Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

STRUMA NODOSA NON TOKSIK

Penyusun:

Hana Putantri (030.14.077)


Herlina (030.14.086)

Pembimbing:

dr. Willy Yulianto, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SOESELO, SLAWI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 18 AGUSTUS – 26 OKTOBER 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kemudahan
dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat dalam Kepaniteraan
Klinik Ilmu Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soeselo, Slawi, Kabupaten Tegal
dengan judul “Struma Nodosa Non Toksik”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Willy
Yulianto, Sp.B selaku pembimbing atas pengarahannya selama penulis menyusun referat
dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah.
Semoga referat ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan para
pembaca. Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan dan masih perlu
banyak perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran diharapkan dari pembaca.

Slawi , Oktober 2019

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT DENGAN JUDUL

“Struma Nodosa Non Toksik”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soeselo, Slawi
Periode 19 AGUSTUS – 26 OKTOBER 2019

Slawi, Oktober 2019.

Mengetahui:

dr. Willy Yulianto, Sp.B

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN

HALAMAN JUDUL...........................................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................................
i
KATA PENGANTAR..........................................................................................................
ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................
2
2.1 Anatomi.........................................................................................................................
2
2.2 Histologi........................................................................................................................
5
2.3 Fisiologi.........................................................................................................................
6
2.4 Definisi..........................................................................................................................
9
2.5 Epidemiologi.................................................................................................................
9
2.6 Etiologi..........................................................................................................................
10
2.7 Klasifikasi......................................................................................................................
10
2.8 Patofisiologi...................................................................................................................
12
2.9 Penegakan diagnosis......................................................................................................
12

iii
2.10 Tatalaksana...................................................................................................................
14
BAB III KESIMPULAN.....................................................................................................
18
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................
19

iv
DAFTAR GAMBAR

HALAMAN
Gambar 1. Anatomi dan Vaskularisasi Kelenjar Tiroid...........................................................
2
Gambar 2.Vaskularisasi dan persyarafan kelenjar tiroid ...................................................
4
Gambar 3. Histologi kelenjar tiroid....................................................................................
5
Gambar 4. Skema Pelepasan Hormon Tiroid.....................................................................
6
Gambar 5. Fisiologi hormon tiroid.....................................................................................
7
Gambar 6. Evaluasi Gangguan Tiroid................................................................................
14
Gambar 7. Tiroidektomi.....................................................................................................
16

1
2
3

iv
4 BAB I
PENDAHULUAN

Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh bertambahya


jaringan kelenjar tiroid. Struma sering ditemui di masyarakat Indonesia, terutama pada
masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan dengan risiko kurangnya intake iodium
sehari-hari. Struma dapat didiagnosis dengan cepat dengan menggunakan teknik
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dan tepat. Prevalensi struma 10x lebih
banyak pada wanita dibandingkan dengan pria. Ditemukan 20-27 kasus dari 1000
wanita, sedangkan pria 1-5 dari 1000 pria.(1)

Struma nodosa merupakan pembesaran pada kelenjar tiroid yang teraba


sebagai suatu nodul (Sudoyo dkk, 2009). Sekitar 10 juta orang di seluruh dunia
mengalami gangguan tiroid, baik kanker tiroid, struma nodosa non toxic, maupun
struma nodosa toxic (American Thyroid Association, 2013). Struma nodosa non toxic
adalah pembesaran kelenjar tiroid baik berbentuk nodul atau difusa tanpa ada tanda-
tanda hipertiroidisme dan bukan disebabkan oleh autoimun atau proses inflamasi.(2,3)

Pada tahun 2007 sekitar 33.550 orang di Amerika Serikat menderita gangguan
tiroid dan 1.530 orang berakhir dengan kematian (Newton, Hickey, &Marrs, 2009).
Prevalensi struma nodosa yang didapat melalui palpasi sekitar 4,7- 51 per 1000 orang
dewasa dan 2,2 – 14 per 1000 pada anak-anak (Incidence and Prevalence Data, 2012).
Hasil survey Balitbang pada tahun 2007 didapatkan angka prevalensi struma nodosa di
Indonesia meningkat sebesar 35,38%. Laporan akhir survey nasional pemetaan GAKY
(Gangguan Akibat Kekurangan Yodium) menunjukkan bahwa sebanyak 42 juta
penduduk Indonesia tinggal di daerah endemik dan sebanyak 10 juta menderita struma
nodosa. Struma nodosa banyak ditemukan di daerah pegunungan yang disebabkan
oleh defisiensi yodium dan merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia. Yodium
diperlukan dalam pembentukan hormon tiroid. Pembesaran kelenjar tiroid dapat
terlihat pada penderita hipotiroidisme maupun hipertiroidisme (Black and Hawks,
2009).(1,2)

