Agus Ariwibowo
Abstract
Commodities of rice is the dominant agricultural sector in starch. An agriculture-related activities of the
parties involved in it both the production process and its distribution. In an effort to narrow the dispa-
rity in the level of prices of rice farmers and consumers in the starch, then required a study of the rice
commodity marketing systems. The Data analyzed are descriptive of the pattern and distribution of the
marketing margins of rice paddy fields. Results of the study are in district there are three distribution pat-
tern of Starch, which is the first distribution patterns, from farmers to rice broker dealers to the merchant
pengepul mill to retailers to consumers; Second, from the farmer to the middleman to rice milling traders
to retailers to consumers; third, from the farmer to the milling of rice to traders pengepul to retailers to
consumers. The highest marketing Margin on highest dominant rice varieties occur in rice milling of
44,4%, then a merchant middleman trader pengepul 7.5 percent, 3.6 percent and 3.4 percent of retailers
overall marketing margin value of rice paddy fields.
Alamat korespondensi: ISSN 2252-6560
Gedung C6 lantai 1, Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang 50229
E-mail: edaj_unnes@yahoo.com
Agus Ariwibowo / Economics Development Analysis Journal 2 (2) (2013)
2
Agus Ariwibowo / Economics Development Analysis Journal 2 (2) (2013)
3
Agus Ariwibowo / Economics Development Analysis Journal 2 (2) (2013)
akhir, bukan pemakai industri karena ba- nis yang mengarahkan aliran barang dari petani
rang – barang tersebut tidak diproses lagi, kepada konsumen. Pemasaran produk pertanian
terdapat unsur pokok kegiatan pemasaran yakni
melainkan dipakai sendiri menurut Basu
produk, harga dan distribusi yang dimana satu
Swasta (1984), (2) Barang industri adalah sama lain saling berkaitan. Sehingga untu men-
barang-barang yang dibeli untuk diproses ciptakan pemasaran yang baik serta memberikan
lagi atau untuk kepentingan dalam industri. kepuasan terhadap konsumen, maka unsur tadi
Jadi, pembeli barang industri ini adalah perlu dirancang sebaik mungkin terutama den-
gan memperhatikan apa yang diinginkan dan di-
perusahaan, lembaga, atau organisasi, ter-
butuhkan konsumen (Rahayu, 2009).
masuk non laba. Berdasarkan pengertian Secara tradisional peranan pertanian da-
diatas, maka seperti halnya pupuk itu digo- lam pembangunan ekonomi hanya dipandang
longkan kedalam golongan barang industri, pasif dan bahkan hanya dianggap sebagai unsur
sebab pupuk dibeli petani bukan untuk di- penunjang semata. Negara barat menyebut pem-
bangunan ekonomi diidentikkan dengan trans-
konsumsi tetapi untuk digunakan dalam
formasi struktural terhadap perekonomian secara
produksi pertaniannya. cepat, yakni perekonomian yang bertumpu pada
Menurut Syafi’i dalam Sutrisno kegiatan pertanian menjadi perekonomian in-
(2009) pelaku atau lembaga perantara yang dustri modern dan jasa-jasa yang lebih kompleks.
ikut terlibat dalam proses distribusi ko- Peranan utama pertanian dianggap hanya sebatas
sebagai sumber tenaga kerja dan bahan – bahan
moditas pertanian dapat diklasifikasikan
pangan yang murah demi berkembangnya sektor-
sebagai berikut: (1) tengkulak adalah pem- sektor industri yang dinobatkan sebagai “sektor
belian hasil pertanian pada waktu panen unggulan” dinamis dalam strategi pembangunan
dilakukan oleh perseorangan dengan tidak ekonomi secara keseluruhan. Model pembangu-
terorganisir, aktif mendatangi petani produ- nan 2 sektor Lewis yang telah dipaparkan teori
pembangunan yang menitikberatkan upaya men-
sen untuk membeli hasil pertanian dengan
gembangkan sektor industri secara cepat, sektor
harga tertentu, (2) pedagang pengumpul pertanian hanya dipandang sebagai pelengkap
yaitu pedagang yang membeli hasil perta- atau penunjang dalam kedudukannya selaku
nian dari petani dan tengkulak, baik secara sumber tenaga kerja dan bahan - bahan yang
individual maupun secara langsung, (3) pe- murah. Pertanian pada khususnya sama sekali
tidak bersifat pasif, dan jauh lebih penting dari
dagang besar adalah pedagang yang mem-
sekadar penunjang dalam proses pembangunan
beli hasil pertanian dalam jumlah besar dari ekonomi secara keseluruhan. Keduanya harus di-
pedagang pengumpul atau langsung dari tempatkan pada kedudukannya yang sebenarnya,
petani. Modalnya relatif besar sehingga yakni sebagai unsur elemenunggulan yang sangat
mampu memproses hasil pertanian yang penting, dan dinamis bahkan sangat menentukan
strategi pembangunan secara keseluruhan (Toda-
dibeli, dan (4) pedagang pengecer adalah
ro, Michael P. 2000: 318).
