceh Utara melakukan pemekaran, Kabupaten Aceh Utara beribukota
Lhoksukon sedangkan Kota Lhokseumawe beribukota Lhokseumawe. Pada saat itu masih belum
terekam peninggalan bersejarah di Kota Lhokseumawe. Sementara peninggalan bersejarah seperti
makam-makam raja Kerajaan Pasai masih terpelihara baik pada masyarakat aceh dan luar Aceh.
Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon, Universitas Indraprasta, Universitas Trisakti Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | A 419
ISBN 978-602-17090-5-4 E-ISBN 978-602-17090-4-7
Pelestarian Bangunan Bersejarah di Kota Lhokseumawe
Pada tahun 2013 bangunan-bangunan bersejarah di Kota Lhokseumawe mulai di kenal satu persatu
keberadaannya. Kondisi bangunan ada yang sudah rusak, sebagian ruang ada yang sudah musnah,
tetapi ada beberapa bangunan yang masih di pakai dan dirawat.
Tinjauan Pustaka
Pelestarian adalah upaya untuk melestarikan dan melindungi bangunan bersejarah yang bertujuan
untuk memahami masa lalu dan memperkaya masa kini sehingga bermanfaat bagi perkembangan
kota dan generasi masa datang melalui penerapan berbagai metode pelestarian (Antariksa 2016:82).
Sedangkan pelestarian menurut Undang-Undang Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010, pelestarian
adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara
melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan. Tujuan dan arah pelestarian menurut Budihardjo
dalam Pontoh (1992: 37) yaitu antara lain:
Dalam pelestarian bangunan lama,perlu dilakukan kajian dengan cara menentukan kriteria penilaian
menurut Fuady (1999: 22) kriteria penilaian pelestarian ialah:
a. Peran sejarah, berkaitan dengan peristiwa bersejarah sebagai ikatan simbolis dulu dan
sekarang,baik yang terkait dengan perjuangan 1945, sejarah perkembangan kawasan, maupun
sejarah perkembangan kota;
b. Keluarbiasaan, terkait dengan kekhususan atau keunikan yang dimiliki objek pelestarian
dibandingkan dengan objek disekitarnya berdasarkan unsur-unsur seperti terlangka, tertua,
terbesar, terpanjang, pertama dan sejenisnya;
c. Memperkuat citra, berkaitan dengan peran kehadiran objek pelestarian yang dapat meningkatkan
citra dan kualitas kawasan, atau bangunan menjadi acuan bagi warga kota atau sebagai tetenger
kawasan;
d. Estetika, berkaitan dengan nilai estetika dan arsitektural dalam hal bentuk, struktur, tata ruang,
dan ornamen;
e. Keaslian, terakit dengan seberapa besar perubahan yang terjadi terhadap bentuk asli bangunan,
fasade, warna dan atap bangunan;
f. Keterawatan terkait dengan kondisi bangunan yang ditempati dalam keadaan terawat,
kosong/tidak ditempati namun kondisinya baik, ataupun rusak dan terabaikan.
Menurut Nurmala (2003:78) dasar-dasar pertimbangan objek pelestarian dalam bentuk non fisik
yaitu:
a. Ekonomi, keberadaan bangunan tua/bersejarah dengan kondisi yng baik akan menjadi daya tarik
bagi para wisatawan dan investor untuk mengembangkannya sehingga dapat digali potensi
ekonominya;
b. Sosial dan budaya, bangunan tua/sejarah tersebut memiliki nilai agama dan spiritual, memiliki
nilai budaya dan tradisi yang penting bagi masyarakat.
Pada Undang-Undang Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010 bab III pasal 5 menjelaskan tentang kriteria
cagar budya yang meliputi benda, bangunan, dan struktur yang memnuhi kriteria sbb:
a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;
c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan;
d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Bangunan bersejarah yang masih bertahan di Kota Lhokseumawe peninggalan penjajahan Belanda
masih berdiri sampai sekarang sbb:
a. Rumah Sakit (1935), sejak tahun 1959 s/d sekarang berfungsi sebagai sekolah SMP Negeri I
milik DISDIKPORA;
b. Stasiun Kereta Api (1930), sejak 1951 s/d sekarang menjadi Kantor Pos Taktis Sispam milik
POLRES Aceh Utara;
c. Rumah Dinas Dokter Hewan (1929), sejak tahun 1963 s/d sekarang merupakan rumah tinggal,
kepemilikan pribadi;
d. Bioskop Puspa (1963), sejak 1993 bangunan ini tidak difungsikan lagi, kepemilikan pribadi.
Oleh karena itu pelestarian bangunan bersejarah di Kota Lhokseumawe akan diuraikan melalui
kriteria penilaian pelestarian untuk melihat keadaan bangunan bersejarah yang sebenarnya.
Metode Penelitian
Penelitian ini memakai ragam penelitian rasionalistik dengan pendekatan kualitatif, (Moehadjir
1989:) sebuah metode yang dilakukan dengan cara peneliti bertindak sebagai instrumen utama.
