Anda di halaman 1dari 48

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA

EPILEPSI

Dosen Pembimbing :

Arum,. M.Kep

Oleh Kelompok :

1. Rizky Arika Rahmadhani (201701035)


2. Selvy Quthrotun Nada (201701036)
3. Suwandanu (201701037)
4. Vila Vidia Lestari (201701025)
5. Wa Uci Lauda (201701040)
6. Dwi Anggraeni (201701040)
7. Nur laily (201701042)
8. Yuninda Anggun S (201701043)
9. Ngatianingrum R.S (201701159)
10. Marlina Batmomolin (201601197)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ( STIKES )

BINA SEHAT PPNI MOJOKERTO

TAHUN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa ,
yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya , sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul “Konsep Asuhan Keperawatan
EPILEPSI”

Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan


mata kuliah Keperawatan Medical Bedah.

Kami menyadari keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang


dimiliki , oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.

Akhirnya kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi


pembaca khusunya tenaga keperawatan pada umumnya.

Mojokerto , 09 September 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Table of Contents

KATA PENGANTAR ................................................................................ ii

DAFTAR ISI .............................................................................................. iii

bab I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1 LATAR BELAKANG ................................................................... 1

1.2 RUMUSAN MASALAH .............................................................. 2

1.3 TUJUAN ....................................................................................... 2

bab II LAPORAN PENDAHULUAN ........................................................ 3

2.1 DEFINISI ...................................................................................... 3

2.2 ETIOLOGI .................................................................................... 3

2.3 KLASIFIKASI .............................................................................. 7

2.4 Secara klinis berdasarkan serangan epilepsi terbagi menjadi : ..... 9

2.5 PENCEGAHAN .......................................................................... 13

2.6 PENATALAKSANAAN ............................................................ 14

2.7 MANOFESTASI KLINIS ........................................................... 15

2.8 PATHWAY ................................................................................. 17

2.9 PATOFISIOLOGI ....................................................................... 19

iii
2.10 MANAJEMEN TERAPEUTIK ............................................... 19

2.11 KOMPLIKASI ......................................................................... 20

2.12 TERAPI EPILEPSI .................................................................. 21

2.13 PEMERIKSAAN PENUNJANG ............................................ 21

2.14 PROGNOSIS ........................................................................... 22

2.15 EPIDEMOLOGI ...................................................................... 22

bab III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN ...................................... 24

3.1 Pengkajian ................................................................................... 24

3.2 Diagnosa Keperawatan ................................................................ 27

3.3 Intervensi keperawatan ................................................................ 28

bab IV PENUTUP ..................................................................................... 41

4.1 Kesimpulan .................................................................................. 41

4.2 Saran ............................................................................................ 41

Daftar pustaka ........................................................................................... 43

iv
5
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Pada


dasarnya epilepsi merupakan suatu penyakit Susunan Saraf Pusat (SSP)
yang timbul akibat adanya ketidakseimbangan polarisasi listrik di otak.
Ketidakseimbangan polarisasi listrik tersebut terjadi akibat adanya fokus-
fokus iritatif pada neuron sehingga menimbulkan letupan muatan listrik
spontan yang berlebihan dari sebagian atau seluruh daerah yang ada di
dalam otak. Epilepsi sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas
mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penyandangnya
(pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa
rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi penyandangnya).
Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak. Pada
tahun 2000, diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah
50 juta orang, 37 juta orang di antaranya adalah epilepsi primer, dan 80%
tinggal di negara berkembang. Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa
rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang epilepsi aktif di antara 1000 orang
penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000 penduduk. Angka
prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara
berkembang.
Epilepsi dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka
kematian yang tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan,
gangguan kognitif, dan gangguan psikiatrik. Pada penyandang usia anak-
anak dan remaja, permasalahan yang terkait dengan epilepsi menjadi lebih
kompleks.
Penyandang epilepsi pada masa anak dan remaja dihadapkan pada
masalah keterbatasan interaksi sosial dan kesulitan dalam mengikuti
pendidikan formal. Mereka memiliki risiko lebih besar terhadap terjadinya

1
kecelakaan dan kematian yang berhubungan dengan epilepsi. Permasalahan
yang muncul adalah bagaimana dampak epilepsi terhadap berbagai aspek
kehidupan penyandangnya. Masalah yang muncul adalah bagaimana hal
tersebut bisa muncul, bagaimana manifestasinya dan bagaimana penanganan
yang dapat dilakukan untuk kasus ini masih memerlukan kajian yang lebih
mendalam.
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan
medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah
bagaimana meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini
bagi penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang
penderita epilepsi. Pemahaman epilepsi secara menyeluruh sangat
diperlukan oleh seorang perawat sehingga nantinya dapat ditegakkan asuhan
keperawatan yang tepat bagi klien dengan epilepsi.
Berdasarkan pemaparan di atas penulis tertarik untuk membahas
asuhan keperawatan pada klien dengan epilepsy.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu epilepsi ?

2. Bagaimana asuhan keperawatan dengan epilepsi?

1.3 TUJUAN

1. Mahasiswa mengetahui apa itu epilepsi

2. Mahasiswa mengetahui konsep asuhan keperawatan

dengan epilepsi

2
BAB II

LAPORAN PENDAHULUAN

2.1 DEFINISI

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh

terjadinya serangan yang bersifat spontan dan berkala. Serangan dapat

diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas

yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan

berirama. Bangkitan kejang yang terjadi pada epilepsi kejang akibat lepasnya

muatan listrik yang berlebihan di sel neuron saraf pucat. Lepasnya muatan

listrik yang berlebihan ini karena faktor gangguan fisiologis, gangguan

biokimiawi, gangguan anatomis atau gabungan dari faktor-faktor tersebut.

(Arvin, 2000)

2.2 ETIOLOGI

Berbagai kelainan fisiologi, biokimiawi dan anatomis merupakan

dampak dari penyakit yang diderita anak. Kelainan dan penyakit yang dapat

membangkitkan kejang antara lain :

1. Trauma lahir
Trauma lahir terutama yang mengenai bagian kepala janin dapat

berakibat peningkatan stressor secara fisik terhadap neuron otak. Kelainan

pada neuron ini dapat berakibat lepasnya muatan listrik pada neuron yang

berlebihan dan tidak terkontrol dengan baik.

3
2. Trauma kapitis
Trauma kapitis akan menjadikan sejumlah kerusakan pada neuron

otak sehingga dapat mengakibatkan proses eksitasi yang berlebihan dari

pada proses inhibisi di otak.

3. Inflamasi pada otak


Inflamasi karena bakteri maupun virus dapat mengakibatkan

gangguan fungsi neuron akibat toksi yang dikeluarkan oleh

mikroorganisme. Kasus peradangan yang sering menyebabkan serangan

epilepsi adalah meningitis dan encepalitis.

4. Keganasan otak
Keganasan dalam otak akan meningkatkan proses dsak ruang pada

otak meningkat sehingga mengganggu fungsi sejumlah besar neuron otak.

