Bab 1 Pendahuluan
Bab 1 Pendahuluan
PENDAHULUAN
1
perubahan ekologi dan lingkungan, kemajuan IPTEK, serta globalisasi dan
demokratisasi dengan semangat kemitraan dan kerjasama lintas sektoral.
Berbagai studi menunjukkan bahwa tenaga kesehatan merupakan kunci
utama dalam keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan kesehatan. Tenaga
kesehatan memberikan kontribusi hingga 80% dalam keberhasilan
pembangunan kesehatan. Dalam laporan WHO tahun 2006, Indonesia
termasuk salah satu dari 57 negara yang menghadapi krisis SDM kesehatan,
baik jumlahnya yang kurang maupun distribusinya.
Menghadapi era globalisasi, adanya suatu Rencana Pengembangan Tenaga
Kesehatan yang menyeluruh sangat diperlukan. Di era globalisasi berarti
terbukanya negara-negara di dunia bagi produk-produk baik barang maupun
jasa yang datang dari negara manapun dan mau tidak mau harus dihadapi. Di
bidang kesehatan, Indonesia mengupayakan dalam kepentingan perdagangan
internasional jasa melalui WTO (World Trade Organization), CAFTA (China-
ASEAN Free Trade Agreement), AFAS (ASEAN Framework Agreement on
Services) dan perjanjian bilateral. Salah satu moda dalam pasokan
perdagangan jasa internasional adalah migrasi sumber daya manusia. Dalam
hubungan ini, melalui Sidang Umum Kesehatan Sedunia Tahun 2010,
Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) telah mengadopsi Global Code of
Practice on the International Recruitment of Health Personnel. Walaupun
bersifat sukarela, Indonesia sebagai negara anggota WHO, perlu ikut
mendukung dan melaksanakan prinsip-prinsip dan rekomendasi Global Code
dalam migrasi internasional tenaga kesehatan. Semua ini perlu dapat
diakomodasikan dalam Rencana Pengembangan Tenaga Kesehatan.
2
1.2. Tujuan Penulisan
Rencana Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2011 - 2025
merupakan rencana jangka panjang dengan maksud memberikan arah dan
acuan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam pengembangan dan
pemberdayaan tenaga kesehatan secara komprehensif dan menyeluruh.
Tujuan disusunnya Rencana Pengembangan Tenaga Kesehatan
Tahun 2011 - 2025 adalah untuk mewujudkan sinergisme dan upaya yang
saling mendukung serta melengkapi antara pemerintah dan masyarakat
termasuk swasta yang memiliki kepentingan terhadap pengembangan
tenaga kesehatan.
3
BAB 2
PEMBAHASAN
4
menular serta meningkatnya penyalahgunaan narkotik dan obat-obat
terlarang.
Dalam kaitannya dengan tantangan tersebut diatas dan mengantisipasi
pelaksanaan SKN sebagai pengelolaan kesehatan, isu satrategis yang
dihadapi pembangunan kesehatan dewasa ini dan dimasa depan adalah: 1)
Dalam perubahan epidemiologis dan demografi, tampak derajat kesehatan
masyarakat pada umumnya masih rendah, 2) Mutu, pemerataan dan
keterjangkauan upaya kesehatan belum optimal. Perhatian pada masyarakat
miskin, rentan, dan beresiko tinggi masih kurang memadai, 3) Penelitian
dan pengembangan kesehatan belum sepenuhnya menunjang pembangunan
kesehatan, 4) Penggalian pembiayaan masih terbatas dan pengalokasian
serta pembelanjaan pembiayaan kesehatan masih kurang tepat, 5)
Pemerataan dan mutu sumber daya manusia kesehatan belum sepenuhnya
menunjang penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Perencanaan,
pengadaan, pendayagunaan serta pembinaan dan pengawasan mutu sumber
daya manusia kesehatan pada umumnya masih terbatas kemampuannya, 6)
Ketersediaan, keamanan, manfaat, dan mutu sumber daya obat, serta
keterjangkauan, pemerataan, dan mudahnya diakses masyarakat umumnya
masih kurang, 7) Manajemen/ administrasi, informasi, dan hukum kesehatan
masih kurang memadai, 8) Pemberdayaan masyarakat dalam bentuk
pelayanan, advokasi kesehatan serta pengawasan sosial dalam pembangunan
kesehatan belum banyak dilaksanakan, dan 9) Berbagai lingkungan strategis
yang terkait masih kurang mendukung pembangunan kesehatan.
