Anda di halaman 1dari 38

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR BERBASIS

MASYARAKAT DI INDONESIA
Oleh :

Gunarto Latama (ketua), Adnan Wantasen, Adartho Utiah, Desniarti, Dinarwan, Indra, Joice
Rimper, Hengky Sinjal, Nur Asia Umar,

Suria Darwisito, Taslim Arifin, Yulianus Paonganan


I. PENDAHULUAN

Wilayah pesisir yang merupakan sumber daya potensial di Indonesia adalah suatu wilayah
peralihan antara daratan dan lautan. Sumber daya ini sangat besar yang didukung oleh adanya
garis pantai sepajang sekitar 81.000 km (Dahuri et al. 2001). Garis pantai yang panjang ini
menyimpan potensi kekayaan sumber alam yang besar. Potensi itu diantaranya potensi hayati
dan non hayati. Potensi hayati misalnya: perikanan, hutan mangrove, dan terumbu karang,
sedangkan potensi nonhayati misalnya: mineral dan bahan tambang serta pariwisata. Di daerah
ini juga berdiam para nelayan yang sebagian besar masih prasejahtera. Keadaan pantai di
Indonesia sangat bervariasi, yaitu mulai dari pantai pasir putih-berbatu, landai-terjal,
bervegetasi-berlumpur, teduh, bergelombang yang semua ini sangat cocok dengan berbagai
peruntukannya, seperti perikanan pantai, budidaya perikanan, industri perhotelan, turisme, dan
lain-lain.
Pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa disebut Community-Based Management
(CBM) menurut Nikijuluw 1994 dalam Zamani dan Darmawan 2000, merupakan salah satu
pendekatan pengelolaan sumber daya alam, misalnya perikanan, yang meletakkan
pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Selain
itu, mereka juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam
kepercayaannya (religion). Carter 1996 dalam Zamani dan Darmawan 2000, memberikan
definisi sebagai : “A strategy for achieving a people-centered development where the focus of
decision making with regard to the sustainable use of natural resources in an area lies with
the people in the communities of that area” atau “Suatu strategi untuk mencapai pembangunan
yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan
sumber daya secara berkelanjutan di suatu daerah berada ditangan organisasi-organisasi dalam
masyarakat di daerah tersebut”. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sistem pengelolaan ini,
masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap
sumber daya yang dimilikinya, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan,
tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi
kesejahteraannya. Dengan demikian pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat adalah
pendekatan pengelolaan yang melibatkan kerja sama antara masyarakat setempat dan
pemerintah dalam bentuk pengelolaan secara bersama dimana masyarakat berpartisipasi aktif
baik dalam perencanaan sampai pada pelaksanaannya. Pemikiran ini sangat didukung oleh
tujuan jangka panjang pembangunan wilayah pesisir di Indonesia antara lain:
1. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perluasan lapangan kerja dan kesempatan
usaha.
2. Pengembangan program dan kegiatan yang mengarah kepada peningkatan pemanfaatan
secara optimal dan lestari sumber daya di wilayah pesisir dan lautan.
3. Peningkatan kemampuan peran serta masyarakat pantai dalam pelestarian lingkungan.
4. Peningkatan pendidikan, latihan, riset dan pengembangan di wilayah pesisir dan lautan.

Dari beberapa tujuan tersebut di atas maka pemanfaatan secara optimal dan lestari
adalah salah satu yang menjadi pertimbangan utama di dalam pengelolaan sumber daya.
Pemanfaatan secara lestari hanya akan dicapai jika sumber daya dikelola secara baik,
proporsional dan transparan. Sumber daya yang dimaksud adalah sumber daya manusia, alam,
buatan dan sosial (Keraf, 2000). Pengembangan dan pengelolaan daerah pesisir di Indonesia
bukan hanya tanggung jawab dari pemerintah pusat tetapi kewenangan tersebut telah
dilimpahkan kepada pemerintah daerah dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 yang
memberikan kewenangan pada daerah dalam mengelola pesisir dan lautnya sejauh 12 mil
untuk propinsi dan 1/3 untuk kabupaten (UU No. 22 tahun 1999).

II. KEBIJAKAN DAN STRATEGI


PEMBANGUNAN PESISIR
Kebijakan bidang pesisir dan lautan sebagai kebijakan strategis diharapkan dapat membawa
kemakmuran rakyat, mengembangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia serta mampu
mensejajarkan diri dengan komunitas negara maju didunia. Kebijakan tersebut didasarkan
pada obyektivitas ilmiah (scientific objectivity) yang dibangun berdasarkan asas partisipatif
dan diarahkan agar rakyat sebagai penerima manfaat terbesar.

2.1. Landasan Pembangunan Pesisir dan Lautan


Dalam konteks epistemologi pembangunan, termasuk arah kebijakan pembangunan sektor
kelautan sebenarnya masih didominasi oleh terminologi pemikiran Michael Redclif tentang
konsep pembangunan berkelanjutan. Pemikiran ini kemudian diperjelas dan dikritisi oleh
seorang pakar ekonomi pembangunan yaitu Feyereban. Menurutnya pemikiran Redclif tentang
konsep pembangunan berkelanjutan, secara epistemology pembangunan terlalu didominasi
oleh pemikiran barat. Oleh karena itu menurut Feyereban diperlukan suatu multiple
epistemology dalam memahami pemikiran pembangunan yakni menggabungkan tradisi
abstrak yang didominasi pemikiran barat dengan tradisi historis yang menjadi ciri utama
negara-negara sedang berkembang. Namun, karena posisi epistemologi lokal ini semakin
melemah dan tersingkir, meskipun telah terbukti mampu menjamin keberlanjutan penghidupan
masyarakatnya, maka perlu ditemukan metode atau upaya untuk memperkuat posisinya dalam
perkembangan pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan pembangunan termasuk
pembangunan sektor kelautan. Penguatan pengetahuan lokal mensyaratkan redefenisi dari
pembangunan sektor kelautan sebagai sebuah epistemologi baru guna menunjang otonomi
daerah di wilayah pesisir dan lautan. Pembangunan sektor kelautan yang semacam ini dimana
pengetahuan lokal menjadi landasan utama mensyaratkan adanya cirri-ciri endogen dari
pembangunan tersebut. Ciri-ciri endogen tersebut dijelaskan oleh Friberg dan Hettne dalam
Kusumastanto (2002), yaitu (1) bahwa unit sosial dari pembangunan itu haruslah suatu
komunitas yang dibatasi oleh suatu ikatan budaya, dan pembangunan itu harus berakar pada
nilai-nilai dan pranatanya; (2) adanya kemandirian, yakni setiap komunitas bergantung pada
kekuatan dan sumberdayanya sendiri bukan pada kekuatan luar; (3) adanya keadilan sosial
dalam masyarakat dan (4) keseimbangan ekologis, yang menyangkut kesadaran akan potensi
ekosistem lokal dan batas-batasnya pada tingkat lokal dan global.
Dengan epistemologi semacam ini dalam konteks otonomi daerah di wilayah pesisir dan laut,
maka proses konsultasi sangat mudah dilakukan ketimbang sentralistik karena pemerintah
(negara) jauh dari masyarakatnya. Mengapa hal ini terjadi ? karena, masyarakat tidak memiliki
akses terhadap kekuasaan yang mengatur kehidupan mereka, sehingga negara menjadi otonom
hanya untuk dirinya sendiri bukan untuk masyarakatnya. Akibatnya otonomi negara menjadi
kuat yang melahirkan moral hazard seperti era Orde Baru dimana negara sebagai agen dari
masyarakat yang bertindak “sewenang-wenang” dan mengabaikan aspirasi masyarakat. Oleh
karena itu pilihan otonomi merupakan suatu mekanisme yang ingin mendekatkan pemerintah
dengan masyarakatnya. Tujuannya adalah masyarakat dalam proses penyelenggaraan negara,
politik, sosial, ekonomi, budaya serta penguasaan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan
laut yang seharusnya tidak perlu dijalankan sepenuhnya oleh negara.
Otonomi daerah di wilayah laut juga akan memiliki makna pembebasan dan pemberdayaan
bagi masyarakat nelayan dan petani ikan serta perlindungan lingkungan alam di laut, jika
masyarakat diberikan kembali haknya (re-entitle) dalam menguasai dan mengelolanya sumber
daya sektor kelautan secara kolektif dan partisipatif. Oleh karena itu political will pemerintah
adalah (1) bagaimana menfasilitasi proses peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola
dan memanfaatkan sumber daya kelautan secara kolektif dan berkelanjutan, (2) bagaimana
melindungi masyarakat dan sumber daya sektor kelautan dari penetrasi kekuatan rent seeker
yang semakin mudah menemukan jalannya ke daerah-daerah dengan perangkat institusional
yang sudah mereka kuasai dengan paradigma otonomi daerah ala Orde Baru.

2. 2. Strategi Pemberdayaan Masyarakat


Mempertimbangkan karakteristik masyarakat pesisir, khususnya nelayan sebagai komponen
yang paling banyak, serta cakupan atau batasan pemberdayaan maka sudah tentu
pemberdayaan nelayan patut dilakukan secara komprehensif. Pembangunan yang
komprehensif, menurut Asian Development Bank (ADB) dalam Nikijuluw (1994), adalah
pembangunan dengan memiliki cirri-ciri (1) berbasis lokal; (2) berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan; (3) berbasis kemitraan; (4) secara holistik; dan (5) berkelanjutan.
Pembangunan berbasis lokal adalah bahwa pembangunan itu bukan saja dilakukan setempat
tetapi juga melibatkan sumber daya lokal sehingga akhirnya return to local resource dapat
dinikmati oleh masyarakat lokal. Dengan demikian maka prinsip daya saing komparatif akan
dilaksanakan sebagai dasar atau langkah awal untuk mencapai daya saing kompetitif.
Pembangunan berbasis lokal tidak membuat penduduk lokal sekedar penonton dan pemerhati
di luar sistem, tetapi melibatkan mereka dalam pembangunan itu sendiri.
Pembangunan yang berorientasi kesejahteraan menitikberatkan kesejahteraan masyarakat dan
bukannya peningkatan produksi. Ini merubah prinsip-prinsip yang dianut selama ini yaitu
bahwa pencapaian pembangunan lebih diarahkan pemenuhan target-target variable ekonomi
makro. Pembangunan komprehensif yang diwujudkan dalam bentuk usaha kemitraan yang
mutualistis antara orang lokal (orang miskin) dengan orang yang lebih mampu. Kemitraan
akan membuka akses orang miskin terhadap teknologi, pasar, pengetahuan, modal, manajemen
yang lebih baik, serta pergaulan bisnis yang lebih luas.
Pembangunan secara holistik dalam pembangunan mencakup semua aspek. Untuk itu setiap
sumber daya lokal patut diketahui dan didayagunakan. Kebanyakan masyarakat pesisir
memang bergantung pada kegiatan sektor kelautan (perikanan), tetapi itu tidak berarti bahwa
semua orang harus bergantung pada perikanan. Akibat dari semua orang menggantungkan diri
pada perikanan yaitu kemungkinan terjadinya degradasi sumber daya ikan, penurunan
produksi, kenaikan biaya produksi, penurunan pendapatan dan penurunan kesejahteraan.
Gejala ini sama dengan apa yang disebut Gordon (1954) dengan tragedy milik bersama.
Pembangunan yang berkelanjutan mencakup juga aspek ekonomi dan sosial. Keberlanjutan
ekonomi berarti bahwa tidak ada eksploitasi ekonomi dari pelaku ekonomi yang kuat terhadap
yang lemah. Dalam kaitannya ini maka perlu ada kelembagaan ekonomi yang menyediakan,
menampung dan memberikan akses bagi setiap pelaku. Keberlanjutan sosial berarti bahwa
pembangunan tidak melawan, merusak dan atau menggantikan system dan nilai sosial yang
positif yang telah teruji sekian lama dan telah dipraktekkan oleh masyarakat.