5. Perdarahan otak
Perdarahan akan meningkatkan tekanan intrakranial dan

menurunkan perfusi jaringan otak yang dapat mengganggu proses eksitasi

neuron otak.

6. Gangguan sirkulasi otak


7. Hipoksia otak
Hipoksia ini dapat terjadi akibat gangguan pembulu darah otak

atau menurunnya komposisi darah dan oksigen karena anemia berat

misalnya. Penurunan oksigen dapat memicu serangan karena menganggu

kerja neuron.

8. Stroke

4
Stroke baik haemorragik maupun non haemorragik akan

mengakibatkan gangguan pada sirkulasi otak sehingga dapat memicu

gangguan otak.

9. Gangguan elektrolit
Terutama adalah natrium dan kalium karena fungsi utama kedua

elektrolit tersebut adalah untuk berlangsungnya proses eksitasi neuron

dengan baik.

10. Gangguan metabolisme otak


Gangguan metabolik ini terutama akibat penyakit diabetes

millitetus dimana terjadi kekurangan glukosa pada otak sebagai unsur

utama untuk menopang kebutuhan energi otak.

11. Demam
Demam akan peningkatan metabolik dan meningkatkan eksitasi

persarafan melalui mekanisme percepatan diffusi osmosi ion natrium di

dalam sel neuron.

12. Keracunan
13. Idiopatik
Penyebab idiopatik tidak diketahui secara pasti biasanya penderita

tidak mengalami kelainan neurologis dan ditemukan pada keluarga yang

mempunyai riwayat epilepsi.

14. Herediter
Walaupun sebagian besar kasus epilepsi tidak diwariskan akan

tetapi sejumlah bakat gangguan koordinasi neuron otak yang merupakan

5
faktor pencetus terjadinya serangan epilepsi dapat diwariskan dari

orangtua kepada anaknya . (Hudac, 1997)

Tabel Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi


Bayi (0- 2 th) 1. Hipoksia dan iskemia paranatal
2. Cedera lahir intrakranial
3. Infeksi akut
4. Gangguan metabolik
(hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesmia, defisiensi
piridoksin)
5. Malformasi kongenital
6. Gangguan genetic

Anak (2- 12 th) 1. Idiopatik


2. Infeksi akut
3. Trauma
4. Kejang demam
Remaja (12- 18 th) 1. Idiopatik
2. Trauma
3. Gejala putus obat dan alcohol
4. Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) 1. Trauma
2. Alkoholisme
3. Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) 1. Tumor otak
2. Penyakit serebrovaskular
3. Gangguan metabolik (uremia,

6
gagal hepatik, dll )
4. Alkoholisme

2.3 KLASIFIKASI

Epilepsi mioklonik khas masa anak awal. Anak yang berkembang epilepsi
mioklonik khas adalah hampir normal sebelum mulainya kejang dengan kehamilan,
persalinan kelahiran yang tidak luar biasa dan tanda perkembangan utuh. Umur rata-
rata mulainya adalah sekitar 2 setengah tahun, tetapi kisaran berkisar dari 6 bulan
sampai 4 tahun. Frekuensi kejang mioklonik bervariasi ; mereka mungkin terjadi
beberapa kali sehari atau anak mungkin bebas kejang selama beberapa minggu.
Beberapa penderita menderita kejang demam atau kejang fibril tonik-klonik
menyeluruh yang mendahului mulainya epilepsi mioklonik. Sekitar setengah dari
penderita kadang-kadang menderita kejang tonik-klonik disamping epilepsi
mioklonik. EEG menunjukkan Kompleks gelombang paku cepat 2,5 Hz dan latar
belakang Irama normal pada kebanyakan kasus. Setidaknya sepertiga anak
mempunyai riwayat epilepsi keluarga positif, yang pada beberapa kasus menunjukkan
etiologi genetik. Hasil akhir jangka panjang adalah relatif baik. Retardasi mental
terjadi pada sebagian kecil, dan lebih dari 50% bebas kejang beberapa tahun
kemudian. Namun, masalah belajar dan bicara dan gangguan emosi beserta perilaku
terjadi pada sejumlah besar anak dan memerlukan tindak lanjut yang lama oleh tim
multidisipliner.

Epilepsi mioklonik Kompleks. Epilepsi ini terdiri dari kelompok penyakit


yang heterogen dengan prognosis yang secara seragam buruk. Secara khas, kejang
tonik-klonik setempat atau menyeluruh mulai selama umur tahun pertama
mendahului mulainya epilepsi mioklonik. Kejang-kejang menyeluruh sering disertai
dengan infeksi saluran pernafasan atas dan demam rendah serta seringkali
berkembang menjadi status epileptikus. Sekitar sepertiga dari penderita ini

7
mempunyai bukti adanya tanda keterlambatan perkembangan. Riwayat ensefalopati
hipoksik iskemik pada masa perinatal dan temuan tanda neuron motorik atas dan
ekstrapiramidalis menyeluruh dengan mikrosefali menyusun pola biasa pada anak ini.
Riwayat epilepsi keluarga jauh kurang menonjol pada kelompok ini dibandingkan
dengan epilepsi mioklonik khas. Beberapa anak menunjukkan kombinasi kejang
mioklonik dan tonic yang sering, dan bila gelombang paku lambat antar kejang nyata
pada EEG, gangguan kejang diklasifikasikan sebagai sindrom Lennox gastaut .
Penderita dengan epilepsi mioklonik Kompleks secara rutin mempunyai gelombang
paku lambat antar kejang dan refrakter terhadap antikonvulsan. Kejang tersebut
menetap dan frekuensi retardasi mental dan masalah perilaku sekitar 75% dari semua
penderita.

Epilepsi mioklonik juvenil. Epilepsi mioklonik juvenil biasanya mulai antara


umur 12 dan 16 tahun, dan merupakan sekitar 15% dari epilepsi. Lokus gen telah
dikenali pada kromosom 6p. Penderita mencatat singkatan mioklonik yang sering
pada saat jaga, yang membuat sukar menyisir rambut dan sikat gigi. Karena
myoclonus cenderung mereda nantinya pada pagi, hari kebanyakan penderita tidak
mencari pertolongan medis pada stadium ini dan beberapa penderita mengingkari
episode nya. Beberapa tahun kemudian, kejang tonik klonik menyeluruh di pagi hari
berkembang bersama mioklonusnya. EEG menunjukkan tonjolan pada pola
gelombang 4 - 6 / detik tidak teratur, yang diperbesar dengan rangsangan cahaya.
Pemeriksaan neurologis adalah normal, dan sebagian besar beresphons secara
dramatis terhadap valproat, yang diperlukan seumur hidup. Penghentian obat
menyebabkan tingginya frekuensi kejang berulang.