5
Rasio tenaga kesehatan per 100.000 penduduk belum memenuhi
target yang ditetapkan sampai dengan tahun 2010. Sampai dengan
tahun 2008, rasio tenaga kesehatan untuk dokter spesialis per 100.000
penduduk adalah sebesar 7,73 dibanding target 9; dokter umum 26,3
dibanding target 30; dokter gigi 7,7 dibanding target 11; perawat 157,75
dibanding target 158; dan bidan 43,75 dibanding target 75.
Dari pendataan tenaga kesehatan pada tahun 2010, ketersediaan
tenaga kesehatan di rumah sakit milik pemerintah (Kementerian
Kesehatan dan Pemerintah Daerah), telah tersedia 7.336 dokter
spesialis, 6.180 dokter umum, 1.660 dokter gigi, 68.835 perawat/bidan,
2.787 S-1 Farmasi/Apoteker, 1.656 asisten apoteker, 1.956 tenaga
kesehatan masyarakat, 4.221 sanitarian, 2.703 tenaga gizi, 1.598 tenaga
keterapian fisik, dan 6.680 tenaga keteknisian medis.
2.2.2 Pengadaan / Pendidikan Tenaga Kesehatan
Pengembangan sistem pendidikan tenaga kesehatan adalah untuk
membentuk keahlian dan keterampilan tenaga kesehatan di bidang-
bidang teknologi yang strategis serta mengantisipasi timbulnya
kesenjangan keahlian sebagai akibat kemajuan teknologi.
Pengembangan sistem pendidikan tenaga kesehatan tidak terlepas dari
sistem pendidikan nasional.
Pengembangan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung
jawab Kementerian Pendidikan Nasional, namun pembinaan teknis
pendidikan tenaga kesehatan merupakan kewenangan Kementerian
Kesehatan. Dalam upaya pengembangan sistem pendidikan tenaga
kesehatan, maka perlu perpaduan antara Kementerian Pendidikan
Nasional dan Kementerian Kesehatan. Pada era otonomi daerah
diterbitkan beberapa keputusan-keputusan antara lain, Keputusan
Mendiknas No. 234 Tahun 2000 tentang Pedoman Pendidikan Tinggi
dan Peraturan Menkes No. 1192 Tahun 2004 tentang Pendirian
Diploma Bidang Kesehatan dapat diselenggarakan berdasarkan ijin dari
Menteri Pendidikan Nasional setelah mendapat rekomendasi dari
Menkes Republik Indonesia.
6
Perkembangan institusi pendidikan tenaga kesehatan cukup tinggi.
Jenjang pendidikan yang besar pertumbuhannya adalah jenjang
pendidikan D3 dan S1. Berikut ini adalah perkembangan program studi
di bidang kesehatan dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008.
7
2. Health Service Demand, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan
yang didasarkan atas permintaan akibat beban pelayanan kesehatan.
3. Health Service Target Method yaitu perencanaan kebutuhan tenaga
kesehatan yang didasarkan atas sarana pelayanan kesehatan yang ditetapkan,
misalnya Puskesmas, dan Rumah Sakit.
4. Ratios Method, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang
didasarkan pada standar/rasio terhadap nilai tertentu.