III. POTENSI DAN PERMASALAHAN WILAYAH PESISIR

3.1. Potensi Wilayah Pesisir


Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir secara garis besar terdiri dari
tiga kelompok : (1) sumber daya dapat pulih (renewable resources), (2) sumber daya tak dapat
pulih (non-renewable resources), dan (3) jasa-jasa lingkungan (environmental services).
Potensi yang dihasilkan dari daerah ini pada tahun 1987 adalah Rp 36,6 trilyun, atau sekitar
22% dari total produk domestik bruto (Dahuri et al 2001).

a. Sumber Daya Dapat Pulih


Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah
pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan,
tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan amukan angin
taufan, dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, hutan
mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai
bahan baku obat obatan, dan lain-lain.
Segenap kegunaan ini telah dimanfaatkan secara tradisional oleh sebagian besar masyarakat
pesisir di tanah air. Potensi lain dari hutan mangrove yang belum dikembangkan secara
optimal, adalah kawasan wisata alam (ecotourism). Padahal negara lain, seperti Malaysia dan
Australia, kegiatan wisata alam di kawasan hutan mangrove sudah berkembang lama dan
menguntungkan (Dahuri et al 2001).
Indonesia memiliki hutan mangrove yang luas dibandingkan dengan negara lain. Hutan-hutan
ini dapat menempati bantaran sungai-sungai besar hingga 100 km masuk ke pedalaman seperti
yang dijumpai di sepanjang sungai Mahakam dan sungai Musi. Keanekaragaman juga
tertinggi di dunia dengan jumlah spesies sebanyak 89, terdiri dari 35 spesies tanaman, 9
spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies parasitik (Nontji, 1987 dalam
Dahuri 2001).
Terumbu karang
Indonesia memiliki kurang lebih 50.000 km2 ekosistem terumbu karang yang tersebar di
seluruh wilayah pesisir dan lautan (Dahuri et al. 2001). Terumbu karang mempunyai fungsi
ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan,
tempat bermain dan asuhan berbagai biota; terumbu karang juga menghasilkan berbagai
produk yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti berbagai jenis hasil perikanan, batu
karang untuk konstruksi. Dari segi estetika, terumbu karang dapat menampilkan pemandangan
yang sangat indah. Upaya pemanfaatan sumber daya alam yang lestari dengan melibatkan
masyarakat sangat dibutuhkan. Pada kasus di Bali (Dahuri et al 2001) dimana masyarakat
melakukan pengambilan karang secara intesif harus dicegah dengan mencarikan alternatif
berupa pengelolaan wilayah tersebut untuk kepentingan turisme dan melibatkan masyarakat
didalamnya. Cara seperti ini telah berhasil dikembangkan di Bunaken Sulawesi Utara dimana
masyarakat terlibat dalam sektor ekonomi seperti pelayanan pada penjualan suvenir, makanan
kecil, dan penyediaan fasilitas untuk menikmati keindahan terumbu karang; perahu katamaran
(perahu yang mempunyai kaca pada bagian tengah, sehingga orang bisa melihat langsung
kedalam air melalui kaca tersebut) atau jasa scuba diving. Sedangkan perusahaan bisa
menyediakan fasilitas hotel, restauran dan lain-lain. Contoh ini kemungkinan dapat
dikembangkan di tempat lain sebagai suatu model ekoturisme.
Rumput Laut
Potensi rumput laut (alga) di perairan Indonesia mencakup areal seluas 26.700 ha dengan
potensi produksi sebesar 482.400 ton/tahun. Pemanfaatan rumput laut untuk industri terutama
pada senyawa kimia yang terkandung di dalamnya, khususnya karegenan, agar, dan algin
(Nontji, 1987).
Melihat besarnya potensi pemanfaatan alga, terutama untuk ekspor, maka saat ini telah
diupayakan untuk dibudidayakan. Misalnya budidaya Euchema spp telah di coba di Kepulauan
Seribu (Jakarta), Bali, Pulau Samaringa (Sulawesi Tengah), Pulau Telang (Riau), dan Teluk
Lampung (Dahuri et al 2001). Usaha budidaya rumput laut telah banyak dilakukan dan masih
bisa ditingkatkan. Keterlibatan semua pihak dalam teknologi pembudidayaan dan pemasaran
merupakan faktor yang menentukan dalam menggairahkan masyarakat dalam
mengembangkan usaha budidaya rumput laut. Peranan pemerintah regulasi dalam penentuan
daerah budidaya, bantuan dari badan-badan peneliti untuk memperbaiki mutu produksi serta
jaminan harga yang baik dari pembeli/eksportir rumput laut sangat menentukan
kesinambungan usaha budidaya komoditi ini.

Sumber Daya Perikanan Laut


Potensi sumber daya perikanan laut di Indonesia terdiri dari sumber daya perikanan
pelagis besar (451.830 ton/tahun) dan pelagis kecil (2.423.000 ton/tahun), sumber daya
perikanan demersal 3.163.630 ton/tahun, udang (100.720 ton/tahun), ikan karang (80.082
ton/tahun) dan cumi-cumi 328.960 ton/tahun. Dengan demikian secara nasional potensi lestari
perikanan laut sebesar 6,7 juta ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan mencapai 48% (Dirjen
Perikanan 1995). Data pada tahun 1998 menunjukkan bahwa produksi ikan laut adalah
3.616.140 ton dan hal ini menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan potensi laut baru mencapai
57,0% (Ditjen Perikanan 1999 dalam Susilo 2001). Sedangkan potensi lahan pertambakan
diperkirakan seluas 866.550 Ha dan baru dimanfaatkan seluas 344.759 Ha (39,78%) bahkan
bisa lebih tinggi lagi. Dengan demikian masih terbuka peluang untuk peningkatan produksi
dan produktivitas lahan. Keterlibatan masyarakat dalam meningkatkan produksi perlu diatur
sehingga bisa mendatangkan keuntungan bagi semua pihak dan pengelolaan yang bersifat
ramah lingkungan dan lestari.
Pada usaha penangkapan ikan, perlu adanya peningkatan keterampilan bagi masyarakat
dengan menggunakan teknologi baru yang efisien. Hal ini untuk mengantisipasi persaingan
penangkapan oleh negara lain yang sering masuk ke perairan Indonesia dengan teknologi lebih
maju. Usaha ini melibatkan semua pihak mulai dari masyarakat nelayan, pengusaha dan
pemerintah serta pihak terkait lainnya. Hal lain yang perlu dilakukan adalah memberi
pengertian pada masyarakat nelayan tentang bahaya penangkapan yang tidak ramah
lingkungan seperti penggunaan bahan peledak atau penggunaan racun.
Pada bidang pertambakan, disamping dilakukan secara ekstensifikasi, usaha
peningkatan hasil pertambakan dalam bentuk intensifikasi. Hal ini jika dihubungkan dengan
pengelolaan tambak di Indonesia pada umumnya masih tradisional. Dengan hasil produksi
pertambakan Indonesia tahun 1998 berjumlah 585.900 ton yang merupakan nilai lebih dari
50% hasil kegiatan budidaya perikanan (Susilo 1999 dalam Ditjen Perikanan 1999).
Keterlibatan masyarakat dalam bentuk pertambakan inti rakyat dimana perusahaan sebagai
intinya dan masyarakat petambak sebagai plasma merupakan suatu konsep yang baik
meskipun kadangkala dalam pelaksanaannya banyak mengalami kendala. Hubungan lainnya
seperti kemitraan antara masyarakat petambak dengan pengusaha penyedia sarana produksi
juga adalah salah satu model kemitraan yang perlu dikembangkan dan disempurnakan dimasa
yang akan datang.

b. Sumber daya yang Tidak Dapat Pulih


Sumber daya yang tidak dapat pulih terdiri dari seluruh mineral dan geologi, yang termasuk
kedalamnya antara lain minyak gas, batu bara, emas, timah, nikel, bijh besi, batu bara, granit,
tanah liat, pasir, dan lain-lain. Sumber daya geologi lainnya adalah bahan baku industri dan
bahan bangunan, antara lain kaolin, pasir kuarsa, pasir bangunan, kerikil dan batu pondasi.

c. Jasa-jasa Lingkungan
Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai
tempat rekreasi dan parawisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana
pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim,
kawasan lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi fisiologis lainnya.

3.2. Permasalahan Pembangunan Wilayah


Pesisir
Ada beberapa masalah yang terjadi dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan di
Indonesia antara lain adalah pencemaran, degradasi habitat, over-eksploitasi sumber daya
alam, abrasi pantai, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, dan
bencana alam.
a. Pencemaran
Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya
menurun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi
dengan baku mutu dan/atau fungsinya (DKP RI, 2002).
Masalah pencemaran ini disebabkan karena aktivitas manusia seperti pembukaan lahan
untuk pertanian, pengembangan kota dan industri, penebangan kayu dan penambangan di
Daerah Aliran Sungai (DAS). Pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian
telah meningkatkan limbah pertanian baik padat maupun cair yang masuk ke perairan pesisir
dan laut melalui aliran sungai.
Pengembangan kota dan industri merupakan sumber bahan sedimen dan pencemaran
perairan pesisir dan laut. Pesatnya perkembangan pemukiman dan kota telah meningkatkan
jumlah sampah baik padat maupun cair yang merupakan sumber pencemaran pesisir dan laut
yang sulit dikontrol. Sektor industri dan pertambangan yang menghasilkan limbah kimia
(berupa sianida, timah, nikel, khrom, dan lain-lain) yang dibuang dalam jumlah besar ke aliran
sungai sangat potensial mencemari perairan pesisir dan laut, terlebih bahan sianida yang
terkenal dengan racun yang sangat berbahaya.
b. Kerusakan Fisik Habitat
Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan telah mengakibatkan penurunan
kualitas ekosistem. Hal ini terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang, dan rumput laut
atau padang lamun. Kebanyakan rusaknya habitat di daerah pesisir adalah akibat aktivitas
manusia seperti konversi hutan mangrove untuk kepentingan pemukiman, pembangunan
infrastruktur, dan perikanan tambak. Indonesia memiliki cadangan hutan mangrove tropis
terluas di dunia dengan luas sekitar 3,8 juta ha atau sekitar 30 – 40 % dari jumlah seluruh
hutan mangrove dunia Hutan mangrove di Indonesia terpusat di Irian Jaya dan Maluku (71%),
Sumatra (16 %), Kalimantan (9 %) dan Sulawesi ( 2,5 %). Namun akibat dari aktivitas
manusia, pada tahun 1970 – 1980, luas hutan mangrove Indonesia berkurang sekitar 700.000
ha untuk penggunaan lahan lainnya (Nugroho dkk 2001).
Ekosistem lainnya yang mengalami kerusakan cukup parah di Indonesia adalah
ekosistem terumbu karang. Dari berbagai hasil penelitian menggambarkan bahwa dari 24
lokasi terumbu karang yang ada di Indoneisia, 60 % berada dalam kondisi sangat baik, 22 %
baik, 33,5 % sedang dan 39 % dalam keadaan rusak (Suharsono dan Sukarno, 1992 dalam
Dahuri dkk 2001). Menurut Kantor Menteri Lingkungan Hidup (1993) bahwa 14 % ekosistem
terumbu karang di Indonesia sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan, 46 % telah
mengalami kerusakan, 33 % dalam keadaan baik, dan 7 % dalam keadaan sangat baik.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan rusaknya terumbu karang antara lain adalah :
(1) penambangan batu karang untuk bahan bangunan, jalan, dan hiasan, (2) penangkapan ikan
dengan menggunakan bahan peledak, racun, dan alat tangkap ikan tertentu, (3) pencemaran
perairan oleh limbah industri, pertanian dan rumah tangga, (4) pengendapan dan peningkatan
kekeruhan perairan akibat erosi tanah di darat, penggalian dan penambangan, (5) eksploitasi
berlebihan sumber daya perikanan karang.
Ekosistem padang lamun secara khusus rentan terhadap degradasi lingkungan yang
diakibatkan oleh aktivitas manusia. Beberapa aktivitas manusia yang dapat mengrusak
ekosistem padang lamun adalah (1) pengerukan dan pengurugan untuk pembangunan
pemukiman pinggir laut, pelabuhan, industri dan saluran navigasi, (2) pencemaran logam
industri terutama logam berat, dan senyawa organoklorin, pembuangan sampah organik,
pencemaran oleh limbah industri, pertanian, dan minyak (Bengen 2002).