Analisis mengacu pada landasan teori serta bertolak dari kerangka teoritik. Metode yang digunakan
adalah observasi dan metode survai. Cara yang digunakan dalam memperoleh data adalah: (1)
telaah pustaka, (2) penelitian lapangan melalui wawancara verbal. Variabel yang dipakai berupa
variabel kendali dimana aspek yang berkaitan dengan data dilandasi oleh teori yang dipakai.
Variabel yang digunakan pada pelestarian bangunan bersejarah di Kota Lhokseumawe terkait
dengan kriteria penilaian pelestarian sebagai berikut:
Pembahasan
Hasil dari penelitian penelusuran bangunan bersejarah di Kota Lhokseumawe bahwasanya bangunan
bersejarah masih berdiri tegak dengan kondisi yang sudah rusak, kurang terawat, masih berfungsi
dan terawat dan akan dijelaskan dengan menggunakan kriteria penilaian pelestarian.
Dalam penelitian ini akan dibahas empat bangunan bersejarah dengan penilaian kondisi sebagai
berikut:
a. Rumah Sakit kondisinya terawat;
b. Stasiun Kereta Api kondisinya terawat;
c. Rumah Dinas Dokter Hewan kondisinya kurang terawat;
d. Bioskop Puspa kondisinya tidak terawat.
1. Rumah Sakit
Gambar 1. Tampak Depan Bangunan Rumah Sakit, sekarang menjadi Gedung Sekolah SMP Negeri I
Lhokseumawe
Gambar 2. Salah satu Sudut Koridor Bangunan masih terawat dengan baik, bukaan (pintu dan jendela) pada
bangunan masih bentuk yang lama hanya warna dinding sudah diganti.
Luas bangunan rumah dinas ini adalah 80 m2. Fungsi bangunan rumah ini berubah seiring dengan
pergantian kepemilikan rumah. Fungsi bangunan rumah dari masa ke masaTahun sebelum 60-an
- Pada awal kepemilikan rumah merupakan Rumah Dinas Manteri hewan Belanda, dan berfungsi
sebagai rumah tinggal dari Manteri hewan tersebut. Tahun 1960-1963
Keluarbiasaan Salah satu bangunan rumah tinggal yang Keunikan langgam arsitektur
menggunakan struktur dan langgam kolonial yang membedakan
2
arsitektur kolonial. dengan rumah-rumah di
kawasan tersebut.
Memperkuat Citra Bangunan ini berada di samping Hanya bagian dari bangunan
3
bangunan eks rumah sakit. eks rumah sakit
Estetika Bentuk, struktur, langgam
4 Penggunaan struktur dan langgam arsitektur kolonial menjadi ciri
arsitektur kolonial. khas dari bangunan.
Keaslian Bentuk denah bangunan ini mengalami Mengalami perubahan pada
perubahan pada bagian belakang (ruang bagian belakang gedung
5
bagian belakang) dinding kamar mandi
sudah tidak ada.
Keterawatan Hanya bagian depan yang terawat, pada Terawat sebagian,
6
bagian belakang sudah ada yang rusak sebagiannya lagi rusak
4. Bioskop Puspa
Kesimpulan
Dari hasil analisa dapat disimpulkan bahwa pelestarian yang dilakukan pada bangunan Rumah Sakit
dan Stasiun Kereta Api hanya merawat dengan cara pengecatan dan mengganti material yang
rusak,Perawatan ini dilakukan oleh DisdikPORA Kota Lhokseumawe dan POLRES Aceh Utara. Rumah
Dinas Manteri Hewan kurang perawatan karena pemiliknya berada di luar daerah dan Bioskop Puspa
sudah tidak terawat lagi karena pemiliknya juga di luar daerah. Tulisan ini merupakan awal
pendataan dari empat bangunan bersejarah di Kota Lhokseumawe, diharapkan untuk penelitian ke
depan dapat merangkum dan mendata seluruh bangunan bersejarah yang ada di Kota
Lhokseumawe.
Daftar Pustaka
Antariksa. (2016). Teori dan Metode Pelestarian Kawasan Pecinan. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka
Arikunto, S. (2002). Prosedur Suatu Penelitian: Pendekatan Praktek. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
Fuady, M. (1999). Peremajaan Kawasan Segi Empat Tunjungan, Tesis. Tidak dipublikasikan. Surabaya: ITS
[dalam pembahasan ditulis: Fuady]
Muhadjir, N. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin
Nurmala. (2003). Panduan Pelestarian Bangunan Tua/ Bersejarah di Kawasan Pecinan Pasar Baru, Bandung.
Tugas Akhir Tidak Dipublikasikan. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Pontoh, N.K. (1992). Preservasi dan Konsentrasi Suatu Tinjauan Teori. Jurnal PWK IV (6): 34-39
Undang-Undang Cagar Budaya No.11 Tahun 2010