Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

ADENOTONSILITIS KRONIS

Oleh:

Ni Putu Intan Hapsari (1871121014)


Pande Putu Bagus Mahendra Yasa (1871121022)

Pembimbing:

dr. Wayan Sulistiawan, Sp.T.H.T.K.L.


dr. I Wayan Suwandara, Sp.T.H.T.K.L.

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS WARMADEWA
RSUD SANJIWANI GIANYAR
2019
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,
Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat dan rahmat-Nya laporan kasus yang berjudul “Adenotonsilitis
Kronis” dapat dikerjakan dan selesai tepat pada waktu. Laporan ini disusun
sebagai tugas pada Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
dan Tenggorok.
Dalam pengerjaan laporan ini penulis mendapatkan berbagai dukungan dan
bimbingan serta semangat dari berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Wayan Sulistiawan, Sp.T.H.T.K.L. dan dr. I Wayan Suwandara,
Sp.T.H.T.K.L. selaku pembimbing dalam penyusunan laporan kasus ini.
2. dr. Putu Amelia Agustini Siadja, Sp.T.H.T.K.L., dr. A.A.G. Bagus Tri
Kesuma, Sp.T.H.T.K.L., dan dr. Luh Witari Indrayani, Sp. T.H.T.K.L.,
Ns. I Made Sanjaya, S.Kep, I. A. W. Putri Ekayanti, Amd.Kep, I Gusti N.
Mardawa, Amd.Kep yang telah memberikan bimbingan dan masukan
selama melakukan kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung dan Tenggorok.
3. Rekan-rekan dokter muda yang telah memberikan dukungan dan masukan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih memerlukan
pengembangan lebih lanjut. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan dalam pengembangan pembuatan laporan
ini.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga laporan ini dapat
bermanfaat.
Om Santhi, Santhi, Santhi Om.

Gianyar, 2 Juli 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Sampul ................................................................................................
Kata Pengantar .................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3
2.1 Anatomi ............................................................................................... 3
2.2 Definisi ................................................................................................ 6
2.3 Epidemiologi ....................................................................................... 6
2.4 Etiologi ................................................................................................ 7
2.5 Patofisiologi ........................................................................................ 7
2.6 Diagnosis ............................................................................................. 8
2.7 Diagnosis Banding .............................................................................. 10
2.9 Tatalaksana .......................................................................................... 12
2.10 Komplikasi ........................................................................................ 14
2.11 Prognosis ........................................................................................... 15
BAB III LAPORAN KASUS ............................................................................. 16
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 24

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Peradangan pada tonsil atau tonsilitis merupakan salah satu masalah kesehatan
yang sering terjadi di dunia. Keadaan ini menjadi perhatian dunia oleh karena
dapat terjadi pada segala usia yang umumnya terjadi pada usia anak dan dewasa
muda. Terdapat 4 macam tonsil, yaitu tonsil palatina, tonsil lingual, tonsil
faringeal (adenoid), dan tonsil tuba yang membentuk suatu lingkaran disebut
cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut. Apabila setelah terjadi serangan tonsillitis akut
tidak terjadi penyembuhan yang sempurna pada tonsil, maka dapat terjadi infeksi
berulang. Jika keadaan ini menetap, bakteri patogen akan bersarang di dalam
tonsil dan terjadi peradangan yang kronis atau yang disebut dengan tonsilitis
kronis.1,6
Hipertrofi adenoid merupakan pembesaran pada adenoid akibat terjadinya
infeksi saluran pernafasan atas. Adenoid juga berperan dalam sistem kekebalan
tubuh yang berperan melawan virus dan bakteri dan akan membentuk antibodi.3
Adenotonsilitis kronis adalah infeksi menetap atau berulang dari tonsil dan
adenoid. Adenotonsilitis dapat disebabkan oleh bakteri dan virus. Penyebab
tersering dari adenotonsilitis adalah bakteri Streptokokus beta hemolitikus grup
A.1,4,11
Adenotonsilitis masih menjadi masalah kesehatan di dunia terutuma sering
terjadi pada kelompok umur 5 – 10 tahun. Berdasarkan epidemiologi penyakit
THT di 7 provinsi Indonesia, prevalensi tonsilitis kronik 36 kasus per 1000 anak
sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut (4,6%). Penelitian yang
dilakukan di RSUP Sanglah tahun 2013, pasien tonsilitis yang sudah menjalani
tonsilektomi tertinggi yakni pada usia 5 – 11 tahun yaitu sebesar 40,74%.
Sebagian besar anak mengalami tonsilitis kronis karena perilaku pola makan
mengkonsumsi makanan seperti gorengan dan minuman dingin seperti es,
kebiasaan mengkonsumsi makanan dan minuman yang dijual dimana
kebersihannya kurang terjamin, dan kurangnya pemeliharaan kesehatan gigi dan
mulut.4,6,7