c. Eksploitasi sumber daya secara berlebihan


Ada beberapa sumber daya perikanan yang telah dieksploitir secara berlebihan
(overfishing), termasuk udang, ikan demersal, palagis kecil, dan ikan karang. Hal ini terjadi
terutama di daerah-daerah dengan penduduk padat, misalnya di Selat Malaka, pantai utara
Pulau Jawa, Selat Bali, dan Sulawesi Selatan. Menipisnya stok sumber daya tersebut, selain
karena overfishing juga dipicu oleh aktivitas ekonomi yang baik secara langsung atau tidak
merusak ekosistem dan lingkungan sehingga perkembangan sumber daya perikanan
terganggu. Disamping itu, kurangnya apresiasi dan pengetahuan manusia untuk melakukan
konservasi sumber daya perikanan, seperti udang, mangrove, terumbu karang, dan lain-lain.
d. Abrasi Pantai
Ada 2 faktor yang menyebabkan terjadinya abrasi pantai, yaitu : (1) proses alami (karena
gerakan gelombang pada pantai terbuka), (2) aktivitas manusia. Kegiatan manusia tersebut
misalnya kegiatan penebangan hutan (HPH) atau pertanian di lahan atas yang tidak
mengindahkan konsep konservasi telah menyebabkan erosi tanah dan kemudian sedimen
tersebut dibawa ke aliran sungai serta diendapkan di kawasan pesisir. Aktivitas manusia lainya
adalah menebang atau merusak ekosistem mangrove di garis pantai baik untuk keperluan
kayu, bahan baku arang, maupun dalam rangka pembuatan tambak. Padahal menurut Bengen
(2001, 2000) hutan magrove tersebut secara ekologis dapat berfungsi : (1) sebagai peredam
gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur, dan penangkap
sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, (2) penghasil detritus (bahan makanan bagi
udang, kepiting, dan lain-lain) dan mineral-mineral yang dapat menyuburkan perairan, (3)
Sebagai daerah nurshery ground, feeding ground dan spawing ground bermacam biota
perairan.

e. Konversi Kawasan Lindung ke Penggunaan Lainnya.


Dewasa ini banyak sekali terjadi pergeseran penggunaan lahan, misalnya dari lahan pertanian
menjadi lahan industri, property, perkantoran, dan lain sebagainya yang terkadang kebijakan
persegeran tersebut tanpa mempertimbangkan efek ekologi, tetapi hanya mempertimbangkan
keuntungan ekonomi jangka pendek. Demikian juga halnya yang terjadi di wilayah pesisir,
banyak terjadi pergeseran lahan pesisir dan bahkan kawasan lindung sekalipun menjadi lahan
pemukiman, industri, pelabuhan, perikanan tambak, dan parawisata. Akibatnya terjadi
kerusakan ekosistem di sekitar pesisir, terutama ekosistem mangrove. Jika ekosistem
mangrove rusak dan bahkan punah, maka hal yang akan terjadi adalah (1) regenerasi stok ikan
dan udang terancam, (2) terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat
oleh hutan mangrove, (3) pedangkalan perairan pantai, (4) erosi garis pantai dan intrusi garam.
f. Bencana Alam
Bencana alam merupakan kejadian alami yang berdampak negatif pada sumber daya pesisir
dan lautan diluar kontrol manusia. Beberapa macam bencana alam yang sering terjadi di
wilayah pesisir dan merusak lingkungan pesisir antara lain adalah kenaikan muka laut,
gelombang pasang tsunami, dan radiasi ultra violet.

IV. PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU

Dalam rangka mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang berbasis masyarakat
diperlukan beberapa proses pengelolaan yang sesuai dengan tahapan manajemen yaitu mulai
dari perencanan, implementasi, monitoring dan evaluasi. Tahapan proses perencanaan
pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat tetap mengacu kepada proses perencanaan
pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan lautan (Gambar1).
.
Gambar 1. Proses Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat
(Sumber: Dahuri et al (2001) yang telah dimodifikasi

4.1. Tahap Perencanaan

Tahap awal dari proses perencanaan adalah dengan cara mengidentifikasi dan mendefinisikan
isu dan permasalahan yang ada, yang menyangkut kerusakan sumber daya alam, konflik
penggunaan, pencemaran, dimana perlu dilihat penyebab dan sumber permasalahan tersebut.
Selanjutnya juga perlu diperhatikan sumber daya alam dan ekosistem yang ada yang
menyangkut potensi, daya dukung, status, tingkat pemanfaatan, kondisi sosial ekonomi dan
budaya setempat seperti jumlah dan kepadatan penduduk, keragaman suku, jenis mata
pencaharian masyarakat lokal, sarana dan prasarana ekonomi dan lain-lain. Berdasarkan
pendefinisian masalah yang dipadukan dengan informasi tentang sumber daya alam dan
ekosistem serta aspirasi masyarakat selanjutnya disusun tujuan dan sasaran yang ingin dicapai.
Berdasarkan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai serta melihat peluang dan kendala yang ada
selanjutnya mulai dibuat perencanaan berupa kegiatan pembangunan dalam bentuk program
dan proyek. Perencanaan yang telah disusun perlu disosialisasikan kembali kepada masyarakat
luas untuk mendapat persetujuan, setelah mendapat pesetujuan rencana ini baru dimasukkan
dalam agenda pembangunan baik daerah maupun nasional.
Dalam penyusunan rencana pengelolaan ini, perlu juga diperhatikan bahwa konsep
pengelolaan sumber daya pesisir terpadu berbasis masyarakat diharapkan akan mampu untuk
(1) meningkatkan kesadaran masyarakat, akan pentingnya SDA dalam menunjang kehidupan
mereka (2) meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga mampu berperan serta dalam
setiap tahapan pengelolaan dan (3) meningkatkan pendapatan masyarakat, dengan bentuk-
bentuk pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan (Zamani dan
Darmawan, 2000).

4.2. Tahap Pelaksanaan (Implementasi) Rencana


Pada tahap implementasi perencanaan, diperlukan kesiapan dari semua pihak yang terlibat
didalamnya, seperti masyarakat itu sendiri, tenaga pendamping lapangan dan pihak lainnya.
Selain itu juga diperlukan koordinasi dan keterpaduan antar sektor dan stakeholder yang ada
sehingga tidak terjadi tumpang tindih kepentingan dan ego sektoral. Dalam hal ini diperlukan
adanya lembaga pelaksana yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan seperti
Pemerintah Daerah, masyarakat lokal, Investor/swasta, instansi sektoral, Perguruan Tinggi dan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Pada tahap implementasi ini juga diperlukan kesamaan persepsi antara masyarakat lokal
dengan lembaga atau orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan ini sehingga
masyarakat benar-benar memahami rencana yang akan dilaksanakan. Menurut Zamani dan
Darmawan (2000) kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan pada tahap implementasi ini adalah:
(1) integrasi ke dalam masyarakat, dengan melakukan pertemuan dengan masyarakat untuk
menjawab seluruh pertanyaan yang berhubungan dengan penerapan konsep dan
mengidentifikasi pemimpin potensial yang terdapat di lembaga masyarakat lokal. (2)
pendidikan dan pelatihan masyarakat, metoda pendidikan dapat dilakukan secara non formal
menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan cara tatap muka sehingga dapat diperoleh
informasi dua arah dan pengetahuan masyarakat lokal (indigenous knowledge) dapat
dikumpulkan untuk dimasukkan dalam konsep penerapan (3) memfasilitasi arah kebijakan,
dalam hal ini segenap kebijakan yang berasal dari masyarakat dan telah disetujui oleh
koordinator pelaksana hendaknya dapat didukung oleh pemerintah daerah, sehingga kebijakan
bersama tersebut mempunyai kekuatan hukum yang jelas, dan (4) penegakan hukum dan
peraturan, yang dimaksudkan agar seluruh pihak yang terlibat akan dapat menyesuaikan
tindakannya dengan hukum dan peraturan yang berlaku.

4.3. Tahap Monitoring dan Evaluasi


Monitoring yang dilakukan sejak dimulainya proses implementasi perencanaan dimaksudkan
untuk mengetahui efektivitas kegiatan, permasalahan yang timbul dalam implementasi
kegiatan. Monitoring dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak yang ada. Setelah
monitoring selanjutnya dilakukan evaluasi bersama secara terpadu dengan melibatkan seluruh
pihak yang berkepentingan. Melalui evaluasi ini akan diketahui kelemahan dan kelebihan dari
perencanaan yang ada guna perbaikan untuk pelaksanaan tahap berikutnya.
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu berbasis masyarakat sesuai dengan prinsip Ko-
manajemen perikanan yaitu pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang
antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya perikanan. Oleh sebab
itu keberhasilan pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat dapat mengacu kepada
indikator keberhasilan Ko-manajemen perikanan. Menurut Dahuri et al (1998) Indikator
keberhasilan Ko-manajemen adalah seperti pada Tabel Lampiran 1.
V. PENUTUP

Pengelolaan berbasis masyarakat merupakan salah satu pendekatan dalam upaya mengelola
sumber daya di wilayah pesisir, yang cukup menjanjikan dalam rangka meningkatkan
partisipasi aktif dari masyarakat dan dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan
ramah lingkungan.
Setidaknya ada 4 (empat) keuntungan yang didapatkan dalam pengelolaan berbasis
masyarakat : (1) masyarakat ikut mengontrol sumber daya di sekitar mereka, (2) dukungan
yang luas dari masyarakat dalam pengelolaan sumber daya yang ada, (3) ketersediaan data
yang dibutuhkan dalam pemanfaatan sumber daya tersebut, (4) pengelolaan sumber daya dapat
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu Berbasis Daya Dukung

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.480 pulau yang terdiri dari
sejumlah pulau besar dan lebih dari 1.000 pulau-pulau kecil yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Adapun wilayah laut teritorial seluas 5,8 juta km2 atau sebesar 63% dari total wilayah teritorial
Indonesia, dengan luas Zona Ekonomi Eksklusif 2,7 juta km2 dan garis pantai sepanjang 95.181 km
(Numberi, 2009). Hal-hal tersebut menjadikan wilayah pesisir Indonesia memiliki potensi sumberdaya
alam yang tinggi seperti mangrove, terumbu karang (coral reefs) dan padang lamun (sea grass beds).
Menurut Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan di laut, menurut Supriharyono (2007) wilayah ini sangat produktif dengan
keberadaan estuaria, hutan bakau, padang lamun serta terumbu karang, sehingga sedemikian
panjangnya pantai Indonesia merupakan potensi sumberdaya alam yang besar untuk pembangunan
ekonomi.

