Anda di halaman 1dari 22

Pengertian Kota

Ada beberapa tinjauan atau sudut pandang suatu daerah dapat dikatakan kota antara lain:
1. Tinjauan Administratif/legal/formal
menurut tinjauan administratif kota adalah wilayah yang merupakan bagian dari negara yang di
jadikan kota berdasarkan UU. sumber dari pembuatan peta administratif berasl dari BAPEDA.
tujuan administratif:
 mempunyai batas yang jelas.
 diatur yang secara legal / yuridis
 punya otonomi terdapat pemerintahan
 di tetapkan berstatus sebagai kota
2. Fisik morfologi
di tandai dengan bangunan yang berorientasi pada kegiatan perkotaan.
penanda kota di lihat secara fisik:
 indikator fisik pembeda batas ( land use, building, street)
 aktifitasnya selain pertanian
 orientasi perkotaan
 kepadatannya lebih besar di bandingkan pedesaan
 menyatu dengan satuan yang kompak
 area perkotaan sudah mulai tersedia
 jalan nya sangat kompleks, bervariasi, padat, dan sering terjadi kemacetan
 batas fisik sulit di tentukan
3. Tinjauan demografi
 dilihat dari jumlah populasi penduduk yang menempati suatu wilayah tertentu
 batas antar wilayah sulit ditentukan
4. konsentrasi aktivitas ekonomi
 batas nya sangat tidak jelas
 identifikasi pusat samar samar tidak jelas

hubungan antara kota administrasi dan kota morfologi


1. Over Bounded City
hanya sebagian dari kota yang di bangun dan mempunyai fasilitas perkotaan yang lengkap. misal
kan saja kota semarang bawah fasilitas nya sangat lengkap sedangkan daerah gunung pati fasilitas
perkotaan nya masih terbatas.
2. Under Bounded City

kota yang sempit tapi menyebar ke daerah sekitarnya dan sehingga daerah di sekitarnya
mempunyai fasilitas kota syang lengkap

3. True Bounded City


fasilitas kota lengkap merata semua sama.

