Anda di halaman 1dari 21

SATUAN ACARA PENYULUHAN

(SAP)

Pokok Bahasan : Kehamilan Beresiko

Sasaran : Ibu Hamil

Tempat : Poli UPT. Puskesmas Puter

Hari/tanggal : 16 Oktober 2019

Waktu : 08.30 – 08.50

A. Tujuan Umum
Setelah dilakukan penyuluhan tentang kehamilan beresiko diharapkan ibu
mengerti dan memahami tentang kehamilan beresiko.
B. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan penyuluhan tentang kehamilan beresiko
klien dapat mengerti dan menjelaskan tentang:
a) Ibu dapat menjelaskan definisi Kehamilan Beresiko
b) Ibu dapat menyebutkan tanda Kehamilan Beresiko
c) Ibu dapat menyebutkan penanganan Kehamilan Beresiko
d) Ibu dapat menjelaskan pencegahan Kehamilan Beresiko
C. Garis Besar Materi
a) Pengertian Kehamilan Beresiko
b) Klasifikasi Skor Menurut Poeji Rochjati
c) Tanda – tanda Kehamilan Beresiko
d) Penanganan Kehamilan Beresiko
e) Pencegahan Kehamilan Beresiko
f) Penularan HIV dari ibu ke anak
g) Pentingnya Skrining HIV

D. Metode
Metode yang digunakan pada penyuluhan ini adalah:
a) Seminar: materi kehamilan beresiko
b) Diskusi: tanya jawab tentang kehamilan beresiko

E. Media dan Alat


Media yang digunakan adalah:
a) Leaflet
b) Flipchart

F. Pelaksanaan Kegiatan
No. Tahap Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Alokasi
Peserta Waktu
1. Pembukaan 1. Memperkenalkan diri Mendengarkan 3 menit
2. Menyampaikan metode dan Menyimak
tujuan Melihat
3. Kontrak waktu dan tempat Memahami
4. Apersepsi kemampuan
peserta
2. Penyampaian 1. Menjelaskan tentang Mendengarkan 15 menit
Materi Pengertia Kehamilan dan bertanya
Beresiko apabila ada
2. Menjelaskan Klasifikasi materi yang
Skor Menurut Poeji kurang
Rochjati dipahami
3. Menjelaskan Tanda
Kehamilan Beresiko
4. Menjelaskan
Penanganan Kehamilan
Beresiko
5. Menjelaskan
Pencegahan Kehamilan
Beresiko
6. Menjelaskan Penularan
HIV dari ibu ke anak
7. Menjelaskan Pentingnya
Skrining HIV
8. Tanya jawab dengan
peserta
3. Penutup 1. Mengadakan evaluasi Menanyakan 2 menit
setelah penyuluhan kembali materi
2. Kesimpulan penyuluhan
3. Kontrak yang akan dating yang diberikan
4. Salam dan menjawab
5. Penutup salam

G. Evaluasi
Ibu dan keluarga dapat menjawab 3 dari 5 pertanyaan yaitu:
1. Apa itu kehamilan beresiko ?
2. Apa tanda-tanda kehamilan beresiko ?
3. Bagaiamana penanganan kehamilan beresiko ?
Lampiran Materi Penyuluhan