1
Walaupun adenotonsilitis bukan merupakan keadaan yang mengancam
nyawa, namun dampak dari kondisi ini dapat menyebabkan penurunan kualitas
hidup dan berpengaruh pada aktivitas sehari-hari. Gangguan proses menelan
menjadi salah satu penyebab penderita menjadi malas untuk makan, sehingga
penderita cenderung menjadi lemas yang pada akhirnya menurunkan
produktivitasnya. Oleh karena itu, untuk menanggulangi dampak dari penyakit ini
diperlukan pemahaman yang baik agar dapat menegakan diagnosis serta
memberikan terapi yang sesuai dengan kondisi penderita. Berdasarkan hal
tersebut, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai penyakit
tonsilofaringitis melalui laporan kasus ini.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
2.1.1 Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat empat macam tonsil yaitu tonsil
lingualis yang terletak pada radiks linguae, tonsil palatina yang terletak pada
isthmus faucium antara arkus glossopalatinus dan arkus glossofaringikus, tonsil
faringeal (adenoid) yang terletak pada dinding dorsal dari nasofaring dan tonsil
tubaria yang terletak pada bagian lateral nasofaring disekitar ostium tuba auditiva
yang keempatnya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.1,3,6

Gambar 1. Cincin Waldeyer

Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak didalam fossa
tonsilaris. Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, berjumlah sepasang
masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan
tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat, folikel
germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari
jaringan limfoid).4,7
Tonsil terletak di lateral orofaring dan dibatasi oleh:

3
a. Lateral : m. konstriktor faring superior
b. Anterior : m. palatoglosus
c. Posterior : m. palatofaringeus
d. Superior : palatum mole
e. Inferior : tonsil lingual

Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada dinding


lateral oropharynx diantara arcus palatoglossus dan arcus palatopharyngeus
kemudian bersatu di pole atas dan selanjutnya bersama-sama dengan musculus
palatina membentuk palatum molle. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatine dan
batas lateralnya adalah musculus konstriktor faring superior. Pada pole atas
(upper pole) tonsil terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supra
tonsilaris yang berisi jaringan ikat longgar. Pole atas tonsil terletak pada cekungan
berbentuk bulan sabit yang disebut sebagai plika semilunaris. Pada plika ini
terdapat massa kecil lunak, letaknya dekat dengan ruang supratonsil dan disebut
sebagai glandula salivaris mukosa dari Weber yang berperan dalam pembentukan
abses peritonsil. Pada saat tonsilektomi, jaringan areolar yang lunak antara tonsil
dengan fossa tonsilaris mudah dipisahkan dan biasanya merupakan tempat nanah
memecah keluar bila terjadi abses. Pole bawah tonsil melekat pada lipatan mukosa
yang disebut plika triangularis, pada bagian bawahnya terdapat folikel yang
kadang-kadang membesar. Plika ini penting karena sikatrik yang terbantuk setelah
proses tonsilektomi dapat menarik folikel tersebut ke dalam fossa tonsilaris,
sehingga dapat dikelirukan sebagai sisa tonsil.1,4,6
Vaskularisasi tonsil berasal dari arteri palatina minor, arteri palatine
asendens, cabang tonsil arteri maksila eksterna, arteri faring asendens dan arteri
lingualis dorsal. Aliran darah balik tonsil yaitu menuju vena palatina eksterna
yang melintas ke bawah dari palatum mole dan lewat dekat permukaan lateral
tonsil palatina dan nantinya bermuara ke dalam plexus faringealis. Aliran limfe
tonsil akan menuju ke lateral dan inferior kelenjar limfe dekat angulus mandibular
dan ke nodus jugulodigastrikus mengalir menuju deep jugular node dan
selanjutnya menuju duktus torasikus. Nodus jugulodigastrikus sering disebut
kelenjar tonsilar karena sering membesar ketika tonsil palatina meradang

4
(tonsillitis). Inervasi tonsil bagian atas mendapat sensasi dari beberapa cabang
nervus palatina serabut saraf kelima melalui ganglion sfenopalatina dan bagian
bawah dari nervus glossofaringeus.1,3
Secara miksroskopik tonsil memiliki tiga komponen, yaitu jaringan ikat,
jaringan interfolikuler dan jaringan germativum. Jaringan ikat trabekula atau
retikulum memiliki fungsi sebagai penyokong tonsil. Trabekula merupakan
perluasan kapsul tonsil ke parenkim tonsil yang mengandung pembuluh darah,
saraf dan limfetik eferen. Jaringan germinativum terletak dibagian tengah jaringan
tonsil, sebagai sel induk kelompok leukosit yang membentuk sel-sel limfoid.
Jaringan interfolikuler terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai tingkat
pertumbuhan.4