Dalam prakteknya di Departemen Kesehatan lebih banyak menggunakan
Ratios Method dengan proses perhitungan sebagai berikut:
1. Menentukan/memperkirakan rasio terhadap suatu nilai, misalnya rasio
tenaga kesehatan dengan penduduk, dengan jumlah tempat tidur RS, dengan
Puskesmas,
2. Membuat proyeksi nilai tersebut kedalam sasaran/ target tertentu,
3. Menghitung perkiraan, yaitu dengan cara membagi nilai proyeksi
dengan rasio. Contoh, ratio tenaga kesehatan: tempat tidur di RS, di
Indonesia, misalnya 1:5000, di India 1: 2000, di Amerika 1:500 (Suseno,
2005)
Dari analisis perencanaan kebutuhan tenaga, secara umum dapat
dikatakan tenaga kesehatan di Indonesia baik dari segi jumlah, jenis,
kualifikasi, dan mutu dan penyebarannya masih belum memadai. Beberapa
jenis tenaga kesehatan yang baru masih diperlukan pengaturannya.
Beberapa jenis tenaga kesehatan masih tergolong langka, dalam arti
kebutuhannya besar tetapi jumlah tenaganya kurang karena jumlah institusi
pendidikannya terbatas dan kurang diminati.
8
3. Kompetensi tenaga kesehatan kurang sesuai dengan kebutuhan
pelayanan kesehatan
4. Pengembangan karir kurang berjalan dengan baik
5. Standar profesi tenaga kesehatan belum terumuskan dengan lengkap
6. Sistem penghargaan dan sanksi tidak berjalan dengan semestinya.
Dalam hal pendayagunaan dan penempatan tenaga dokter tercatat paling
tidak tiga periode perkenmbangan kebijakan. Pada periode tahun 1974-
1992, tenaga medis harus melaksanakan kewajiban sebagai tenaga Inpres,
diangkat sebagai PNS dengan golongan kepangkatan III A atau dapat
ditugaskan sebagai tenaga medis di ABRI. Masa bakti untuk PNS Inpres
selama 5 tahun di Jawa, dan 3 tahun di luar Jawa. Pada periode ini berhasil
diangkat sekitar 8.300 tenaga dokter dan dokter gigi dengan menggunakan
formasi Inpres dan hampir semua Puskesmas terisi oleh tenaga dokter.
Periode 1992-2002 ditetapkan kebijakan zero growth personel. Dengan
demikian hampir tidak ada pengangkatan tenaga dokter baru. Sebagai
gantinya pengangkatan tenaga medis dilakukan melalui program pegawai
tidak tetap (PTT) yang didasarkan atas Permenkes No.
1170.A/Menkes/Per/SK/VIII/1999. Masa bakti dokter PTT selama 2
sampai 3 tahun. Dalam periode ini telah diangkat sebanyak 30.653 dokter
dan 7.866 dokter gigi yang tersebar di seluruh tanah air. Pada tahun 2002
terjadi beberapa permasalahan dalam penempatan dokter PTT yaitu:
1. Daftar tunggu PTT untuk provinsi favorit terlalu lama
2. Usia menjadi penghambat untuk melanjutkan pendidikan ke dokter
spesialis
3. Terjadi kelambatan pembayaran gaji
4. Besarnya gaji tidak signifikan jika dibandingkan dengan dokter PNS
5. Adanya persyaratan jabatan sebagai Kepala Puskesmas
6. Ada anggapan melanggar hak azasi masusia (HAM) karena dianggap
sebagai kerja paksa.
Pada perode mulai tahun 2005 pengangkatan dokter dan dokter gigi
PTT mempunyai ciri sebagai berikut:
1. Bukan merupakan suatu kewajiban, tetapi bersifat sukarela
9
2. Tidak lagi memberlakukan kebijakan antrian/daftar tunggu
3. Semua provinsi terbuka untuk pelaksanaan PTT sesuai kebutuhan
4. Rekrutmen, seleksi administratif berdasarkan IPK (Indeks Prestasi
Kumulatif),
5. domisili, tahun kelulusan dan lamanya menunggu dalam antrian
6. Diprioritaskan bagi dokter dan dokter gigi yang belum melaksanakan
masa bakti
7. Dokter pasca PTT dapat diangkat kembali untuk provinsi yang
kebutuhannya belum terpenuhi
8. Pengurangan lama masa bakti bagi daerah yang kurang diminati seperti
daerah terpencil dan daerah pemekaran.