1. Definisi
Kehamilan berisiko adalah kehamilan yang akan menyebabkan
terjadinya bahaya dan komplikasi yang lebih besar, baik terhadap ibu
maupun terhadap janin yang dikandungnya selama masa kehamilan,
melahirkan ataupun nifas bila dibandingkan dengan kehamilan persalinan
dan nifas normal (Haryati N., 2012).
Kehamilan risiko tinggi adalah suatu proses kehamilan yang
kehamilannya mempunyai risiko lebih tinggi dan lebih besar dari normal
umumnya kehamilan (baik itu bagi sang ibu maupun sang bayinya)
dengan adanya risiko terjadinya penyakit atau kematian sebelum atau pun
sesudah proses persalinanya kelak Kehamilan risiko tinggi adalah kehamilan
yang menyebabkan terjadinya bahaya dan komplikasi yang lebih besar baik
terhadap ibu maupun terhadap janin yang dikandungnya selama masa
kehamilan, persalinan, ataupun nifas bila dibandingkan dengan kehamilan
persalinan dan nifas normal.
2. Klasifikasi Menurut Skor Poeji Rochjati
1) Primipara muda usia kurang dari 16 tahun
2) Primipara tua usia lebih dari 35 tahun
3) Primipara sekunder dengan usia anak terkecil lebih dari 5 tahun
4) Tinggi badan kurang dari 145 cm
5) Riwayat kehamilan yang buruk (pernah keguguran,pernah persalinan
premature,bayi lahir mati, riwayat persalinan dengan tindakan
(ekstransi vakum,forsep,section sesaria), pre-eklampsia/eklampsia,
gravida serotinus, kehamilan dengan perdarahan antepartum.
6) Kehamilan dengan penyakit ibu yang mempengaruhi kehamilan
3. Tanda Kehamilan Beresiko Tinggi
1) Keguguran.
Keguguran dapat terjadi secara tidak disengaja. misalnya :
karena terkejut,
cemas, stres. Tetapi ada juga keguguran yang sengaja dilakukan
oleh tenaga non profesional sehingga dapat menimbulkan akibat
efek samping yang serius seperti tingginya angka kematian dan
infeksi alat reproduksi yang pada akhirnya dapat menimbulkan
kemandulan.
2) Persalinan prematur, berat badan lahir rendah (BBLR) dan kelainan
bawaan. Prematuritas terjadi karena kurang matangnya alat
reproduksi terutama rahim yang belum siap dalam suatu proses
kehamilan, berat badan lahir rendah (BBLR) juga dipengaruhi oleh
kurangnya gizi saat hamil dan juga umur ibu yang belum 20 tahun.
Cacat bawaan dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan ibu
tentang kehamilan, pengetahuan akan asupan gizi sangat rendah,
pemeriksaan kehamilan (ANC) yang kurang, keadaan psikologi ibu
kurang stabil. Selain itu cacat bawaan juga di sebabkan karena
keturunan (genetik) proses pengguguran sendiri yang gagal,
seperti dengan minum obat-obatan (gynecosit sytotec) atau
dengan loncat-loncat dan memijat perutnya sendiri. Pengetahuan ibu
hamil akan gizi masih kurang, sehingga akan berakibat
kekurangan berbagai zat yang diperlukan saat pertumbuhan
dengan demikian akan mengakibatkan makin tingginya kelahiran
prematur, berat badan lahir rendah dan cacat bawaan.
3) Mudah terjadi infeksi
Keadaan gizi buruk, tingkat sosial ekonomi rendah, dan stress
memudahkan terjadi infeksi saat hamil terlebih pada kala nifas.
4) Anemia kehamilan / kekurangan zat besi
Penyebab anemia pada saat hamil disebabkan kurang
pengetahuan akan
pentingnya gizi pada saat hamil karena pada saat hamil
mayoritas seorang ibu mengalami anemia. Tambahan zat besi dalam
tubuh fungsinya untuk meningkatkan jumlah sel darah merah,
membentuk sel darah merah janin dan plasenta. Lama kelamaan
seorang yang kehilangan sel darah merah akan menjadi anemis.
5) Keracunan Kehamilan (Gestosis)
Kombinasi keadaan alat reproduksi yang belum siap hamil dan
anemia makin meningkatkan terjadinya keracunan hamil dalam
bentuk pre-eklampsia atau eklampsia. Pre-eklampsia dan eklampsia
memerlukan perhatian serius karena dapat menyebabkan kematian.
6) Kematian ibu yang tinggi.
Kematian ibu pada saat melahirkan banyak disebabkan karena
perdarahan dan infeksi (Rochyati, P., 2011)