Judul Skripsi - Tesis Perencanaan Kota dan Daerah: "Perkembangan Fisik Kota dan Faktor-
Faktornya"
Menurut Branch (1995) mengemukakan beberapa kota tumbuh pada lingkungan fisik yang berbeda.
Pada suatu saat terdapat unsur eksternal yang menonjol yang mempengaruhi perkembangan kota,
akan tetapi situasi dan kondisi setempat setiap saat akan merupakan unsur yang terpenting yang
mendasari perencanaan kota secara komprehensif. Keadaan geografis sebuah kota bukan hanya
pertimbangan yang esensial pada awal penentuan lokasinya, tetapi mempengaruhi fungsi dan
bentuk fisiknya.
Pendapat Branch tersebut mendukung pendapat Ruswurn dalam Yunus (1994) bahwa beberapa
faktor yang mempengaruhi ekspresi keruangan kenampakan kota yaitu adanya faktor fisik dan non
fisik. Faktor fisik seperti topografi, geologi dan tanah, sedangkan faktor non fisik berupa
pertumbuhan penduduk, persebaran, perencanaan dan perkembangan teknologi. Proses interaksi
dari masing-masing berfungsi sebagai pengatur aliran, orang dan informasi yang secara langsung
sebagai simpul-simpul pertumbuhan.
Senada dengan Branch, menurut Sujarto (1989) yang lebih menonjolkan faktor manusia
menyebutkan bahwa faktor-faktor perkembangan dan pertumbuhan yang bekerja pada
suatu kota dapat mengembangkan dan menumbuhkan kota pada suatu arah tertentu. Tiga faktor
utama yang sangat menentukan pola perkembangan dan pertumbuhan kota yaitu faktor manusia,
faktor kegiatan manusia dan faktor pola pergerakan antara pusat kegiatan manusia yang satu
dengan pusat kegiatan manusia yang lainnya. Secara terperinci dapat diterangkan bahwa faktor
manusia akan menyangkut segi-segi perkembangan penduduk kota baik karena kelahiran maupun
karena migrasi ke kota, segi-segi perkembangan tenaga kerja, perkembangan status sosial dan
perkembangan kemampuan pengetahuan dan teknologi. Faktor kegiatan manusia menyangkut segi-
segi kegiatan kerja, kegiatan fungsional, kegiatan perekonomian kota dan kegiatan hubungan
regional yang lebih luas; sedangkan faktor pola pergerakan adalah sebagai akibat dari
perkembangan yang disebabkan oleh kedua faktor perkembangan penduduk yang disertai dengan
perkembangan yang dengan perkembangan fungsi kegiatannya akan menuntut pola perhubungan
antara pusat-pusat kegiatan tersebut. Kebutuhan ketiga faktor ini secara fisik akan termanifestasikan
kepada perubahan akan tuntutan kebutuhan ruang. Tuntutan kebutuhan ruang ini akan tercermin
kepada perkembangan dan perubahan tata guna lahan kota, kemudian faktor persyaratan fisik akan
sangat menentukan perkembangan dan pertumbuhan kota itu selanjutnya.
Menurut Bintarto (1983) pemekaran kota pada umumnya digerakkan oleh pengaruh dari dalam
(internal) dan pengaruh dari luar (eksternal). Pengaruh dari dalam berupa rencana-rencana
pengaruhnya dari perencanaan kota, desakan warga kota dari luar berupa berbagai daya tarik bagi
daerah belakang kota. Apabila kedua pengaruh ini bekerja bersama-sama maka pemekaran akan
terjadi lebih cepat.
Selanjutnya Bintarto (1983) menyatakan bahwa proses perkembangan kota tergantung pada kondisi
alam dan sumber daya binaan yang ada di daerah kota dan sekitarnya yang membawa implikasi
terhadap perubahan peruntukan guna lahan, baik struktur maupun polanya.
Pendapat Bintarto senada dengan pendapat Colby yang melihat perkembangan kota dari sisi
penggunaan tanah, di dalam kota terdapat kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi pola
penggunaan lahan kota. Kekuatan-kekuatan tersebut dikelompokkan menjadi dua hal, yaitu
kekuatan sentripetal (centripetal forces) dan kekuatan sentrifugal (centrifugal forces). Kekuatan
sentrifugal adalah kekuatan yang menyebabkan terjadinya pergerakan penduduk dan fungsi-fungsi
perkotaan dari berbagai dalam sesuatu kota menuju ke bagian luarnya. Kekuatan sentripetal adalah
kekuatan yang menyebabkan terjadinya pergerakan penduduk atau aktivitas menuju bagian dalam
maupun fungsi-fungsi yang berasal dari bagian luar menuju bagian dalam daerah perkotaan. Kedua
kekuatan tersebut karena adanya faktor pendorong dan faktor penarik. Bekerjanya dua kekuatan
faktor tersebut dapat berakibat pada pemekaran kota, dicerminkan oleh perubahan penggunaan
lahan baik di dalam kota sendiri maupun pada pinggiran kota.
Pada kekuatan sentripetal, kekuatan penarik misalnya tingkat kemudahan yang tinggi ke kota,
kemudian ke pusat kegiatan, letaknya yang bergengsi, banyaknya fasilitas kota dan pelayanan kota.
Pada kekuatan sentrifugal, kekuatan penarik seperti lingkungan yang nyaman di luar kota,
tersedianya lahan yang murah, rendahnya tingkat kemacetan, dan bebas dari polusi. Sedangkan
kekuatan pendorong misalnya mahalnya lahan diperkotaan, peraturan yang ketat, terbatasnya
lahan, dan tingginya polusi.
Perkembangan pola struktur sebuah kota secara umum menurut Branch (1995) sangat dipengaruhi
oleh situasi dan kondisi internal yang menjadi unsur terpenting dalam perencanaan kota secara
komprehensif. Namun demikian ada beberapa unsur eksternal yang menonjol ikut mempengaruhi
perkembangan pola dan struktur kota.
Faktor internal yang mempengaruhi kota yaitu:
1. Keadaan geografis mempengaruhi fungsi dan bentuk fisik kota. Kota yang berfungsi sebagai
simpul distribusi, misalnya terletak di simpul jalur transportasi, dipertemuan jalur transportasi
regional atau dekat pelabuhan.
2. Tapak (site) merupakan faktor kedua yang mempengaruhi perkembangan suatu kota. Salah
satu yang dipertimbangkan dalam kondisi tapak adalah topografi, kota yang berlokasi di dataran rata
akan mudah berkembang kesemua arah, sedangkan yang berlokasi di pegunungan biasanya
mempunyai kendala topografi. Kondisi tapak lainnya berkaitan dengan kondisi geologis. Daerah
patahan geologis biasanya dihindari oleh perkembangan kota.
3. Fungsi kota juga merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan kota. Kota yang
mempunyai banyak fungsi biasanya secara ekonomi akan lebih kuat dan akan berkembang lebih
pesat dari pada kota yang berfungsi tunggal, misalnya kota pertambangan, kota yang berfungsi
sebagai pusat perdagangan, biasanya juga berkembang lebih pesat dari pada kota berfungsi lainnya.
4. Sejarah dan kebudayaan dari kota, mempengaruhi karakter dan sifat
masyarakat kota. Kota yang sejarahnya direncana sebagai ibukota kerajaan akan berbeda dengan
perkembangan awal tumbuh secara organis. Kepercayaan dan kultur masyarakat juga dapat
mempengaruhi daya perkembangan.
5. Unsur-unsur umum seperti jaringan jalan, penyediaan air bersih dan jaringan penerangan listrik
berkaitan dengan kebutuhan masyarakat luas. Ketersediaan unsur-unsur umum akan menarik
perkembangan kota ke arah tertentu.
Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan kota yaitu:
1. Kota sebagaimana biasanya mempunyai fungsi primer dan sekunder yang tidak terlepas dari
keterkaitan dengan daerah lain apakah itu dipandang secara makro (nasional dan internasional),
maupun secara mikro regional dengan daerah atau wilayah yang ada di sekitarnya, dimana
keterkaitan ini akan menimbulkan arus pergerakan orang dan barang yang tinggi
memasuki kota secara kontinuitas.
2. Kota dengan fungsinya yang sedemikian rupa akan merupakan daya tarik yang sangat kuat,
sehingga menarik urbanisasi yang masuk ke kota tersebut dengan segala harapan yang terkandung
dalam pikirannya masing-masing, karena kota adalah tempat terkonsentrasinya kegiatan.
3. Kerterkaitan yang sangat kuat tersebut akan menuntut sarana dan prasarana transportasi yang
lancar. Semakin baiknya sarana transportasi ke kota, akan semakin berkembang kota tersebut, baik
transportasi udara, laut dan darat karena perkembangan kota adalah juga merupakan
keterjangkauan transportasinya.
Menurut Yunus (1999), perkembangan kota pada hakekatnya menyangkut berbagai aspek baik
secara fisik maupun non fisik. Dari salah satu sudut pandang lain sebuah kota bisa tidak berkembang.
Perkembangan adalah merupakan suatu proses terjadinya perubahan keadaan dari suatu waktu ke
waktu yang lain. Untuk dapat melihat perkembangan kota dengan baik maka harus dilakukan
perbandingan keadaan kota dalam beberapa periode dengan waktu yang lebih lama. Jika dilihat
secara fisik, maka dengan membandingkan keadaan kota dalam beberapa periode akan ditemui
pola-pola perubahan guna lahan yang dapat mengindikasikan perkembangan suatu kota.
Russwurn dalam Yunus (1994) mengemukakan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi
ekspresi keruangan kenampakan kota yaitu faktor-faktor fisik dan non fisik. Faktor fisik berkaitan
dengan keadaan topografi, struktur geologi, geomorfologi, perairan dan tanah. Faktor-faktor non
fisik antara lain pertumbuhan penduduk, persaingan memperoleh lahan, hak-hak pemilikan lahan,
kegiatan developer, perencanaan dan perkembangan teknologi. Kemudian interaksi antar faktor-
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yang berfungsi sebagai pengatur aliran orang, barang, jasa
dan informasi.
Berkaitan dengan perkembangan fisik kota yang terimplementasi dalam perubahan penggunaan
lahan kekotaan, Chapin dalam Santosa (1996) menyoroti adanya dua pengaruh besar dalam
mempengaruhi perubahan penggunaan arealnya yaitu pertama, perkembangan penduduk dan
perkembangan ekonomi; kedua, sistem aktivitas, sistem pengembangan lahan dan sistem
lingkungan.
Dalam menganalisis perkembangan suatu kota, banyak teori yang mengemukakan mengenai faktor-
faktor yang mempengaruhi perkembangan fisik kota. Menurut Yunus (1999) ada tiga faktor utama
yang mempengaruhi perkembangan kota, yaitu faktor alam, faktor budaya, serta faktor
kependudukan dan sosial ekonomi.
Dalam setiap terjadi perkembangan kota, faktor alam merupakan faktor yang relatif tetap atau
statis. Hal ini bukannya tidak terjadi perubahan terhadap faktor alam, akan tetapi segala bentuk
perubahan yang terjadi dalam perkembangan kota relatif lama apabila dibandingkan dengan proses
perubahan akibat faktor manusia.
1. Faktor budaya.
Faktor budaya mempunyai kaitan secara langsung terhadap masyarakat kota, sehingga
perkembangan kota juga dapat dipengaruhi oleh tingkat peradaban masyarakat. Dalam hal ini yang
dimaksudkan dengan faktor budaya adalah tingkat kepandaian manusia di dalam usahanya untuk
mengelola lingkungan dalam menyelenggarakan kehidupannya (Yunus, 1999). Perkembangan
teknologi dalam kota ikut menentukan perkembangan keadaan sosial ini sehingga dengan sendirinya
akan mempengaruhi tuntutan-tuntutan masyarakat akan barang dan jasa, sehingga mempunyai efek
yang luas terhadap perkembangan kota baik di bidang fisik, ekonomi dan sosial.
2. Faktor kependudukan dan sosial ekonomi
Faktor kependudukan dan sosial ekonomi mempunyai sifat yang lebih dinamis dibandingkan dengan
kedua faktor tersebut di atas, terutama ditinjau dari segi kuantitasnya. Menurut Yunus (1999) bahwa
sehubungan dengan kualitas penduduk perkotaan ada hal yang perlu disoroti dan sangat
berpengaruh terhadap perkembangan kota yaitu:
a. Pertambahan penduduk dan sosial ekonomi
Pertambahan penduduk ini merupakan jumlah dari banyaknya kelahiran secara alami dikurangi
dengan banyaknya kematian dari penduduk kota yang menggambarkan pertumbuhan kota (Barlow
dan Newton dalam Gedy, 2001).
b. Pertambahan penduduk karena adanya urbanisasi
Pertambahan ini disebabkan oleh adanya arus migrasi dari desa ke kota atau perbandingan antara
jumlah penduduk di wilayah perkotaan lebih besar dari pada penduduk yang tinggal di daerah
pedesaan (Bintarto, 1983).
Perkembangan tingkat urbanisasi pada wilayah perkotaan akan diikuti pula dengan meningkatnya
keadaan sosial ekonomi masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena perpindahan penduduk dari desa
ke kota dan juga dapat menunjukkan pergantian mata pencaharian penduduk dari sektor industri
dan jasa (Daldjoeni, 1992).
Berdasarkan tiga faktor yang mempengaruhi perkembangan kota, baik fisik maupun non fisik,
ternyata dari setiap faktor saling menunjang dalam mendukung perkembangan kota yang lebih
cepat dan tidak dapat terjadi secara terpisah-pisah. Kota akan mengalami perkembangan lebih cepat
apabila dari ketiga faktor tersebut dapat saling mendukung dan menjadi perhatian utama oleh
pemerintah dan masyarakat.
Dari beberapa uraian pendapat, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan fisik kota adalah faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut
terimplementasikan ke dalam faktor fisik dan non fisik.
Diposting oleh Konsultasi-Skripsi-Tesis di 02.41 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: perencanaan kota dan daerah, planologi, teknik sipil
Judul Tesis Perencanaan Kota dan Daerah: Morfologi Kota (2)
Pendekatan untuk mengkaji perkembangan fisik kota, menurut Hagget, 1970 adalah mengacu pada
teori difusi atau teori penyebaran/perjalanan yang mempunyai dua model yang masing-masing
berbeda maksud. Model-model tersebut adalah model difusi ekspansi dan model difusi relokasi.
Difusi ekspansi adalah suatu proses dimana dalam informasi dan sebagainya menjalar melalui suatu
populasi dari satu daerah ke daerah lain. Dalam proses difusi ekspansi terjadi penambahan jumlah
penduduk baru dalam kurun waktu tertentu yang dibedakan dalam dua periode waktu. Dengan
demikian dalam ekspansi ruang terdapat penambahan penduduk, material dan ruang hunian baru.
Model difusi ekspansi dapat digambarkan dan dilihat pada Gambar 6 berikut ini:
Gambar 6. Model difusi ekspansi