Keanekaragaman sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir, mengakibatkan wilayah ini
umumnya merupakan pemusatan berbagai kegiatan pembangunan seperti pemukiman, pertambakan,
tempat rekreasi, sarana penghubung dan sebagainya. Terdapat sebanyak 60% penduduk Indonesia
diperkirakan tinggal dan hidup di wilayah pesisir (Supriharyono, 2002). Sejalan dengan pertambahan
penduduk di Indonesia yaitu sebanyak 237.556.363 jiwa (BPS, 2010), tentunya memberikan tekanan
yang besar kepada wilayah ini khususnya akibat aktivitas manusia.

Dalam suatu wilayah pesisir suatu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) dan sumber daya
pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami atau pun buatan (man-made). Ekosistem alami yang
terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah : terumbu karang, hutan mangroves, padang lamun, pantai
berpasir, formasi pes-caprea, formasi bringtonia, estuari, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem
buatan antara lain berupa : tambak, sawah pasang surut, kawasan parawisata, kawasan industri,
kawasan agroindustri dan kawasan pemukiman.

Sumber daya di wilayah pesisir terdiri dari sumber daya alam yang dapat pulih dan tidak dapat
pulih, sumber daya yang dapat pulih antara lain, meliputi sumber daya perikanan (planton, benthos,
ikan, moluska, krustasea, mamalia laut), rumput laut (seaweed), padang lamun, hutan mangrove dan
terumbu karang. Sedangkan sumberdaya yang tidak dapat pulih antara lain, mencakup: minyak dan gas,
bijih besi, pasir, timah, bauksit dan mineral serta bahan tambang lainnya.
Dalam hal tersebut terkait pemanfaatan sumberdaya yang ada di pesisir serta berbagai aktivitas-
aktivitas yang berlangsung diwilayah pesisir maka perlu adanya pengelolaan secara terpadu.
Perencanaan secara terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan berbagai
aktivitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan pembangunan dalam kaitannya dengan
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Perencanaan terpadu dimaksudkan sebagai suatu upaya secara
terpogram untuk mencapai tujuan yang dapat mengharmoniskan dan mengoptimalkan antara
kepentingan untuk memelihara lingkungan, keterlibatan masyarakat dan pembangunan ekonomi.

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir
yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan)
secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berlanjutan. Dalam
konteks ini, keterpaduan (integration) mengadung tiga dimensi : sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan
ekologis.

Untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan perlu dilakukan penataan kawasan sesuai
dengan kondisi sumberdaya alam, pola pemanfaatan dan sesuai dengan daya dukung lingkungan
(carrying capacity). Upaya penataan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan tata
ruang untuk keseluruhan wilayah. Pengelolaan lingkungan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil
harus dirancang secara rasional dan bertanggungjawab sesuai dengan kemampuan daya dukungnya
dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi
dan keseimbangan lingkungan kawasan pesisir bagi pembangunan yang berkelanjutan.

Ditinjau dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan dan status indonesia sebagai negara
berkembang, PWPLT dalam konteks Indonesia sesungguhnya berada di persimpangan jalan. Indonesia
masih memiliki banyak kawasan pesisir dan lautan dengan potensi pembangunan yang sangat besa,
tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Kondisi terutama dijumpai di kawasan timur Indonesia
pembangunan. Berdasarkan karakteristik dan dinamika (the nature) dari kawasan pesisir dan lautan,
potensi dan permasalahan, maka pencapaian pembangunan kawasan pesisir dan lautan secara optimal
dan berkelanjutan tampaknya hanya dapat dilakukan melalui pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
(PWPLT). Hal ini paling tidak berdasarkan pada empat alasan pokok :

1. Secara empiris terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional), baik antara ekosistem di dalam
kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas.
2. Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat (orang)
yang memiliki keterampilan/keahlian dan kesenangan (preference) bekerja yang berbeda, sebagai petani
tambak, petani rumput laut, pendamping parawisata, industri dan kerajinan rumah tangga dan
sebagainya.

3. Dalam suatu kawasan pesisir, biasanya terdapat lebih dari dua macam sumber daya alam dan jasa-
jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan.

4. Baik secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur
(singel use) adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada
kegagalan usaha.

Keunggulan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (PWPLT)

Beberapa keunggulan (kelebihan atau manfaat) PWPLT jika dibandingkan dengan pendekatan secara
sektoral (IPPC, 1994)

1. PWPLT memberikan kesempatan kepada masyarakat pesisir untuk membangun sumber daya pesisir
sacare berkesinambungan. Hanya pendekatan pengelolaan secara terpadu yang dapat mengatasi konflik
pemanfaatan ruang dan sumber daya alam yang biasanya terjadi di kawasan pesisir.

2. PWPLT memungkinkan untuk memasukan pertimbangan tentang kebutuhan serta aspirasi


masyarakat terhadap sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir dan lautan baik
sekarang maupun yang akan datang, PWPLT dapat meminimalkan dampak negatif terhadap ekosistem
pesisir dan lautan.

3. PWPLT menyediakan kerangka (framework) yang dapat merespon segenap fluktuasi maupun
ketidak-menentuan yang merupakan ciri khas dari ekosistem pesisir dan lautan

4. PWPLTmembantu pemerintah daerah maupun pusat dengan suatu proses yang dapat
menumbuhkembangkan pembangunan ekonomi serta peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.

5. Meskipun PWPLT memerlukan pengumpulan dan analisis data serta proses perencanaan yang lebih
panjang dari pada pendekatan sektoral, tetapi secara keseluruhan akhirnya PWPLT lebih murah
ketimbang pendekatan secara sektoral.
Permasalahan dan konflik diwilayah pesisir

Dalam perencanaan pengembang-an wilayah sering terlebih dahulu dlakukan delineasi wilayah
(region) yang didalamnya terdapat kegiatan untuk menentukan batas-batas wilayah. Penentuan batas
wilayah dengan memperhatikan terhadap konsep wilayah. Dalam kaitan ini, konsep wilayah lebih
menekankan “wilayah” sebagai suatu alat (means) untuk suatu tujuan dibandingkan dengan tujuannya
sendiri. Sebagai suatu konsep, dapat ditunjukkan dengan mengambil contoh konsep wilayah yang telah
digunakan sebagai suatu metode klasifikasi melalui dua fase yang berbeda, yaitu dari fase yang
merefleksikan kemajuan ekonomi dari suatu ekonomi agraris yang sederhana menuju suatu sistem
perindustrian yang kompleks. Fase pertama memperlihatkan wilayah formal (menyangkut uniformitas,
dan didefinisikan melalui homogenitas), sementara fase kedua menunjukkan perkembangannya sebagai
wilayah fungsional (menyangkut interdependen, interrelationship dan didefinisikan berdasarkan
hubungan internasional)

Wilayah pantai/pesisir mempunyai karakter yang spesifik. Wilayah ini merupakan agregasi dari
berbagai komponen ekologi dan fisik yang saling terkait dan saling mempengaruhi, serta secara ekologis
sangat rapuh. Sebagaimana telah disinggung di depan bahwa pembangunan sumberdaya alam yang
tidak memperhatikan prinsip-prinsip ekologi akan sangat mudah merusak proses atau berfungsinya
ekosistem pantai.

Suatu ekosistem pantai adalah komposisi dari berbagai komponen (komponen ekologi dan biologi,
serta lingkungan fisik pantai) serta interaksinya. Komponen ekologi dan biologi dari ekosistem pantai
termasuk spesi binatang, tumbuhan dan organisme. Setiap spesi mempunyai peranan fungsi yang unik
di dalam ekosistem pantai dan mempunyai habitat tertentu. Lingkungan fisik pantai meliputi perairan
pantai, muara sungai, karang pantai. Interaksi antar komponen dari ekosistem pantai terjadi melalui
pertukaran energi dan zat, yang dimulai dengan konservasi cahaya matahari, nutrien dasar, karbon
dioksida dan mineral oleh tumbuhan (primary produsers) menjadi jaringan tumbuh-tumbuhan (plant
tissues) yang merupakan bahan dasar makanan untuk binatang.

Beberapa komponen dari ekosistem pantai berfungsi sebagai unit yang menyimpan “energy supply”.
Cadangan energi berfungsi menstabilisasikan ekosistem dan sebagai “buffer” terhadap kebutuhan
energi yang besar yang terjadi pada musim atau periode waktu tertentu. Kombinasi dari masuknya air
tawar ke perairan pantai, angin, ombak laut, temperatur, kekeruhan sangat mempengaruhi
berfungsinya proses ekosistem pantai. Perubahan yang menonjol pada komponen dan rantai interaksi
utama ekosistem pantai, terutama diakibatkan oleh proses pembangunan dan pendayagunaan sumber
daya alam pantai, dapat mengakibatkan terganggunya proses dan integritas ekosistem yang selanjutnya
menimbulkan degradasi lingkungan yang mengakibatkan kerugian pada masyarakat di wilayah pantai.

Tekanan yang keras dari proses pembangunan di wilayah pantai akan berakibat pada gangguan
atau dampak yang merusak pada fungsi dan integritas dari ekosistem pantai. Akibat yang timbul adalah
degradasi lingkungan dan menurunnya tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir.
Upaya yang efektif untuk meminimalkan dampak negatif pembangunan ekonomi dan intergritas
ekosistem pantai adalah menekankan usaha konservasi sumber daya alam pantai untuk menunjang
pembangunan jangka panjang dan berkelanjutan. Namun di dalam prakteknya, pendekatan pengelolaan
tersebut tidak sepenuhnya fleksibel secara politis dan sukar dilaksanakan. Manfaat jangka pendek dari
pembangunan ekonomi dan penggunaan sumber daya alam, pada kenyataannya, dibutuhkan di dalam
pengembangan ekonomi dan perbaikan kondisi sosial masyarakat pantai. Dengan demikian
pertimbangan-pertimbangan praktis dari berbagai pandangan harus diupayakan untuk menyeleraskan
kepentingan yang berorientasi jangka pendek dan jangka panjang.

Adanya kecenderungan yang nyata dari konflik antara pengguna/pemakai sumber daya alam
pantai, pada prinsipnya karena masalah eksternalitas dan overuses. Masalah ekseternalitas adalah
dampak yang terjadi pada pihak ketiga diluar proses transaksi ekonomi. Upaya untuk menginternalkan
tersebut dapat dilakukan melalui biaya sosial (sosial cost) kedalam proses produksi (caranya dapat
bermacam-macam, effluent charges, bargaining-negosiasi antar pihak ketiga dengan pihak pencemar
lingkungan). Overuses terjadi karena setiap “user” berusaha memaksimalkan pengguna/ pemakai
sumber daya alam. Konflik akibat eksternalitas dan overuses apabila tidak ditangani secara cepat dan
tepat akan menimbulkan menurunnya kualitas lingkungan. Konflik inipun akan menimbulkan golongan
lemah akan semakin menderita dan selanjutnya tergusur dari wilayah pantai Problem dan konflik yang
cenderung terjadi akibat adanya “multiple management entities” adalah fragmentasi di dalam
pengambilan keputusan, duplikasi/overlapping kewenangan/yuridiksi adalah tidak efektif dan tidak
efisien. Agar menjadi efektif dan efisien, maka problem tersebut harus dipecahkan. Konflik kadang
mempunyai dampak positif di dalam merangsang kreatifitas pemecahan masalah di dalam managemen
publik. Namun konflik kewenangan dan kepentingan yang berkepanjangan akan menghambat
pencapaian tujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan wilayah dan ekosistem pantai.