4. Penanganan / Penatalaksanaan Kehamilan Berisiko tinggi


a. Lebih banyak mengunjungi dokter dibandingkan dengan
mereka yang tidak memiliki risiko tinggi. Tekanan darah anda
akan diperiksa secara teratur, dan urin anda akan dites untuk
melihat kandungan protein dalam urin (tanda pre eklampsia)
dan infeksi pada saluran kencing.
b. Tes genetik mungkin dilakukan bila anda berusia diatas 35
tahun atau pernah memiliki masalah genetik pada kehamilan
sebelumnya. Dokter akan meresepkan obat-obatan yang
mungkin anda butuhkan, seperti obat diabetes, asma, atau
tekanan darah tinggi.
c. Kunjungi dokter secara rutin
d. Makan makanan sehat yang mengandung protein, susu dan
produk olahannya, buah-buahan, dan sayur-sayuran.
e. Minum obat-obatan, zat besi atau vitamin yang diresepkan
dokter. Jangan minum obat-obatan yang dijual bebas tanpa
resep dokter.
f. Minum asam folat setiap hari. Minum asam folat sebelum dan
selama masa awal kehamilan mengurangi kemungkinan anda
melahirkan bayi dengan gangguang saraf/otak maupun cacat
bawaan lainnya.
g. Ikuti instruksi dokter anda dalam melakukan aktivitas sehari-
hari.
h. Berhenti merokok dan jauhkan diri dari asap rokok
i. Berhenti minum alkohol
j. Menjaga jarak dari orang-orang yang sedang terkena flu atau
infeksi lainnya (Wulandari, 2011)