Difusi relokasi adalah suatu proses yang sama dengan penyebaran keruangan dimana dalam
informasi atau material yang didifusikan meninggalkan daerah yang lain dan berpindah ke daerah
yang baru. Ini berarti anggota dari populasi pada waktu t1 berpindah letaknya pada waktu t2. Dalam
proses difusi relokasi juga terjadi penambahan penduduk, material dan ruang hunian baru. Model
difusi relokasi dapat digambarkan dan dilihat pada Gambar 7 berikut ini.

Gambar 7. Model difusi relokasi

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model difusi ekspansi, karena penelitian ini
menekankan pada ekspansi ruang yaitu terutama untuk mengkaji kecenderungan perkembangan
fisik melalui perubahan penggunaan lahan.
Perkembangan sosial dan kendala topografi mengakibatkan kota mengalami perkembangan dengan
pola-pola tertentu yaitu:
1. Pola menyebar (dispersed pattern), terjadi apabila kondisi fisik topografinya seragam dan
ekonominya homogen. Bentuk kotanya seperti yang dikemukakan oleh Christaller dengan central
place theorynya. Pusat-pusat pelayanan cenderung tersebar di dalam wilayah dengan pola
heksagonal (segi enam). Pola tersebut merupakan pola pelayanan yang paling efisien.
2. Pola sejajar (Linear pattern), ini terjadi karena perkembangan sepanjang jalan, lembah, sungai
atau pantai. Jadi kondisi fisik (alam/buatan) mempunyai andil besar terhadap pola ini.
3. Pola merumpun (clustered pattern), jika topografi agak datar tetapi terdapat beberapa relief
yang nyata maka terjadi perumpunan kota-kota. Kota-kota ini terletak saling berdekatan dan tidak
ada kota yang lebih penting dari yang lain. Tebaran kota semacam ini dianggap sebagai kota besar.
Menurut Yunus,1999 ada tiga model klasik yang menggambarkan perkembangan kota dalam
memanfaatkan penggunaan tanah yaitu:
1. Model Zona Sepusat (Concentric Zone Model) oleh Ernest W. Burgess (1925).
2. Model Sektor (Sector Model) oleh Humer Hyot (1939).
3. Model Pusat Lipat ganda (Multiple-nuclei Model) oleh Harris & Edward Ullman (1945) dalam
Short (1984).
Menurut Burgess,1925 (dalam Yunus,1999) dalam teori zona sepusat, pola penggunaan lahan
di kota berhubungan dengan nilai ekonomi. Untuk itu ada lima urutan zona dari pusat ke periphery:
(1) Pusat kota (Central Business District) terdapat pada lingkaran dalam, terdiri dari: kantor, hotel,
bank, bioskop, pasar dan pusat perbelanjaan; (2) Jalur alih (Zone of Transition) terdapat pada
lingkaran tengah, terdiri dari: kawasan perumahan untuk tenaga kerja pabrik; (3) Jalur wisma buruh
(Zone of Workingmens Home) terdapat pada lingkaran tengah kedua, terdiri dari: kawasan
perumahan untuk tenaga kerja pabrik; (4) Jalur madyawisma (Zone of Better Residence) terdapat
pada lingkaran luar, terdiri dari: kawasan perumahan yang luas untuk tenaga kerja halus dan kaum
madya; (5) Jalur penglaju (Commuters Zone) terdapat pada luar lingkaran, terdiri dari masyarakat
golongan madya dan golongan atas disepanjang jalan besar.
Menurut Hoyt,1939 (dalam Yunus,1999) dalam teory sektor menjelaskan bahwa kota tersusun atas
lima sektor: (1) Lingkaran pusat terdapat pusat kota (Central Business District); (2) Sektor tertentu
terdapat kawasan industri ringan dan kawasan perdagangan (Wholesale and Light Manufacturing);
(3) Dekat pusat kota dan sektor tersebut pada bagian sebelah menyebelahnya terdapat kawasan
tempat tinggal kaum buruh (Low-class Residential); (4) Agak jauh dari pusat kota dan sektor industri
serta perdagangan terdapat sektor madyawisma (Middle-class Residential); (5) Sedangkan yang lebih
jauh lagi terdapat sektor adiwisma, kawasan tempat tinggal golongan atas (High-class Residential).
Harris dan Ullman,1945 (dalam Yunus,1999) teori lipat ganda menjelaskan bahwa kota tersusun dari
; (1) Pusat kota (Central Business District); (2) Kawasan niaga atau industri ringan (Wholesale and
Light Manufacturing); (3) Kawasan tempat tinggal berkualitas rendah (Low-class Residential); (4)
Kawasan tempat tinggal berkualitas menengah (Middle-class Residential); (5) Kawasan tempat
tinggal berkualitas tinggi (High-class Residential); (6) Pusat industri berat (Heavy Manufacturing); (7)
Pusat niaga/perbelanjaan lain dipinggiran (Outlying Business District); (8) Kawasan madyawisma dan
adiwisma (Residential Suburb); dan (9) Kawasan industri (Industri Suburb).
Model-model ini dapat digunakan pada kondisi tata guna lahan di Kota Tembilahan meskipun ada
beberapa hal yang tidak sama. Jika ditelaah pada pusat Kota Tembilahan terdapat bangunan kantor,
hotel, bank, pasar dan pusat perbelanjaan (super market). Agak keluar terdapat kawasan perumahan
berkualitas rendah sampai menengah. Lebih keluar lagi terdapat kawasan industri rumah tangga
sampai industri menengah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 8 berikut ini.
Gambar 8. Teori lipat ganda

Northam,1975 (dalam Yunus,1994) membagi pola penjalaran kota berdasarkan ciri morfologinya
menjadi tiga jenis, yakni: (1) Perkembangan konsentris (Concentric Development), yaitu penjalaran
fisik kota yang mempunyai sifat rata pada bagian luar, cenderung lambat sehingga menunjukkan
morfologi kota yang kompak; (2) Perkembangan memanjang (Ribbon/Linear/Axial Development),
yaitu penjalaran fisik kota cenderung mengikuti pola jaringan jalan sehingga menunjukkan
penjalaran yang tidak sama pada setiap bagian perkembangan kota; (3) Perkembangan meloncat
(Leapfrog/Checherboard Development), yaitu penjalaran fisik kota yang tidak mengikuti pola
tertentu.
Pendekatan morfologi ini menurut Herbert dalam Yunus (1994) tercermin pada bentuk-bentuk fisik
lingkungan kota. Hal ini dapat diamati dari kenampakkan kota secara fisik, antara lain tercermin
pada sistem jalan, blok-blok bangunan baik daerah pemukiman atau bukan seperti perdagangan dan
daerah industri.
Berdasarkan pada kenampakkan morfologi ini serta jenis perembetannya, Hudson dalam Yunus
(1994) memaparkan model-model kota yaitu:
1. Model satelit dan pusat-pusat baru; adanya hubungan fungsional antara kota utama dan kota-
kota kecil di sekitarnya sehingga lebih efektif dan efisien.
2. Model stellar atau radial; model ini untuk perkembangan kota yang didominasi oleh “ribbon
development”.
3. Model cincin; biasanya terdiri dari beberapa kota yang berkembang di sepanjang jalan utama
yang melingkar.
4. Model linier bermanik; pertumbuhan kota hanya terbatas pada jalan utama dan dapat melebar
ke samping tanpa kendala fisik.
5. Model inti/kompak; biasanya perkembangan kota cenderung vertikal.
6. Model memencar; karena adanya kesatuan morfologi yang besar dan kompak dengan
beberapa “urban centers” dan masing-masing pusat mempunyai kelompok fungsi yang khusus dan
berbeda.
Kondisi Kota yang sesuai dengan model stellar atau radial yang didominasi oleh transportasi dalam
perkembangan kota dengan bentuk kota yang terbelah oleh sungai. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 9 berikut ini.

Gambar 9. Model perembetan kota

Diposting oleh Konsultasi-Skripsi-Tesis di 02.37 Tidak ada komentar:


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: perencanaan kota dan daerah, planologi, teknik sipil
Judul Tesis Perencanaan Kota dan Daerah: Morfologi Kota (1)

Dinamika kota yang berbeda-beda menyebabkan kota dalam perkembangannya terdapat


perbedaan. Bentuk morfologi kota sangat bervariasi. Dari waktu ke waktu bentuk
morfologi kota selalu berubah sedangkan batas administrasi tetap. Menurut Northam dalam Yunus
(1999), ada tiga macam kemungkinan hubungan yakni:
1. Under Bounded City adalah batas fisik kekotaan berada jauh di luar batas administrasi kota.
Gambar 1. Bentuk morfologi kota

2. True Bounded City adalah batas fisik kota koinsiden dengan batas administrasi kota.

Gambar 2. Bentuk morfologi kota

3. Over Bounded City adalah batas fisik kekotaan berada di dalam batas administrasi kota.

Gambar 3. Bentuk morfologi kota


Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa suatu kota dapat mempunyai luas
fisik kota lebih kecil dari wilayah administrasi atau sebaliknya dapat melewati batas
administrasi kota atau sama dengan batas administrasi kota. Menurut Babcok dalam Yunus (1994),
faktor utama yang mempengaruhi mobilitas fungsi maupun penduduk adalah poros transportasi
yang menghubungkan daerah pusat kegiatan (Central Business District) dengan daerah luarnya.
Menurut Russwurn,1980 menggolongkan ekspresi keruangan (spatial expresions) dari kenampakan
kekotaan menjadi empat kenampakan utama dan enam kenampakan kombinasi. Dengan demikian
ada 10 macam ekspresi keruangan kenampakan kota yang dikemukakannya, yaitu:
1. Bentuk konsentris (Uni nodal/concentric)
2. Bentuk simpul multi (Conctellation/multi nodal)
3. Bentuk memanjang (Lineair)
4. Bentuk terserak (Dispersed)
5. Bentuk konsentris bersimpul multi
6. Bentuk konsentris memanjang
7. Bentuk konsentris terserak
8. Bentuk memanjang bersimpul multi
9. Bentuk bersimpul multi berserak
10. Bentuk linear terserak.