Seperti halnya dikabupaten Indramayu dimana kegiatan manusia menjadi faktor penting
terjadinya kerusakan ekosistem hutan mangrove. Tindakan manusia seperti membuka lahan tambak
yang melampaui batas daya dukung, maupun memanfaatkan tanaman mangrove secara berlebih tanpa
melakukan rehabilitas akan menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem mangrove. Pola pemanfaatan
lahan yang tidak ramah lingkungan juga akan mengancam keberadaan ekosistem hutan mangrove.
Demikian pula pola pembangunan yang dijalankan di daerah akan mempengaruhi kelestarian
sumberdaya hutan mangrove. Pada saat ini ada indikasi bahwa kerusakan ekosistem hutan mangrove
dan ancaman kepunahan spesies mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu semakin meningkat.
Faktor penyebab kerusakan dan akar masalahnya cukup kompleks. Namun inti dari semua permasalahan
degradasi hutan mangrove itu pada hakekatnya bersumber pada manusia berserta perilakunya dalam
hal ini adalah masyarakat yang ada disekitarnya.

Dalam konteks sistem ekologi, wilayah pesisir dan laut memeliki produktivitas tinggi. Masalah
yang biasa terjadi dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut berkaitan erat dengan perilaku
masyarakat pengguna sumber daya ini hampir selalu dilandasi oleh kerangka pikir “open access”. Lebih
lanjut, karena dalam kerangka pikir open access tidak memiliki arti kepimilikan sama sekal, pemanfaatan
sumber daya pesisir cenderung untuk menjadi berlebih. Kerangka pikir open access ini menyebabkan
tidak seimbangnya laju pemanfaatan dan laju pemulihan sumber daya tersebut. Dengan demikian dalam
konteks pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan diperlukan upaya terpadu yang
memperhatikan daya dukung lingkungan.

Untuk diketahui, aktivitas-aktivitas manusia, dalam rangka memanfaatkan sumberdaya alam,


didaerah pantai banyak yang menggunakan alat tangkap yang kurang ramah lingkungan, seperti
penangkapan ikan dengan bahan peledak dan racun (KCN). Penangkapan ini biasanya dilakukan
didaerah karang. Selain membunuh ikan-ikan sasaran, praktek penangkapan dengan cara ini juga
merusak ekosistem sumberdaya terumbu karang. Disamping itu, masih banyak praktek-praktek lain yang
menyokong semakin rusak terumbu karang, misalnya pengambilan karang, baik yang mati (untuk bahan
bangunan) maupun yang hidup (untuk hiasan aquarium) dan aktivitas lainnya baik yang ada didaratan
maupun dilaut, seperti penggundulan hutan, industrialisasi, pelabuhan, pertambangan, pelayaran dan
parawisata dapat membahayakan ekosistem wilayah pesisir.

Pendekatan Perencanaan Pengembangan Pesisir

Banyak yang berpendapat bahwa pengelolaan wilayah pantai secara terpadu (Intergrated Coastal
Zone Management) merupakan kunci bagi pemecahan problem dan konflik di wilayah pantai yang
sangat pelik dan kompleks. Keterpaduan di dalam manajemen publik dapat didefinisikan sebagai
penentuan goals dan objektif secara simultan, melakukan secara bersama-sama pengumpulan
informasi, perencanaan dan analisis secara kolektif, penggunaan secara bersama-sama perangkat/
instrumen pengelolaan. Pada kenyataannya, integrasi yang bersifat ideal sebagaimana dikemukakan di
atas tidak pernah akan dapat terjadi atau dilakukan. Di dalam praktek integritasi ini biasanya merupakan
upaya koordinasi antara berbagai enstitusi/lembaga terkait untuk menyelaraskan berbagai kepentingan,
prioritas dan tindakan. Usaha untuk melakukan koordinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan
mekanisme, prosedur dan rencana. Dengan demikian, rencana wilayah pantai terpadu disamping
berfungsi sebagai arahan bagi pengembangan, strategi yang dilakukan dan tindakan yang akan
dilaksanakan, juga berfungsi sebagai instrumen koordinasi.

Konsepsi pengembangan wilayah dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan dan selalu
terdapat isue-isue yang lebih menonjol tergantung dari kondisi wilayah pesisir bersangkutan.
Pendekatan-pendekatan ini meliputi : (1) pendekatan ekologis; (2) pendekatan fungsional/ ekonomi; (3)
pendekatan sosio-politik; (4) pendekatan behavioral dan kultural. Pendekatan ekologis menekankan
pada tinjauan ruang wilayah sebagai kesatuan ekosistem. Pendekatan ini sangat efektif untuk mengkaji
dampak suatu pembangunan secara ekologis, akan tetapi kecenderungan mengesampingkan dimensi
sosial, ekonomis dan politis dari ruang wilayah. Pendekatan fungsional ekonomi, menekankan pada
ruang wilayah sebagai wadah fungsional berbagai kegiatan, dimana faktor jarak atau lokasi menjadi
penting. Pendekatan sosial politis, menekankan pada aspek “penguasaan” wilayah. Pendekatan ini
melihat wilayah tidak saja dilihat dari berbagai sarana produksi namun juga sebagai sarana untuk
mengakumulasikan power. Konflik-konflik yang terjadi dilihat sebagai konflik yang terjadi antar
kelompok. Pendekatan ini juga melihat wilayah sebagai teritorial, yakni mengaitkan ruang-ruang bagian
wilayah tertentu dengan satuan-satuan organisasi tertentu. Pendekatan behavioral dan kultural,
menekankan pada keterkaitan antara wilayah dengan manusia dan masyarakat yang menghuni atau
memanfaatkan ruang wilayah tersebut. Pendekatan ini menekankan perlunya memahami perilaku
manusia dan masyarakat dalam pengembangan wilayah. Pendekatan ini melihat aspek-aspek norma,
kultur, psikologi masyarakat yang berbeda akan menghasilkan konsepsi wilayah yang berbeda.

Disamping pendekatan-pendekatan yang bersifat substansial seperti diatas, terdapat beberapa


pendekatan yang bersifat instrumental. Pendekatan instrumental ini dapat dikategorikan dalam 4
(empat) kelompok besar, yaitu (1) instrumen hukum dan peraturan; (2) instrumen ekonomi; (3)
instrumen program dan proyek; dan (4) instumen alternatif.
Instrumen hukum dan peraturan mempunyai konsep atau ide dasar adanya hukum dan peraturan
beserta penegakannya. Instrumen ini antara lain berupa hukum dan peraturan-peraturan seperti ijin
lokasi, ijin bangunan, AMDAL dan sebagainya. Instrumen ekonomi mempunyai konsep atau ide dasar
adanya pengaruh ekonomi pasar yang sangat signifikan terhadap pengembangan wilayah. Contoh dari
penerapan instrumen ini adalah adanya penerapan pajak, retribusi serta insentif dan disinsentif yang
berkaitan dengan pemanfaatan ruang. Instrumen program dan proyek khususnya yang dilaksanakan
langsung oleh pemerintah didasari atas konsep atau ide dasar pada kebutuhan-kebutuhan dasar dan
kepentingan masyarakat luas. Penerapan instrumen ini seperti pembangunan sarana dan prasarana
wilayah dan sejenisnya. Instrumen alternatif berdasarkan konsep atau ide dasar adanya pemberdayaan
masyarakat dari kemitraan. Contoh-contoh dari penerapan instrumen ini antara lain meliputi pelatihan,
pendidikan, partisipasi masyarakat, adanya proyek-proyek percontohan, penghargaaan kepada pelaku
masyarakat dan swasta atau pelaku pembangunan lainnya.

Proses Perencanaan

Proses dan langkah-langkah ini secara sederhana dapat diperlihatkan sebagai Proses
Perencanaan – Implementasi – Evaluasi Kawasan Pesisir Pantai. Penyusunan rencana, pada umunya
dirangsang oleh adanya problem dan konflik yang kritis diwilayah pantai. Hal ini menimbulkan kesadaran
akan perlunya perencanaan wilayah pantai terpadu. Keadaan ini, dilanjutkan dengan inisiatif dari pihak
pemerintah daerah maupun pusat untuk melakukan persiapan penyusunan rencana. Proses
perencanaan ini bersifat iteratif dan memungkinkan adanya umpan balik ganda (multiple feedback).

Proses dan langkah-langkah dasar dalam perencanaan dapat ditunjukkan seperti gambar
dibawah yang terdiri dari 6 langkah yaitu: definisi problem, menetapkan kriteria evaluasi, identifikasi
alternatif-alternatif, evaluasi alternatif-alternatif, pembandingan alternatif-alternatif, dan penilaian out-
come. Hal yang demikian adalah merupakan langkah-langkah umum dalam proses, dan tiap langkah
dapat dijabarkan ke dalam komponen yang lebih detail. Perlu diketahui bahwa dalam perencanaan, para
perencana boleh jadi menggunakan bermacam jalur, dikarena-kan perbedaan dalam training, waktu
yang tersedia untuk analisis, kompleksitas problem, sumber-daya yang tersedia, dan afiliasi
organisasional.
Langkah pertama (mendefinisikan problem) adalah usaha mengetahui posisi-posisi dan
pengaruh dari berbagai individu-individu dan kelompok-kelompok. Sehingga seorang perencana mesti
bertanya. Siapa yang berkepentingan terhadap problem? Mengapa? Apa saja persoalan mereka?
Kekuasaan apa yang dipunyai untuk mempengaruhi keputusan kebijakan?

Tantangan dalam langkah ini adalah menyatakan problem dengan penuh makna, menghilangkan
materi-materi yang tidak relevan, menyatakannya dengan angka-angka, berfokus pada sentral. Faktor-
faktor yang kritis, dan mendefinisikan problem dengan cara menghilangkan hal-hal yang bersifat
ambigius. Setelah usaha ini, akan diketahui apakah terdapat problem yang dapat diselesaikan, apakah
mampu untuk mengembangkan problem dengan statemen yang detail, dan apakah mampu untuk
mengestimasi waktu dan sumberdaya bagi analisis yang diperlukan

Langkah kedua (penetapan kriteria evaluasi), perlu diketahui kapan suatu problem diselesaikan
atau kapan kebijakan yang tepat atau yang bersifat dapat diterima diidentifikasi? Bagaimana kebijakan-
kebijakan yang mungkin ada akan diperbandingkan? Apakah kebijakkan yang diusulkan akan mempunyai
bermacam dampak dan mempengaruhi kelompok-kelompok yang berbeda? Kebijakan-kebijakan akan
diterima oleh kelompok satu, akan tetapi kemungkinan ditolak oleh kelompok lain, atau malah
membahayakan kepada kelompok lain.
Langkah ketiga (identifikasi kebijak-an alternatif) dalam proses, perencana harus mengetahui
nilai-nilai, tujuan, dan sasaran-sasaran yang tidak saja bagi pihak-pihak tertentu, namun juga kepada
seluruh pihak yang terlibat. Identifikasi terhadap kriteria adalah digunakan untuk pertimbangan
alternatif-alternatif dan membantu untuk membuat kebijakan alternatif.