Epilepsi mioklonik progresif. Kelompok heterogen gangguan genetik yang


jarang ini secara seragam mempunyai prognosis yang buruk. Keadaan ini meliputi
penyakit lafora, epilepsi mioklonik dengan serabut merah compang-camping(
MERRF) sianosis Tipe 1, lipofusinoais seroid, penyakit neuropati juvenil gaucher,
dan distrofi juvenil neuroksonal juvenil. Penyakit levora ada pada anak antara 10 dan

8
18 tahun dengan kejang tonik klonik menyeluruh. Akhirnya Jingkatan mioklonik
muncul, yang menjadi lebih nyata dan konstan pada perburukan penyakit. perburukan
mental merupakan tanda khas dan menjadi nyata dalam 1 tahun dari mulainya kejang.
Kelainan neurobiologis, terutama tanda cereblum dan ekstrapiramidalis, merupakan
temuan yang menonjol. EEG menunjukkan discharge( rabas ) gelombang polipaku,
terutama pada daerah oksipital dengan perlambatan progresif dan latar belakang yang
kacau. Jingkatan mioklonik sukar dikendalikan, tetapi kombinasi asam valproat dan
benzodiazepine (Misal klonazepam) adalah efektif dalam mengendalikan kejang
menyeluruh. Penyakit lavora, merupakan penyakit autosom resesif, dan diagnosis
dapat ditegakkan dengan pemeriksaan biopsi kulit untuk inklusi asam schiff periodik
khas, yang adalah paling menonjol pada sel saluran kelenjar keringat ekrin. (carman,
2014)

2.4 Secara klinis berdasarkan serangan epilepsi terbagi menjadi :

a. Serangan parsial atau fokal


1. Serangan parsial sederhana atau parsial elementer
Serangan ini berupa tiba-tiba muncul sensasi yang aneh diikuti

dengan gerakan menyentak pada sebagian anggota tubuh,

penyimpangan pendengaran atau penglihatan, perasaan tidak enak

diperut dan mendadak timbul rasa takut. Pada serangan parsial

sederhana ini penderita tidak mengalami penurunan kesadaran.

2. Serangan parsial kompleks


Serangan ini dicirikan dengan gerakan lebih rumit dan diikuti

penurunan kesadaran. Selama serangan penderita tampak bingung,

kadang-kadang tampak gerakan tidak bertujuan, gerakan berputar pada

9
leher, mulut berkomat-kamit dan mata terbelalak. Setelah sadar

penderita tidak ingat lagi gerakan yang telah dilakukan.

b. Serangan umum
Serangan ini terjadi karena seluruh bagian otak terlibat pada

gangguan loncatan listrik. Serangan umum ini dapat dalam bentuk :

1. Serangan absence
Serangan ini berupa kehilangan kesadarn 5-15 detik. Selama

itu penderita terbelalak seakan-akan melihat ke angkasa dan bola mata

dapat berputar ke atas. Pada serangan ini penderita segera sadar dan

melakukan aktivitasnya kembali. Serangan ini merupakan serangan

khas pada anak-anak dan menghilang pada usia remaja.

2. Serangan tonik-klonik
Serangan kejang terjadi dalam 2 tahap. Pada tahap klonik

penderita akan kehilangan kesadaran kemudian terjatuh dan badan

menjadi kaku. Pada tahap klonik tampak lengan dan tungkai

bergelonjotan. Setelah serangan reda penderita akan berangsur-angsur

pulih kembali.

A. Pencetus Serangan Epilepsi


Hal-hal yang dapat mencetuskan seragan epilepsi antara lain :

1. Stress
Pada pasien yang mengalami stress dapat meningkatkan kebutuhan

oksigen dan nutrisi jaringan otak sehingga dapat mengakibatkan

hiperventilisasi. Selain itu stress juga mengakibatkan perubahan konstilasi

10
hormon seperti kortisol yang dapat memicu perubahan eksitasi pada

neuron.

2. Cahaya tertentu
Ada beberapa penderita epilepsi yang sensitif terhadap cahaya

(fotosensitiv). Kepekaan terhadap cahaya tersebut dapat merangsang

proses eksitasi neuron yang abnormal melalui rangsangan yang masuk

nervus optikus yang kemudian diteruskan ke otak. Cahaya yang dapat

merangsang serangan epilepsi antara lain : cahaya yang menyilaukan,

cahaya yang berkedip-kedip (photic stimulation), juga cahaya yang berasal

dari televisi maupun komputer.

3. Kurang tidur
Tidur didalam siklus fisiologi manusia berfungsi untuk

mengistirahatkan sel dan memberi kesemapatan proses perbaikan sel.

Setelah seharian menghadapi situasi yang melelahkan maka sejumlah

neuron otak juga mengalami kelelahan, pada waktunya istirahat ternyata

sejumlah neuron tidak dapat istirahat, barangkali kondisi semacam inilah

yang kemudian merangsang timbulnya loncatan listrik neuron yang tidak

terkoordinasi dengan baik.

4. Makan dan minum yang tidak teratur


Makan yang terlambat sesuai siklus fisiologi manusia dapat

mengakibatkan penurunan kadar gula (hipoglikemia) yang dapat

mengakibatkan penurunan metabolisme pada otak (terutama untuk

penyediaan energi aktifitas otak). Kondisi tersebut dapat memicu serangan

11
epilepsi. Minum yang kurang dapat menurunkan komposisi cairan tubuh

termasuk dalam darah. Penurunan cairan dapat mengganggu proses

diffusi-osmosis pada nutrisi dan elektrolit tubuh termasuk natrium yang

merupakan unsur utama proses eksitasi persarafan. Makan yang terlalu

kenyang juga dapat memicu timbulnya serangan karena organ pencernaan

akan mendapat rangsangan yang berlebihan untuk mencerna makanan.

5. Suara tertentu

Suara yang dapat menimbulkan serangan biasanya adalah suara


dengan nada tinggi yang dapat menimbulkan ketegangan mendadak pada
neuron.

6. Membaca

Aktivitas membaca yang sering menimbulkan serangan adalah


membaca yang membutuhkan proses pemahaman yang cukup berat
sehingga menimbulkan ketegangan pada neuron otak

7. Lupa minum obat

Obat untuk epilepsi berfungsi untuk meningkatkan inhibisi pada


neuron saat masuk fase eksitasi. Pada saat tidak minum obat maka
inhibisi pada neuron menjadi kecil sehingga dapat memicu serangan
epilepsi.

8. Penyalahgunaan obat

12
Obat-obat seperti amfetamin apabila dikonsumsi justru akan
berakibat pada gangguan tidur, bingung dan gangguan psikiatri. Kondisi
tersebut dapat memicu kelainan neuron.

9. Menstruasi

Serangan yang terjadi pada menstruasi akibat rendahnya kadar


progesteron dan tingginya estrogen. Hal ini terkait dengan efek efek dari
estrogen yang merangsang eksitasi dan efek dari progesteron yang
merupakan inhibisi dari neuron. estrogen juga berpengaruh terhadap Axis
stres dan mempengaruhi langsung amigdala sebagai pusat rasa dan
suasana hati.

2.5 PENCEGAHAN

Upaya social luas yang menggabungkan tindakan luas harus


digunakan untuk pencegahan epilepsy. Resiko epilepsy muncul pada bayi
dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi ( konvulsi : spasma atau
kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh
proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada
bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala
merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui
program yang member keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan
yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga
mengembangkan pencegahan epilepsy akibat cedera kepala. Ibu ibu yang
memiliki resiko tinggi ( tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar
melahirkan, penggunaan obat obatan, diabetes atau hipertensi ) harus di
identifikasikan dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau
cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin
selama kehmilan dan persalinan.