1
Lebih dari 2,2 miliar orang di seluruh dunia memiliki beberapa bentuk kelainan
kekurangan yodium. Dua puluh sembilan persen populasi dunia tinggal di daerah yang
kekurangan yodium (terutama di Asia, Amerika Latin, Afrika tengah, dan kawasan
Eropa). Dari mereka yang berisiko, 655 juta diketahui memiliki gondok. Di daerah
yang kekurangan yodium di dunia, struma lebih umum daripada di Amerika Serikat.
Prevalensi struma dapat diperkirakan berdasarkan asupan yodium populasi.

Seperti dilaporkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Dana Anak-anak


Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF), dan Dewan Internasional untuk Pengendalian
Gangguan Kekurangan Yodium (ICCIDD), tidak adanya kekurangan yodium (yaitu,
median yodium urin> 100 mg / dL) dikaitkan dengan prevalensi struma kurang dari
5%; defisiensi yodium ringan (yaitu, median urin yodium 50-99 mg / dL), dengan
prevalensi gondok 5-20%; defisiensi yodium moderat (yaitu, median urin yodium 20-
49 mg / dL), dengan prevalensi gondok 20-30%; dan defisiensi yodium berat (yaitu,
median urin yodium 20-49 mg / dL), dengan prevalensi struma lebih dari 30%.(3,4,5)

5 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi

2
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia
prevertebralis. Didalam ruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah
besar, dan syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua
pertiga sampai tiga perempat lingkaran.1

Gambar 1 Anatomi dan Vaskularisasi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid teridiri atas 2 lobus, yang dihubungan oleh isthmus dan
menutup cincin trakhea 2 dan 3. Kelenjar ini digantungkan oleh kapsul fibrosa pada
fasia peretrakhea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan
terangkatnya kelenjar ke arah kranial. Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a.
Tiroidea Superior kanan dan kiri (cabang dari a. Karotis Eksterna dextra dan sinistra)
dan a. Tyroidea Inferior dextra dan sinistra (cabang a. brakhialis). Adapun sistem
venanya terdiri atas vena tiroidea superior yang berjalan bersama arterinya, vena
tiroidea media yang berada di lateral dan berdekatan dengan arteri tiroidea inferior,
dan vena tidoidea inferior yang berada dalam satu arah dengan arteri tiroidea ima (jika
ada).
Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis
yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl.
Pretrakhealis dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan

3
ada yang langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan getah bening ini penting untuk
menduga penyebaran keganasan yang berasal dari kelenjar tiroid.1,2
Terdapat dua saraf yang mempersarafi laring dan pita suara (plika vocalis) yaitu
nervus rekurens dan cabang nervus laringeus.1Saraf laryngeus recurrens menginervasi
seluruh otot interinsik larynx, kecuali otot cricothyroid yang dipersarafi oleh saraf
laryngeal eksterna.3,4

Gambar 2. Vaskularisasi dan Persyarafan Kelenjar Tiroid

2.2 Histologi

4
Kelenjar tiroid terdiri dari beberapa lobulus-lobulus yang berisikan 20-4- folikel
yang tersebar dan dibungkus oleh kapsul fibrous yang tipis dan menjadi sekat-sekat
pada loblus tersebut. Terdapat sekitar 3x106 folikel pada glandula tiroid orang dewasa.
Sel-sel sekretorik utama tiroid tersusun menjadi gelembung-gelembung berongga,
yang masing-masing membentuk unit fungsional yang disebut folikel. Dengan
demikian sel-sel sekretorik ini sering disebut sebagai sel folikel. Pada potongan
mikroskopik, folikel tampak sebagai cincin-cincin sel folikel yang meliputi lumen
bagian dalam yang dipenuhi koloid, yaitu bahan yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan ekstrasel “pedalaman” untuk hormone-hormon tiroid.5

Sel-sel folikel menghasilkan 2 hormon yang mengandung iodium, yang berasal


dari asam amino tirosin: tetraiodotironin (T4 atau tiroksin) dan triiodotironin (T3).
Kedua hormone ini, yang secara kolektif disebut sebagai hormone tiroid, merupakan
regulator penting bagi laju metabolisme basal keseluruhan.

