Anda di halaman 1dari 6

Istilah positivisme diperkenalkan oleh Comte, yang berasal dari kata positif.

Dalam Cours de Philosophie


Positibe, digunakan istilah “filsafat positif”. Filsafat diartikan sebagai sistem umum tentang konsep-
konsep manusia, sedangkan positif diartikan sebagai teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-fakta
yang teramati.[1]

Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal
adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Titik tolak pemikirannya, apa yang telah
diketahui adalah yang faktual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Maksud positif adalah
segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif.[2]

Positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern. Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh
Francis Biken seorang filosof berkebangsaan Inggeris. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi,
komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni
maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam. Istilah ini kemudian juga digunakan oleh
Agust Comte dan dipatok secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama
dan filsafat.

Jadi, pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Namun, hanya sebagai
penyempurna dari Empirisme dan Rasionalisme dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-
ukuran. Hanya saja pada empirisme menerima pengalaman batiniah, sedangkan pada positivisme
membatasi pada perjalanan objektif saja.[3]

Tesis positivisme adalah : bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta
sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. Dengan demikian positivisme menolak
keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang
digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme
mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga
berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme
mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh
pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value). Dasar dari pandangan positivistik dari ilmu
sosial budaya tersebut yakni adanya anggapan bahwa:

(a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami,

(b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang
mirip dalil hukum alam,

(c) berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam
ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya.

Akibatnya, ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory sebagaimana halnya dengan
ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada
namun sering kali menegaskan adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan
dijelaskan secara matematis dan fisis.

2.1.2 Tokoh Aliran Positivisme dan Ajarannya

· August comte

August Comte (1798-1857) lahir di Montpellier, Prancis dari sebuah keluarga yang beragama Katolik.[4]
Pada umur belasan tahun ia menolak beberapa adat kebiasan dari keluarganya yang katholik orthodox,
yaitu kesalehan dalam agama dan dukungan terhadap bangsawan. Ia belajar disekolah politeknik di Paris
dan menerima pelajaran ilmu pasti. Sesudah menyelesaikan sekolahnya ia mempelajari biologi dan
sejarah, dan mencari nafkah dengan memberikan les matematika. Comte bekerja sama dengan Saint
Simon untuk beberapa tahun, tetapi kemudian berselisih faham dan Comte bekerja secara mandiri.
Comte berusaha untuk memperoleh gelar professor tetapi tidak berhasil.

Dalam The Positive Philosophy, tujuan utama Comte adalah menelaah sejarah perkembangan ilmu serta
menciptakan teori tentang tiga tahap perkembangan masyarakat. Ia membagi perkembangan
masyarakat ilmiah menjadi tiga: tahap teologis, tahap metafisik dan tahap ‘ilmiah’ atau positif.[5]

Agust Comte berkeyakinan bahwa pengetahuan manusia melewati tiga tahapan sejarah: pertama,
tahapan agama dan ketuhanan, pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi
hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan; tahapan kedua, adalah tahapan filsafat,
yang menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas,
substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi; dan adapun Positivisme sebagai tahapan ketiga, menafikan
semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam
menyingkap fenomena-fenomena.

(1) Tahap Teologik

Tahap ini menerangkan segala-galanya dengan pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat.[6]
Tahap teologik bersifat antropomorfik atau melekatkan manusia kepada selain manusia seperti alam
atau apa yang ada dibaliknya. Pada zaman ini atau tahap ini seseorang mengarahkan rohnya pada
hakikat batiniah segala sesuatu, kepada sebab pertama, dan tujuan terahir segala sesuatu.
Tahap teologis ini dibagi menjadi tiga sub-bagian.[7] Bermula dari fetisisme yaitu suatu faham yang
mempercayai adanya kekuatan magis dibenda-benda tertentu, ini adalah tahap teologis yang paling
primitif. Kemudian polyteisme atau mempercayai pada banyak Tuhan, saat itu orang menurunkan hal-
hal tertentu seluruhnya masing-masing diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati, yang melatar
belakanginya, sedemikian rupa, sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya sendiri.
Dan kemudian menjadi monoteisme ini adalah suatu tahap tertinggi yang mana saat itu manusia
menyatukan Tuhan-Tuhannya menjadi satu tokoh tertinggi. Ini adalah abad monarkhi dan kekuasaan
mutlak.