13
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan
kejang usia dini, dan program pencegahan kejang dengan penggunaan
obat obat abti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup
merupkan bagian dari rencana pencegahan ini.

2.6 PENATALAKSANAAN

1. Farmakologi

Obat-obatan antiepilepsi OAE ini dikonsumsi baik saat ada serangan


maupun tidak ada serangan obat yang sering diberikan antara lain

-Luminal

- Pengobatan simptomatik bila perlu

2. Saat serangan

Pembebasan jalan nafas :

a. Pembebasan jalan nafas pada saat epilepsi kejadian yang sering adalah
menutupnya lidah pada saluran pernapasan atau penderita tercekik karena
kerah baju atau dasi. pada saat Serangan maka lidah diberikan bantalan lunak
pada sela gigi seperti sapu tangan, handuk, atau dasi yang dilonggarkan

b. Jauhkan barang berbahaya yang dapat membuat pasien cidera

c. Jauhkan penderita dari sesuatu yang dapat merangsang neuron seperti


musik yang keras harus segera dimatikan dan cahaya yang menyilaukan

3. Sebelum serangan

a. Sebelum serangan pelaksanaan ditujukan untuk mengurangi dampak yang


dapat timbul dengan serangan adalah:

14
1. dibimbing bagaimana cara menurunkan stress

2. makan tepat pada waktunya

3. mempunyai kacamata hitam saat bepergian agar tidak silau

4. kalau KB milih dengan kadar estrogen yang tinggi minimal 50 mikrogram

5. tidur cukup

6. menghindari suara yang terlalu keras jika terpaksa bepergian menggunakan


sepeda maka gunakan tutup telinga dengan kapas dan memakai kacamata
hitam agar tidak silau

7. minum obat secara teratur

8. tindakan lain yang diperlukan oleh masing-masing individu yang


barangkali individu tersebut sudah mengetahui tanda-tandanya

2.7 MANOFESTASI KLINIS

1. Manifestasi klinis dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau


gangguan penginderaan
2. Kelainan gambaran EEG
3. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epiloptogen.
4. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik
(aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan
tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan
sebagainya).
5. Napas terlihat sesak
6. Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat

15
7. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik
khusus atau sematosensorik seperti : mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa
yang tidak normal seperti pada keadaan normal.
8. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan
terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epilrptikus
tersebut lewat
9. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara
secara tiba-tiba
10. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang-
nendang
11. Gigi-giginya terkancing
12. Hitam bola matanya berputar-putar
13. Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil

Disaat serangan, penyandang epilepsi tidak dapat berbicara secara

tiba-tiba. Kesadaran menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap

rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik rangsang

pendengaran, penglihatan, maupun rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala

penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang. Sementara tungkainya

menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam bola mata berputar-

putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan jantung berdebar.

Raut mukanya pucat dan badannya berlumuran keringat. Terkadang diikuti

dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut dimungkinkan karena terdapat

sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, diluar kehendak, tiba-tiba

melepaskan muatan listrik. (Zainal Muttaqien, 2001) mengatakan keadaan

16
tersebut bisa dikarenakan oleh adanya perubahan, baik perubahan anatomis

maupun perubahan biokimiawi pada sel-sel otak sendiri atau pada lingkungan

sekitar otak. Terjadinya perubahan ini dapat diakibatkan antara lain oleh

trauma fisik, benturan, memar pada otak, berkurangnya aliran darah atau zat

asam akibat penyempitan pembulu darah atau adanya pendesakan rangsangan

oleh tumor. Perubahan yang dialami oleh sekelompok sel-sel otak yang

nantinya menjadi biang keladi terjadinya epilepsi diakibatkan oleh berbagai

faktor.

2.8 PATHWAY

Idiopatik, herediter,
Ketidakseimbangan
Sistem saraf
trauma kelahiran, infeksi
aliran listrik pada sel
parinatal , meningitis, dll.
saraf.

Kerusakan mobilitas fisik


Hilang tonus Epilepsy

otot

Akimetis Myionik
Petitmal

Keadaan lemah dan tidak


Kontraksi tidak sadar
sadar
yang mendadak

Isolasi sosial Perubahan status Aktivitas kejang


kesehatan
Definisi
Jatuh Hipoksia
pengetahuan 17
Ketidakmampuan
koping keluarga

Ketidakmampua
Resiko cidera Kerusakan memori n keluarga mengambil
tindakan yang tepat

Pengobatan, Definisi
keperawatan, pengetahuan
keterbatasan
Ansietas

Penyakit kronik Grandmal


psikomotor

Perubahan proses
keluarga

Gangguan neurologis Gangguan respiratori

Gangguan Spasme otot pernafasan


Hilang kesadaran
perkembangan
Obstruksi trakheobronkial
HDR

Ketidakefektifan jalan

nafas

18
2.9 PATOFISIOLOGI

Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus


merupakan pusat pengirim pesan (impulsmotorik). Ota ialah rangkaian berjuta-
jutaneron. Pada hakekatnya tugas neron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas
listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps
terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Acetylcholine dan noreprineprine ialah
neurotransmiter eksitatif , sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber daya listrik saran diotak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit
ke neron-neron disampingnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemister otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan melebar
kebagian tubuh atau anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan himesfer yang mengalami depolarisasi , aktivitas listrik dapat
merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
menyebarkan impuls-impuls kebelahan otak yang lain dan dengan demikian akan
terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.

2.10 MANAJEMEN TERAPEUTIK

Manajemen epilepsi berfokus pada pengendalian kejang atau mengurangi


frekuensi kejang tersebut. Fokus lain manajemen epilepsi meliputi membantu anak
yang mengalami kejang berulang dan keluarga mereka untuk membantu mereka
hidup dengan kejang. Mode terapi primer adalah penggunaan antikonvulsan. Tujuan
untuk setiap anak harus berupa menekan pengguanaan obat seminim mungkin dengan
kemungkinan efek samping paling sedikit untuk pengendalian kejang. Terjadi
kemajuan signifikan dala m terapi epilepsi karena banyak obat antikonvulsan baru

19
yang tersedia baru-baru ini . sebagian besar antikonvuilsan dikonsumsi per oral dan
sering kali digunakan dalam kombinasi. Masing-masing obat mengendalikan tipe
kejang berbeda dapat ditentukan oleh variasi individual. Perlu waktu untuk
menemukan kombinasi yang tepat untuk mendapat efek pengendalian kejang terbaik
pada masing-masing individu.

Jika kejang masih tidak dapat dikendalikan, pilihan lain untuk menanganinya
adalah pembedahan. Bergantung oada area otak yang terkena, area yang bertanggung
jawab terhadap aktivitas kejang dapat diangkat. Selain itu, impuls dapat diputus agar
tidak menyebar sehingga kejang pun hilang atau berkurang. Efek samping
pembedahan dapat ringan hingga berat, bergantung pada area otak yang terkena.
Terapi non-farmakologis lain yang dapat dipertimbangkan pada anak yang menderita
kejang membandel meliputi diet ketogenik atau pemasangan simulator saraf vagus.