5. Pencegahan Kehamilan Risiko Tinggi


Sebagian besar kematian ibu hamil dapat dicegah apabila
mendapat penanganan yang adekuat difasilitas kesehatan. Kehamilan
dengan risiko tinggi dapat dicegah bila gejalanya ditemukan sedini
mungkin sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan menurut
Kusmiyati (2011), antara lain:
1 Sering memeriksakan kehamilan sedini mungkin dan teratur,
minimal 4x kunjungan selama masa kehamilan yaitu:
a. Satu kali kunjungan pada triwulan pertama (tiga bulan
pertama).
b. Satu kali kunjungan pada triwulan kedua (antara bulan
keempat sampai bulan keenam).
c. Dua kali kunjungan pada triwulan ketiga (bulan
ketujuh sampai bulan kesembilan).
2 Imunisasi TT yaitu imunisasi anti tetanus 2 (dua) kali selama
kehamilan dengan jarak satu bulan, untuk mencegah penyakit
tetanus pada bayi baru lahir.
3 Bila ditemukan risiko tinggi, pemeriksaan kehamilan harus
lebih sering dan intensif
4 Makan makanan yang bergizi Asupan gizi seimbang pada ibu
hamil dapat meningkatkan kesehatan ibu dan menghindarinya
dari penyakit- penyakit yang berhubungan dengan kekurangan
zat gizi.
5 Menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan komplikasi
pada ibu hamil:
a. Berdekatan dengan penderita penyakit menular.
b. Asap rokok dan jangan merokok.
c. Makanan dan minuman beralkohol.
d. Pekerjaan berat.
e. Penggunaan obat-obatan tanpa petunjuk dokter/bidan.
f. Pemijatan/urut perut selama hamil.
g. Berpantang makanan yang dibutuhkan pada ibu hamil.
6 Mengenal tanda-tanda kehamilan dengan risiko tinggi dan
mewaspadai penyakit apa saja pada ibu hamil.
7 Segera periksa bila ditemukan tanda-tanda kehamilan dengan
risiko tinggi. Pemeriksaan kehamilan dapat dilakukan di
Polindes/bidan. desa, Puskesmas/Puskesmas pembantu, rumah
bersalin, rumah sakit pemerintah atau swasta. tidak
melahirkan pada umurkurang dari 20 tahun / lebih dari 35
tahun, Hindari jarak kelahiran terlalu dekat /kurang dari 2
tahun, rencanakan jumlah anak 2 orang saja, memeriksa
kehamilansecara teratur pada tenaga kesehatan seperti
posyandu, puskesmas, rumah sakit,memakan makanan yang
bergizi.
6. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Upaya PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan
penanganan HIV secara komprehensif dan berkesinambungan dalam
empat komponen (prong) sebagai berikut.
1 Prong 1: pencegahan penularan HIV pada perempuan usia
reproduksi.
2 Prong 2: pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada
perempuan dengan HIV.
3 Prong 3: pencegahan penularan HIV dan sifilis dari ibu hamil
(dengan HIV dan sifilis) kepadajanin/bayi yang
dikandungnya.
4 Prong 4: dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada
ibu dengan HIV beserta anak dan keluarganya.
1. Prong 1: Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan Usia Reproduks
Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan
HIvpada bayi adalah dengan mencegah perempuan usia reproduksi tertular
HIV. Komponen ini dapat juga dinamakan pencegahan primer. Pendekatan
pencegahan primer bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi
secara dini, bahkan sebelum terjadinya hubungan seksual. Hal ini berarti
mencegah perempuan muda pada usia reproduksi, ibu hamil dan pasangannya
untuk tidak terinfeksi HIV. Dengan demikian, penularan HIV dari ibu ke bayi
dijamin bisa dicegah. Untuk menghindari penularan HIV, dikenal konsep
“ABCDE” sebagai berikut:
1 A (Abstinence): artinya Absen seks atau tidak melakukan
hubungan seks bagi yang belum menikah.
2 B (Be faithful): artinya Bersikap saling setia kepada satu
pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan).
3 C (Condom): artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan
seksual dengan menggunakan kondom
4 D (Drug No): artinya Dilarang menggunakan narkoba.
5 E (Education): artinya pemberian Edukasi dan informasi yang
benar mengenai HIV, cara penularan, pencegahan dan
pengobatannya.
2. Prong 2: Mencegah Kehamilan Tidak Direncanakan pada Perempuan dengan
HIV
Perempuan dengan HIV dan pasangannya perlu merencanakan dengan
seksama sebelum memutuskan untuk ingin punya anak. Perempuan dengan
HIV memerlukan kondisi khusus yang aman untuk hamil, bersalin, nifas dan
menyusui, yaitu aman untuk ibu terhadap komplikasi kehamilan akibat
keadaan daya tahan tubuh yang rendah; dan aman untuk bayi terhadap
penularan HIV selama kehamilan, proses persalinan dan masa laktasi.
Perempuan dengan HIV masih dapat melanjutkan kehidupannya,
bersosialisasi dan bekerja seperti biasa bila mendapatkan pengobatan dan
perawatan yang teratur. Mereka juga bisa memiliki anak yang bebas dari HIV
bila kehamilannya direncanakan dengan baik. Untuk itu, perempuan dengan
HIV dan pasangannya perlu memanfaatkan layanan yang menyediakan
informasi dan sarana kontrasepsi guna mencegah kehamilan yang tidak
direncanakan.
3. Prong 3: Mencegah Penularan HIV dari Ibu ke Bayi
Pada ibu hamil dengan HIV yang tidak mendapatkan upaya
pencegahan penularan kepada janin atau bayinya, maka risiko penularan
berkisar antara 20-50%. Bila dilakukan upaya pencegahan, maka risiko
penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%. Dengan pengobatan