Langkah keempat (evaluasi kebijak-an-kebijakan alternatif) dalam proses adalah evaluasi


kebijakan alternatif dan paket-paket kebijakan ke dalam strategi dan program. Apa saja dampak-dampak
yang diharapkan dari masing-masing kebijakan? Seberapa jauh masing-masing kebijakan memenuhi
kriteria evaluasi? Kegiatan evaluasi ini dapat mengungkap alternatif-alternatif yang memenuhi sebagian
besar atau seluruh kriteria umum, dan dapat pula mengungkap hal-hal lain yang dapat dibuang dengan
sedikit analisis tambahan. Beberapa alternatif butuh eksaminasi lebih lanjut. Data tambahan mungkin
harus dikumpulkan. Selama tahap ini adalah merupakan hal penting bagi seorang analisis untuk
memeriksa perbedaan antara kelayakan ekonomi atau kelayakan teknis dengan alternatif yang
acceptable secara politis. Formulasi kebijakan – desain dan evaluasi alternatif atau pilihan kebijakan –
dimaksudkan pada pendefinisian problem secara tepat dan menemukan solusi-solusi yang layak dan
efektif. Apakah solusi-solusi ini dapat diimplementasikan adalah merupakan pertanyaan politis esensial.

Kegiatan pengelolaan, manfaat dan dampaknya

1. Rencana pengelolaan perikanan dan partispasi masyarakat.

Aktivitas penyusunan rencana pengelolaan perikanan pantai (management plant) didahului


dengan elaborasi data base tentang kondisi sumberdaya ikan dan habitat (ekologi) melalui suatu kajian
tentang Resource Ecological Assessment (REA), serta kondisi sosial ekonomi masyarakat melalui kajian
Socioeconomic Assessment (SEA). Kajian REA memberikan informasi tentang tingkat pemanfaatan
sumberdaya ikan utamanya jenis ekonomis penting, kondisi habitat ikan dan utamanya jenis ekonomis
penting, kondisi habitat ikan dan issu/permasalahan yang terjadi dalam konteks pemanfaatan
sumberdaya ikan. Selanjutnya SEA memberikan informasi tentang tingkat pendapatan dan
kesejahteraan nelayan dan keluarganya.

Informasi yang terangkum dalam REA selanjutnya dipergunaakan untuk menyusun Rencana
Perikanan Pantai (Management Plan) yang bersifat umum dan rangkain Rencana Aksi (Action Plan) yang
merupakan rangkaian rencana aksi. Rencana ini disusun berdasarkan prioritas issu (issu spesifik) di
masing-masing lokasi proyek yang perlu mendapat pengelolaan segera.

Issu spesifik merupakan rangkaian masalah dalam bidang pengelolaan sumberdaya perikanan
pantai. Dari hasil kegiatan diperoleh tentang sulitnya penegakan hukum positip untuk mengatasi
masalah tersebut, mengingat lokasi kejadian berada dilaut. Misalnya konflik antara nelayan rawai dan
nelayan gillnet dasar di Bengkalis telah berlangsung menahun tanpa adanya indikasi penyelesaian yang
jelas dan dapat diterima oleh kedua berlah pihak. Demikan pulanya halnya dengan kegiatan
penangkapan ikan dengan bahan peledak dan atau racun telah berlangsung cukup lama dan telah
menghancurkan terumbu karang serta keanekaragamannya. Oleh karenanya penyusunan rencana aksi
(action plan) bertumpu pada masalah yang dihadapi bersama menjadi sangat penting dan kalau tidak
maka hal tersebut akan mengancam masa depan nelayan dan keluarganya.

Disadari bahwa syarat dasar rencana aksi yang baik adalah diterima oleh unsur stakeholder dan
dapat dilaksanakan, sehingga aktivitas analisa stakeholder dilakukan secara simultan dengan
penyusunan rencana aksi. Analisa stakeholder dimaksud untuk mengetahui pihak yang terkait dengan
masalah pengelolaan perikanan pantai, dan mengajak mereka untuk berpartisipasi aktif menyusun
strategi pemecahan masalah demi kepentingan bersama dalam jangka panjang.

Aktivitas analisa stakeholder telah berhasil membentuk organisasi masyarakat berupa Pengelola
Sumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas di Tegal, bayuwangi yang cukup dikenal dengan nama PSBK.
Dari sisi kepentingan pemerintah telah dibentuk Komite Penasehat Perikanan Kabupaten/Kota (KPPK).
Untuk mengkristalisasi keterwakilan masyarakat dalam kelompok tersebut tersebut, maka sebelum
pengesahan pembentukannya, dilakukan validasi secara bertahap oleh Lembaga Swadaya Masyarakat
dan telah berhasil disepakati dokumen Rencana Pengelolaan Perikanan Pantai (Management Plan) yang
memuat daftar issu yang perlu dikelola, dan dokumen Rencana Aksi (Action Plan) yang merupakan
rencana tidak lanjut pemecahan issu prioritas dalam prioritas dalam kerangka pengelolaan sumberdaya
perikanan pantai secara berkelanjutan.

1. Resolusi Konflik dan Penghentian Penangkapan Ikan yang Merusak

Rencana aksi mengenai resolusi konflik memuat kesepakatan para pihak yang terlibat dalam konflik.
Kesepakatan tersebut dibangun melalui proses konsultasi dan negoisasi yang dilakukan secara dengan
para pihak, difasilitasi oleh lembaga Swadaya Masyarakat, dihadiri oleh pihak keamanan (TNI-AL, Polri),
tokoh masyarakat, PSBK, KKPK serta Dinas Perikanan Propinsi Propinsi dan Kabupaten/Kota.

Kesepakatan tersebut memuat hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para pihak,
termaksud rincian sangsi. Misalnya di Bengkalis terdapat kesepakatan pembagian daerah penangkapan
yakni rawai dasar beroperasi di perairan 0-12 mil, sedangkan jaring batu hanya dapat beroperasi di
perairan > 6 mil. Untuk menghindari terbelitnya rawai dasar pada jaring batu diperairan > 6 mil, maka
nelayan rawai dasar mempunyai kewajiban melakukan pengamatan secara cermat, sebelum melakukan
setting alat tangkap.

Implementasi dan penegakan kesepakatan tersebut di tingkat lapangan bertumpu pada komitmen
nelayan (para pihak). Bilamana terdapat indikasi pelanggaran oleh nelayan, maka pihak saksi (pihak
yang melihat) hanya boleh mencatat identitas dan ciri-ciri kapal dan selanjutnya dilaporkan kepada PSBK
untuk proses penyelesaian lebih lanjut. Untuk menghindari konflik fisik dilaut maka pihak saksi tidak
diperkenankan melakukan tindakan fisik berupa pelanggaran atau pencegahan atau tindakan fisik
lainnya. Dengan mekanisme tersebut, ternyata frekwensi konflik baik di Bengkalis maupun Tegal
menurun secara signifikan bahkan ditenggarai issu konflik telah dapat diselesaikan oleh nelayan secara
mandiri tanpa melibatkan pihak lain.

Kondisi demikian membawa dampak positip bagi kehidupan nelayan dan keluarganya berupa
hilangnnya rasa takut pada saat mencari nafkah kehidupan (menangkap ikan), sehingga operasi
penangkapan ikan tidak lagi harus dilakukan secara berkelompok. Rasa aman saat menangkap ikan juga
berpengaruh terhadap jumlah dan kwalitas hasil tangkapan.

Dampak lain yang juga dirasakan yaitu berupa terjadinya perbaikan kondisi lingkungan perairan.
Hal ini dibuktikan dengan berkembangbiaknya kembali benih lobster dan rumput laut secara alami di
Teluk Ekas (Lombok Timur), sedangkan di Banyuwangi ditemukannya kembali ikan lemuru yang telah
lama hilang dari teluk Pampang.

2. Fish Sanctuary dan Terumbu Karang Buatan


Ikan adalah sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resource) baik secara alami maupun
dengan rekayasa teknologi. Ikan tidak mampu menciptakan ruang dan waktu tersebut sekalipun hanya
untuk mempertahankan hidupnya, tapi selalu tergantung pada kondisi ekosistem pada suatu kawasan
uang sangat tergantung pada aktivitas manusia. Fish Sanctuary adalah suatu ruang atau kawasan habitat
ikan yang disepakati untuk dilindungi bersama, sehingga kawasan ini dapat menopang kelestarian
keanekaragaman hayati. Dalam hal penentuan lokasi fish sanctuary, identifikasi dilakukan secara
akademis oleh para pakar perikanan termaksud kajian praktis dengan memadukan parameter ilmiah dan
pengalaman nelayan serta advokasi Lembaga Swadaya Masyarakat. Proses ini memerlukan enerji dan
waktu yang cukup signifikan mengingat hetergensi latar belakang berbagai pihak yang harus diajak
berdiskusi dan bersepakat.

Fish sanctuary dideskripsikan denga baik dan jelas antara meliputi :

 Fungsi dan manfaat

 Luasan dan batas-batas serta tanda (marking)

 Gugus tugas uyang bersedia secara sukarela mengamati dan melindungi kawasan tersebut

 Hal-hal yang dapat dan tidak dilakukan

 Monitoring dan Evaluasi

 Rencana aksi pemulihan kenakeragaman hayati pada kawasan tersebut.

Rencana aksi pemulihan keanekaragaman hayati di kawsan tersebut dimulai denga terhabilitas terumbu
karang yang berfungsi sebagai rumah ikan, mengingat tanpa rumahayang nyaman akan sulit rasanya
ikan dapat berkembang biak dengan baik. Konstruksi terumbu karang buatan (TKB) terdiri dari beton
reef ball berbentuk prisma. Dampak dari pembangunan terumbu karang buatan telah menghasilkan
peningkatan keanekaragaman hayati.

1.4. Rehabilitas dan Pengelolaan Hutan Bakau

Mangrove atau bakau adalah tumbuhan yang hidup antara daratan dan lautan di sepanjang
pantai. Secara ekologis, hutan bakau berfungsi sebagai daerah pembesaran (nursery ground) berbagai
jenis ikan, udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Oleh karenanya, fungsi hutan bakau dalam
memelihara kestabilan ekosistem pada suatu kawasan sangatlah penting, dan oleh karenanya
pengelolaan hutan bakau perlu dilakukan secara baik agar dapat menopang kehidupan nelayan dan
keluarganya.

Ironisnya penebangan hutan bakau berjalan tanpa aturan, seolah-olah tanaman tersebut tidak
bermanfaat untuk kestabilan ekosistem yang sangat penting untuk kenyamanan hidup manusia. Tidak
heran kalau di beberapa daerah telah terjadi abrasi sangat menghawatirkan seperti di Meskom, Muntai
dan Pampang (Bengkalis) abrasi 5-10 meter pertahun. Hal ini telah menimbulkan kerugian yang cukup
besar bagi masyarakat karena banyak rumah mereka yang telah hilang serta lahan usaha berupa tambak
hilang ditelan abrasi.

Untuk memantapkan keberhasilan rehabilitas hutan bakau, tahapan kegiatan dilakukan dengan
mengadopsi kaidah pendekatan partisipatif. Pengkajian dimulai dengan kegiatan indentifikasi kawasan
bakau yang dilakukan bersama pihak Lembaga Swadaya Masyarakat. Hasil kajian disajikan dalam bentuk
kawasan bakau yang dilakukan bersama pihak Lembaga Swadaya Masyarakat.

Hasil kajian disajikan dalam bentuk pemetaan kondisi dalam bentuk pemetaan kondisi kawasan
hutan bakau dengan klasifikasi baik, sedang dan rusak serta perlu segera mendapat penanganan.
Pemetaan ini mencakup luas dan jenis bakau yang direkomendasikan untuk ditanam kembali.
Selanjutnya hasil pemetaan ini diserahkan kepada instansi terkait melalui pemerintah daerah
kabupaten/kota dan PSBK sebagai perwakilan masyarakat. Sebelum aksi tanam bakau dilaksanakan
masyarakat diajak untuk membangun kesepakatan tertulis tentang perlindungan hutan bakau.