Mioklonik dapat melanjutkan dengan spasme infantil ; namun, EKG normal


pada penderita dengan mioklonus benigna. prognosis adalah baik, dengan
perkembangan normal dan penghentian myoclonus pada umur 2 tahun.
Antikonvulsan tidak terindikasi. Bentuk dominan autosomal familial diduga terkait
dengan lokus pada kromosom 20.

2.11 KOMPLIKASI

1. Kerusakan otak akibat hypoksia dan retardasi mental dapat timbul akibat
kejang berulang ulang.
2. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas.
3. Komplikasi utama yang berkaitan dengan kejang umum.
4. Kejang disebabkan oleh kontak neuro serebral yang beraturan, cepat dan
tiba-tiba.

20
2.12 TERAPI EPILEPSI

Langkah pertama pada manajemen epilepsi adalah untuk memastikan bahwa


penderita menderita gangguan kejang dan bukan keadaan yang menyerupai epilepsi
(lihat nanti) kadang-kadang sukar untuk menentukan etiologi kejadian paroksimal
pada anak normal. Hasil negatif pada pemeriksaan neurologis dan EEG biasanya
mendukung pendekatan pengawasan menunggu bukannya pemberian antikonvulsan.
Penyebab yang sebenarnya gangguan proksimal akhirnya menjadi jelas. Walaupun
tidak ada kesepakatan yang seragam, kebanyakan akan setuju bahwa antiepileptik
harus dihentikan dari anak yang sebelumnya sehat dengan konvulsi tanpa demam
pertama jika riwayat keluarga negatif, pemeriksaan dan EEG normal, jika riwayat
keluarga negatif, pemeriksaan dan EEG normal, dan keluarga bekerja sama dan taat.
sekitar 70% anak ini tidak akan mengalami konvulsi lain, kejang berulang, terutama
jika kejang terjadi sangat dekat dengan kejang pertama merupakan indikasi untuk
mulai antikonvulsan. menunjukkan suatu pendekatan pada anak dengan dugaan
gangguan kejang. Langkah kedua meliputi pilihan antikonvulsan, obat pilihan
tergantung pada klasifikasi kejang, ditentukan dengan riwayat dan temuan EEG .
tujuan untuk setiap penderita sehat.

2.13 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Elektroensefalogram (EEG). untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu


serangan
2. Magnetic resonance imaging (MRI) CT Scan dan Magnetik resonance
imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal,
serobrovaskuler abnormal, gangguan degrenatif serebral. Epilepsi
simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak
jelas pada CT scan atau magnetik resonance imaging (MRI) maupun
kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah
antenatal atau perinatal dengan defesit neurologik yang jelas.

21
3. Compted tomografi (Scan)
4. Kimia darah : hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
 Mengatur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
 Menilai fungsi hati dan ginjal
 Menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat
menunjukkan adanya infeksi)
 Pungsi lumbal untuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak.

2.14 PROGNOSIS

Prognosis epilepsy bergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsy,


faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya
prognosis epilepsy cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsy
serangan dapatt dicegah dengan obat obat, sedangakan sekita 50% pada suatu waktu
akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsy primer, baik yang bersifat kejang
umum maupun serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis
terbaik. Sebaliknya epilepsy yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau
yang disertai kelainan neurologic dan atau reterdasi mental mempunyai prognosis
relative jelek.

2.15 EPIDEMOLOGI

Epilepsi merupakan salah satu gangguan saraf serius yang paling umum

terjadi yang mempengaruhi sekitar 65 juta orang di seluruh dunia. Ia mempengaruhi

1% penduduk pada usia 20 tahun dan 3% penduduk pada usia 75 tahun. Ia lebih

jamak terjadi pada laki-laki daripada perempuan, tetapi secara menyeluruh selisihnya

cukup kecil. Sebagian besar penderita (80%) tinggal di dunia berkembang.

22
Angka penderita epilepsi aktif saat ini berkisar pada 5–10 per 1.000; epilepsi

aktif diartikan sebagai penderita epilepsi yang pernah mengalami kejang paling tidak

satu kali dalam lima tahun terakhir. Epilepsi berawal setiap tahun dalam 40–70 per

100.000 di negara maju dan 80–140 per 100.000 di negara berkembang. Kemiskinan

merupakan sebuah risiko dan mencakup baik bertempat asal dari sebuah negara yang

miskin maupun berstatus sebagai orang miskin relatif terhadap orang lain di dalam

negara yang sama. Di negara maju, epilepsi paling umum bermula pada orang muda

atau orang lansia. ] Di negara berkembang, awal epilepsi lebih umum terjadi pada

anak-anak yang berusia lebih tua dan pada orang dewasa muda karena lebih tingginya

angka trauma dan penyakit menular. Di negara maju, jumlah kasus per tahun telah

mengalami penurunan pada anak-anak dan peningkatan pada orang lansia antara

tahun 1970-an dan 2003. Hal ini sebagian disumbang oleh kesintasan pasca-stroke

yang lebih baik pada orang lansia.

23
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

1. Biodata
Nama, umur, jenis kelamin, suku, bangsa, pndidikan, pekerjaan dan
penanggung jawab
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan
stress dapat memicu terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alkohol (alcoholic)

2. Pola Kesehatan Fungsional


1. Pola Persepsi Kesehatan
a. Keluhan utama:
Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat
pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan
kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang
klien/keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan sering
tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota
keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara.
b. Riwayat penyakit sekarang:
kejang, dan tidak sadarkan diri.
c. Riwayat penyakit dahulu:
Trauma lahir, Asphyxia neonatorum, cedera kepala, infeksi
system saraf, gangguan metabolik, tumor otak, dll.
2. Aktivitas/Istirahat
Gejala: Keletihan, kelemahan umum. Keterbatasan dalam beraktivitas/

24
bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri/ terdekat pemberi asuhan
kesehatan atau orang lain.

Tanda: Perubahan tonus/kekuatan otot. Gerakan involunter/kontraksi otot


ataupun sekelompok otot.
3. Sirkulasi
Gejala: Iktal: Hipertensi, peningkatan nadi, sianosis.
Posiktal: Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi
dan
pernapasan.
4. Integritas Ego
Gejala: Stensor eksternal/internal yang berhubungan dengan
keadaan dan/atau penanganan. Peka rangsang; perasaan tidan ada
harapan/tidak berdaya. Perubahan dalam berhubungan
Tanda: Pelebaran rentang respon emosional.
5. Eliminasi
Gejala: Inkontinensia episodik.
Tanda: Iktial: Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus
stingfer.
Posiktal: Otot relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia (baik
urin/fekal).
6. Makanan/Cairan
Gejala: Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang berhubungan
dengan aktivitas kejang.
Tanda: Kerusakan jaringan lunak/gigi (cedera selama kejang).
Hiperplasia gingival (efek samping pemakaian Dilantin jangka panjang).
7. Neurosensori
Gejala: Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pingsan, pusing.
Riwayat trauma kepala, anoreksia, dan infeksi serebral.