Gambar 3. Histologi Kelenjar Tiroid

2.3 Fisiologi

5
Kelenjar tiroid merupakan suatu kelenjar endokrin yang berfungsi sebagai
pengatur laju metabolisme. Kelenjar tiroid berfungsi mensekresikan hormon tiroksi
(T4), triiodotironin (T3) dan kalsitonin. T4 paling banyak beredar didalam darah
dibandingkan dengan T3. T3 dan T4 didalam darah sebagian berikatan dengan
albumin, Thyroxin Binding Pre Albumin *TBPA) dan Thyroxin Binding Globulin
(TGB), sedangkan sebagian kecil T3 dan T4 bebas beredar didalam darah dan
berperan sebagai inhibitor hipotalamus dalam mensekresi TSH yang berfungsi sebagai
stimulan sekresi T3 dan T4.

Gambar 4. Skema Pelepasan Hormon Tiroid

6
Gambar 5. Fisiologi Hormon Thyroid

Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4). Bentuk aktif
hormon ini adalah Triiodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi
hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tiroid. Iodida
inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid.
Iodida inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi
bagian dari tirosin yang terdapat dalam tiroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT)
atau diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari MIT menghasilkan T3
atau T4 yang disimpan di dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian besar T4 dilepaskan
ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam kelenjar yang kemudian mengalami
diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi, hormon tyroid
terikat pada globulin, globulin pengikat tiroid (thyroid-binding globulin, TBG) atau
prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-albumine, TPBA) Ketika
kebutuhan akan hormon T3 dan T4 meningkat, sel folikuler tiroid melakukan ingesti
koloid secara pirositosis. Dengan bantuan enzim lisosomal, hormon T3 dan T4 dilepas
dari tiroglobulin, berdifusi kedalam sirkulasi darah, lalu ditranspor dalam bentuk
kombinasi kimiawi dengan protein dalam plasma.1,5

Pembentukan dan sekresi hormon tiroid terdiri dari tujuh tahap, yaitu:

7
1. Trapping, proses ini terjadi melalui aktivitas pompa iodida yang
terdapat pada bagian basal sel folikel, berfungsi sebagai transport
iodida ke dalam koloid
2. Oksidasi, proses ini berfungsi mengoksidasi iodida menjadi bentuk
aktif oleh enzim peroksidase, yaitu menjadi iodium. Iodium ini
kemudian akan bergabung dengan residu tirosin membentuk
monoiodotirosin yang telah ada dan terikat pada molekul tiroglobulin
(proses iodinasi).
3. Coupling, dalam molekul tiroglobulin, monoiodotirosin (MIT) dan
diiodotirosin (DIT) yang terbentuk dari proses iodinasi akan saling
bergandengan (coupling) sehingga akan membentuk triiodotironin (T3)
dan tiroksin (T4). Komponen tiroglobulin beserta tirosin dan iodium ini
disintesis dalam koloid melalui iodinasi dan kondensasi molekul tirosin
yang terikat pada ikatan di dalam tiroglobulin.
4. Storage, Produk yang telah terbentuk melalui proses coupling tersebut
kemudian akan disimpan di dalam koloid. Tiroglobulin (dimana di
dalamnya mengandung T3 dan T4), baru akan dikeluarkan apabila ada
stimulasi TSH.
5. Deiodinasi, proses coupling yang terjadi juga menyisakan ikatan
iodotirosin. Residu ini kemudian akan mengalami deiodinasi menjadi
tiroglobulin dan residu tirosin serta iodida. Deiodinasi ini dimaksudkan
untuk lebih menghemat pemakaian iodium.
6. Proteolisis, , lisosom akan mendekati tetes koloid dan mengaktifkan
enzim protease yang menyebabkan pelepasan T3 dan T4 serta
deiodinasi MIT dan DIT.
7. Pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid (releasing), proses ini
dipengaruhi TSH. Hormon tiroid ini melewati membrane basal dan
kemudian ditangkap oleh protein pembawa yang telah tersedia di
sirkulasi darah yaitu Thyroid Binding Protein (TBP) dan Thyroid
Binding Pre Albumin (TBPA). Ikatan T3 dengan TBP kurang kuat
daripada ikatan T4 dengan TBP. Pada keadaan normal kadar T3 dan T4
total menggambarkan kadar hormon bebas.