2.1.2 Adenoid
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid
yang sama dengan yang terdapat pada tonsil palatina. Lobus atau segmen tersebut
tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah celah atau kantong
diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian
tengah yang dikenal sebagai bursa faringeus.1,2,11
Adenoid terletak pada dinding atas nasofaring bagian belakang. Jaringan
adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior,
walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Pada
masa pubertas adenoid ini akan menghilang atau mengecil sehingga jarang
dijumpai pada orang dewasa. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing
anak. Pada umumnya adenoid akan berukuran maksimal antara usia 3-7 tahun
kemudian akan mengalami regresi pada usia 14 tahun. Adenoid mendapat darah
dari cabang-cabang faringeal arteri karotis interna dan sebagian kecil dari cabang-
cabang palatina arteri maksilaris. Darah vena dialirkan sepanjang pleksus
faringeus ke dalam vena jugularis interna. Sedangkan persarafan sensoris melalui
nervus nasofaringeal yaitu cabang dari saraf otak ke IX dan juga melalui nervus
vagus.1,4,11

5
Gambar 2. Struktur pada Orofaring

2.2 Definisi
Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila
palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari
tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil.
Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu
yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh
penderita mengalami penurunan. Hipertrofi adenoid merupakan pembesaran pada
tonsil faringeal (adenoid) akibat terjadinya infeksi saluran nafas atas secara terus
menerus akibatnya akan timbul sumbatan koana dan sumbatan tuba eustachius.
Adenotonsilitis kronis merupakan infeksi menetap atau berulang dari tonsil
palatina dan adenoid, timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok,
beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan
fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.1,3,6

2.3 Epidemiologi
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan penyebab
tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Berdasarkan data epidemiologi
penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia pada bulan September tahun 2012,
prevalensi tonsilitis kronik 36 kasus per 1000 anak sebesar 3,8% tertinggi kedua

6
setelah nasofaringitis akut (4,6%).6 Pada penelitian di RSUP Sanglah tahun 2013,
pasien tonsilitis yang sudah menjalani tonsilektomi terbanyak pada usia 5-11
tahun yaitu berjumlah 11 orang (40,74%) dari 27 sampel penelitian.5
Tonsilitis baik akut maupun kronik dapat terjadi pada semua umur, namun
lebih sering terjadi pada anak. Faktor penyebab utama hal tersebut adalah ISPA
dan tonsillitis akut yang tidak mendapat terapi yang adekuat. Tonsilitis lebih
umum pada anak-anak usia 5-15 tahun dengan prevalensi tonsillitis bakterial 15-
30% yang disebabkan oleh spesies Streptococcus disertai dengan gangguan
tenggorokan dan 5-15% pada dewasa dengan gangguan tenggorokan, sedangkan
tonsilitis virus lebih sering terjadi pada anak-anak muda. Data epidemiologi
menunjukkan bahwa penyakit tonsilitis kronis merupakan penyakit yang sering
terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu
penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu:
10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45
tahun keatas.4,6,7

2.4 Etiologi
Berdasarkan penyebab infeksinya, tonsilitis disebabkan oleh viral dan bakteri.
Penyebab tonsilitis viral paling sering adalah virus Epstein Barr, Hemofilus
Influenzae, virus Coxschakie. Sedangkan tonsilitis bakteri paling sering
disebabkan oleh Streptococcus ß hemoliticus grup A yang dikenal sebagai strept
throat, Pneumococus, Streptococcus Viridan dan Streptococcus Pyogenes.1,3

2.5 Patofisiologi
Tonsil sebagai pertahanan masuknya bakteri ke tubuh baik melalui hidung atau
mulut. Virus atau bakteri dapat masuk ke dalam tubuh melalui hidung atau mulut
akan menginfiltrasi lapisan epitel dan jaringan limfoid superfisial sehingga timbul
reaksi radang. Reaksi radang akan menyebabkan keluarnya leukosit
polimorfonuklear (PMN) sehingga terbentuk detritus. Detritus merupakan
leukosit, bakteri mati, dan epitel yang terlepas. Infeksi yang berulang dan
sumbatan pada kripte tonsil mengakibatkan peningkatan antigen dalam kripte.
Bakteri yang berada didalam kripte tonsil menjadi sumber infeksi yang berulang

7
terhadap tonsil. Pada keadaan ini fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah
menjadi fokal infeksi dan suatu saat bakteri dan virus dapat menyebar ke seluruh
tubuh, misalnya pada saat keadaan kekebalan tubuh menurun.1,3
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripte tonsil, karena proses
tersebut terjadi berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid digantikan oleh jaringan
parut yang akan mengkerut sehingga kripte akan melebar, selanjutnya akan diisi
oleh detritus berupa eksudat berwarna kekuningan. Proses tersebut meluas hingga
menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa
tonsilaris. Pada anak-anak biasanya disertai pembesaran kelenjar limfe
submandibula.1,6