Untuk mengetahui ekspresi kenampakan keruangan kenampakan kota dapat dilihat pada Gambar 4
berikut ini.

Gambar 4. Ekspresi kenampakan keruangan kota

Bentuk kipas (Fan shaped cities):


Kota dengan bentuk kipas terjadi karena adanya hambatan-hambatan yang berupa:
1. Hambatan-hambatan alami (natural contraints), misalnya perairan, pegunungan.
2. Hambatan-hambatan artificial constraints seperti saluran buatan, zoning, ring roads.
Bentuk kipas paling mungkin terjadi pada kota-kota pelabuhan yang terletak di dataran rendah dan
daerah belakangnya relatif datar, selain itu bentuk kipas ini juga terjadi pada kota yang berkembang
di delta sungai yang besar.
Bentuk Bentuk Terbelah (split cities):
Bentuk-bentuk areal perkotaan yang tidak kompak pada pokoknya merupakan satu daerah
perkotaan yang mempunyai areal kekotaan terpisah-pisah oleh kenampakan topografis maupun
kenampakan agraris. Daldjoeni (1992) memberikan salah satu contoh yaitu bentuk kota yang
terbelah. Sebenarnya jenis kota ini merupakan kota yang kompak, namun berhubung ada perairan
yang cukup lebar membelah kotanya maka seolah-olah kota tersebut terdiri dari 2 bagian yang
terpisah. Dua bagian ini dihubungkan oleh jembatan-jembatan baik besar maupun kecil serta “ferry”.
Bentuk pita (ribbon shaped cities):
Transportasi sering mengambil peran dominan dalam perkembangan bentuk fisik kota. Pada
bentuk kota yang berbentuk pita menunjukkan adanya peranan jalur transportasi yang sangat
dominan dalam mempengaruhi perkembangan areal ke samping. Sepanjang lembah pegunungan
dan sepanjang jalur transportasi darat utama adalah bagian-bagian yang memungkinkan terciptanya
bentuk ini.
Pola jalan di dalam kota merupakan salah satu unsur morpologi kota. Lay out of street merupakan
komponen paling nyata manifestasinya dalam menentukan periodesasi pembentukan kota di barat
(Daldjoeni, 1992), bahkan di kota-kota yang mengalami perubahan dominasi transportasi. Pola
jaringan yang tidak teratur diantaranya tercipta karena keadaan topografi kotanya yang
mengharuskan demikian.
Untuk mengetahui kota berbentuk kipas, kota terbelah dan kota berbentuk pita dapat dilihat pada
Gambar 5 berikut ini.

Gambar 5. Bentuk kota


DAERAH PINGGIRAN KOTA (URBAN FRINGE)

Daerah Pinggiran Kota (Urban Fringe)