25
Posiktal: Kelemahan, nyeri otot, area parestase/paralisis.
8. Nyeri/Kenyamanan
Gejala: Sakit kepala, nyeri otot/punggung pada periode posikal. Nyeri
abnormal paroksimal selama fase iktal (mungkin terjadi selama kejang
fokal/parsial tanpa mengalami penurunan kesadaran).
Tanda: Sikap/tingkah laku yang berhati-hati. Perubahan pada tonus
otot.
Tingkah laku distraksi/gelisah.
9. Pernapasan
Gejala: Fase iktal: Gigi mengatup, sianosis, pernapasan menurun/cepat;
peningkatan sekresi mukus.
Fase posiktal: Apnea.
10. Keamanan
Gejala: Riwayat terjatuh/trauma, fraktur. Adanya alergi
Tanda : trauma pada jaringan lunak/ekimosis, Penurunan
kekuatan/tonus otot secara menyeluruh
11. Interaksi Sosial
Gejala : Masalah dalam hubungan interpersonal, keluarga atau
lingkungan sosialnya. Pembatasan/ penghindaran terhadap kontak social

3. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin,
ureum dalam darah. Yang memudahkn timbulnya kejang ialah keadaan
hipoglikemia, hipokalemia, hiprnatremia, uremia dll. Penting juga
diperiksa pH darah karena alkalosis mungkin pula disertai kejang.
2. Pemeriksaan radiologis

26
Pada foto rontgen kepala dapat dilihat adanya kelainan-kelainan pada
tengkorak. Klasifikasi abnormal dapat dijumpai pada toksoplasmosis,
penyakit inklusi sitomegalik, sklerosis tuberosa, kraniofaringeoma,
meningeoma, oligodendroglioma.
3. Pemeriksaan Psikologis atau Psikiatris
Untuk diagnostik bila diperlukan dilakukan uji coba yang dapat
menunjukkan naik turunnya kesadaran, misalnya test Bourdon-Wiersma.

3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Risiko tinggi kerusakan sel otak dan penghentian nafas berhubungan


dengan kejang, kelemahan progresif cepat otot-otot pernafasan.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,
obstruksi trakeobronkial.
3. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan kejang berulang, ketidaktahuan
tentang epilepsi dan cara penanganan saat kejang, serta penurunan tingkat
kesadaran.
4. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan kekakuan sendi/epilepsi
ditandai dengan sendi kaku.
5. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan depresi akibat epilepsi.
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemahaman informasi
pada klien/keluarga terhadap perubahan status kesehatan.

27
3.3 Intervensi keperawatan

N Diagnosa Kriteria hasil Intervensi Rasional

o keperawatan

1 Risiko tinggi Setelah dilakukan  Gali bersama-sama  Kejang demam


kerusakan sel tindakan klien dan orang terjadi ketika
otak dan keperawatan, tua/keluarga berbagai demam
penghentian masalah klien stimulasi yang menjadi menyebabkan
nafas teratasi dengan pencetus demam. perubahan beda
berhubungan kriteria:  Pertahankan bantalan potensial sel
dengan kejang, a. Klien lunak pada penghalang neuron yang
kelemahan mengungkapkan tempat tidur yang menyebabkan
progresif cepat pemahaman faktor terpasang dengan posisi pelepasan
otot-otot yang menunjang tempat tidur rendah muatan listrik
pernafasan. kemungkinan  Evaluasi kebutuhan yang besar. Jadi,
trauma, untuk/ berikan pengkajian
dan/atau perlindungan pada difokuskan pada
penghentian kepala. area penyebab
pernafasan dan demam.
mengambil langkah  Pertahankan tirah
untuk memperbaiki baring secara ketat jika  Trauma saat
situasi. pasien mengalami kejang
b. Klien tanfa-tanda timbulnya (sering/umum)
mendemonstrasikan fase prodromal/aura. terjadi selama
perilaku, perubahan Jelaskan pentingnya pasien di
gaya hidup untuk tindakan ini pada tempat tidur.
mengurangi faktor klien/orang
risiko dan tua/keluarga.  Penutup kepala
melindungi diri dari  Minta orang dapat
cedera. tua/keluarga klien memberikan
c. Klien mampu untuk tetap perlindungan
mengubah tinggal bersama klien tambahan
lingkungan sesuai dalam waktu beberapa terhadap
indikasi untuk lama selama/setelah seseorang yang
meningkatkan kejang. mengalami
keamanan.

28
d. Klien membantu kejang terus-
klien untuk  Masukkan jalan nafas menerus/kejangb
mempertahankan buatan atau biarkan erat.
aturan pengobatan klien menggigit sesuatu
untuk yang  Mungkin tidak
mengontrol/menghi lunak antara gigi (jika dapat beristirahat
langkan aktivitas rahang sedang /perlu untuk
kejang. relaksasi). Miringkan bergera kata
kepala ke salah satu melepaskan diri
sisi/lakukan dari suatu
penghisapan pada jalan keadaan selama
nafas sesuai indikasi fase aura, namun
bergerak dengan
 Catat tipe dari aktivitas mempedulikan
kejang (seperti diri dari
lokasi/lamanya keamanan
aktivitas motorik, lingkungan dan
hilang/penurunan mudah
kesadaran, diobservasi.
inkontinensia, dll) dan Pemahaman
berapa kali kepentingan
terjadi untuk
(frekuensi/kambuhanny mempertimbangk
a). an tentang
pentingnya
 Lakukan penilaian kebutuhan
neurologis/TTV setelah keamanan diri
kejang, misal: tingkat sendiri dapat
kesadaran, orientasi, menambah keikut
TD, nadi dan sertaan
pernafasan. (kerjasama)pasie
n.
 Orientasikan kembali
kepada orang  Keamanan klien.
tua/keluarga klien
terhadap aktivitas  Menurunkan
kejang yang dialami risiko terjadinya

29
anaknya. trauma mulut
tetapi tidak
 Observasi munculnya boleh“dipaksa”at
tanda-tanda atau gejala aumasukkan
status epileptikus, ketika gigi-gigi
seperti kejang tonik- sedang mengatup
klonik setelah jenis kuat karena
yang lain muncul kerusakan pada
dengan cepat dan cukup gigi jaringan
meyakinkan. yang lunak dapat
segera dibutuhkan terjadi. Juga
untuk mengendalikan membantu
aktivitas kejang. mempertahan kan
jalan
 Berikan obat sesuai nafas.Catatan:
indikasi: Spatel lidah dari
Obat antiepilepsi kayu tidak boleh
digunakan karena
mungkin bisa
rusak atau
terpelintir pada
mulut klien.

 Membantu untuk
melokalisasi
daerah otak
yang terkena

 Mencatat
keadaan posiktal
dan waktu
penyembuhan
pada keadaan
normal

 Untuk
menghilangkan

30
ansietas, orang
Untuk
menghilangkan
ansietas.Orang
tua/keluarga
mungkin bingung
dan cemas.
Klien mungkin
mengalami
amnesia setelah
kejang dan
memerlukan
bantuan untuk
dadapat
mengontrol lagi.

