Pada praktikum kali ini kita membuat 2 sediaan steril yakni tetes mata
dengan zat aktif Atropin Sulfat sebanyak 10 ml dan larutan cuci mata ZnSO4
sebanyak 100 ml.
Hal yang pertama yang dilakukan adalah melakukan sterilisasi terhadap alat
– alat yang akan digunakan pada praktikum kali ini. Meliputi, botol larutan mata,
gelas ukur, beaker glass, erlenmeyer, batang pengaduk, dan corong. Di sterilkan
dengan oven pada suhu 170°C selama 30 menit. Sedangkan tutup tetes mata, botol
tetes mata, dan tutup botol larutan mata disterilkan dengan menggunakan autoklaf
dengan suhu 121°C selama 15 menit.
Pertama pembuatan tetes mata atropin sulfat dilakukan penimbangan bahan
yang dilebihkan 20% karena ada penyaringan dalam proses pembuatan. Pembuatan
sediaan obat tetes atropine sulfat dibuat dengan menggunakan pelarut air. Atropine
sulfat sangat mudah larut dalam air, sehingga pembuatanya juga lebih stabil dengan
pelarut air.
Pada formulasinya ditambahakan zat tambahan Natrium Cloridum (NaCl),
karena jika tidak ditambahkan NaCl obat tetes mata tidak memenuhi syarat yaitu
hipotonis. Jika larutan obat tetes mata dalam keadaan hipotonis disuntikan ke tubuh
manusia akan berbahaya karena menyebabkan pecahnya pembuluh darah. Agar
obat tetes mata dan cuci mata nyaman dan tidak pedih dimata saat digunakan maka
harus dibuat isotonis dengan penambahan NaCl.
Dan adapun permasalahannya yakni OTT atropine sulfat (garam alkaloid)
dengan Na2HPO4 (basa) artinya menyebabkan sediaan akhir akan keruh, sehingga
pada proses pelarutan bahan harus diperhatikan adanya bahan yang OTT.
Sedangkan syarat obat tetes mata salah satunya adalah harus jernih, sehingga dalam
pembuatannya atropin sulfat di larutkan terlebih dahulu dengan aquadest baru
dicampurkan dengan NaH2PO42H2O, setelah itu baru Na2HPO42H2O,untuk
menghindari bahan yg OTT.
Kedua pembuatan larutan mata. Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui
dan menguasai pembuatan larutan mata yaitu cuci mata secara steril. Bahan yang
digunakan sebagai larutan cuci mata adalah ZnSO4, asam borat dan NaCl. Pelarut
yang digunakan adalah aquades steril karena ZnSO4 bersifat sangat mudah larut
dalam air sedang asam borat bersifat mudah larut dalam air. ZnSO4 berfungsi
sebagai adstringen sedang asam borat berkhasiat sebagai antibakteri dan fungistatik
sehingga dapat mengatasi mata bengkak, berair dan mata merah. Nacl berfungsi
untuk membuat larutan menjadi isotonis.
Metode pembuatan larutan cuci mata dan tetes mata pada praktikum ini
menggunakan teknik aseptis ditambah sterilisasi akhir. Umumnya teknik aseptis
tidak disertai sterilisasi akhir karena metode ini lebih cocok digunakan untuk bahan-
1
bahan yang tidak tahan pemanasan sehingga tidak boleh disterilisasi akhir. Teknik
aseptis pada praktikum ini dipakai untuk mengurangi adanya kontaminasi mikroba
meskipun dilakukan sterilisasi akhir tetap diperlukan usaha mengurangi adanya
kontaminasi pada proses pembuatan sediaan steril. Penimbangan bahan ditambah
10% untuk mengantisipasi kekurangan bahan karena proses pembuatan.