2.6 Diagnosis
2.6.1 Tonsilitis Kronik
Diagnosis tonsilitis kronis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.1,3,6
a. Anamnesis
Pada anamnesis pasien mengeluh rasa mengganjal di tenggorok, rasa kering di
tenggorok, nafas berbau (halitosis). Pada anamnesis perlu melakukan pengkajian
lebih mendalam mengenai riwayat tonsilitis dan riwayat pengobatan sebelumnya
serta riwayat kebiasaan makannya.
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan inspeksi tonsil, ditemukan tampak tonsil
membesar dengan permukaan yang tidak rata dan terdapat kripte yang melebar
kadang disertai detritus. Pada umumnya pembesaran tonsil dapat dibagi dalam
ukuran T1 – T4:
 T0 : tonsil telah terangkat
 T1 : tonsil masih berada dalam fossa tonsilaris
 T2 : tonsil melewati arkus posterior hingga mencapai linea paramediana
 T3 :tonsil melewati linea paramediana hingga mencapai linea mediana
(pertengahan uvula)
 T4 : tonsil melewati linea mediana (uvula)

8
Gambar 3. Ukuran Pembesaran Tonsil
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan secara mikrobiologi dan histopatologi.
Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur tonsil yang diambil dari swab
permukaan tonsil maupun jaringan inti tonsil dan pemeriksaan kultur dari inti
tonsil dapat memberikan gambaran penyebab tonsilitis yang lebih akurat. Pada
pemeriksaan mikrobilogi dari tonsil dapat dilakukan dengan pemeriksaan dengan
pewarnaan Ziehl-Nelson yang bertujuan untuk mengetahui kuman penyebab dan
mengetahui sensitivitas terhadap antibiotik. Pemeriksaan kultur dari inti tonsil ini
dilakukan sesaat setelah tonsilektomi atau dengan aspirasi jarum halus dengan
pasien diberikan narkose lokal terlebih dahulu. Pemeriksaan berdasarkan
histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan ringan-sedang
infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abses dan infitrasi limfosit yang difus.

2.6.2 Hipertofi Adenoid


Hipertrofi adenoid akan mengakibatkan sumbatan koana, pasien akan bernafas
melalui mulut sehingga terjadi (a) fasies adenoid yaitu tampak hidung kecil, gigi
insisivus ke depan arkus faring tinggi yang menyebabkan kesan wajah tampak
seperti orang bodoh, (b) faringitis dan bronkitis, (c) gangguan ventilasi dan
drainase sinus paranasal sehingga menimbulkan sinusitis kronik. Akibat dari
sumbatan tuba eustachius akan terjadi otitis media akut berulang, otitis media

9
kronik dan terjadi otitis media supuratif kronik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1,7,11
a Anamnesis
Pada anak, pasien mengalami gangguan tidur, mengorok pada saat tidur
(sleep obstructive) karena pada anak-anak tonsil yang hipertrofi dapat
menyebabkan obstruksi saluran pernafasan atas.
b Pemeriksaan fisik
 Rhinoskopi anterior dengan cara melihat fenomena palatum mole
pada waktu fonasi.
 Rhinoskopi posterior, tapi pada pemeriksaan rhinoskopi posterior sulit
dilakukan pada anak.
c Pemeriksaan penunjang
 Nasoendoskopi.
 Foto skull AP Lateral.

2.7 Diagnosis Banding


Adapun diagnosa banding pada tonsillitis kronik yaitu:4,6
1. Tonsillitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.Tidak semua orang
yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer
antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap
cukup memberikan dasar imunitas. Tonsillitis difteri sering ditemukan pada
anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia -5 tahun.
Gejala klinik terbagi dalam 3 golongan yaitu: umum, lokal, dan gejala akibat
eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu
tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi
lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil
membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan
bersatu membentuk membrane semu (pseudomembran) yang melekat erat pada
dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Jika infeksinya berjalan
terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai leher sapi (bull neck). Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan

10
kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot
palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.

Gambar 4. Tonsila Difteri

2. Faringitis
Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri,
alergi, trauma dan toksin.Infeksi bakteri dapat menyebabkan kerusakan jaringan
yang hebat, karena bakteri ini melepskan toksin ektraseluler yang dapat
menimbulkan demam reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonephritis akut
karena fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen
antibody. Gejala klinis secara umum pada faringitis berupa demam, nyeri
tenggorok, sulit menelan, dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan tampak tonsil
membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya.
Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring.
Kelenjar limfa anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.