pedagang yang membeli hasil pertanian
dari petani atau tengkulak dan pedagang METODE PENELITIAN
pengumpul kemudian dijual kepada konsu-
men akhir (rumah tangga). Pengecer biasa- Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu
menggambarkan pola distribusi dan nilai marjin
nya berupa toko-toko kecil atau pedagang
pemasaran yang diperoleh setiap pelaku tata nia-
kecil di pasar. ga komoditas padi sawah. Data yang digunakan
Saluran Pemasaran atau saluran distribusi dalam penelitian ini adalah data primer dan data
adalah serangkaian organisasi yang terkait dalam sekunder. Data primer dikumpulkan dari petani
semua kegiatan yang digunakan untuk meny- dan pelaku pemasaran yang terlibat dalam ran-
alurkan produk dan status pemiliknya dari pro- tai distribusi. Data Sekunder dikumpulkan dari
dusen ke konsumen. Hal ini menunjukan bahwa Dinas Pertanian, serta instansi terkait lainnya.
perusahaan dapat menggunakan lembaga atau Dalam penelitian ini yang menjadi populasi
perantara untuk dapat menyalurkan produknya adalah petani yang ada di Kecamatan Pati dan
kepada konsumen akhir. Dalam bidang pertani- pelaku pemasaran komoditas padi sawah di Ke-
an tata niaga merupakan keragaan aktivitas bis- camatan Pati. Sampel merupakan bagian dari
4
Agus Ariwibowo / Economics Development Analysis Journal 2 (2) (2013)
jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh popu- Ki = Hji – Hbi – Bpi
lasi (Sugiyono, 2008). Adapun dalam penelitian Keterangan :
ini teknik pengambilan sampel yang digunakan Hji =Harga jual lembaga pema-
adalah Purposive Sampling. Menurut Arikunto saran ke-i
(2006) Purposive Sampling dalam pengambilan su- Hbi =Harga beli lembaga pe-
byeknya didasarkan atas tujuan tertentu (sesuai masaran ke-i
kebutuhan penelitian). Purwanto dan Sulistyastu- Bpi =Biaya pemasaran lembaga
ti (2011) mengemukakan prosedur ini digunakan pemasaran ke-i
untuk menyajikan data hasil penelitian dalam (Sudiyono,2001).
bentuk yang informatif agar mudah dipahami, Ada 4 Jenis margin pemasaran yaitu :
dengan mencari proporsi (persentase) menggu- 1. Analisis margin pemasaran, digunakan
nakan distribusi frekuensi yang diperoleh berdas- mengukur keuntungan masing-masing aktor
arkan data penelitian. Dari hasil persentase yang yang terlibat dalam proses distribusi padi.
diperoleh kemudian diklasifikasikan atau ditarik Mp = Pr-Pf
untuk memperoleh kesimpulan data penelitian. Keterangan : Mp = Margin Pemasaran
Dalam mengolah data, persentase dipero- (Rp/ton) ; Pr = harga konsumen (Rp/ton): Pf =
leh dengan rumus sebagai berikut(Ali, 1992): harga produsen (Rp/ton).
5
Agus Ariwibowo / Economics Development Analysis Journal 2 (2) (2013)
pada setiap rantai tata niaga pemasaran komodi- dari keseluruhan marjin pemasaran gabah atau
tas padi sawah yang paling dominan di Kecama- beras. Besarnya marjin pemasaran pada pemilik
tan Pati. penggilingan, dikarenakan di penggilingan padi
Jenis pembiayaan utama pedagang tengku- atau gabah dikeringkan terlebih dahulu menjadi
lak meliputi biaya pemotongan padi, biaya pen- gabah kering Giling (GKG). Dalam proses peng-
gangkutan, dan bongkar muat adalah sebesar Rp. gilingan tersebut akan mengalami susut hasil
380,- per kilogram Gabah Kering Giling (GKG). sekitar 60 persen dari berat gabah yang semula.