Syarat sediaan parenteral untuk mata adalah jernih, isohidris, steril, bebas
partikel asing, dan isotonis. NaCl ditambahkan pada larutan cuci mata untuk
mengatur isotonisitas sediaan supaya sama dengan mata sehingga tidak
menimbulkan rasa sakit saat digunakan. Penambahan NaCl dihitung dengan rumus
:
0,52 – (b1c1 + b2c2)
𝐵=
𝑏3
B = jumlah penambaha NaCl
c1 = konsentrasi ZnSO₄
c2 = konsentrasi asam borat
c3 = konsentrasi NaCl
b1 = Ptb ZnSO₄
b2 = Ptb asam borat
b3 = konsentrasi NaCl
Larutan cuci mata harus jernih supaya nampak jika ada pertikel asing yang
dapat melukai mata. Isohidris artinya pH sediaan sama dengan mata atau berada
pada range yang ditentukan dimana masih aman dan nyaman jika digunakan.
Jangkauan pH isohidris adalah 6,8 – 7,4. Syarat paling penting adalah steril yaitu
bebas mikroba hidup yang dapat menimbulkan infeksi. Sterilisasi akhir dengan
autoklaf pada suhu 1210 C selama 15 menit. Suhu sterilisasi 1210 C supaya spora
mikroba benar-benar mati. Waktu 15 menit supaya sediaan tidak terdegradasi
karena meskipun tahan terhadap pemanasan namun jika terlalu lama bisa rusak.
Berdasarkan teori yang lebih baik pemanasan pada suhu tinggi secara waktu singkat
daripada pemanasan suhu rendah dalam waktu yang lama untuk menjaga stabilitas
sediaan.
Uji sterilitas bermanfaat untuk mengetahui validitas proses sterilisasi dan
melakukan kontrol kualitas sediaan steril. Uji ini harus direncanakan dengan baik
untuk menghindari hasil positif palsu. Positif palsu dapat terjadi karena kontaminasi
lingkungan maupun kesalahan yang dilakukan oleh personil. Lingkungan harus
didesain sesuai dengan persyaratan ruang steril yang telah ditetapkan oleh
Farmakope terutama mengenai jumlah mikroorganisme maupun jumlah partikel
yang hidup di udara. menumbuhkan mikroorganisme yang dapat berupa jamur
maupun bakteri. Uji sterilisasi menurut Farmakope Indonesia Edisi IV dapat
dilakukan dengan dua prosedur pengujian yang terdiri dari metode inokulasi
langsung ke dalam media uji dan metode teknik filtrasi membran.
2
Media berfungsi untuk menumbuhkan mikroba, isolasi, memperbanyak
jumlah, menguji sifat-sifat fisiologi dan perhitungan jumlah mikroba, dimana dalam
proses pembuatannya harus disterilisasi dan menerapkan metode aseptis untuk
menghindari kontaminasi pada media. Dalam Farmakope Edisi IV, disebutkan
terdapat 3 media yang dapat digunakan dalam uji sterilitas sediaan, yaitu media
tioglikolat cair, media tioglikolat alternatif (untuk alat yang mempunyailumen
kecil), dan Soybean-Casein Digest Medium. Pada praktikum kali ini uji sterilitas
menggunakan metode inokulasi langsung kedalam media uji dan media yang
digunakan adalah tioglikolat cair. Jadi sediaan yang telah dibuat diambil sampel
sebanyak ± 2ml kemudian dicampurkan dengan media yang telah dibuat dalam
tabung rx kemudian di inkubasi selama 1 minggu. Hasil yang diperoleh setelah 7
hari diinkubasi adalah terdapat kekeruhan pada tabung sediaan tetes mata dan
larutan mata sedangkan pada tabung kontrol ruangan dan kontrol negatif tidak
terlihat adanya keruhan. Adanya kekeruhan pada media menandakan adanya
pertumbuhan bakteri pada sampel sediaan. Hal ini kemungkinan dapat terjadi
karena cara kerja praktikan yang kurang aseptis, peralatan yang digunakan telah
terkontaminasi, ataupun media yang digunakan telah terkontaminasi juga
sebelumnya. Dugaan tersebut dikarenakan pada kelompok lain yang menggunakan
media yang sama, ada yang kontrol negatifnya justru keruh.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sediaan tetes mata dan larutan
cuci mata hasil dari praktikum tidak memenuhi syarat karena terdapat kekeruhan
pada media