Gambar 5. Faringitis

11
2.8 Tatalaksana
2.8.1 Tonsilitis
2.8.1.1 Medikamentosa
Penatalaksanaan tonsilitis kronis dengan terapi lokal ditujukan untuk menjaga
higiene mulut yang baik dengan obat kumur yang mengandung klorheksidin atau
benzidamin pada pasien dewasa maupun anak, namun pada anak terdapat
keterbatasan penggunaan khususnya pada obat kumur herbal dimana tidak
dianjurkan pemakaiannya pada anak <12 tahun. Hal ini berkaitan dengan
kandungan etanol sebagai larutan pengekstraknya. Pengobatan tonsilitis kronis
dengan menggunakan antibiotik oral perlu diberikan selama sekurangnya 6-10
hari. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada penderita tonsilitis kronis yaitu
antibiotik golongan penisilin merupakan antibiotik pilihan pada sebagian besar
kasus karena efektif dan harganya lebih murah, golongan sefalosporin yang
efektif terhadap streptococcus, dan golongan makrolida apabila terdapat alergi
terhadap kedua antibiotik tersebut. Sebaiknya sebelum memberikan antibiotik,
terlebih dahulu dilakukan kultur bakteri. Kemudian diberikan jenis antibiotik
sesuai dengan hasil kultur.6,7
2.8.1.2 Operatif
Selain terapi medikamentosa, penatalaksanaan tonsilitis kronis dapat dengan
melakukan tindakan operatif yaitu tonsilektomi. Tonsilektomi merupakan operasi
pengangkatan seluruh tonsil palatina. Efek samping dari tonsilektomi adalah post
tonsillectomy hemorrhage (PTH). PTH primer dapat terjadi 24 jam setelah operasi
disebabkan oleh tidak adekuatnya penjahitan/ligasi arteri yang bersangkutan.
Sedangkan PTH sekunder dapat terjadi pada hari ke 5 sampai ke 10 post
pembedahan. Pasien dengan usia tua (>70 tahun), laki-laki, riwayat tonsillitis
kronik dan atau tonsillitis rekuren, tonsillitis dengan histologist kriptik,
kehilangan darah massif intraoperatif dan peningkatan mean arterial pressure
postoperatif dan anemia (khususnya wanita), merupakan faktor risiko dari PTH.
Berdasarkan panduan oleh American Academy of Otolaryngology & Head and
Neck Surgery (AAO-HNS) 1995, adapun beberapa yang perlu diperhatikan dalam
mengindikasikan tonsilektomi yaitu:2,6,7

12
a. Indikasi Absolut
1. Pembesaran tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner.
2. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis
dan drainase.
3. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
4. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan
patologi anatomi.
b. Indikasi Relatif
1. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan
terapi antibiotik adekuat.
2. Halitosis akibat tonsilitis kronis yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis.
3. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang
tidak membaik dengan pemberian antibitok ß-laktamase
resisten.
4. Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu
keganasan.

2.8.2 Hipertrofi Adenoid


Penatalaksanaan hipertrofi adenoid dengan melakukan tindakan operatif yaitu
adenoidektomi. Adenoidektomi dilakukan bertujuan untuk mencegah komplikasi
berupa otitis media. Adenoidektomi dinyatakan efektif menurunkan insiden otitis
media efusi, sinusitis, serta memperbaiki tuba akibat penurunan respon inflamasi
dan polusi disekitar nasofaring. Indikasi melakukan adenoidektomi adalah: 1
a) Sumbatan
- Sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas lewat mulut
- Sleep apnea
- Gangguan menelan
- Gangguan bicara
- Kelainan bentuk wajah dan gigi (adenoid face)

13
b) Infeksi
- Adenoiditis berulang atau kronik
- Otitis media efusi berulang atau kronik
- Otitis media akut berulang
c) Neoplasia
Kecurigaan neoplasma jinak atau ganas

2.9 Komplikasi
Komplikasi tonsillitis kronik dibagi menjadi dua yaitu komplikasi dekat dan
komplikasi jauh, sebagai berikut:1,3,6
A. Peradangan kronis tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah
sekitarnya atau komplikasi dekat
1. Abses peritonsil
Abses peritonsil umumnya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil
dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Abses peritonsil terjadi
akibat komplikasi tonsilitis akut atau berulang dan biasanya
disebabkan oleh Streptococcus β hemolitikus grup A. Nyeri tenggorok
adalah gejala yang paling menonjol, kesulitan untuk makan dan
menelan ludah, dan ditemukannya trismus. Pada pemeriksaan fisik
tampak palatum mole menonjol kedepan dapat teraba fluktuasi. Untuk
mendiagnosis abses peritonsil adalah dengan mengumpulkan pus dari
abses dengan menggunakan jarum aspirasi.
2. Abses intratonsilar
Abses intratonsilar merupakan akumulasi pus yang berada dalam
substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan penutupan kripta pada
tonsilitis folikular akut, dengan keluhan nyeri lokal dan disfagia.
Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan
pemberian antibiotika dan drainase abses jika diperlukan, kemudian
dilakukan tonsilektomi.
3. Tonsilolith (kalkulus tonsil)
Tonsilolith dapat ditemukan pada tonsilitis kronis apabila kripte
tersumbat oleh sisa-sisa debris. Garam inorganik kalsium dan

14
magnesium kemudian terakumulasi yang memicu terbentuknya batu.
Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat
terjadi ulserasi dari tonsil. Diagnosis tonsilolith dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan fisik seperti pada palpasi dan ditemukan
permukaan yang tidak rata pada perabaan.
4. Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba eustachius dan
mengakibatkan otitis media akut.
5. Sinusitis
Infeksi yang terjadi di tonsil dapat menyebar ke bagian nasal sehingga
menyebabkan sinusitis.