Kebijakan ini berpotensi menimbulkan permasalahan kompensasi
gaji yang tidak cukup menarik dan peminatan cenderung ke provinsi yang
besar dan kaya (misalnya Jabar, Jateng, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta,
dan Kaltim). Provinsi-provinsi di kawasan timur Indonesia pada umumnya
kurang peminat karena adanya alternatif pilihan di provinsi lain.
Dalam hal penempatan dokter spesialis, sampai dengan Desember
2004 jumlah dokter spesialis (PNS) di seluruh wilayah Indonesia sebanyak
11.057 orang. Jumlah RS vertikal dan Daerah sebanyak 420 RS. Jumlah
dokter spesialis yang bertugas di RS milik Pemerintah sebanyak 7.461
orang, terdapat kekurangan sebanyak 3.868 orang. Rata-rata produksi dan
penempatan tenaga dokter spesialis per tahun sebanyak 509 orang.
Sejak diterapkannya otonomi daerah, penempatan dokter spesialis
harus terlebih dulu ditawarkan melalui pejabat pembina kepegawaian (PP
No.9 Tahun 2003). Pada akhir tahun 1999 diberlakukan kebijakan
penundaan masa bakti bagi dokter spesialis yang langsung diterima
pendidikan spesialis. Dengan adanya pengurangan masa bakti bagi dokter
spesialis bagi daerah tertentu, misalnya di provinsi NAD cukup menarik
minat untuk bertugas di daerah.
Tenaga kesehatan lainnya yang cukup penting adalah bidan, sebagai
tenaga yang diharapkan berperan dalam penurunan angka kematian bayi
dan kematian ibu melahirkan. Seperti halnya dengan dokter, pengangkatan
10
tenaga bidan menggunakan sistem PTT dengan karakteristik kebijakan
sebagai berikut:
1. Penugasan selama 3 tahun di daerah biasa dan 2 tahun di daerah
terpencil
2. Penugasan dapat diperpanjang dua kali di desa yang sama dan
dimungkinkan untuk diangkat kembali sebagai bidan PTT sesuai
kebutuhan.
Sampai dengan bulan April 2005 keberadaan Bidan PTT di seluruh
tanah air sebanyak 32.470 orang, berarti kurang dari 50 % dari jumlah
desa. Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan Bidan PTT antara lain
pada umumnya mereka berharap dapat diangkat sebagai PNS (peningkatan
status), kompensasi gaji relatif tidak memadai, dan besaran gaji antara
daerah terpencil dengan sangat terpencil relatif kecil sehingga tidak
menarik. (Ruswendi, 2005)
Pembinaan dan pengawasan praktik profesi tenaga kesehatan belum
terlaksana dengan baik. Pada masa mendatang, pembinaan dan pengawasan
tersebut dilakukan melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan
pemberian lisensi. Sertifikasi dilakukan oleh institusi pendidikan, registrasi
dilakukan oleh komite registrasi tenaga kesehatn, uji kompetensi dilakukan
oleh setiap organisasi profesi, sedangkan pemberian lisensi dilakukan oleh
pemerintah. Pengaturan ini memerlukan dukungan peraturan perundangan
yang kuat. Sampai saat ini baru profesi kedokteran yang sudah memiliki
UU Praktik Kedokteran.
11
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perencanaan tenaga kesehatan adalah upaya penetapan jenis, jumlah,
dan kualifikasi tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan pembangunan
kesehatan.(Depkes, 2004). Perencanaan tenaga kesehatan diatur melalui PP
No.32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam Peraturan Pemerintah
ini dinyatakan antar lain bahwa pengadaan dan penempatan tenaga
kesehatan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang
merata bagi masyarakat.
Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan
jenis pelayanan yang dibutuhkan, sarana kesehatan, serta jenis dan jumlah
yang sesuai. Perencanaan nasional tenaga kesehatan ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan. Sebagai turunan dari PP tersebut, telah diterbitkan beberapa
Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes).
3.2 Saran
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekeliruan untuk itu kami menerima saran dan kritik anda guna menyusun
makalah yang lebih baik. Trimakasih…..!!!
12
Daftar Pustaka
13