Aktivitas rehabilitas hutan bakau ini telah menunjukan indikasi dampak positip berupa
kembalinya kawanan burung laut ke kawasan bakau dan meningkatnya hasil tangkapan sero menjadi 8-
10 kg/hari (bayuwangi). Di pihak lain, pemerintah daerah juga memberikan respon positip dalam bentuk
menjadikan penanaman bakau sebagai salah satu issu pembangunan daerah, bahkan di Tegal telah
dilaksanakan penanaman hutan bakau.
Estetika
Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas
keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Pembahasan
lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang
dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa.

Estetika dan etika sebenarnya hamper tidak berbeda. Etika membehas tentang tingkah laku perbuatan
manusia(aik dan buruk). Sedangkan estetika adalah untuk menemukan ukuran yang berlaku namun
tentang apa yang indah dan tidak indah itu. Yang jelas dalam hal ini adalah karya seni manusia atau
mengenai alam semesta ukuran keindahan.

Estetika merupakan pengetahuan yang mempelajari dan memahami melalui pengamatan hal ikhwal
keindahan baik pada obyek maupun subyek atau pencipta dan pengamatan melalui proses kreatis dan
fisolofis. Keindahan bisa didapatkan dima-na saja, misalnya alam, benda seni dan desain. Dalam
berkarya, desainer dalam menciptakan karya desain selalu memuaskan secara estetik (psikologi) dirinya
dan orang lain (konsumen).

Mengapa mengenal estetika

Pertama, karena karya-karya seni dan desain


yang alami maupun yang buatan begitu
berharga sehingga dipelajari ciri-ciri khasnya
demi karya seni dan desain itu sendiri

Kedua, ia mesti berpendapat bahwa


pengalaman estetika (pengalaman mengenai
karya seni dan desain) itu begitu berharga
baik untuk kelompoknya maupun masing-
masing anggotanya sehingga karya seni dan
desain itu mesti dipelajari

Ketiga, mungkin dikira bahwa pengalaman


ini begitu bernilai pada dirinya sendiri
sehingga membutuhkan pengujian dan
penelitian mengenai kualitaskualitas karya
seni dan desain itu
Keindahan (estetika), adalah satu hasil proses memaknai obyek yang ada di sekitar tempat
manusia hidup. Estetika lingkungan adalah hasil dari persepsi dan sikap manusia terhadap
lingkungannya. Masalah estetika lingkungan juga dipengaruhi oleh kesukaan terhadap
lingkungan yang berbeda-beda. Misalkan, keteraturan (coherence), di mana taman-taman yang
terpelihara rapi dan bunga-bunganya teratur, rapi lebih disukai dari pada halaman yang tak
terawat dan banyak ditumbuhi tanaman liar. Jadi, sebetulnya keteraturan adalah sesuatu yang
diingini oleh setiap manusia baik yang ada di kota maupun di desa.

Estetika lingkungan inipun adalah bagian atau komponen yang penting dan merupakan aspek
yang menentukan kualitas tata ruang secara mikro (kecil). Kota dan desa adalah kawasan yang
berskala mikro. Ada 6 aspek yang menjadi parameter penilaian estetika lingkungan, dan menurut
Ir. Aca Sugandhy, M.Sc (1999) dalam bukunya Penataan Ruang dalam Pengelolaan Lingkungan
Hidup, bahwa estetika lingkungan itu terwujud dalam bentuk :

1. Terjaganya arsitektural bangunan serta kesesuaian dengan lingkungan sekitar atau bentang
alam serta ketinggian bangunan;
2. Terbinanya landscaping dengan adanya pepohonan di setiap lingkungan perumahan dan
kawasan kegiatan sesuai dengan ekosistem wilayah;
3. Lingkungan pemukiman yang bebas dari gangguan bau;
4. Lingkungan pemukiman yang bebas dari gangguan kebisingan;
5. Lingkungan pemukiman yang bebas dari gangguan getaran;
6. Lingkungan pemukiman yang bebas dari gangguan radiasi.

Nah, apakah aspek-aspek ini menunjang kualitas Tata Ruang perkotaan ?

Ada 3 aspek yang teramati, dan dapat dideskripsikan sebagai berikut :

Terjaganya arsitektural bangunan serta kesesuaian dengan lingkungan sekitar atau bentang alam
serta ketinggian bangunan di perkotaan, termasuk kota – kota tua yang tentunya memiliki
bangunan-bangunan yang bergaya arsitektur dijamannya. Sebelum adanya bangunan-bangunan
baru saat ini, bangunan-bangunan yang bergaya arsitektur kolonial dan bergaya modern banyak
menempati kawasan-kawasann penting di perkotaan di Indonesia. Bilang saja, seperti bangunan-
bangunan peninggalan kolonial Belanda yang ada di Jakarta, Banda Aceh, Menado dan tempat
lainnya yang dibuat dengan gaya jaman itu.

Ada kesan bahwa bangunan-bangunan tersebut dibangun dengan saling menyesuaikan diri, sebab
bangunan-bangunan tersebut berada di pusat kota dan memiliki fungsi yang hampir sama dengan
bangunan lainnya. Berbeda dengan gaya bangunan sekolah, gaya arsitektur khusus untuk
sekolah, dimana perpaduan antara gaya moderen dengan gaya arsitektur tropis (bentuk atapnya).
Tinggi bangunan-bangunan tersebut tidak saling mendahului satu dengan yang lain, mereka
membentuk satu kesatuan bentuk dan serasi dengan bangunan – bangunan baru yang ada.
Itu dulu yang sempat teramati dan terekam, yang tentunya bisa kita bedakan dengan kondisi saat
ini. Bangunan-bangunan tua yang memiliki ciri bangunan tropis yang cocok dengan situasi
perkotaan, kini mulai dirombak.

Bangunan-bangunan baru yang berarsitektur masa kini mulai dibangun, dan secara tidak sadar
telah meniadakan ciri khas asli kota Jakarta. Ornamen-ornamen tua yang menjadi ciri bangunan-
bangunan di Jakarta tempo dulu sudah tidak digunakan lagi. Wajah kota Jakarta berubah.
Gedung baru yang berdiri kokoh seolah tidak peduli dengan kondisi sekitarnya. Tinggi
bangunannya yang tidak sesuai dengan lingkungan sekitarnya, sehingga bangunan ini seolah
merusak estetika lingkungan sekitarnya. Ini sebetulnya yang tidak diinginkan, bangunan yang
berdiri sendiri dan tidak menyatu dengan keadaan sekitarnya. Padahal pula, kesatuan bentuk
(unity) adalah bagian dari estetika dalam ilmu arsitektur bangunan. Bangunan-bangunan modern
saat inipun dibangun di seluruh penjuru kota di Indonesia, melalui bentuk-bentuk bangunan
pertokoan baru, di mana secara perlahan ciri khas kota mulai punah atau hilang. Pengrusakan
bentang alam (landscape), pengrusakan sempadan pantai, pengrusakan sempadan sungai, dalam
upaya mendirikan bangunan-bangunan yang nyaris tidak memikirkan wadah tempat bangunan
dibangun. Padahal dengan menjaga bentuk arsitektural bangunan tua sudah menyediakan sarana
lingkungan sosial bagi masyarakat kota. Dimana, masyarakat kota dapat bernostalgia disana,
masyarakat kota dapat mempelajari sejarah, menjadi sarana wisata kota, menjadi sarana edukasi.
Bukankah itu menjaga stabilitas sifat sosial manusia ?

Dengan membuat bentuk bangunan yang serasi dengan kondisi alamnya, memberikan
pengalaman memandang sesuatu yang indah dan meningkatkan apresiasi seni bagi masyarakat
perkotaan. Dengan demikian, masyarakat akan selalu melatih diri untuk menghargai apa yang
mereka lihat dan juga akan meningkatkan kepeduliannya terhadap lingkungan sekitarnya. Coba
bayangkan, jika yang dilihat hanya bangunan-bangunan yang kotor dan semrawut, bangunan-
bangunan yang tanpa bentuk, bangunan-bangunan yang tidak serasi dan tidak estetis. Pastilah,
membuat setiap orang merasa bosan melihat kekiri dan kekanan dan tidak memiliki pengalaman
visual yang menarik sehingga membuat pikirannyapun sumpek. Tentunya, kotanya akan selalu
diingat sebagai kota yang tidak memiliki nilai estetika.
KONSEP PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN

Aswan Sakumoto Rua

Alumni Program Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Sumberdaya

Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai
sepanjang 81.000 km (terpanjang kedua di dunia setelah Kanada), Indonesia memiliki wilayah pesisir
dan laut yang luas dan sumberdaya alam yang kaya dan sangat beragam, baik sumberdaya dapat pulih
(renewable resources) seperti terumbu karang dan hutan mangrove maupun sumberdaya tak dapat
pulih (non renewable resources) seperti minyak dan gas serta mineral lainnya. Semua sumberdaya
tersebut telah dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan ekonomi nasional sejak awal Pelita I.
Selain menyediakan berbagai sumberdaya tersebut, wilayah pesisir memiliki berbagai fungsi lain, seperti
transportasi dan pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, rekreasi dan pariwisata, serta
kawasan pemukiman dan tempat pembuangan limbah.

Dalam kaitannya dengan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan, pemerintah dan bangsa
Indonesia telah membuat suatu kebijakan yang strategis dan antisipatif, yaitu dengan menjadikan matra
laut sebagai suatu sektor tersendiri dalam GBHN 1993, yang sebelumnya merupakan bagian dari
berbagai sektor pembangunan.

Pengalaman membangun sumberdaya pesisir dan laut dalam kurun PJP I selain telah
menghasilkan berbagai keberhasilan, juga telah menimbulkan berbagai permasalahan ekologis dan
sosial-ekonomis yang justru dapat mengancam kesinambungan pembangunan nasional. Secara
ekologis, banyak kawasan pesisir dan laut, terutama di Pesisir Timur Sumatera, Pantai Utara Jawa, Bali,
dan Makassar, yang telah terancam kapasitas keberlanjutannya melalui pencemaran, degradasi fisik
habitat, over-eksploitasi sumberdaya alam, dan konflik penggunaan lahan (ruang) pembangunan.
Secara sosial-ekonomi, sebagian besar penduduk pesisir masih merupakan kelompok sosial termiskin di
tanah air, dan kesenjangan pembangunan antar wilayah masih sangat besar.

Dari sekian banyak permasalahan yang mengancam kapasitas keberlanjutan ekosistem pesisir,
konflik penggunaan lahan (ruang) peisir, terutama antara kepentingan konservasi dan pembangunan
intensif (seperti kawasan pemukiman dan industri), semakin meningkat baik dalam skala luas maupun
kompleksitas permasalahan. Konversi status lahan (kawasan) pesisir dari yang semula sebagai kawasan
lindung (konservasi) menjadi peruntukkan pembangunan secara intensif semakin menggejala, seperti
kasus Pantai Indah Kapuk, di Jakarta, dan beberapa pulau di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta. Konflik
antar kegiatan pembangunan dalam suatu kawasan pesisir yang dipengaruhi oleh aliran air suatu sistem
DAS (Daerah Aliran Sungai) juga semakin bertambah, seperti konflik antara usaha pertambakan dan
pabrik bubur kertas (pulp) di DAS Ciujung, Serang. Padahal kita sudah memiliki Undang Undang Nomor
24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung.

Dengan demikian, segenap peraturan perundangan tentang penataan ruang tersebut tidak
efektif untuk diterapkan di kawasan peisisir. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh substansi
teknis dari peraturan tersebut yang kurang atau tidak sesuai dengan karakteristik dan dinamika kawasan
pesisir, yang memang berbeda dengan ekosistem darat. Kemungkinan lain adalah karena lemahnya
penegakkan hukum dari segenap peraturan dimaksud.