B. Komplikasi jauh
Pada tonsilitis kronik dapat terjadi komplikasi jauh yang terjadi secara
hematogen atau limfogen, antara lain endokarditis, artritis, miostitis,
nefritis, uveitis, dan dermatitis.

2.10 Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan
pengobatan suportif. Pasien yang telah dilakukan tonsilektomi disertai
adenoidektomi biasanya memiliki prognosis baik.1,3

15
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Inisial : IKYP
Jenis Kelamin : Laki
Umur : 13 Tahun
Alamat : Br. Calo Pupuan Tegalalang Gianyar
Pekerjaan : Pelajar
Suku Bangsa : Indonesia
Agama : Hindu
No. RM : 654299
Tgl. Pemeriksaan : 29/6/2019

3.2 Anamnesis
Keluhan utama: rasa mengganjal di tenggorok
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Sanjiwani Gianyar diantar oleh orang
tuanya untuk kontrol kedua. Saat ini pasien masih mengeluhkan rasa mengganjal
di tenggorok saat menelan namun tidak disertai nyeri. Sebelumnya pasien datang
pertama kali ke poliklinik THT pada tanggal 22/6/2019 dengan keluhan nyeri
menelan yang dideritanya sejak 3 hari SMRS. Nyeri dirasakan pada tenggorok
pasien seperti tertusuk dan mengganjal serta hilang timbul. Nyeri dirasakan
terutama saat pasien menelan makanan dan tidak nyeri saat tidak menelan
sehingga nafsu makan pasien menurun. Awalnya pasien mengeluhkan demam dan
pilek dengan berisi cairan berwarna bening sebelum timbul nyeri menelan.
Demam dan pilek dikatakan sudah membaik dengan minum obat penurun panas.
Menurut bapak pasien, pasien sering mengorok saat tidur tapi tidak sampai
terbangun dan dikeluhkan napasnya sering berbau. Pasien sudah pernah
mengalami keluhan serupa, terakhir kambuh 3 bulan yang lalu hingga saat ini
telah lebih dari empat kali mengalami kekambuhan. Keluhan lainnya seperti

16
batuk, bersin, dan nyeri telinga, keluar cairan dari telinga disangkal oleh pasien.
serta makan minum baik, BAK dan BAB dalam batas normal.

b. Riwayat Penyakit Terdahulu


Pasien sebelumnya pernah mengeluh keluhan yang serupa sejak ± 2 tahun yang
lalu dan sudah sempat berobat ke dokter dan keluhan sudah sempat membaik
namun orang tua pasien tidak tahu nama obat yang diberikan selama berobat.
Keluhan tersebut dikatakan orang tua pasien sering berulang, lebih dari 4x yang
disertai dengan demam. Riwayat penyakit kronis seperti asma, penyakit jantung
bawaan serta riwayat alergi obat maupun makanan disangkal oleh pasien.

c. Riwayat Penyakit Keluarga


Orang tua pasien mengatakan tidak ada anggota keluarganya yang mengalami
keluhan yang sama dengan keluhan yang dirasakan pasien.

d. Riwayat Pribadi, Sosial dan Lingkungan


Pasien masih berstatus pelajar dan keseharian pasien aktif seperti anak seusianya.
Pola makan pasien masih baik dan pasien memang suka mengkonsumsi snack dan
es.

3.3 Pemeriksaan Fisik


a. Status Present
Kesadaran : Compos Mentis
Nadi : 84 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu aksila : 36.50C

b. Status General
Pemeriksaan umum
Mata : Anemis -/-, Ikterus -/-
THT : Sesuai status THT
Thoraks : Cor : S1S2 tunggal regular murmur (-)

17
Pulmo : Ves +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen : Distensi (-), bising usus (+) normal
Ekstremitas : Hangat pada keempat ekstremitas tanpa edema

c. Status Lokalis THT


A. Telinga
Status Kanan Kiri
Daun Telinga Normal Normal
Liang Telinga Lapang Lapang
Discharge (-) (-)
Membran Timpani Intak Intak
Tumor (-) (-)
Mastoid Normal Normal
Daun Telinga Normal Normal

B. Hidung
Status Kanan Kiri
Hidung Luar Normal Normal
Kavum Nasi Lapang Lapang
Septum Deviasi (-) Deviasi (-)
Discharge (-) (-)
Mukosa Merah muda Merah muda
Tumor (-) (-)
Konka Dekongesti Dekongesti
Sinus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Fenomena Palatum Molle (-) (-)