2.4 Definisi

8
Pembesaran pada kelenjar tiroid biasa disebut sebagai struma nodosa atau
struma. Pembesaran pada tiroid yang disebabkan akibat adanya nodul, disebut struma
nodosa. Biasanya dianggap membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal.
Pembesaran ini dapat terjadi pada kelenjar yang normal (eutirodisme), pasien yang
kekurangan hormon tiroid (hipotiroidisme) atau kelebihan produksi hormon
(hipertiroidisme).(1,4,7)
Struma nodosa terdapat dua jenis, toxic dan non toxic. Struma nodusa non
toxic merupakan struma nodusa tanpa disertai tanda- tanda hipertiroidisme, sedangkan
struma nodosa toxic ialah keadaan dimana kelenjar tiroid yang mengandung nodul
tiroid yang mempunyai fungsi yang otonomik, yang menghasilkan suatu keadaan
hipertiroid.
Nodul tiroid mengacu pada semua pertumbuhan abnormal pada sel-sel tiroid
menjadi kumpulan massa (benjolan) di dalam kelenjar tiroid. Walaupun sebagian besar
nodul tiroid bersifat jinak (non-kanker), namun terdapat kemungkinan sebagian nodul
tiroid merupakan keganasan pada tiroid.(8)

2.5 Epidemiologi
Laporan akhir survey nasional pemetaan GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan
Yodium) menunjukkan bahwa sebanyak 42 juta penduduk Indonesia tinggal di daerah
endemik dan sebanyak 10 juta menderita struma nodosa. Struma nodosa banyak
ditemukan di daerah pegunungan yang disebabkan oleh defisiensi yodium dan
merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia. Yodium diperlukan dalam
pembentukan hormon tiroid. 1-5 Angka kejadian nodul tiroid meningkat seiring dengan
peningkatan umur (> 50 tahun). Dimana sebagian besar dari nodul tiroid tersebut
bersifat asimptomatis dan bersifat jinak., namun nodul tiroid juga dapat bersifat ganas
walaupun angka kejadiannya kecil.
Nodul tiroid ditemukan 4 kali lebih sering pada wanita dibandingkan pria,
walaupun tidak ada bukti kuat keterkaitan antara estrogen dengan pertumbuhan sel.
Pemeriksaan ultrasonogram membuktikan bahwa 3% pria dengan usia lebih dari 60
tahun memiliki nodul tiroid, sedangkan 36% wanita pada usia 49-58 tahun memiliki
nodul tiroid.(9,10
2.6 Etiologi

9
Pada dasarnya SNNT terjadi karena proses pertambahan ukuran sel dan
volume jaringan kelenjar seperti radang atau gangguan autoimun sepertu penyakit
Graves dan Tiroiditis Hashimoto. Gangguan metabolik seperti defisiensi yodium dan
hyperplasia juga dapat menyebabkan terjadinya SNNT. Selain itu, pembesaran dapat
terjadi karena sesuatu yang didasari oleh tumor atau neoplasia meliputi adenoma dan
adenokarsinoma.