Batasan dan Definisi Wilayah Pesisir

Sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Tetapi sekalipun demikian,
terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara
daratan dan laut. Apabila ditinjau dari garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis
pantai (cross-shore). Untuk keperluan pengelolaan, penetapan batas-batas pesisir yang sejajar dengan
garis pantai relative mudah, misalnya batas wilayah pesisir antara Sungai Brantas dan Sungai Bengawan
Solo, atau batas wilayah pesisir DKI Jakarta adalah Sungai Dadap di sebelah Barat dan Tanjung Karawang
di sebelah Timur.

Akan tetapi, penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai,
sejauh ini belum ada kesepakatan. Dengan perkataan lain, batas wilayah pesisir berbeda dari satu
negara ke negara yang lain. Hal ini dapat dimengerti, karena setiap Negara memiliki karakteristik
lingkungan, sumberdaya dan sistem pemerintahan tersendiri (khas).

Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan
laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi wilayah daratan, baik kering maupun terendam air, yang
masih dipengaruhi sifat-sifat seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke
arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang
terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan
manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976).

Definisi wilayah pesisir seperti diatas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir
merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekeyaan habitat yang beragam, serta saling
berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga
merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan
pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem
pesisir.

Berdasarkan uraian diatas, maka untuk kepentingan pengelolaan adalah kurang begitu penting
untuk menetapkan batas-batas fisik suatu wilayah pesisir secara kaku (rigid). Akan lebih berarti, jika
penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir didasarkan atas factor-faktor yang mempengaruhi
pembangunan (pemanfaatan) dan pengelolaan ekosistem pesisir dan lautan beserta segenap
sumberdaya yang ada didalamnya, serta tujuan dari pengelolaan itu sendiri. Jika tujuan pengelolaan
adalah untuk mengendalikan atau menurunkan tingkat pencemaran perairan pesisir yang dipengaruhi
oleh aliran sungai, maka batas wilayah pesisir ke arah darat hendaknya mencakup suatu DAS (Daerah
Aliran Sungai) dimana buangan limbah disini akan mempengaruhi kualitas perairan pesisir. Batas
wilayah pesisir ke arah darat semacam ini sama seperti yang dianut oleh United States (U.S) Coastal
Management Act dan California sejak tahun 1976. Sedangkan, ke arah laut hendaknya meliputi daerah
laut yang masih dipengaruhi oleh pencemaran yang berasal dari darat tersebut, atau suatu daerah laut
dimana kalau terjadi pencemaran (misalnya tumpahan minyak), minyaknya akan mengenai perairan
pesisir. Batasan wilayah pesisir yang sama dapat berlaku, jika tujuan pengelolaannya adalah untuk
mengendalikan penebangan hutan secara semena-mena dan bertani pada lahan dengan kemiringan
lebih dari 40 %.

sementara itu, jika tujuan pengelolaan suatu wilayah pesisir untuk mengendalikan erosi pantai,
maka batas ke arah darat cukup hanya sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi, dan
batas ke arah laut adalah daerah yang terkena pengaruh distribusi sediment yang paling dekat dengan
garis pantai. Dengan demikian, meskipun untuk kepentingan pengelolaan sehari-hari (day to day
management) kegiatan pembangunan di lahan atas atau di laut lepas biasanya ditangani oleh instansi
tersendiri, namun untuk kepentingan perencanaan pembangunan wilayah pesisir, segenap pengaruh
atau keterkaitan tersebut harus dimasukkan pada saat menyusun perencanaan pembangunan wilayah
pesisir.
Pengertian Pengelolaan Sektoral dan Pengelolaan Terpadu

Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara sektoral pada dasarnya berkaitan hanya
dengan satu jenis sumberdaya atau ekosistem untuk memenuhi tujuan tertentu (sektoral), seperti
perikanan, pariwisata, pertambangan, industri, pemukiman, perhubungan dan sebagainya. Dalam
perencanaan dan pengelolaan semacam ini, dampak “cross-sectoral” atau “cross-regional” seringkali
terabaikan. Akibatnya, model perencanaan dan pengelolaan sektoral ini menimbulkan berbagai dampak
yang dapat merusak lingkungan dan juga akan mematikan sektor lain. Fenomena Pantai Utara Jawa
merupakan salah satu contoh dari perencanaan pembangunan sektoral, dimana sektor industri
mematikan sektor pariwisata apabila penangnan dan pengelolaan limbah industri tidak dilakukan secara
tepat dan benar.

Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu memiliki pengertian bahwa
pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut dilakukan melalui penilaian
secara menyeluruh (comprehensive assessment), merencanakan tujuan dan sasaran, kemudian
merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang
optimal dan berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan
dinamis dengan mempertimbangkan aspek social-ekonomi-budaya dan aspirasi masyarakat pengguna
wilayah pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada.

Keterpaduan perencanaan dan pengelolaan bwilayah pesisir ini mencakup 4 (empat) aspek,
yaitu : (1) keterpaduan wilayah/ekologis; (2) keterpaduan sektor; (3) keterpaduan disiplin ilmu; dan
(4) keterpaduan stakeholder.

(1). Keterpaduan Wilayah/Ekologis

Secara keruangan dan ekologis wilayah pesisir memiliki keterkaitan antara lahan atas (daratan)
dan laut lepas. Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara daratan
dan laut. Dengan keterkaitan kawasan tersebut, maka pengelolaan kawasan pesisir dan laut tidak lepas
dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua kawasan tersebut. Berbagai dampak lingkungan
yang mengenai kawasan pesisir dan laut adalah akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan
pembangunan yang dilakukan di lahan atas, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri,
pemukiman dan sebagainya. Demikian juga dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti
kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut.
Penanggulangan pencemaran yang diakibatkan oleh industri dan limbah rumah tangga,
sedimentasi akibat erosi dari kegiatan perkebunan dan kehutanan, dan limbah pertanian tidak dapat
hanya dilakukan di kawasan pesisir saja, melainkan harus dilakukan mulai dari sumber dampaknya. Oleh
karena itu, pengelolaan di wilayah ini harus di integrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta
Daerah ALiran Sungai (DAS) menjadi satu kesatuan dan keterpaduan pengelolaan. Pengelolaan yang
baik di wilayah pesisir akan hancur dalam sekejap, jika tidak diimbangi dengan perencanaan DAS yang
baik pula. Keterkaitan antar ekosistem yang ada di wilayah pesisir harus selalu diperhatikan.

(2). Keterpaduan Sektor

Sebagai konsekuensi dari besar dan beragamnya sumberdaya alam di kawasan pesisir dan laut
adalah banyaknya instansi atau sektor-sektor pelaku pembangunan yang bergerak dalam pemanfataan
sumberdaya pesisir dan laut. Akibatnya, sering kali terjadi tumpang tindih pemanfataan sumberdaya
pesisir dan laut antar satu sektor dengan sektor lainnya. Agar pengelolaan sumberdaya alam di kawasan
pesisir dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan, maka dalam perencanaan pengelolaan
harus mengintegrasikan semua kepentingan sektoral. Kegiatan suatu sektor tidak dibenarkan
mengganggu, apalagi sampai mematikan kegiatan sector lain. Keterpaduan sektoral ini, meliputi
keterpaduan secara horizontal (antar sektor) dan keterpaduan secara vertikal (dalam sartu sektor). Oleh
karena itu, penyusunan tata ruang dan panduan pembangunan di kawasan pesisir sangat perlu
dilakukan untuk menghindari benturan antara satu kegiatan dengan kegiatan pembangunan lainnya.

(3). Keterpaduan Disiplin Ilmu

Wilayah pesisir dan laut memiliki sifat dan karakteristik yang unik, baik sifat dan karakteristik
ekosistem pesisir maupun sifat dan karakteristik sosial budaya masyarakat pesisir. Dengan sistem
dinamika perairan pesisir yang khas, dibutuhkan disiplin ikmu khusus pula seperti hidro-oseanografi,
dinamika oseanografi dan sebagainya. Selain itu, kebutuhan akan disiplin ilmu lainnya juga sangat
penting. Secara umum, keterpaduan disiplin ilmu dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut
adalah ilmu-ilmu ekologi, oseanografi, keteknikan, ekonomi, hokum dan sosiologi.
(4). Keterpaduan Stakeholder

Segenap keterpaduan diatas, akan berhasil diterapkan apabila ditunjang oleh keterpaduan dari
pelaku dan pengelola pembangunan di kawasan pesisir dan laut. Seperti diketahui bahwa pelaku
pembangunan dan pengelola sumberdaya alam wilayah pesisir antara lain terdiri dari pemerintah (pusat
dan daerah), masyarakat pesisir, swasta/investor dan juga lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
masing-masing memiliki kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir.
Penyusunan Perencanaan Pengelolaan Terpadu harus mampu mengakomodir segenap kepentingan
pelaku pembangunan sumberdaya pesisir dan laut. Oleh karena itu, perencanaan pengelolaan
pembangunan harus menggunakan pendekatan dua arah, yaitu pendekatan dari atas (top down) dan
pendekatan dari bawah (bottom up).

Karakteristik Wilayah Pesisir Memerlukan Pendekatan Terpadu

Keunikan wilayah pesisir dan laut serta beragamnya sumberdaya yang ada, mengisyaratkan
pentingnya pengelolaan wilayah tersebut secara terpadu bukan secara sektoral. Hal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut :

Pertama, secara empiris, terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional) baik antar
ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas.
Dengan demikin perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir (mangrove, misalnya) cepat atau
lambat, akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya, jika pengelolaan kegiatan
pembangunan (industri, pertanian, pemukiman, dan lain-lain) di lahan atas suatu DAS tidak dilakukan
secara arif (berwawasan lingkungan), maka dampak negatifnya akan merusak tatanan dan fungsi
ekologis kawasan pesisir dan laut. Fenomena inilah yang kemungkinan besar merupakan faktor
penyebab utama bagi kegagalan panen tambak udang yang menimpa kawasan Pantai Utara Jawa.
Karena, untuk kehidupan dan pertumbuhan udang secara optimal diperlukan kualitas perairan yang
baik, tidak tercemar seperti Pantai Utara Jawa.

Kedua, dalam suatu kawasan pesisir (Kalianda – Bandar Lampung, misalnya), biasanya terdapat lebih
dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan untuk kepentingan pembangunan.
Ketiga, dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat
(orang) yang memiliki keteramnpilan/keahlian dan kesenangan (preference) bekerja yang berbeda :
sebagai petani, nelayan, petani tambak, petani rumput laut, pendamping pariwisata, industri dan
kerajinan rumah tangga, dan sebagainya. Padahal, sangat sukar atau hamper tidak mungkin, untuk
mengubah kesenangan bekerja (prefesi) sekelompok orang yang sudah secara mentradisi menekuni
suatu bidang pekerjaan.

Keempat, baik secara ekologis maupun ekonomis, pemanfataan suatu kawasan pesisir secara
monokultur (single use) adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang
menjurus pada kegagalan usaha. Contohnya, pembangunan tambak udang di Pantai Utara Jawa yang
sejak tahun 1982 mengkonversi hampir semua pesisir termasuk mangrove (sebagai kawasan lindung)
menjadi tambak udang,mengaakibatkan pada akhir 1990-an sampai sekarang terjadi peledakan wabah
virus, dimana sebagian besar tambak udang di kawasan ini terserang penyakit yang merugikan.

Kelima, kawasan pesisir pada umumnya merupakan sumberdaya milik bersama (common property
resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orng (Open access). Oleh karenanya, wajaar jika
pencemaran, over-eksploitasi sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang

Anda mungkin juga menyukai