ARV yang teratur dan perawatan yang baik, ibu hamil dengan HIV dapat
melahirkan anak yang terbebas dari HIV melalui persalinan pervaginam dan
menyusui bayinya.
4. Prong 4: Dukungan Psikologis, Sosial, Medis dan Perawatan
Ibu dengan HIV memerlukan dukungan psikososial agar dapat bergaul
dan bekerja mencari nafkah seperti biasa. Dukungan medis dan perawatan
diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat penurunan daya
tahan tubuh. Dukungan tersebut juga perlu diberikan kepada anak dan
keluarganya.
a. Dukungan Psikososial
Pemberian dukungan psikologis dan sosial kepada ibu dengan HIV
dan keluarganya cukup penting,mengingat ibu dengan HIV maupun
ODHA lainnya menghadapi masalah psikososial, seperti stigma dan
diskriminasi, depresi, pengucilan dari lingkungan sosial dan keluarga,
masalah dalam pekerjaan, ekonomi dan pengasuhan anak. Dukungan
psikososial dapat diberikan oleh pasangan dan keluarga, kelompok
dukungan sebaya, kader kesehatan, tokoh agama dan masyarakat,
tenaga kesehatan dan Pemerintah. Bentuk dukungan psikososial dapat
berupa empat macam, yaitu:
a) dukungan emosional, berupa empati dan kasih sayang;
b) dukungan penghargaan, berupa sikap dan dukungan positif
c) dukungan instrumental, berupa dukungan untuk ekonomi
keluarga
d) dukungan informasi, berupa semua informasi terkait HIV-
AIDS dan seluruh layanan pendukung, termasuk informasi
tentang kontak petugas kesehatan/LSM/kelompok dukungan
sebaya.
b. Dukungan Medis dan Perawatan
Tujuan dari dukungan ini untuk menjaga ibu dan bayi tetap sehat
dengan peningkatkan pola hidup sehat, kepatuhan pengobatan,
pencegahan penyakit oportunis dan pengamatan status kesehatan.
Dukungan bagi ibu meliputi:
a) pemeriksaan dan pemantauan kondisi kesehatan;
b) pengobatan dan pemantauan terapi ARV;
c) pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik;
d) konseling dan dukungan kontrasepsi dan pengaturan
kehamilan;
e) konseling dan dukungan asupan gizi;
f) layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat;
g) kunjungan rumah.
Dukungan bagi bayi/anak meliputi:
a) diagnosis HIV pada bayi dan anak;
b) pemberian kotrimoksazol profilaksis;
c) pemberian ARV pada bayi dengan HIV;
d) informasi dan edukasi pemberian makanan bayi/anak;
e) pemeliharaan kesehatan dan pemantauan tumbuh kembang
anak;
f) pemberian imunisas
7. Faktor risiko penularan HIV dari ibu hamil ke janin yang
dikandungnya
Tingginya angka penularan vertikal dari ibu ke janin sangat
dipengaruhi oleh adanya faktor risiko pada ibu hamil yang terinfeksi
HIV. Faktor risiko tersebut adalah beratnya infeksi HIV yang diderita
ibu, adanya penyakit infeksi lain pada genitalia ibu, dan kebiasaan ibu
(Setiawan, 2009: 490)
Menurut Rulina Suradi (2003:181), risiko transmisi vertikal dariibu
hamil ke janinnya tergantung pada beberapa faktor, yaitu:
1. Usia kehamilan Transmisi vertikal jarang terjadi pada waktu ibu
hamil muda, karena plasenta merupakan barier yang dapat
melindungi janin dari infeksipada ibu. Transmisi terbesar terjadi
pada waktu hamil tua atau trimester akhir dan waktu persalinan
2. Kondisi kesehatan ibu Stadium dan progresivitas penyakit ibu,
ada tidaknya komplikasi,kebiasaan merokok, penggunaan obat-
obat terlarang dan defisiensivitamin A dapat meningkatkan risiko
penularan HIV dari ibu ke janin.
3. Jumlah viral load (beban virus di dalam darah)
4. Pemberian profilaksis obat abti retroviral (ARV)Menurut
Kementerian Kesehatan RI dalam Pedoman Nasional Pencegahan
Penularan HIV dari Ibu ke Anak (2012:11), ada tigafaktor utama
yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak,yaitu
faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik. Namun, yang
berpengaruh terhadap penularan HIV selama masa kehamilan
adalah faktor ibu, yang terdiri dari:
1. Jumlah virus (viral load)Jumlah virus HIV dalam darah ibu
saat menjelang atau saatpersalinan dan jumlah virus dalam air
susu ibu ketika ibu menyusuibayinya sangat mempengaruhi
penularan HIV dari ibu ke anak.Risiko penularan HIV
menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000
kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas100.000
kopi/ml.
2. Jumlah sel CD4Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih
berisiko menularkan HIVke janinnya. Semakin rendah jumlah
sel CD4 risiko penularan HIVsemakin besar.
3. Status gizi selama hamilBerat badan rendah serta kekurangan
vitamin dan mineral selamahamil meningkatkan risiko ibu
untuk menderita penyakit infeksiyang dapat meningkatkan
jumlah virus dan risiko penularan HIV ke janin.
4. Penyakit infeksi selama hamilPenyakit infeksi seperti sifilis,
infeksi menular seksual, infeksisaluran reproduksi lainnya,
malaria, dan tuberkulosis, berisikomeningkatkan jumlah virus
dan risiko penularan HIV ke janin.Penularan HIV dari ibu ke
anak pada umumnya terjadi padasaat persalinan dan pada saat
menyusui. Risiko penularan HIV pada ibu yang tidak
mendapatkan penanganan PPIA saat hamil diperkirakan
sekitar 15 – 45 %. Risiko penularan 15 – 30 % terjadipada
saat hamil dan bersalin, sedangkan peningkatan risiko
transmisiHIV sebesar 10 -20 % pada masa nifas dan menyusui
(Kemenkes RI,2012: 13)

