Anda di halaman 1dari 8

Teori Belajar dan Pembelajaran

Laporan Hasil Observasi

Kelompok 3
1. Agung Sedayu Satri
2. Faizah Zukhrifa
3. Giovanironi Jeremy
4. Putri Fatmawati N. H.
5. Zulkifli Pelana

Pendidikan Sejarah (A) 2012


Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
Laporan Hasil Observasi

 Lokasi Observasi

Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 26 Jakarta

Alamat: Jl. Balai Pustaka Baru I Rawamangun, Jakarta Timur 13220

 Waktu Observasi

Hari Kamis, 17 April 2014

Pukul 11.15 WIB sampai dengan 12.45 WIB

 Kelas yang Diobservasi

Kelas X jurusan TEK (Teknologi Elektronika Komunikasi)

Ruang E-04
UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT)

Observasi lapangan ini dilaksanakan dalam rangka memenuhi rangkaian


tugas dari mata kuliah Teori Belajar dan Pembelajaran yang diampu oleh Dra.
Marwati. Kami berterima kasih pada ibu Dra. Marwati yang telah memberi kami
peluang untuk melihat langsung kondisi dan praktik pembelajaran di lapangan.
Kami juga berterimakasih pada segenap jajaran guru, staf, dan manajemen SMKN
26 yang telah memperbolehkan kami untuk melakukan observasi. Terutama rasa
terima kasih kami haturkan kepada Bapak Yoyo, satu – satunya guru sejarah di
SMKN 26 Jakarta, yang mengizinkan kami mengobservasi kelasnya.

Namun, di atas segalanya, kami bersujud syukur kepada Tuhan Yang


Maha Esa, yang atas berkat dan rahmat–Nya, kami akhirnya bisa melakukan
observasi walau sempat mengalami sekian macam hambatan. Kami mengucapkan
mohon maaf jika terjadi salah kata dan maksud dalam penulisan laporan hasil
observasi atau testimonial ini. Selamat membaca!

PENDAHULUAN

Ada beberapa hal yang perlu disampaikan sebelum kita masuk pada materi
testimonial. Yang pertama adalah, observasi ini dilakukan di ranah Sekolah
Menengah Kejuruan, bukan Sekolah Menengah Atas, sehingga sudah pasti
terdapat perbedaan situasi maupun kondisi dalam kelas. Terutama sekali adalah
masalah minat.

Yang berikutnya adalah mengenai standar kompetensi guru dalam


mengajar. Kami merasa prihatin bahwa yang menangani semua kelas dalam mata
pelajaran Sejarah dan bahkan Kewarganegaraan hanya satu guru. Hal ini jelas
timpang dalam pengalokasian materi belajar dan dapat berujung pada turunnya
kualitas belajar.
Dalam hal ini kami bahkan mempertanyakan, sebenarnya seperti apakah
standar pembelajaran Sejarah dan Kewarganegaraan dalam dunia Sekolah
Menengah Kejuruan? Sehingga dengan begitu banyaknya yang harus diajarkan,
namun hanya sedikit yang mengajarkan. Semoga hal ini dapat diubah, mengingat
banyaknya mahasiswa program studi Pendidikan Sejarah yang sekarang masih
berkuliah dan prospek keguruannya masih panjang.

TESTIMONIAL

Observasi lapangan ini dilakukan pada hari Kamis, 17 April 2014 pukul
11.15 WIB sampai dengan 12.45 WIB, dengan mengikuti kegiatan belajar
mengajar pada mata pelajaran Sejarah di salah satu kelas X dari SMKN 26
Jakarta, yakni Kelas X jurusan TEK (Teknologi Elektronika Komunikasi) yang
berada di ruang E-04. Materi pembelajaran adalah Sejarah Indonesia, dengan sub
bab pembahasan, Kerajaan Demak, Mataram, dan Banten. Pembahasan dilakukan
setelah guru (Pak Yoyo) menyampaikan pembukaan dan menanyakan kesiapan
kelompok – kelompok penyaji.

Adapun metode pembelajaran yang digunakan oleh guru saat kami


observasi di lokasi yaitu metode presentasi, di mana siswa difasilitasi untuk
berdiskusi dengan adanya kelompok siswa yang menjadi penyaji dan para siswa
penanggap (audience). Dan setelah presentasi dan sesi tanya – jawab dari
beberapa kelompok selesai, guru memberi kesimpulan dari apa yang telah dibahas
pada waktu presentasi. Adapun dari metode ini, terdapat keterkaitan dengan teori
pembelajaran, di mana dalam metode presentasi, keaktifan dan atensi yang cukup
mumpuni dari siswa sangat diperlukan, karena metode ini merupakan contoh
penerapan student learning center (pembelajaran yang berpusat pada siswa).