 Halini merupakan
keadaan darurat
yang
mengancam
hidup yang dapat
menyebabkan
henti nafas,
hipoksiaberat,dan
/ataukerusakan
pada otak dan sel
saraf.

 Tujuannya adalah
untuk
mengoptimalkan
penekanan
terhadap aktivitas
kejang dengan
dosis obat-obat
yang rendah dan
dengan efek

31
samping yang
minimal

2 Pola nafas tidak Setelah dilakukan o Lakukan penilaian o Untuk


efektif tindakan neurologis/TTV mengetahui
berhubungan keperawatan, setelah kejang, misal: gambaran status
dengan masalah klien tingkat kesadaran, fungsional
kerusakan teratasi dengan orientasi, TD, nadi kesehatan klien,
neuromuskuler, kriteria: dan pernafasan. sehingga dapat
obstruksi Mampu mengantisipasi
trakeobronkial. mempertahankan o Ajarkan orang keadaan klien.
pola pernafasan tua/keluarga klien
efektif dengan jalan untuk o Menurunkan
nafas paten/aspirasi mengosongkan mulut risiko aspirasi
dicegah. dari benda/zat tertentu atau masuknya
jika fase aura terjadi sesuatu yang
dan untuk asing ke faring.
menghindari rahang
mengatup jika kejang o Meningkatkan
terjadi tanpa ditandai aliran (drainase)
gejala awal. sekret,
mencegah lidah
o Letakkan klien pada jatuh dan
posisi miring, menyumbat jalan
permukaan datar, nafas.
miringkan kepala
selama serangan o Untuk
kejang. memfasilitasi
usaha bernafas/
o Tanggalkan pakaian ekspansi dada.
pada daerah
leher/dada dan o Jika
abdomen. memasukkannya
diawal untuk
o Masukkan spatel membuka rahang,
lidah/jalan nafas alat ini dapat
buatan atau gulungan mencegah

32
benda lunak sesuai tergigitnya lidah
dengan indikasi dan memfasilitasi
saat
o Lakukan penghisapan penghisapan
sesuai indikasi lendir atau
memberi
 Berikan tambahan sokongan
oksigen atau ventilasi pernafasan jika
manual sesuai diperlukan. Jalan
kebutuhan pada fase nafas
posiktal. buatan mungkin
diindikasikan
setelah
meredanya
aktivitas kejang
jika klien
tersebut tidak
sadar dan tidak
dapat
mempertahankan
posisi lidah yang
aman.

o Menurunkan
risiko aspirasi
atau asfiksia.

 Dapat
menurunkan
hipoksia serebral
sebagian akibat
dari sirkulasi
yang menurun
atau oksigen
sekunder
terhadap spasme
vaskuler selama

33
serangan kejang.
Catatan :
ventilasi buatan
selama serangan
kejang
umum dibatasi
atau tidak
menguntungkan
3 Risiko tinggi Tujuan : Klien  Kaji tingkat  Data dasar
cedera bebas dari cidera pengetahuan klien untuk intervensi
berhubungan yang disebabkan dan keluarga secara selanjutnya.
dengan kejang oleh kejang dan penanganan saat
berulang, penurunan kejang  Orang tua
ketidaktahuan kesadaran dengan anak
tentang epilepsi Kriteria Hasil :  Ajarkan klien dan yang pernah
dan cara Klien dan keluarga keluarga tentang mengalami
penanganan saat mengetahui metode mengontrol kejang demam
kejang, serta pelaksanaan kejang, demam. harus
penurunan menghindari diinstruksikan
tingkat stimulus kejang,  Anjurkan keluarga tentang metode
kesadaran. melakukan agar mempersiapkan untuk
pengobatan teratur lingkungan yang mengontrol
untuk menurunkan aman seperti batasan demam
intensitas kejang. ranjang, papan (kompres
pengaman, dan alat dingin, obat
suction selalu berada antipiretik).
dekat klien.
 Melindungi
 Kolaborasi klien bila
pemberian terapi; kejang terjadi.
fenitoin
(Dilantin).  Mengurangi
risiko jatuh/
terluka jika
fertigo, sinkope,
dan ataksia
terjadi.

34
 Terapi medikasi
untuk
menurunkan
respon
kejang
berulang.
4 Gangguan Tujuan  Kaji tingkat  Mengetahui
Mobilitas Fisik :meningkatkan / kemampuan tingkat
berhubungan mempertahankan mobilitas fisikb. kemampuan
dengan mobilitas pada  Bantu pasien mobilitas klien
kekakuan tingkat yangpaling melakukan aktivitas  Menambah
sendi/epilepsi tinggi yang selama pasien kemampuan klien
ditandai dengan mungkin mengalami dalam melakukan
sendi kaku. Kriteria ketidaknyamananc. aktivitas
hasil  Tinggikan  Untuk
:memprtahankan ektremitas yang memperlancar
posisi bengkak, anjurkan peredaran darah
fungsionalmeningk latihan ROM sesuai sehingga
atnya kekuatan / kemampuand. mengurangi
fungsi yang  Mendorong parti- pembengkakan
sakitmenunjukkan sipasi dalam  Memberikan ke-
teknis yang aktivitas rekreasi sempatan untuk
memampukan (menonton TV, me- ngeluarkan
melakukan aktivitas membaca kora, dll energi,
)e. memusatkan per-
 Menganjurkan hatian,
pasien untuk meningkatkan
melakukan latihan perasaan
pasif dan aktif pada mengontrol diri
yang cedera maupun pasien dan
yang tidakf. membantu dalam
 Membantu pasien mengurangi
dalam perawatan isolasi sosial.
dirig.  Meningkatkan
 Memberikan diit aliran darah ke

35
tinggi protein , otot dan tulang
vitamin , dan untuk me-
mineral ningkatkan tonus
 Konsul dengan otot,
fisioterapi mempertahankan
mobilitas sendi,
men- cegah
kontraktur /
atropi dan
reapsorbsi Ca
yang tidak
digunakan
 Meningkatkan
ke- kuatan dan
sirkulasi otot,
meningkatkan
pasiendalam me-
ngontrol situasi,
me- ningkatkan
kemauan pasien
untuk sembuh.
 Mempercepat
proses
 penyembuhan,
mencegah
penurunan bb,
karena
imobilisasi
biasanya terjadi
penurunan BB

5 Koping individu Tujuan : o Tinjau ulang  Indikator dari


tidak efektif Mengidentifikasi patofisiologi yang tingkat
berhubungan tingkahlaku koping mempengaruhi pasien disekuilibrium dan
dengan depresi yang tidak efektif dan luasnya perasaan kebutuhan akan
akibat epilepsi. dan konsekuensi, yang tidak berdaya/ intervensi untuk
Menunjukan tanpa harapan/ mencegah