Mekanisme penularan HIV dari ibu hamil ke janin yang dikandungnya

Walaupun masih belum jelas, mekanismenya diduga melalui plasenta. Pemeriksaan


patologi menemukan HIV dalam plasenta ibu yang terinfeksi HIV. Sel limfosit atau
monosit ibu yang terinfeksi HIVatau virus HIV itu sendiri dapat mencapai janin
secara langsungmelalui lapisan sinsitiotrofoblas, atau secara tidak langsung
melaluitrofoblas dan menginfeksi sel makrofag plasenta (sel Houfbauer)
yangmempunyai reseptor CD4 (McFarland, 2003).Plasenta diduga juga mempunyai
efek anti HIV-1 denganmekanisme yang masih belum diketahui. Salah satu hormon
plasenta yaitu human chorionic gonadotropin (hCG) diduga melindungi janin14 - 16
mg0 – 14 mg36 mgkelahiran0 – 6 bulanSelama partus 6 – 24 bulan dari HIV-1
melalui beberapa cara, seperti menghambat penetrasi viruske jaringan plasenta,
mengkontrol replikasi virus di dalam sel plasenta,dan menginduksi apoptosis sel-sel
yang terinfeksi HIV-1 (McFarland,2003).

Menurut Pediatric Virology Committee of the AIDS ClinicalTrials Group


(PACTG) transmisi dikatakan intra uterin/infeksi awal, jika tes virology positif dalam
48 jam setelah kelahiran dan tesberikutnya juga positif (McFarland, 2003).Beberapa
penelitian mengemukakan faktor-faktor yangberperan pada transmisi antepartum,
yaitu malnutrisi yang seringkaliditemukan pada wanita dengan HIV-AIDS akan
meningkatkan resikotransmisi karena akan menurunkan imunitas,
meningkatkanprogresivitas penyakit ibu, meningkatkan resiko berat badan
lahirrendah dan prematuritas dan menurunkan fungsi imunitasgastrointestinal dan
integritas fetus. Pada penelitian prospektif randomterkontrol, defisiensi vitamin A
(kurang dari 1,05 mmol/L) yangdihubungkan dengan gangguan fungsi sel T dan sel B
ternyataberhubungan dengan peningkatan transmisi HIV. Namun penelitianDreyfuss,
dkk tidak dapat membuktikan bahwa defisiensi mikronutrienakan meningkatkan
transmisi antepartum atau sebaliknya (McFarland,2003).Jadi, dengan adanya
plasenta, sirkulasi darah ibu dipisahkanoleh beberapa lapis sel yang terdapat pada
plasenta. Plasentamelindungi janin dari infeksi HIV. Meskipun oksigen,
makanan,antibodi dan obat-obatan memang dapat menembus plasenta, tetapitidak
oleh HIV. Plasenta justru melindungi janin dari infeksi HIV(Kemenkes RI, 2012: 13).
Namun, perlindungan menjadi tidak efektif apabila ibu:

1. Mengalami infeksi viral, bakterial, dan parasit (terutama malaria)pada


plasenta selama kehamilan.
2. Terinfeksi HIV selama kehamilan, membuat meningkatnya muatanvirus
(viral load) pada saat itu.
3. Mempunyai daya tahan tubuh yang menurun.
4. Mengalami malnutrisi selama kehamilan yang secara tidaklangsung
berkontribusi untuk terjadinya penularan dari ibu ke janin.Jadi, apabila
terjadi inflamasi, infeksi ataupun kerusakan padaplasenta, maka HIV bisa
menembus plasenta sehingga terjadipenularan HIV dari ibu ke janin
(Kemenkes RI, 2012: 13).

Tatalaksana pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke janin yang dikandungnya

Strategi untuk mencegah penularan vertikal dari ibu hamil ke janin


yang dikandungnya (masa antenatal) adalah dengan memberikan antiretroviral
(ARV) dan memperbaiki faktor risiko. Usahaini memerlukan kerja sama
antara dokter ahli HIV dari kelompok kerjaHIV/AIDS yang merawat ibu pada
saat sebelum hamil dan dokterke bidanan yang merawatnya pada saat hamil.
Tujuan perawatan saat kehamilan adalah untuk mempertahan kesehatan dan
status nutrisiibu, serta mengobati ibu agar jumlah viral load tetap rendah
sampai pada tingkat yang tidak dapat dideteksi ( Setiawan, 2009: 491). (ARV)
atau belum. Data tersebut kemudian dapat digunakansebagai bahan informasi
kepada ibu tentang risiko penularanterhadap pasangan seks, bayi, serta cara
pencegahannya.Selanjutnya, ibu harus diberi penjelasan tentang faktor risiko
yangdapat mempertinggi penularan infeksi HIV-1 dari ibu ke bayi.2.
Pencatatan dan pemantauan ibu hamilBanyak ibu terinfeksi HIV hamil tanpa
rencana. Ibu hamilsangat jarang melakukan perawatan prenatal. Di samping
itu, ibu-ibu ini sering terlambat untuk melakukan perawatan prenatal.
Kelompok ibu-ibu ini juga sangat jarang melakukan konseling dantes HIV
pada waktu prenatal, sehingga mereka tidak dapat dicatatdan dipantau dengan
baik.Catatan medis yang lengkap sangat perlu untuk ibu hamilterinfeksi HIV
termasuk catatan tentang kebiasaan yangmeningkatkan risiko dan keadaan
sosial yang lain, pemeriksaanfisik yang lengkap, serta pemeriksaan
laboratorium untukmengetahui status virologi dan imunologi.

Pada saat penderita datang pertama kali harus dilakukan pemeriksaan


laboratorium.Pemeriksaan ini akan digunakan sebagai data dasar untuk
bahanbanding dalam melihat perkembangan penyakit
selanjutnya.Pemeriksaan tersebut adalah darah lengkap, urinalisis, tes
fungsiginjal dan hati, amylase, lipase, gula darah puasa, VDRL,gambaran
serologis hepatitis B dan C, subset sel T, dan jumlahsalinan RNA
HIV.Selanjutnya, ibu harus selalu dipantau. Cara pemantauanibu hamil
terinfeksi HIV sama dengan pemantauan ibu terinfeksiHIV tidak hamil.
Pemeriksaan jumlah sel T CD4+ dan kadar RNAHIV-1 harus dilakukan setiap
trimester (yaitu, setiap 3 - 4 bulan)yang berguna untuk menentukan pemberian
ARV dalampengobatan penyakit HIV pada ibu. Bila fasilitas pemeriksaan sel
T CD4+ dan kadar HIV-1 tidak ada maka dapat ditentukanberdasarkan
kriteria gejala klinis yang muncul.3. Pengobatan dan profilaksis antiretrovirus
pada ibu terinfeksi HIVUntuk mencegah penularan vertikal dari ibu ke bayi,
makaibu hamil terinfeksi HIV harus mendapat pengobatan atauprofilaksis
antiretrovirus (ARV). Tujuan pemberian ARV pada ibuhamil, di samping
untuk mengobati ibu, juga untuk mengurangirisiko penularan perinatal kepada
janin atau neonatus. Ternyata ibu dengan jumlah virus sedikit di dalam plasma
(<1000 salinanRNA/ml), akan menularkan HIV ke bayi hanya 22%,
sedangkan ibu dengan jumlah muatan virus banyak menularkan infeksi HIV
pada bayi sebanyak 60%. Jumlah virus dalam plasma ibu masihmerupakan
faktor prediktor bebas yang paling kuat terjadinyapenularan perinatal. Karena
itu, semua wanita hamil yangterinfeksi HIV harus diberi pengobatan
antiretrovirus (ARV) untukmengurangi jumlah muatan virus.