Yang pertama adalah kelompok penyaji membahas mengenai Kerajaan


Demak. Dalam penyajiannya, terlihat jelas indikasi presentasi ala siswa, yaitu
hanya membaca materi yang ditampilkan. Hal ini berlangsung terus menerus pada
kelompok selanjutnya, dan hal ini pula yang terus menerus menjadi kritik yang
diajukan oleh para audience.

Gambar 1.1 Suasana presentasi dalam kelas

Dalam keberlanjutannya, rangkaian berlangsung lancar. Dan setelah


presentasi selesai, kemudian masuk pada ranah kritik dan pertanyaan. Menyoal
pada masalah kritik sudah disampaikan sebelumnya, dan sekarang akan
disampaikan menyoal pertanyaan.

Pertanyaan yang diajukan juga khas siswa. Namun ada hal yang
mengejutkan, yaitu pertanyaan mereka terkadang bersifat ilmiah, dan terkadang
bersifat “iseng”. Namun, hal ini dapat dimaklumi, dan justru tergolong sesuatu
yang melebihi ekspektasi kami. Pertanyaan – pertanyaan mendasar yang
disampaikan1, merupakan tanda ketertarikan terhadap pembelajaran sejarah, dan
merupakan bukti bahwa mereka memperhatikan penyajian.

1
Walaupun cukup jelas bahwa mereka mendasari pertanyaan ini dari LKS maupun buku paket.
Sehingga mereka tak bisa disalahkan jika pertanyannya sekelas “Buku Paket”
Gambar 1.2 Beberapa siswa mengajukan pertanyaan

Tidak jarang pula mereka memegang buku paket ataupun LKS dalam
mengajukan pertanyaan, yang menandai bahwa mereka menemukan sesuatu yang
janggal dalam penyajian yang tidak sesuai dengan buku yang mereka pelajari.
Namun, ada pula yang pertanyaannya tergolong menyimpang dari sub konteks,
seperti “pada umur berapa Raden Patah menjadi raja?”, sebuah pertanyaan
yang tabu diucapkan dalam forum kemahasiswaan, namun dalam forum
pendidikan merupakan sebuah pertanyaan yang bernilai tinggi, karena
menyisipkan rasa keingintahuan yang cukup besar.

Gambar 1.3 Seorang siswi menggunakan buku catatan dalam pengajuan pertanyaan
Namun, kelas ini juga bersifat heterogen. Heterogenisme ini ditandai
melalui minat para siswa terhadap pembelajaran sejarah. Ada siswa yang cukup
aktif dan interaktif dalam sesi pertanyaan beserta kritik, meskipun ada pula siswa
yang hanya tidur – tiduran, bersantai, dan melakukan tindakan lain di mana
terlihat bahwa mereka merasa bosan. Stigma bahwa pelajaran sejarah tidak
menarik di level Sekolah Menengah Kejuruan memang berhasil dipatahkan oleh
siswa – siswi ini.

Gambar 1.4 Siswa yang terlihat bersantai (tengah, kedua dari kiri)

KESIMPULAN

Ada stigma memang, bahwa Sekolah Menengah Kejuruan merupakan


‘neraka’ bagi pembelajaran Sejarah. Hal ini didasari oleh pandangan bahwa orang
– orang kejuruan lebih bersifat teknis dan praktis, sehingga tidak terlalu perlu
dalam hal pembelajaran Sejarah dan Kewarganegaraan, sebuah blunder
(kesalahan besar) yang kemudian menjadi awal dari hancur leburnya generasi
masa depan bangsa ini.
Apakah yang salah? Kami merasa sistemnya yang salah. Karena mereka
siswa kejuruan, bukan berarti mereka tidak difasilitasi rasa nasionalismenya.
Justru mereka menunjukkan ketertarikan yang cukup besar pada pelajaran sejarah.
Walaupun ada yang merasa bosan, hal tersebut terjadi setelah berkali – kali
presentasi, sehingga mereka cenderung jenuh untuk tetap duduk diam.

Tapi faktanya jelas, kemampuan mereka tidak diragukan. Pertanyaan


mereka yang keluar dari konteks sudah membuktikan bahwa mereka
mengharapkan sesuatu yang lebih dari apa yang mereka terima selama ini.
Semoga saja makin bertambah guru yang mau memfasilitasi kebutuhan mereka,
dan semoga saja sistem yang ada diperbaiki demi mereka.

Gambar 1.5 Tim Khusus Observasi beserta Pak Yoyo

DOKUMENTASI DAN LAMPIRAN

Foto-foto yang telah disisipkan dalam penjelasan sebelumnya beserta


rekaman video dan suara berasal dari dokumentasi pribadi Tim Khusus Observasi.
Adapun untuk dokumen (berupa surat izin observasi), sudah terlampirkan pada
bagian akhir Laporan Hasil Observasi ini.

Anda mungkin juga menyukai