(2) Tahap Metafisik

Tahap metafisik sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan saja dari zaman teologis, karena
ketika zaman teologis manusia hanya mempercayai suatu doktrin tanpa mempertanyakannya, hanya
doktrin yang dipercayai. Dan ketika manusia mencapai tahap metafisika ia mulai mempertanyaan dan
mencoba mencari bukti-bukti yang meyakinkannya tentang sesuatu dibalik fisik. Tahap metafisik
menggantikan kekuatan-kekuatan abstrak atau entitas-entitas dengan manusia. Ini adalah abad
nasionalisme dan kedaulatan umum, atau abad remaja.

(3) Tahap Positif

Tahap positif berusaha untuk menemukan hubungan seragam dalam gejala. Pada zaman ini seseorang
tahu bahwa tiada gunanya untuk mempertanyakan atau pengetahuan yang mutlak, baik secara teologis
ataupun secara metafisika. Orang tidak mau lagi menemukan asal muasal dan tujuan akhir alam semesta,
atau melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu dan dibalik sesuatu. Pada zaman ini orang berusaha
untuk menemukan hukum segala sesuatu dari berbagi eksperimen yang akhirnya menghasilan fakta-
fakta ilmiah, terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan. Pada zaman ini menerangkan berarti: fakta-
fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Segala gejala telah dapat disusun dari suatu
fakta yang umum saja.

Tiga tahap ini menurut Comte bukanlah suatu zaman yang berlaku bagi perkembangan rohani manusia
tetapi juga berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, bahkan berlaku bagi perorangan,
ketika muda ia seorang metafisikus dan ketika dewasa ia menjadi seorang fisikus. Ketika seorang masih
perpandangan metafisikus ataupun teologis berarti ia masih berfikiran primitif walaupun ia hidup
dizaman yang modern. Dan ketika orang berfikiran fisikus maka ia adalah seorang yang modern dimana
pun ia berada. Pendapat ini didasarkan pada kecendrungan pernyataannya yang lebih menjurus kepada
tahap dalam keyakinan manusia dari pada tahap zaman manusia.

Selain itu tahap dalam 3 zaman ini bukan hanya berlaku dalam hal itu saja tetapi juga bias terjadi dalam
ilmu pengetahuan itu sendiri. Yang asal mulanya ketika ilmu pengetahuan masih dikuasai oleh
pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikeruhkan oleh pemikiran-pemikiran metafisis hingga
akhirnya tiba pada zaman positif yang cerah yang mana meninggalkan bahkan melepaskan dari
keberadaan unsur-unsur teologis dan metafisika. Oleh karena itu baginya Teologi dan filsafat barat abad
tengah merupakan pemikiran primitive. Karena masih pada taraf pertanyaan tentang teologi dan
metafisis.

Baginya manusia tidak dapat mengetahui hakikat dari segala sesuatu, tetapi manusia dapat mengetahui
keadaan-keadaan yang mempengaruhi terjadinya peristiwa.

Pengetahuan positivisme mengandung arti sebagai pengetahuan yang nyata (real), berguna (useful),
tertentu (certain) dan pasti (extact). Kaidah kaidah alam tidak pernah disederhanakan menjadi satu
kaidah tunggal dan kaidah itu terdiri dari perbedaan-perbedaan.

Akal dan ilmu menurutnya harus saling dihubungkan karena ilmu yang menurutnya cerapan dari sesuatu
yang positif tetaplah harus memakai akal dalam pembandingannya, dan etika dianggap tinggi dalam
hirarki ilmu-ilmu.

Comte membagi ilmu pengetahuan berdasarkan gejala-gejala dan penampakan-penampakan, yang


mana ilmu pengetahuan harus disesuaikan oleh itu semua. Segala gejala yang dapat diamati hanya akan
dapat dikelompokan dalam beberapa pengertian saja. Pengelompokkan itu dapat dilakukan sedemikian
rupa sehingga penelitian tiap kelompok menjadi dasar bagi penelitian kelompok berikutnya. Sehingga
terjadilah dikotomi ilmu pengetahuan yang mana asal mualanya adalah satu. Lalu terjadi dikotomi dari
ilmu pengetahuan itu berdasarkan gejala yang diamati lalu muncullah kelompok peneliti lain yang
memungkinkan dikotomi yang lain hingga mencapai gejala yang paling sederhana. Gejala yang
sederhana ini adalah gejala yang tidak memiliki kekhususan hal-hal yang individual.