Akibat yang ditimbulkan oleh perkembangan kota adalah adanya kecenderungan pergeseran fungsi-
fungsi kekotaan ke daerah pinggiran kota (urban fringe) yang disebut dengan proses perembetan
kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (urban sprawl). Akibat selanjutnya di daerah pinggiran kota
akan mengalami proses transformasi spasial berupa proses densifikasi permukiman dan transformasi
sosial ekonomi sebagai dampak lebih lanjut dari proses transformasi spasial. Proses densifikasi
permukiman yang terjadi di daerah pinggiran kota merupakan realisasi dari meningkatnya
kebutuhan akan ruang di daerah perkotaan. Daerah pinggiran kota (urban fringe) sebagai suatu
wilayah peluberan kegiatan perkembangan kota telah menjadi perhatian banyak ahli di berbagai
bidang ilmu seperti geografi, sosial, dan perkotaan sejak tahun 1930 an saat pertama kali istilah
urban fringe dikemukakan dalam literatur. Besarnya perhatian tersebut terutama tertuju pada
berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh proses ekspansi kota ke wilayah pinggiran yang
berakibat pada perubahan fisikal misal perubahan tata guna lahan, demografi, keseimbangan
ekologis serta kondisi sosial ekonomi (Subroto, dkk, 1997).
Salah satu isu yang perlu mendapat perhatian adalah menyangkut fenomena daerah pinggiran kota
dan proses perubahan spasial dan sosial ekonomi di daerah ini. Daerah pinggiran kota (urban fringe)
didefinisikan sebagai daerah pinggiran kota yang berada dalam proses transisi dari daerah perdesaan
menjadi perkotaan. Sebagai daerah transisi, daerah ini berada dalam tekanan kegiatan-kegiatan
perkotaan yang meningkat yang berdampak pada perubahan fisikal termasuk konversi lahan
pertanian dan non pertanian dengan berbagai dampaknya.
Menurut Howard pada akhir abad ke 19, diantara daerah perkotaan, daerah perdesaan, dan daerah
pinggiran kota, ternyata daerah pinggiran kota memberikan peluang paling besar untuk usaha-usaha
produktif maupun peluang paling menyenangkan untuk bertempat tinggal. Manusia sebagai
penghuni daerah pinggiran kota selalu mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya. Adaptasi dan
aktivitas ini mencerminkan dan juga mengakibatkan adanya perubahan sosial, ekonomi, kultural,
dan lain-lain (Daldjoeni, 1987).
Perluasan kota dan masuknya penduduk kota ke daerah pinggiran telah banyak mengubah tata guna
lahan di daerah pinggiran terutama yang langsung berbatasan dengan kota. Banyak daerah hijau
yang telah berubah menjadi permukiman dan bangunan lainnya (Bintarto, 1983). Hal ini
menyebabkan terjadinya proses densifikasi permukiman di daerah pinggiran kota.
Pakar lain yaitu Hammond (dalam Daldjoeni, 1987) mengemukakan beberapa alasan tumbuhnya
daerah pinggiran kota diantaranya :
§ Adanya peningkatan pelayanan transportasi kota, memudahkan orang bertempat tinggal pada
jarak yang jauh dari tempat tinggalnya.
§ Berpindahnya sebagian penduduk dari bagian pusat kota ke bagian tepi-tepinya, dan
masuknya penduduk baru yang berasal dari perdesaan.
§ Meningkatnya taraf kehidupan masyarakat.
Turner dalam teori mobilitas tempat tinggal mengemukakan adanya tiga stratum sosial yang
berkaitan dengan lama bertempat tinggal di perkotaan yang menentukan pilihan bertempat tinggal
yakni : (1)golongan yang baru datang di kota (bridgeheaders), (2)golongan yang sudah agak lama
tinggal di daerah perkotaan (consolidators), dan (3)golongan yang sudah lama tinggal di daerah
perkotaan (status seekers). Kecenderungan penduduk di daerah pinggiran kota adalah
consolodators. Dengan status consolidators ini mereka memiliki tingkat kehidupan yang sudah agak
mapan status sosial ekonominya, sehingga kondisi tingkat pendidikan dan pendapatannya juga
sudah cukup baik (Turner dalam Yunus, 2000).
Salah satu tanda terjadinya pemekaran kota di daerah pinggiran kota adalah adanya gejala filtering
up yaitu pergantian pemukim-pemukim lama dengan pemukim-pemukim baru yang kondisi
ekonominya lebih baik (Yunus, 1987). Dengan kondisi ekonomi yang lebih baik ini para pemukim di
daerah pinggiran kota cenderung mempunyai tingkat pendidikan yang lebih baik pula.
Salah suatu teori yang menjelaskan gejala perkembangan kota yaitu teori kekuatan dinamis yang
dikemukakan oleh Colby pada tahun 1959. Salah satu hal yang mendasari teori ini adalah karena
adanya persepsi terhadap lingkungan dari penduduk yang berbeda-beda maka timbullah kekuatan-
kekuatan yang menyebabkan pergerakan penduduk yang mengakibatkan terjadinya perubahan
penggunaan lahan di luar kota atau daerah pinggiran kota.
Secara garis besar kekuatan tersebut terdiri dari empat macam yaitu kekuatan sentripetal, kekuatan
sentrifugal, kekuatan lateral, dan kekuatan in-situ. Kekuatan-kekuatan inilah yang mengakibatkan
terjadinya densifikasi permukiman di daerah pinggiran kota. Kekuatan sentrifugal yaitu kekuatan-
kekuatan yang menyebabkan berpindahnya penduduk dan fungsi-fungsi kekotaan dari bagian dalam
ke arah luar dari pada suatu kota. Kekuatan sentripetal yakni kekuatan-kekuatan yang menyebabkan
berpindahnya penduduk dan fungsi-fungsi kekotaan dari bagian luar ke arah bagian dalam daripada
suatu kota. Kekuatan lateral yakni kekuatan-kekuatan yang menyebabkan berpindahnya penduduk
dan fungsi-fungsi kekotaan dari satu tempat ke tempat lain pada suatu zone yang berjarak sama
terhadap pusat kota. Kekuatan in-situ dapat terjadi karena adanya perubahan struktur keluarga
misal dari keluarga batih menjadi keluarga inti (Colby, 1959).
Sumber: www. elisa.ugm.ac.id/files/Sri_Rum/qi78k4hL/Urban%20Sprawl.pdf

Urban Sprawl Sudah Lama Naik ke


Permukaan
29 Desember 2014 19:18 Diperbarui: 17 Juni 2015 14:14 1 0 0

Oleh: Alfian Haris Aryawan

Indonesia adalah suatu Negara kepulauan dengan kepadatan penduduk tertinggi keempat di dunia.
3.5 juta jiwa bertambah disetiap tahunnya. Dengan pertambahan penduduk yang sangat pesat
tersebut, bertambah juga tingkat kebutuhan penduduknya. Termasuk salah satunya adalah tingkat
kebutuhan lahan. Tingkat kebutuhan akan lahan ini menyebabkan terjadinya urban sprawl.

Urban sprawl adalah suatu kejadian atau peristiwa pengembangan dan perluasan
daerah perkotaan ke daerah pinggiran kota. Daerah pinggiran kota sebagai suatu wilayah
peluberan kegiatan perkembangan kota telah menjadi perhatian banyak ahli di berbagai
bidang ilmu seperti geografi, sosial, dan perkotaan sejak tahun 1930-an saat pertama kali
istilah urban fringe dikemukakan dalam literatur. Besarnya perhatian tersebut terutama
tertuju pada berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh proses ekspansi kota ke wilayah
pinggiran yang berakibat pada perubahan fisikal misal perubahan tata guna lahan, demografi,
keseimbangan ekologis serta kondisi sosial ekonomi (Subroto, dkk, 1997).

Banyak alasan yang mendasari terjadinya fenomena urban sprawl, mulai dari perilaku masyarakat
yang lebih memilih untuk bermukim diarea pinggiran kota, asumsi harga lahan yang lebih murah dan
terjangkau serta kondisi udara yang masih sehat yang belum banyak tercemari seperti pusat kota.
Kemudian keberadaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) diyakini masih belum dapat
diimplementasikan dalam mencapai tata ruang yang pro-lingkungan. Terlalu banyak kepentingan
sosial ekonomi yang ingin dilaksanakan oleh pemerintah setempat, sehingga pada kenyataannya
mempengaruhi pelaksanaan RTRW yang menyebabkan fungsi lingkungan terabaikan.

Salah satu contoh kota yang mengalami urban sprawl adalah daerah pinggiran kota
Yogyakarta (di kutip dari: “GEJALA URBAN SPRAWL SEBAGAI PEMICU PROSES
DENSIFIKASI PERMUKIMAN DI DAERAH PINGGIRAN KOTA (URBAN FRINGE
AREA) (Kasus Pinggiran Kota Yogyakarta)” oleh Sri Rum Giyarsih). Kota Yogyakarta yang
dikenal sebagai pusat kebudayaan, pusat pemerintahan, daerah pariwisata, dan kota pelajar
yang senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan secara terus-menerus ini
mengakibatkan daerah yang langsung berbatasan dengan Kota Yogyakarta, telah banyak
mendapat pengaruh kota. Perkembangan fungsi Kota Yogyakarta yang semakin tinggi
intensitasnya dihadapkan pada keterbatasan lahan yang mengakibatkan sulitnya memperoleh
lahan untuk mewadahi tuntutan kehidupan kota. Sebagai kota kebudayaan dengan
terdapatnya daerah-daerah yang mempunyai nilai sejarah dan budaya, maka daerah-daerah
tersebut perlu dilestarikan. Dengan demikian maka perkembangan Kota Yogyakarta akhirnya
mengarah ke daerah pinggiran kota, yang secara administratif termasuk dalam wilayah
Kabupaten Bantul dan Sleman (Sontosudarmo, 1987). Secara spasial distribusi desa-desa di
pinggiran Kota Yogyakarta di sajikan pada peta 1.