Kemudian penggilingan padi sebesar Rp. 405,- Biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh penggi-
per kilogram Gabah Kering Giling (GKG). Total lingan padi untuk mendistribusikan beras ke pe-
biaya pemasaran pelaku tata niaga selanjutnya dagang pengepul adalah Rp. 405,- per kilogram,
masing-masing adalah pedagang pengepul Rp. dengan keuntungan bersih sebesar Rp. 125,- per
150,- per kilogram beras dan Pedagang pengecer kilogram.
Rp. 200,- per kilogram. Biaya pemasaran (marke- Di pedagang pengepul kemudian bera di-
ting cost) tersebut penggilingan padi lebih banyak jual ke pedagang pengecer dengan harga jual Rp.
mengeluarkan biaya-biaya untuk proses tata nia- 7.393,- per kilogram. Marjin pemasaran sebesar
ga padi sawah antara lain biaya penggilingnan Rp. 278,- per kilogram atau sekitar 3,6 persen
padi, pengemasan, transportasi dan bongkar- dari keseluruhan marjin pemasaran gabah atau
muat , biaya penggilingan yang cukup tinggi kare- padi. Besar pembiayaan yang dikeluarkan oleh
na mesin menggunakan bahan bakar yang harus pedagang pengepul untuk mendistribusikan be-
di keluarkan oleh penggilingan padi. Pengelua- ras ke pengecer yaitu Rp. 150,- per kilogram be-
ran yang paling tinggi terjadi pada penggilingan ras, meliputi biaya transportasi, bongkar muat
padi, yaitu sebesar Rp. 405,- per kilogram gabah dan biaya pengemasan. Selanjutnya pedagang
atau padi. pengecer yang merupakan pelaku yang berhada-
Pedagang tengkulak yang membeli padi pan langsung dengan konsumen menjual beras
atau gabah dari petani dengan harga Rp. 3.147,- tersebut dengan harga Rp. 7.650,- per kilogram.
perkilogram, yang selanjutnya dijual ke peng- Marjin pemasaran di pengecer yaitu Rp. 257,-
gilingan padi dengan harga Rp. 3.720,- per ki- per kilogram atau 3,4 persen. Pedagang pengecer
logram memperoleh nilai margin Rp. 573,- per memperoleh keuntungan bersih Rp. 107,- per ki-
kilogram. Keuntungan bersih (net benefit margin) logram dengan biaya pemasaran yang harus di-
yang diperoleh pedagang tengkulak dalam men- keluarkan sebesar Rp. 120,- per kilogram untuk
distribusikan hasil pembelian padi atau gabah biaya transportasi dan bongkar muat.
dari petani ke penggilingan padi adalah Rp. 193,- Pola distribusi padi sawah di Kecamatan
per kilogram setelah dikurangi dengan biaya pe- Pati ditemukan tiga saluran tata niaga, yaitu:
masaran (marketing cost) untu pemotongan padi, saluran pemasaran pertama, Dari petani ke peda-
bongkar muat dan transportasi sebesar Rp. 380,- gang tengkulak ke penggilingan padi ke pedagang
per kilogram. pengepul ke pedagang pengecer ke konsumen;
Selanjutnya penggilingan padi yang me- kedua, Dari petani ke pedagang tengkulak ke
rubah bentuk gabah atau padi menjadi beras penggilingan padi ke pedagang pengecer ke kon-
menjualnya ke pedagang tengkulak dengan har- sumen; ketiga, Dari petani ke penggilingan padi
ga jual Rp. 7.115,- per kilogram beras. Penggilin- ke pedagang pengepul ke pengecer ke konsumen.
gan padi memperoleh marjin pemasaran sebesar Untuk lebih jelasnya struktur aliran tata niaga
Rp. 3.395,- per kilogram atau sekitar 44,4 persen padi dan pendapatan petani padi sawah tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut:
6
Agus Ariwibowo / Economics Development Analysis Journal 2 (2) (2013)
Pada saluran pemasaran pertama, petani terbatasnya informasi pasar tersebut akan me-
menjual gabah kering giling (GKG) ke pedagang nyebabkan petani tidak mengetahui kepada siapa
tengkulak merupakan kaki tangan pedagang produk akan dijual dengan keuntungan terbaik.