2.7 Klasifikasi

2.7.1 Berdasarkan klinis


 Struma Toksik
Struma nodosa toxic dapat dibedakan atas dua yaitu struma nodosa diffusa
toxic dan struma nodosa nodusa toxic. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah
kepada perubahan bentuk anatomi dimana struma nodosa diffusa toxic akan menyebar
luas ke jaringan lain. Struma nodosa diffusa toxic (tiroktosikosis) merupakan
hipermetabolisme karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang
berlebihan dalam darah. Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok
eksoftalmik/exophtalmic struma nodosa), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak
ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH

10
beredar dalam sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan
kelenjar tiroid hiperaktif.(1,2)
 Struma Non Toksik
Struma nodosa non toxic dibagi menjadi struma nodosa diffusa non toxic dan
struma nodosa non toxic. Struma nodosa non toxic disebabkan oleh kekurangan
yodium yang kronik. Struma nodosa ini disebut sebagai simpel struma nodosa, struma
nodosa endemik, atau struma nodosa koloid yang sering ditemukan di daerah yang air
minumya kurang sekali mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa
hormon oleh zat kimia.(1,2)

2.7.2 Berdasarkan fisiologis(3)


 Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar
hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat.

 Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid
sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk
mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien
hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai
kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh
antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi.

6 Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoxicosis atau Graves yang dapat didefenisikan
sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid
yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam
darah yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang
berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar

2.8 Patofisiologi(4)

11
Yodium merupakan bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan
hormon tiroid. Bahan yang mengandung yodium diserap usus, masuk kedalam
sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tiroid. Dalam kelenjar,
yodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimulasikan oleh Tiroid
Stimulating Hormon (TSH) kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi
pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin
membentuk tiroksin (T4) dan molekul triiodotironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukan
pengaturan umpan balik negatif dari seksesi TSH dan bekerja langsung pada
tirotropihypofisis, sedangkan T3 merupakan hormon metabolik yang tidak aktif.
Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3,
ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar
300-500 gram. . Defisiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan
menyebabkan peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan
peningkatan jumlah dan hiperplasi sel kelenjar tyroid.
Pada bagian posterior daripada kelenjar tiroid adalah esofagus dan trakhea, dimana
letak organ ini dapat menjadi masalah atau komplikasi yang terjadi pada kasus SNNT.
Nodul tiroid yang besar dapat mengakibatkan penekanan ke arah posterior dan
mengenai esofagus dan trakhea. Pada keadaan ini dapat menimbulkan kesulitan
menelan dan bernapas dan berujung pada gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi,
cairan dan elektrolit. Tanda-tanda dimana sudah mulai terjadi penekanan ke arah
psoterior adalah terdapat suara parau, serak, gangguan menelan dan sesak napas.

2.9 Penegakan Diagnosis(5,6)


2.9.1 Anamnesis
Pada anamnesis, keluhan utama paling sering ditemukan adalah terdapat
benjolan pada leher yang sudah berlangsung lama, bisa diikuti dengan keluhan
benjolan yang semakin lama semakin membesar. Keluhan benjolan yang semakin
lama semakin membesar perlu ditanyakan mengenai progresivitasnya. Pada kasus
struma nodular non toksik biasanya pasien mengaku benjolan tidak terasa sakit.
Keluhan tambahan dapat berupa kesulitan saat menelan, suara parau dan sesak napas.
Pemeriksa juga harus menanyakan apakah terdapat keluhan sistemik yang mengarah
pada keadaan hipertiroidisme dan hipotiroidisme.

12
Riwayat penyakit dahulu berupa keluhan yang sama ditanyakan untuk menilai
kekambuhan dan kemungkinan kondisi selain struma nodular yang dapat mendasari
keluhan pada pasien. Riwayat keganasan juga harus ditanyakan pada pasien. Keluhan
yang sama dalam keluarga juga dapat menjadi bantuan dalam mendiagnosis penyakit
pada pasien. Keluhan yang serupa pernah dialami keluarga pasien dapat menimbulkan
kemungkinan bahwa terdapat penyakit keturunan atau pola hidup yang sama dilakukan
pada pasien dan keluarga. Riwayat pemakaian obat-obatan tertentu yang dapat
meningkatkan aktivitas TSH dapat menjadi penyebab terjadinya struma pada pasien.
Harus ditanyakan juga apakah pasien dan keluarga memiliki kebiasaan mengonsumsi
garam yang mengandung iodium.