Menurut Kementerian Kesehatan RI dalam PedomanNasional


Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (2012:22),tujuan pemberian
ARV adalah sebagai berikut:a. Mengurangi laju penularan HIV di
masyarakatb. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang
berhubungandengan HIVc. Memperbaiki kualitas hidup ODHAd.
Memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh, dane. Menekan
replikasi virus secara maksimal.Cara paling efektif untuk menekan replikasi
HIV adalahdengan memulai pengobatan dengan kombinasi ARV yang
efektif.Semua obat yang dipakai harus dimulai pada saat yangbersamaan pada
pasien baru. Terapi kombinasi ARV harusmenggunakan dosis dan jadwal
yang tepat. Obat ARV harusdiminum terus menerus secara teratur untuk
menghindari timbulnya resistensi. Diperlukan peran serta aktif pasien
danpendamping/keluarga dalam terapi ARV. Di samping ARV,timbulnya
infeksi oportunistik harus mendapatkan perhatian dantatalaksana yang sesuai
(Kemenkes RI, 2012: 22). Pemilihan antiretrovirus untuk ibu hamil terinfeksi
HIVsama dengan ibu yang tidak hamil. Yang harus diketahui dari ibuhamil
terinfeksi HIV adalah status penyakit HIV (beratnya penyakit AIDS
ditentukan berdasarkan hitung sel T CD4+, perkembanganinfeksi ditentukan
berdasarkan jumlah muatan virus, antigen p24atau RNA/DNA HIV di dalam
plasma), riwayat pengobatanan tiretrovirus saat ini dan sebelumnya, usia
kehamilan, danperawatan penunjang yang diperlukan seperti perawatan
psikiater,nutrisi, aktivitas seksual harus memakai kondom, dan lain-lain. ARV
cukup aman diberikan kepada ibu hamil. Obat ini tidakbersifat teratogenik
pada manusia, dan tidak bersifat lebih toksikpada ibu hamil dibandingkan
dengan ibu tidak hamil. Walaupundemikian, pemantauan jangka penwdek dan
jangka panjangtentang toksisitas dari paparan sampai penggunaan kombinasi
ARV untuk janin di dalam kandungan dan pada bayi adalahsangat penting,
karena keterbatasan informasi, dan data yang adasering tidak sesuai
(Setiawan, 2009: 492).

8. Pentingnya Skrining
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan


penyehatan Lingkungan.2012. Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari
Ibu ke Anak (PPIA) EdisiKedua Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

McFarland, Elizabeth J. 2003. Human Immunodeficiency Virus (HIV)Infection


in: Current Pediatric Diagnosis&Treatment.16th edition. McGraw&Hill Company.
Singapore (1140-50)

Rusadi, Rulina. 2003.Tatalaksana Bayi dari Ibu Pengidap HIV/AIDS.Volume


4 Nomor 4

Setiawan, I Made. 2009. The Prevention Management of HIV


VerticalTransmission from Infected Mothers to Their Child.Volume 59 Nomor 10.

Chandranita Manuaba, IA. 2006. Buku ajar patologi obstetric.Jakarta :EGC

Sin-sin iis. 2008. Seri Kesehatan Ibu dan Anak.Jakarta : Gramedia

Anda mungkin juga menyukai