C. Tenggorok
Status Kanan Kiri
Tonsil T2 T3
Kripte melebar (+) Kripte melebar
Detritus (-) (+) Detritus (-)

18
Mukosa Merah muda
Dispneu (-)
Sianosis (-)
Stridor (-)
Suara Normal
Dinding Belakang Merah muda, tidak tampak granula
hipertropi

D. Laring
Status
Epiglotis Tidak dievaluasi
Plika Vokalis Tidak dievaluasi
Aritenoid Tidak dievaluasi
Plika Ventrikularis Tidak dievaluasi

3.4 Pemeriksaan Penunjang


a. Darah Lengkap (24-6-2019)
Parameter Hasil Unit Ket Nilai Normal
WBC 9,31 103/μL N 4,0 – 10,0
HCT 36,0 % N 37,0 – 54,0
HGB 12,9 g/dL N 11,0 – 16,0
MCV 80,0 fL N 82,0 – 95,0
MCH 28,7 pg N 27,0 – 31,0
MCHC 35,8 g/dL N 32,0 – 36,0
PLT 445 103/μL N 150 – 450

b. Faal Hemostasis (24-6-2019)


Parameter Hasil Nilai Rujukan
(Menit)
Masa Perdarahan / Bleeding Time (BT) 1’30” 1-6

Masa Pembekuan / Clotting Time (CT) 7’30” 10-15

19
3.5 Assesment
Adenotonsilitis Kronis

3.6 Penatalaksanaan
- Pro Adenotonsilektomi tgl 3/7/2019
- Konsul anestesi untuk acc tindakan

20
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis bahwa pasien laki-laki berusia 13 tahun masih


mengeluhkan rasa mengganjal di tenggorok saat menelan namun tidak disertai
nyeri. Sebelumnya pasien datang pertama kali ke poliklinik THT pada tanggal
22/6/2019 dengan keluhan nyeri menelan yang dideritanya sejak 3 hari SMRS.
Pada saat dilakukan wawancara didapatkan gejala-gejala yang mengarah pada
tonsilitis kronik dengan hipertrofi adenoid. Gejala tersebut berupa rasa
mengganjal pada tenggorok, mengorok saat tidur, dan napas berbau. Dari
anamnesis terdapat riwayat nyeri menelan yang berulang seperti tertusuk dan
mengganjal serta hilang timbul. Nyeri dirasakan terutama saat pasien menelan
makanan dan tidak nyeri saat tidak menelan sehingga nafsu makan pasien
menurun. Awalnya pasien mengeluhkan demam dan pilek dengan berisi cairan
berwarna bening sebelum timbul nyeri menelan. Demam dan pilek dikatakan
sudah membaik dengan minum obat penurun panas. Menurut bapak pasien, pasien
sering mengorok saat tidur tapi tidak sampai terbangun dan dikeluhkan napasnya
sering berbau. Pasien sudah pernah mengalami keluhan serupa, terakhir kambuh 3
bulan yang lalu hingga saat ini telah lebih dari empat kali mengalami
kekambuhan. Keluhan lainnya seperti batuk, bersin, dan nyeri telinga, keluar
cairan dari telinga disangkal oleh pasien. serta makan minum baik, BAK dan BAB
dalam batas normal.
Berdasarkan hal tersebut sudah sesuai dengan teori yang menyebutkan
bahwa, tonsilitis kronis merupakan peradangan tonsil yang menetap sebagai
akibat infeksi akut atau subklinis yang berulang, timbul karena rangsangan yang
menahun dari beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat dan
sering terjadi pada anak-anak namun juga dapat menyerang orang dewasa.
Manifestasi klinis tonsilitis kronis yang dikeluhkan pasien sudah sesuai dengan
teori yakni terdapat rasa yang mengganjal di tenggorok dan napas berbau serta
klinis dari hipertrofi adenoid yaitu ngorok saat tidur, ini disebabkan karena letak
adenoid pada dinding dorsal nasofaring dan dekat dengan koana sehingga apabila