2.9.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan menilai keadaan umum, tanda vital
dan status generalis, kemudian dilengkapi dengan pemeriksaan status lokalis. Pada
pemeriksaan status lokalis hal pertama yang dilakukan adalah menilai secara inspeksi.
Dilihat lokasi benjolan, perubahan warna, ada atau tidaknya sekret berupa darah dan
pus, ikut bergerak saat menelan atau tidak. Selanjutnya adalah palpasi, dinilai lokasi,
nyeri tekan, jumlah, ukuran, konsistensi, mobilitas dan menilai kelenjar getah bening
disekitarnya. Dapat juga dilakukan pemeriksaan auskultasi pada benjolan. Yang dinilai
apakah terdapat bruits atau tidak.

13
Gambar 6. Evaluasi Gangguan Tiroid

2.9.3 Pemeriksaan Penunjang


1) Pemeriksaan fungsi tiroid (T3, T4 dan TSH)
2) Foto rontgen leher posisi AP dan lateral
3) USG tiroid
4) FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy)

2.10 Tatalaksana(7)
2.10.1 Medikamentosa
Pengobatan secara medikamentosa dapat dilakukan dengan memberikan
tiroksin dan obat anti-tiroid. Pengobatan ini dilakukan pada kasus struma yang
diakibatkan karena pengaruh hormon TSH. Hormon tiroksin (T4) dilakukan untuk
menekn TSH serendah mungkin. Cara ini juga dapat diberikan pada kasus

14
hipotiroidisme pasca operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid yang
digunakan adalah levothyroxine, dosis yang dapat diberikan berupa 0.5 – 0.8 μU/mL

2.10.2 Operatif
Tindakan operatif dapat dilakukan pada keadaan yang tidak dapat diterapi
dengan obat-obat anti tiroid. Terapi operatif merupakan salah satu pilihan terapi pada
pasien struma nodosa non toksik. Tindakan yang dapat dilakukan berupa total
thyroidectomy dan subtotal thyroidectomy. Pemilihan tindakan operatif mana yang
dapat dilakukan masih bersifat kontroversial. Pada pasien dengan struma besar,
keluhan kosmetik dapat dilakukan total thyroidectomy. Pada pasien yang dilakukan
subtotal thyroidectomy memiliki angka rekurensi lebih tinggi dibandingkan pasien
dengan total thyroidectomy. Angka kejadian komplikasi seperti hipoparatiroidisme dan
vocal palsy tergolong sama pada pasien yang dilakukan total ataupun subtotal
thyroidectomy. Setelah dilakukan total thyroidectomy, pasien harus segera melakukan
terapi pemberian levothyroxine dengan dosis 1.4 – 2.2 μg/kg/hari. Namun pada pasien
yang dilakukan subtotal thyroidectomy, pemberian levothyroxine dapat diberikan
setelah terjadi hipotiroidisme dan untuk mencegah rekurensi.(9)

Tindakan pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat kelenjar tiroid adalah


tiroidektomi, dapat bersifat total maupun subtotal. Tiroidektomi subtotal akan
menyisakan jaringan atau pengangkatan 5/6 kelenjar tiroid, sedangkan tiroidektomi
toal mengangkat seluuruh lobus termasuk isthmus. (1,13)

Terdapat 6 jenis tiroidektomi, yaitu(10):



Lobektomi tiroid parsial, yaitu pengangkatan bagian atas atau bawah dari satu
lobus

Lobektomi tiroid, yaitu pengangkatan seluruh lobus

Lobektomi tiroid dengan istmustectomy, yaitu pengangkatan satu lobus dan
isthmus

Subtotal tiroidektomi, yaitu pengangkatan satu lobus, isthmus, dan sebagian besar
lobus lainnya

Total tiroidektomi, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar

15

Tiroidektomi total radikal, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar dan kelenjar
limfatik servikal. (1,13)
Gambar.7 Tiroidektomi