beras. Dari pedagang tengkulak disalurkan ke Menurut Sayhza (2003) informasi harga yang
pengilingan padi. Di penggilingan padi gabah diterima petani terutama dari lembaga pengum-
dikelompokan dan mengalami perlakuan khusus pul seringkali terdapat perbedaan dengan harga
meliputi proses pengeringan menjadi Gabah Ke- pasar. Petani tidak mengetahui secara pasti naik
ring Giling (GKG), penggilingan, dan pengema- turunnya harga padi atau gabah, sementara pe-
san. Beras yang dikemas selanjutnya disalurkan dagang tengkulak mendapatkan informasi yang
kepada pedagang pengepul yang berada di pusat lebih cepat dari lembaga pemasaran lain. Keter-
Kecamatan dan Kota. Selanjutnya disalurkan batasan informasi pasar ini terkait dengan letak
dari pedagang pengepul, beras disalurkan kepa- lokasi usaha tani yang terpencil, pengetahuan
da pengecer yang berada di pasar-pasar maupun dan kemampuan dalam menganalisis data yang
toko-toko. masih kurang. Di samping itu, pendidikan for-
Pada umumnya petani menjual hasil pa- mal masyarakat khususnya petani masih sangat
nen mereka secara langsung dalam bentuk Ga- rendah menyebabkan kemampuan untuk men-
bah Kering Giling (GKG) baik kepada pedagang cerna atau menganalisis sumber informasi sangat
tengkulak maupun penggilingan padi. Tidak ada terbatas. Kondisi tersebut menyebabkan usaha
petani yang menjual padi atau gabahnya dalam tani dilakukan tanpa melalui perencanaan yang
bentuk Gabah kering Panen (GKP) maupun Ga- matang.
bah Kering Simpan (GKS). Sebenarnya petani Dalam hal ini petani hanya sebatas seba-
dapat menerima harga lebih tinggi jika seanda- gai produsen gabah atau padi sekaligus price taker,
inya mereka menjual padi dalam bentuk beras. mereka cenderung menjual produknya berupa
Menurut Supriatna (2003) cara penjualan padi gabah atau padi sawah dan bukan berupa beras.
atau gabah secara langsung sulit dihindari, kare- Keadaan ini memperlihatkan adanya keterpisa-
na disamping petani mempunyai kebutuhan yang han petani dari tata niaga komoditas gabah atau
mendesak, pada umumnya mereka juga tidak padi. Dengan demikian, adanya disparitas anta-
mempunyai sarana pengeringan dan penyimpa- ra harga padi atau gabah dan konsumen. Sangat
nan yang memadai. Hal ini akan menyebabkan tinggi hasil yang diterima oleh pedagang tengku-
harga padi atau gabah petani anjlok di saat suplai lak, pedagang pengepul, dan pedagang pengecer
gabah pada waktu panen meningkat, sehingga tidak akan dinikmati oleh petani.
menghadapkan petani pada posisi tawar yang
sangat lemah. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari berbagai saluran distribusi yang ada, KESIMPULAN
petani menghadapi beberapa permasalahan da- Dari ketiga pola distribusi yang ada, petani
lam pemasaran hasil panen mereka. Permasa- menghadapi beberapa permasalahan dalam pe-
lahan yang umum ditemui pada petani adalah masaran hasil padi sawah yang sudah jadi beras.
7
Agus Ariwibowo / Economics Development Analysis Journal 2 (2) (2013)
Permasalahan yang umum ditemui pada petani koperasi atau lembaga lain sehingga para petani
adalah terbatasnya informasi harga padi keti- tidak lagi meminjam bantuan dari non Bank, da-
ka mereka menjual hasil padi sawahnya. Selain lam hal ini rentenir.
permasalahan tersebut, pembayaran menunggak
yang dilakukan oleh pedagang tengkulak ternya-
ta masih ditemui di wilayah ini. DAFTAR PUSTAKA
Tiga pola distribusi di Kecamatan Pati, yai- Agustian, Adang dan Iwan Setiadjie. 2008. “Analisis
tu pola distribusi pertama, Dari petani ke peda- Perkembangan Harga dan Rantai Pemasaran Ca-
bai Merah di Jawa Barat”. Bogor: Pusat Analisis
gang tengkulak ke penggilingan padi ke pedagang
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian De-
pengepul ke pedagang pengecer ke konsumen; partemen Pertanian.