Peningkatan migrasi secara konsisten selama dua puluh tahun terakhir tampaknya berkaitan
dengan peningkatan penduduk dari luar daerah yang belajar di propinsi ini. Hasil Sensus
Penduduk Tahun 1980 dan 1990 menunjukkan bahwa sebagian besar migran berusia 15-29
tahun (Sukamdi, dkk, 1992). Dengan mempertimbangkan bahwa usia tersebut merupakan
usia SMU dan Perguruan Tinggi, maka ciri tersebut merupakan salah satu bukti bahwa
migran yang masuk ke Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah pelajar dan mahasiswa.

Disamping mobilitas permanen atau migrasi, dinamika penduduk di Propinsi Daerah


Istimewa Yogyakarta ditandai pula dengan menonjolnya mobilitas penduduk non permanen
baik nglaju maupun sirkulasi. Nampaknya mobilitas penduduk non permanen ini merupakan
tipe dominan bagi Kota Yogyakarta. Hasil penelitian Yunus (1989) menunjukkan bahwa 85%
migran tidak ingin menetap di Kota Yogyakarta. Artinya bahwa Kota Yogyakarta hanya
merupakan tempat untuk mencari nafkah, bukan sebagai tempat tinggal. Gejala lain yang
tampak bahwa keadaan tersebut sudah mulai merembes ke daerah sekitar kota. Akibatnya
daerah sekitar kota terutama daerah pinggiran kota yang berbatasan dengan Kota Yogyakarta
akan menjadi daerah padat penduduk. Hal ini terjadi karena Kota Yogyakarta sudah
mengalami kejenuhan sebagai daerah tempat tinggal. Karena kejenuhan tersebut,
diperkirakan akan terjadi peluberan penduduk ke daerah pinggiran kota (Sukamdi, dkk,
1992). Keadaan ini akan diikuti oleh terjadinya proses densifikasi permukiman di daerah
pinggiran kota.

Tidak hanya permukiman penduduk saja yang mempengaruhi terjadinya proses densifikasi
bangunan, namun juga adanya difusi bangunan-bangunan prasarana sosial ekonomi ke arah
pinggiran akan mempengaruhi kepadatan bangunan di pinggiran kota Yogyakarta. Salah satu
contoh dari bangunan prasarana sosial ekonomi ini adalah bangunan fasilitas pendidikan yang
berupa kampus perguruan tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rini Rachmawati
(1999) menunjukkan bahwa difusi kampus perguruan tinggi ke arah pinggiran kota sebagai
gejala urban sprawl mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam memicu gejala densifikasi
permukiman di sekitar kampus tersebut. Dari penelitian ini dapat dibuktikan bahwa pola
perkembangan ruang yang terjadi dengan adanya difusi kampus ke arah pinggiran ini
menimbulkan efek primer berupa berdirinya rumah-rumah pondokan mahasiswa dan efek
sekunder berupa pendirian warung makan, toko kelontong, dan pelayanan foto capy untuk
melayani kebutuhan mahasiswa.

Peneliti lain yaitu Yunus (2001) menemukan adanya gejala pengurangan lahan persawahan di
daerah pinggiran kota Yogyakarta. Tabel 1 mengilustrasikan gejala pengurangan lahan
persawahan secara spasial di daerah pinggiran kota Yogyakarta.

Tabel 1

Besarnya Pengurangan Lahan Persawahan

di Desa-Desa Pinggiran Kota Yogyakarta 1987-1996 (Hektar) Desa

Luas Pengurangan

Lahan Persawahan

1987-1996

Percepatan Pengurangan

1987-1996

Bangunharjo

66

7,3

Banguntapan

24

2,7

Trihanggo

5
0,6

Panggungharjo

47

5,2

Baturetno

0,4

Potorono

0,6

Wirokerten

0,6

Tamanan

0,7

Sinduadi

47

5,2

Tirtonirmolo

10

1,1
Banyuraden

42

4,7

Ngestiharjo

40

4,4

Nogotirto

49

5,4

Caturtunggal

42

4,7

Cepatnya pengurangan lahan persawahan di pinggiran kota Yogyakarta menandakan


terjadinya proses perubahan (konversi) lahan pertanian ke non pertanian (bangunan). Dengan
berubahnya lahan pertanian ke bangunan ini, praktis akan menyebabkan terjadinya proses
pemadatan (densifikasi) bangunan/permukiman di daerah pinggiran kota Yogyakarta.
Distribusi keruangan desa-desa di pinggiran Kota Yogyakarta disajikan pada Peta 1. Subroto,
dkk (1997) dalam penelitiannya di Dusun Jaban, Dayu, dan Prujakan, Desa Sinduadi
Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman menemukan bahwa ditinjau dari Koefisien Dasar
Bangunan (KDB) wilayah tersebut telah banyak mengalami perubahan spasial dari daerah
pertanian menjadi daerah untuk fungsi-fungsi bangunan baik secara horisontal maupun
vertikal. Dengan demikian di wilayah tersebut juga telah terjadi proses densifikasi
permukiman.

Dari kutipan tersebut, walaupun sebenarnya, itu hanyalah salah satu dari sekian kota-kota
besar yang ada di Indonesia, urban sprawl adalah fenomena yang terkadang dapat disadari,
terkadang juga tidak disadari. Dampak dari urban sprawl itu sendiri antara lain:

Dampak positifnya:

a.Bertambahnya jumlah penduduk yang akan meningkatkan kepadatan penduduk


diwilayah tersebut.
b.Semakin berkembangnya wilayah disekitar kota yang terkena dampak, baik perdesaan
maupun perkotaan. Karena akibat semakin banyak penduduk yang bermukim disana,
semakin banyak aktivitas yang terjadi yang akan meningkatkan perekonomian wilayah.

c.Bertambahnya infrastruktur diwilayah yang terkena dampak, sebagai supply dari


pemerintah setempat akan kebutuhan masyarakatnya.

Dampak Negatifnya:

a.Semakin berkurangnya lahan subur untuk pertanian dan lahan sebagai habitat bagi makhluk
hidup, selain manusia.

b.Morfologi kota yang semakin tidak teratur

c.Meningkatnya biaya pajak

d.Meningkatnya tingkat polusi pada tanah, air dan udara serta meningkatnya konsumsi energi
oleh manusia

e.Terjadinya kesenjangan sosial.