21
terjadi pembesaran dapat menyumbat secara parsial maupun total pada koana dan
nasofaring yang akan menimbulkan terjadi ngorok dan membuat pasien bernafas
lewat mulut.1,3,6,11
Pada pemeriksaan inspeksi tonsil menggunakan spatula lidah dan
rhinoskopi posterior ditemukan adanya tanda peradangan kronik pada tonsil
palatina yaitu ukuran kedua tonsil T2/T3 yaitu pada tonsil kanan melewati arkus
posterior hingga mencapai linea paramediana dan tonsil kiri melewati linea
paramediana hingga mencapai linea mediana (pertengahan uvula), dengan mukosa
faring merah muda, permukaan tidak rata, serta kripte yang melebar dan tidak
didapatkan adanya detritus. Hal tersebut sesuai dengan teori tonsilitis kronik yaitu
tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan
beberapa kripte terisi oleh detritus. Karena proses tersebut terjadi berulang maka
epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan
jaringan limfoid digantikan oleh jaringan parut yang akan mengkerut sehingga
kripte akan melebar, selanjutnya akan diisi oleh detritus berupa eksudat berwarna
kekuningan. Proses tersebut meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris.1,3,6
Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan berupa pemeriksaan darah
lengkap didapatkan hasil dalam batas normal. Pemeriksaan penunjang berupa
bakteriologi berupa kultur swab tidak dilakukan pada pasien. Berdasarkan teori,
pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menunjang diagnosis antara lain
pemeriksaan darah lengkap dan kultur swab untuk mengetahui mengetahui bakteri
penyebab dan mengetahui sensitivitas terhadap antibiotik.4,6
Penatalaksanaan tonsilitis kronis dapat dilakukan dengan medikamentosa
dan operatif. Terapi medikamentosa dapat dilakukan dengan memberikan obat
antibiotik untuk mengendalikan proses infeksi yang berulang dan tetap menjaga
higenitas mulut. Berdasarkan catatan medis, pasien datang pertama kali ke
poliklinik THT pada tanggal 22/6/2019 sedang mengalami eksaserbasi akut
sehingga diberikan antibiotik cefadroxil dari golongan sefalosporin generasi
pertama. Cefadroxil merupakan antibiotik spektrum luas bersifat bakterisida
karena bekerja dengan menghambat dinding sel bakteri serta efektif mengobati
infeksi akiabt bakteri gram positif seperti Streptococcus Beta-Hemolitikus dan

22
Staphylococcus. Apabila terapi medikamentosa tidak adekuat, terdapat infeksi
berulang atau kronik dapat dilakukan tonsilektomi sesuai dengan indikasi
American Academy of Otolaryngeology – Head and Neck Surgery (AAO-HNS)
1995.2,4,6 Pada kasus ini dilakukan tindakan operatif berupa adenotonsilektomi
yaitu prosedur pengangkatan tonsil palatina dan adenoid. Indikasi tindakan sudah
sesuai dengan indikasi adenoidektomi serta tonsilektomi berdasarkan American
Academy of Otolaryngeology – Head and Neck Surgery (AAO-HNS) 1995 yaitu
indikasi absolut berupa pembesaran tonsil yang menimbulkan obstruksi saluran
napas.1 Tindakan pembedahan tersebut dilakukan di ruang operasi dengan anastesi
umum. Sebelum dilakukan operasi pasien diberikan antibiotik profilaksis berupa
cefotaxime 1gr (iv) pre operasi. Pasien diberikan komunikasi, informasi, dan
edukasi (KIE) post operasi berupa diet es krim non cokelat, diet makanan lunak
tidak panas (suhu ruangan) dan kontrol kembali ke Poli THT post MRS.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. 2012
2. Told T N. 2019. Tonsillectomy and Adenoidectomy of Pfenninger and
Fowler's Procedures for Primary Care. Elcevier. Chapter 66, 406-414.
3. Chris Tanto dkk. 2014. Tonsilitis In: Fardizza F, Klarisa C. Kapita Selekta
Kedokteran Jilid 2. Edisi ke-7. Media Aesculapius, Jakarta: pp. 1067-1070.
4. Nadhilla NF, Sari MI. Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut pada Pasien
Dewasa. J Medulla Unila. 2016; Vol. 5; 107-112.
5. Srikandi PR, Sutanegara SW, Sucipta IW. 2013. Profil Pembesaran Tonsil
Pada Pasien Tonsilitis Kronis yang Menjalani Tonsilektomi di RSUP Sanglah
Pada Tahun 2013. Bagian/SMF/Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah, Denpasar.
6. Harry Sundariyati IGA. Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut (Tinjauan
Pustaka). Denpasar (Indonesia). Universitas Udayana. 2017
7. Fauzi AN. Tonsilitis Kronik (Tinjauan Pustaka). Bandar Lampung
(Indonesia). Universitas Malahayati. 2016
8. Mindarti F, Rahardjo SP, Kondrat L. 2010. The Relationship Between Titer of
Anti Streptolisin O and Clinical Symptoms In Patient with Chronic Tonsilitis.
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makasar.
9. Farokah. 2012. Efektivitas Infiltrasi Lidokain pada Peritonsil Untuk
Mengurangi Nyeri Pasca Tonsilektomi (Doctoral dissertation, Diponegoro
University).
10. Novialdi N & Pulungan M R. 2019. Tenggorok-Kepala BT, Andalas LF.
Mikrobiologi Tonsilitis Kronis. Bagian Telinga Hidung Tenggorok-Kepala
dan Leher Fak. Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr. M.Djamil Padang
11. Lapinska I, Zawadzka L. 2016. Adenoid and Tonsils Hyportrophy –
Symptoms and Treatment. Department of Pediatric Otolaryngology, Medical
University of Warsaw.

24

Anda mungkin juga menyukai