36
kewaspadaan dari kehilangan control atau mengatasi
koping pribadi/ terhadap kehidupan krisis.
kemampuan tingkat ansietas
memecahkan  Pasien mungkin
masalah, o Tetapkan hubungan akan lebih bebas
Memenuhi terapeutik perawat dalam
kebutuhan pasien. konteks hubungan
psikologis yang ini untuk
ditunjukan dengan o Catat ekspresi keragu- menunjukan
mengekspresikan raguan, perasaan tidak
perasaan yang ketergantungan tertolong/ tanpa
sesuai, identifikasi kepada orang lain dan tenaga dan
pilihan dan ketidakmampuan untuk
penggunaan untuk mengatasi AKS mendiskusikan
sumber-sumber, pribadi. perubahan yang
Membuat keputusan diperlukan dalam
dan menunjukan o Kaji munculnya kehidupan pasien.
kepuasan dengan kemampuan koping
pilihan yang positif, misalnya  Mungkin
diambil. penggunaan teknik menunjukan
relaksasi keinginan kebutuhan
untuk bersandar kepada
mengekspresikan orang lain untuk
perasaan. sementara waktu.
Pengenalan awal
o Dorong pasien untuk dan intervensi
berbicara mengenai dapat membantu
apa yang terjadi saat pasien memperoleh
ini dan apa yang telah kembali
terjadi untuk ekulibrium.
mengantisipasi
perasaan tidak  Jika individu
tertolong dan ansietas. memiliki
kemampuan
o Perbaiki kesalahan koping
konsep yang mungkin yang berhasil
dimiliki pasien. dilakukan pada

37
Menyediakan waktu lampau,
informasi mungkin dapat
factual. digunakan
sekarang untuk
o Terima ekspresi mengatasi
verbal rasa marah, tegangan dan
buat memelihara rasa
batasan terhadap control individu.
tingkah laku
maladaptif.  Menyediakan
petunjuk untuk
 Catat ekspresi membantu
ketidakmampuan pasien dalam
untuk menemukan arti mengembangkan
kehidupan/ lasan kemampuan
untuk hidup, perasaan koping dan
sia-sia atau memperbaiki
pengasingan ekuilibrium.
terhadap Tuhan.
 Membantu
mengidentifikasi
dan
membenarkan
persepsi realita dan
memungkinkan
dimulainya usaha
pemecahan
masalah.

 Menunjukan rasa
marah adalah
proses yang
penting untuk
resolusi rasa duka
dan
kehilangan.
Meskipun

38
demikian,
pencegahan
terhadap tindakan
destruktif (seperti
memisahkan diri
dari orang lain)
akan
mempertahankan
harga diri pasien.

 Situasi krisis
mungkin
membangkitkan
pertanyaan
mengenai
kepercayaan
spiritual yang
dapat
mempengaruhi
kemampuan untuk
berhadapan dengan
situasi sekarang
dan rencana untuk
masa depan.
6 Kurang Setelah dilakukan  Menjelaskan kembali  Memberikan
pengetahuan tindakan mengenai kesempatan
berhubungan keperawatan, patofisiologi/ untuk
dengan kurang masalah klien prognosis penyakit mengklarifikasi
pemahaman teratasi dengan dan perlunya
informasi pada kriteria hasil : pengobatan/  Tidak adanya
klien/keluarga Klien/keluarga penanganan dalam pemahaman
terhadap memahami tentang jangka waktu yang terhadap obat-
perubahan status penyakit yang di lama sesuai dengan obatan yang
kesehatan. derita klien. prosedur. didapat
Bagaimana kondisi merupakan
klien saat ini  Tinjau kembali obat- penyebab dari
obatan yang didapat, kejang yang terus

39
penting sekali menerus tanpa
meminum obat sesuai henti.
petunjuk, dan tidak
menghentikan  Mempercepat
pengobatan tanpa penanganan dan
pengawasan dokter. menentukan
diagnosa dalam
 Anjurkan pasien keadaan darurat.
untuk memakain  Aktifitas yang
gelang/ semacam sedang dan
petunjuk yang teratur dapat
memberitahukan membantu
bahwa anda adalah menurunkan/men
penderita epilepsy gendalikan
faktor-faktor
 Diskusikan dari prediposisi yang
manfaat kesehatan meningkatkan
umum yang baik, perasaan sehat
seperti diet yang dan kemampuan
adekuat, istirahat koping yang baik
yang cukup, latihan dan juga
yang cukup dan meningkatkan
hindari bahaya harga diri.
alkohol, kafein dan
obat yang dapat
menstimulasi kejang.

40
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Epilepsi atau yang lebih sering disebut ayan atau sawan adalah gangguan
system saraf pusat yang terjadi karena letusan pelepasan muatan listrik sel saraf
secara berulang, dengan gejala penurunan kesadaran, gangguan motorik,
sensorik dan mental, dengan atau tanpa kejang-kejang (Ahmad Ramali, 2005
:114).
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua
bahkan bayi yang baru lahir. Pengklasifikasian epilepsy atau kejang ada dua
macam, yaitu epilepsy parsial dan epilepsy grandmal. Epilepsi parsial
dibedakan menjadi dua, yaitu epilepsy parsial sederhana dan epilepsy parsial
kompleks. Epilepsi grandma meliputi epilepsitonik, klonik, atonik, dan
myoklonik. Epilepsi tonik adalah epilepsy dimana keadaannya berlangsung
secara terus-menerus atau kontinyu. Epilepsi klonik adalah epilepsy dimana
terjadi kontraksi otot yang mengejang. Epilepsi atonik merupakan epilepsi yang
tidak terjadi tegangan otot. Sedangkan epilepsy myoklonik adalah kejang otot
yang klonik dan bisa terjadi spasme kelumpuhan.

4.2 Saran

Setelah penulisan makalah ini, diharapkan masyarakat pada umumnya


dan mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui pengertian, tindakan
penanganan awal, serta mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan
epilepsi. Oleh karena penyandang epilepsy isering dihadapkan pada berbagai
masalah psikososial yang menghambat kehidupan normal, maka seyogyanya

41
kita memaklumi pasien dengangan gguan epilepsy dengan cara menghargai dan
menjaga privasi klien tersebut. Hal itu dilaksanakan agar pasien tetap dapat
bersosialisasi dengan masyarakat dan tidak akan menimbulkan masalah pasien
yang menarik diri.

42
DAFTAR PUSTAKA

Arvin, B. K. (2000). Ilmu Kesehatan Anak . Jakarta : EGC .

carman, T. k. (2014). Buku ajar Keperawatan pediatri . Jakarta : EGC.

Dongoes, M. E. (2018). Rencana Asuhan Keperawatan . Jakarta : EGC.

Hudac, G. B. (1997). Keperawatankritis pendekatan holistik (terjemahan),

edisi VI . Jakarta : EGC.

K, A. H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis, Jilid 1 . Jogjakarta :

Mediaaction .

Kariasa, M. (1997 ). Asuhan Keperawatan Klien Epilepsi . Jakarta : FIK - UI .

Sukarmin, S. R. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Anak . Yogyakarta :

Graha ilmu .

43

Anda mungkin juga menyukai