Comte membagi-bagikan segala gejala yang pertama-tama dalam dua hal yaitu gejala yang bersifat
organis dan yang tidak bersifat anorganis. Yang dimaksud dengan sifat organis adalah segala hal yang
bersifat makhluk hidup. Dan sifat anorganik adalah yang tidak bersifat hidup. Menurutnya dalam
mempelajari yang organis harus terlebih dahulu mempelajari hal-hal yang bersifat anorganis, karena
dalam makhluk hidup terdapat hal-hal yang kimiawi dan mekanis dari alam yang anorganis, contoh:
manusia yang makan, yang mana didalamnya terdapat proses kimiawi dari sesuatu yang anorganis yaitu
makanan.

Ajaran tentang segala sesuatu yang anorganis dibagi menjadi dua hal yaitu tentang astronomi, yang
mempelajari segala gejala umum yang ada dijagat raya dan tentang fisika serta kimia yang mempelajari
segala gejala umum yang terjadi dibumi. Menurutnya, pengetahuan tentang fisika harus didahulukan,
sebab proses-proses kimiawi lebih rumit dibanding dengan proses alamiah dan tergantung daripada
proses alamiah.

Dan ajarannya tentang yang organis juga dibagi menjadi dua bagian yaitu: proses-proses yang
berlangsung dalam individu-individu dan proses-proses yang berlangsung dalam jenisnya yang lebih
rumit. Ilmu yang diusahakan disini adalah ilmu biologi, yang menyelidiki proses dalam individu.
Kemudian muncul sosiologi yang menyelidiki gejala-gejala dalam hidup kemasyarakatannya dan ilmu
social baru harus dibentuk atas dasar pengamatan dan pengalaman (pengetahuan positif).

Dari pembagian tersebut, Comte menyebutkan enam ilmu-ilmu yang bersifat fundamental artinya dari
ilmu-ilmu tersebut diturunkan ilmu-ilmu lain yang bersifat terapan. Diantaranya; matematika, astronomi,
fisika, kimia, fisiologi, biologi, dan fisika sosial (sosiologi).[8]

Positivisme dianggap sebagai tonggak kemajuan sains di dunia. Sebagai aliran filsafat, positivisme
mendasarkan diri pada pengetahuan empiris (pengetahuan yang diangkat dari pengalaman nyata dan
dapat diuji kebenarannya). Ilmu pengetahuan kemudian diarahkan untuk membangun peradaban
manusia dengan cara penguasaan terhadap alam semesta. Teknologi-teknologi canggih diciptakan,
penelitian-penelitian besar dilakukan dan omong kosong yang tidak berguna dijauhi.[9]

Adanya kekeliruan dan pertentangan–pertentangan mengenai bermacam-macam ajaran, memaksa kita


untuk mempertanggung jawabkan pengetahuan kita. System yang mencoba untuk
mempertanggungjawabkan pengetahuan kita itu dinamakan dengan kritika atau kritisisme.

Kritisisme berasal dari kata kritika yang merupakan kata kerja dari krinein yang atinya memeriksa
dengan teliti, menguji, membeda-mbedakan. Adapun pengetian yang lebih lengkap adalah penetahuan
yang memeriksa dengan teliti , apakah pengetahuan kita itu sesuai dengan realita dan bagaimanakah
kesesuainya dengan kehidupan kita.[1]

Selain itu kritisime juga diartikan sebagai pembelajaran yang menyelidiki batasan-batsan kemampuan
rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. keseluruhan pengertian tersebut adalah hasil dari buah
pemikiran seorang filsuft terkenal yang bernama Immanuel kant (1724-1804).
Dari pengertian-pengertian diatas oleh karena itu, corak kritisisme sangatsangat berbeda dengan corak
filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak.[2]

B. Cirri-Ciri Kritisisme.

Setiap pemikiran atau gerakan pasti mempunyai ciri-ciri yang mendasar yang melekat pada sebuah
pemikiran, begitu juga kritisisme yang mempunyai cirri-ciri yang dapat disimpulkan kedalam tiga hal :

Ø Menganggap bahwa obyek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek.

Ø Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat
sesuatu; karena rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.

Ø Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas semua sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara
peranan unsure anaximenes priori yang berasal dari rasio serta berupa uang dan waktu dan peranan
unsure aposteriori yang berasal dari pengalamn yang berupa materi.[3]

Anda mungkin juga menyukai