Urban Sprawl adalah suatu kejadian atau peristiwa yang dapat ditimbulkan secara sengaja
ataupun tidak sengaja. Peristiwa dari urban sprawl ini sendiri dapat berdampak positif
apabila dapat dapat dikendalikan dan dikontrol saat terjadinya. Apabila hal tersebut dapat
dilaksanakan, kemungkinan lingkungan juga kan terselamatkan walaupun peristiwa urban
sprawl itu terjadi.

Urban sprawl ialah fenomena pemekaran kota ke daerah-daerah di sekitarnya secara tidak
terstruktur, acak, tanpa adanya rencana. Beberapa penulis menyatakan bahwa sebenarnya urban
sprawl sudah terjadi saat pertama kali sebuah kota didirikan. Menurut Newman dan Kenworthy
(1989) urban sprawl merupakan bentuk dasar terbangunnya kota yang semakin hari mendapat
kritikan dikarenakan berbagai segi negatif yang ditimbulkan. Fenomena yang controversial ini
ditandai oleh adanya alih fungsi lahan di sekitar kota (urban periphery) yang tidak terkontrol.
Semakin bertambahnya penduduk kota menyebabkan semakin bertambahnya pula kebutuhan
masyarakat terhadap jumlah lahan yang digunakan, maka untuk memenuhinya diperlukan suatu
pengembangan atau perluasan wilayah ke daerah-daerah disekitar kota tersebut. Salah satu
fenomena urban sprawl yang terjadi di Indonesia dapat dilihat pada Kota Surabaya.
Daerah-daerah di sekitar Surabaya yang mengalami urban sprawl adalah yaitu Gresik, Bangkalan,
Mojokerto, Tuban, Sidoarjo, dan Lamongan yang sering disebut dengan “GERBANG
KERTOSUSILA”. Urban sprawl yang terjadi di Surabaya ditandai dengan volume kendaraan yang
lebih besar melewati jalan utama daripada jalan-jalan di pusat kota. Berdasarkan data Badan
Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya tahun 2005, jumlah pergerakan dari daerah pinggiran
yang masuk ke Kota Surabaya melalui Jalan Ahmad Yani mencapai 1.481.344 satuan mobil
penumpang (smp) setiap harinya. Hal ini sangat jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan koridor-
koridor jalan dalam kota, seperti Jalan Pemuda yang hanya dilalui 79.936 smp setiap harinya.
Berdasarkan data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa banyak sekali penduduk yang tinggal di
daerah pinggiran Kota Surabaya dikarenakan sudah tidak adanya lahan kosong yang mencukupi di
Kota Surabaya. Masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi seperti sepeda motor
dan mobil daripada kendaraan umum seperti bus kota untuk menuju ke lokasi pekerjaan atau
kegiatan lainnya.
Penyebab utama terjadinya urban sprawl ialah tingginya laju urbanisasi di kota. Menurut Prof.
Bintarto (1986) urbanisasi merupakan perpindahan pendudukan pedesaan ke perkotaan untuk
tujuan tertentu atau perpindahan alih teknologi dari agraris ke industri karena kebutuhan
kehidupan. Berdasarkan hasil sensus tahun 2010, jumlah penduduk Kota Surabaya mencapai
2.715.500 juta jiwa dengan rata-rata laju pertumbuhan 0,53% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Kepadatan penduduknya mencapai 7.649 jiwa/km. Secara angka statistik, pertumbuhan penduduk
yang terjadi di Kota Surabaya relatif rendah namun aktivitas yang berlangsung dan tingkat
kemacetan yang terjadi di Kota Surabaya semakin hari semakin meningkat. Di saat yang bersamaan,
terjadi pertumbuhan penduduk yang jauh lebih tinggi pada daerah pinggiran Kota Surabaya, seperti
Gresik (6,36%), Bangkalan (7,04%), Sidorajo (4,71%), Mojokerto (3,60%). Hal ini mengindikasikan
aktivitas perkotaan di Kota Surabaya sudah semakin melebar melewati batas administrasi kota,
menyatu dengan wilayah pinggirannya.
Ekspansi kegiatan terus terjadi dari Kota Surabaya sebagai kota inti menuju Kabupaten Sidoarjo,
Bangkalan, dan Gresik sebagai wilayah pinggirannya (LPPM ITS, 2007). Di Kota Surabaya sendiri, 90%
lebih lahan yang ada sudah merupakan kawasan terbangun (Dewi, 2006), sedangkan kepadatan
penduduk rata-rata tergolong dalam kategori rendah dengan jumlah 72,79 jiwa/Ha. Kepadatan
penduduk yang rendah terdapat pada hampir seluruh bagian Kota Surabaya, yaitu Unit
Pengembangan (UP) I, II, III, VIII, IX, X, XI, dan XII (Sadikin, 2009). Pemilihan lokasi hunian lebih
tertuju pada daerah pinggiran dengan asumsi harga lahan yang lebih murah dan kondisi udara yang
masih sehat
Urban sprawl ini tentunya mengakibatkan perubahan struktur kota menjadi tidak terstruktur dan
tidak sesuai dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) aslinya. Lahan pertanian dan lahan-lahan
yang ada di sekitar pusat kota kini menjadi lahan pemukiman penduduk yang sangat padat. Selain
itu, polusi udara, air, maupun tanah di perkotaan semakin meningkat. Sumber daya alam di sekitar
kota pun semakin menipis akibat semakin banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi karena
banyaknya penduduk yang tinggal. Secara tidak langsung, kesenjangan sosial juga akan terjadi antara
masyarakat tingkat ekonomi menengah ke atas dengan masyarakat yang ekonominya menengah ke
bawah. Meskipun begitu, ternyata urban sprawl juga memiliki manfaat bagi masyarakat. Akses
antara desa ke kota dan sebaliknya menjadi semakin mudah. Dengan adanya urban sprawl, tentunya
pemerintah akan menambah jumlah fasilitas dan memperbaiki utilitas yang ada di daerah sub-urban,
sehingga hal ini akan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.
Fenomena urban sprawl dan urbanisasi kini tentunya sulit untuk dihindari. Terbatasnya jumlah lahan
yang ada di kota dan terus meningkatnya laju urbanisasi, masyarakat dituntut lebih tanggap
mengahadapi dampak urban sprawl. Mindset masyarakat yang menganggap tinggal di kota lebih bisa
meningkatkan taraf ekonomi harus segera dirubah dengan mindset bahwa tinggal di pedesaan masih
bisa sejahtera daripada tinggal di perkotaan. Selain itu, pemerintah dapat membuat kebijakan yang
lebih tegas untuk mengatasi dampak urban sprawl. Tentunya, hal ini dilakukan demi terciptanya
Bangsa Indonesia yang baik.

Anda mungkin juga menyukai