kedua, Dari petani ke pedagang tengkulak ke
penggilingan padi ke pedagang pengecer ke kon- Ali, Muhammad. 1992. Statistik Penelitian. Yogyakarta
sumen; ketiga, Dari petani ke penggilingan padi : BPFE.
ke pedagang pengepul ke pedagang pengecer ke
konsumen. Mayoritas petani (88%) menjual ha- Anindita, R. 2003. “Dasar-dasar Pemasaran Hasil Perta-
sil panen secara langsung dengan sistem tebasan nian”. Malang: Universitas Brawijaya.
ke pedagang tengkulak dengan harga yang relatif
Arifin, Bustanul. 2007. “Disparitas Harga Gabah dan
rendah, yaitu rata-rata Rp. 3.147,- per kilogram.
Harga Beras”. Jakarta: Unisosdem, UNILA.
Sisanya (12%) petani menjual hasil panen dengan
sistem kiloan (per kilogram) ke penggilingan padi Arikunto, Suharsimi.2006. Prosedur Penelitian : Suatu
dengan harga lebih tinggi rata-rata sekitar Rp. Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
3.500,- per kilogram atau memperoleh nilai mar-
jin sebesar Rp. 353,- per kilogram Gabah Kering Arsyad, Lincolin. 1999. Pengantar perencanaan dan pem-
Giling (GKG), jika dibandingkan dengan sistem bangunan ekonomi daerah. Yogyakarta: BPFE
tebasan. Nilai marjin pemasaran yang paling Yogyakarta.
tinggi berturut-turut terjadi pada penggilingan
Badan Penyuluh Pertanian. 2011. Kecamatan Pati
padi sebesar (Rp. 3.395,-/kg), pedagang tengku-
Dalam Angka.
lak (Rp. 573,-/Kg), pedagang pengepul sebesar
(Rp. 278,-/Kg), pedagang pengecer sebesar (Rp. Balai Pengembangan Mekanisasi Pertanian. 2005.
257,-/Kg). “Pengembangan Revitalisasi penggilingan Padi”.
Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Per-
SARAN tanian.
Harga yang diterima petani dalam menjual
hasil panen dengan sistem tebasan relatif rendah Bulog. 2012.“kebijakan Pengadaan gabah dan beras”.
tidak sesuai dengan risiko usaha tani padi men- Jakarta:Intruksi Presiden Nomor 3.
gindikasikan lemahnya posisi tawar petani. Oleh
Departemen Pertanian RI. 2007. Pedoman Pembinaan
karena itu, petani harus mengoptimalkan peran Kelembagaan Petani. Jakarta: Departemen Per-
kelompok tani dalam kegiatan pemasaran. Ber- tanian RI.
satunya petani dalam kelompok akan tata niaga
padi dan beras. Lakasana, Fajar. 2008. Managemen Pemasaran Pendeka-
Berdasarkan analisis margin pemasaran tan Praktis. Yogyakarta: Graha Ilmu.
dapat diketahui bahwa nilai tambah pemasaran
komoditas padi yang melalui pedagang teng- Mardianto, Sudi, Yana Supriatna,dan Nur K. Agustin.
kulak, penggilingan padi, pedagang pengepul 2005. “Dinamika Pola Pemasaran Gabah dan Be-
ras di Indonesia”.Bogor: Forum Penelitian Agro
dan pengecer adalah sekitar Rp. 4.503,- per Kg.
Ekonomi, Vol 23, No. 2.
Keuntungan yang seharusnya diperoleh petani
jika menjual padi dan sudah menjadi beras lang- Mubyarto.1989. Pengantar Ekonomi Pertanian, Jakarta
sung ke konsumen. Sehingga salah satu alternatif : LPES.
agar petani padi sawah dapat memperoleh nilai
tambah dalam pemasaran hasil panen padi sa- Nuryanti, Sri 2003. “Analisis Distribusi Marjin Pema-
wah adalah dengan menjual padi menjadi beras saran Gabah dan Beras di Jawa Tengah”. Bo-
secara langsung ke konsumen. gor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebi-
Perlu adanya sosialisasi dari lembaga insti- jakan Pertanian Departemen Pertanian.
tusi publik untuk membantu para petani dalam
Paul A.Samuelson dan Wiliam D. Nordhaus. 1995.
hal permodalan, seperti memfasilitator antara pe- Makro ekonomi. Jakarta :Erlangga.
tani dengan lembaga permodalan baik itu bank,
8
Agus Ariwibowo / Economics Development Analysis Journal 2 (2) (2013)