2.10.3 Terapi Radioiodine


Terapi menggunakan radioiodine dapat direkomendasikan pada pasien yang
menolak atau memiliki kontraindikasi dilakukan terapi operatif. Pemberian terapi ini
diketahui dapat mengurami volume kelenjar tiroid sampai 40% dalam satu tahun
pertama dan dapat mengurangi gejala obstruksi. Semakin besar struma dan semakin
rendah kemampuan kelenjar tiroid dalam mengangkut radioiodine maka dosis
radioiodine harud dinaikkan. Pada beberapa pasien, pemberian radioiodine dapat
menimbulkan efek samping sementara seperti tirotoksikosis ringan pada 2 minggu
pertama, dan 45% mengalami hipotiroidisme sehingga membutuhkan terapi pengganti
hormone tiroid seumur hidupnya.(14,15)

BAB III
KESIMPULAN

16
Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan oleh bertambahnya
jaringan kelenjar tiroid. Struma sering ditemui di masyarakat Indonesia, terutama pada
masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan dengan risiko kurangnya intake iodium
sehari-hari. Struma dapat didiagnosis dengan cepat dengan menggunakan teknik
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dan tepat. Prevalensi struma 10x lebih
banyak pada wanita dibandingkan dengan pria. Ditemukan 20-27 kasus dari 1000
wanita, sedangkan pria 1-5 dari 1000 pria.

Struma nodosa merupakan pembesaran pada kelenjar tiroid yang teraba


sebagai suatu nodul. Sekitar 10 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan
tiroid, baik kanker tiroid, struma nodosa non toxic, maupun struma nodosa toxic.
Struma nodosa non toxic adalah pembesaran kelenjar tiroid baik berbentuk nodul atau
difusa tanpa ada tanda-tanda hipertiroidisme dan bukan disebabkan oleh autoimun atau
proses inflamasi. Penatalaksanaan struma nodosa dapat dilakukan pemberian
medikamentosa maupun melakukantindakan operatif yaitu tiroidektomi berupa
reseksi subtotal atau lobektomi total.

DAFTAR PUSTAKA

1. Chahyani I. Asuhan keperawatan Post Op Pasca Tiroidektomi pada struma nodosa


non toksik. FKIK Universitas Indonesia. Karya Ilmiah Akhir. 2013
2. Sjamsuhidajat-DeJong, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku Ajar
Ilmu Bedah. EGC: Jakarta; 2012. p. 803-11.
3. Hughes K, Eastman C. Goitre-causes, investigation and management. Aust Fam
Physcian. 2012 Aug;41(8):572-576

17
4. Thakkar D, Desmukh S, Akhtar M. Nontoxic goiter: causes, clinical evaluation and
management. International surgery journal. 2018;5(5):1873-7
5. Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data dan Informasi: Situasi dan Analisis Penyakit
Tiroid. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015
6. Djokomoeljanto, 2001., Kelenjar Tiroid Embriologi, Anatomi dan Faalnya., Dalam :
Suyono, Slamet (Editor)., 2001., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.,FKUI., Jakarta.
7.Sherwood, Lauralee, Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Second
Edition,2011,EGC,p 645
8. Ghariib H, Papini E, Parchke R, Duick DS, Valcavi R, Hegedüs L et. American
Association of Clinical Endocrinologists, Associazione Medici Endocrinologi, and
European Thyroid Association Medical
9. Guidelines for Clinical Practice for The Diagnosis and Management of Thyroid
Nodules. Endocr Pract. 2010;16
10. Harib H PE. Thyroid nodules : Clinical Importance, Assesment, and Treatment
Endocrinol Metab Clin N Am 2007;36:28.
11.AACE/AME, American Asssociation of Clinical Endocrinologists and
Associazione Medici Endocrinologi Medical Guidelines for Clinical Practice for
The Diagnosis and Management of Thyroid Nodules. Endocrine Practice.
2006;12;63-94
12. Lalwani, Anil K, Mallignant Thyroid Neoplasms in Current Diagnosis and
Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery, Second Edition, Mc Graw Hill,
2007, p 1
13. Greenspan F.S, Gardner D.G, The Thyroid Gland. In: Greenspan F.S. Basic &
Clinical Endocrinology 7th edition. New York. 2011;215-293
14. Sudoyo Aru W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam 5th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2012.
p. 1500
15. Khatawkar AV, Awati SM. Multi-nodular goiter: Epidemiology, Etiology,
Pathogenesis and Pathology. IAIM, 2015; 2(9):152-6

18

Anda mungkin juga menyukai