Anda di halaman 1dari 19

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cacing tanah adalah hewan yang tidak bertulang belakang (invertebrata)

dimana hewan ini ditemukan pada lingkungan terrestrial basah di Indonesia.

Cacing tanah sudah lama dikenal, walau untuk sebagian orang terkesan menjijikan

dan menggelikan namun cacing tanah memiliki banyak manfaat dan berpotensi

besar sebagai sumber protein hewani, penghancur limbah padat yang efisien dan

membuat struktur tanah menjadi lebih baik. Cacing tanah juga memiliki beberapa

kandungan asam amino dengan kadar yang juga tinggi. Salah satu jenis cacing

tanah yang memiliki kandungan protein serta asam amino yang tinggi tersebut

adalah cacing Lumbricus rubellus. Cacing Lumbricus rubellus memiliki banyak

kandungan nutrisi mulai dari kandungan protein yang mencapai 76%, protein dari

asam amino yang tinggi, lemak 45 %, abu 1,5 % serta 17 % berupa karbohidrat

(Pandiangan, 2011).

Kandungan protein yang cukup tinggi pada cacing tanah menjadikan

cacing tanah dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pengganti tepung ikan

sebagai sumber protein hewani. Sehingga produk asal cacing tanah dapat

dipertimbangkan sebagai alternatif bahan pakan ternak dan ikan, terutama pada

saat krisis pakan ternak dewasa ini yang menyebabkan tingginya harga tepung

ikan. Di samping itu telah pula dikembangkan penggunaan cacing tanah ini

sebagai bahan obat-obatan dan bahan kosmetik.

Cacing tanah cukup potensial untuk dibudidayakan selain karena modal

yang dibutuhkan tidak terlalu besar, budidaya cacing tanah juga memberi
keuntungan yang besar. Untuk hidup dengan baik, cacing tanah harus hidup pada

media yang sesuai dengan kebutuhannya. Menurut Aziz (2015) syarat hidup

cacing tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kelembapan, suhu,

ketersediaan zat organik, keasaman (pH). Kotoran ternak seperti sapi merupakan

media yang hampir keseluruhan cocok untuk media hidup cacing tanah. Selain

kotoran ternak, limbah industri dan pertanian seperti serbuk gergaji, serutan kayu,

kompos sampah, dedak, jerami, rumput dan daun-daunan juga dapat digunakan.

Seperti halnya pada hewan lain, cacing tanah juga memerlukan makanan

untuk melanjutkan hidup dan perkembangbiakannya. Kotoran ternak yang

digunakan sebagai media hidup cacing tanah memang sudah memiliki zat organik

yang dapat diganakan sebagai pakan cacing, namun pakan tambahan juga

dibutuhkan agar cacing tanah dapat hidup, tumbuh, dan berkembangbiak dengan

baik. Bahan tambahan yang dapat digunakan antara lain rumput, jerami, serbuk

gergaji, daun-daun kering dan bahan organik lainnya. Penggunaan jenis pakan

yang berbeda yaitu gamal, lamtoro dan kalopo merupakan salah satu bahan

tambahan alternatif yang pemanfaatannya secara langsung sampai saat ini masih

belum maksimal padahal ketersediaan gamal, lamtoro dan kalopo melimpah dan

tidak bersaing dengan manusia.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis ingin melakukan penelitian

mengenai pertumbuhan cacing tanah Lumbricus rubellus dengan jenis pakan yang

berbeda.
1.2. Perumusan Masalah

Krisis pakan dewasa ini menyebabkan tingginya harga pakan sumber

protein sepererti tepung ikan sehingga diperlukan bahan pakan alternatif yang

dapat digunakan sebagai sumber protein. Kandungan protein yang cukup tinggi

pada cacing tanah menjadikan cacing tanah berpotensi untuk digunakan sebagai

pakan alternatif sumber protein. Selain dapat digunakan sebagai pakan sumber

protein, cacing tanah juga dapat digunakan sebagai bahan obat-obatan dan

kosmetik. Cacing tanah cukup potensial untuk dibudidayakan selain karena modal

yang dibutuhkan tidak terlalu besar, budidaya cacing tanah juga memberi

keuntungan yang besar.

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu Untuk mengetahui pengaruh pemberian jenis

pakan yang berbeda terhadap laju pertumbuhan cacing tanah Lumbricus rubellus.

Kegunaan penelitian ini yaitu Sebagai bahan informasi bagi masyarakat

dalam rangka pembangunan usaha ternak cacing dan menjadi sumber informasi

bagi kalangan akademis.

1.4. Kerangka Pikir

Jenis cacing Lumbricus rubellus adalah jenis cacing tanah bermanfaat

memiliki banyak kandungan nutrisi mulai dari kandungan protein yang mencapai

76%, protein dari asam amino yang tinggi, lemak 45 %, abu 1,5 % serta 17 %

berupa karbohidrat. Cacing tanah ini bermanfaat bagi kesehatan dan sebagai
pakan ternak. Dalam budidaya cacing tanah sangat ditentukan oleh media hidup

cacing tanah. Kotoran ternak merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan

cacing tanah karena mengandung bahan organik, namun selain kotoran ternak

cacing tanah juga membutuhkan pakan tambahan agar cacing tanah dapat

bertumbuh dan berkembang dengan baik. Pakan tambahan yang baik digunakan

yaitu seperti limbah sayuran maupun dedaunan seperti daun gamal, lamtoro dan

kalopo.

1.5. Hipotesis

Pemberian jenis pakan yang berbeda dapat berpengaruh postif untuk

pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing tanah Lumbricus rubellus.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cacing Tanah Lumbricus Rubellus

Klasifikasi ilmiah cacing Tanah:

Filum : Annelida

Kelas : Oligochaeta

Ordo : Haplotaxida

Famili : Lumbricidae

Genus : Lumbricus

Spesies : Lumricus rubellus

Cacing Lumbricus rubellus tergolong ke dalam hewan avertebrata (tidak

bertulang belakang) sehingga disebut binatang lunak . Cacing tanah Lumbricus

rubellus ini bukan asli dari Indonesia melainkan dari Eropa, sehingga sering

disebut cacing Eropa atau cacing introduksi. Di Indonesia, cacing ini disebut juga

dengan nama cacing Jayagiri. Siklus hidup cacing tanah dimulai dari kokon,

cacing muda (juvenil), cacing produktif dan cacing tua. Lama siklus hidup

tergantung pada kesesuaian kondisi lingkungan, cadangan makanan, dan jenis

cacing tanah. Kokon yang dihasilkan dari cacing tanah akan menetas setelah

berumur 14-21 hari. Setelah menetas, cacing tanah muda ini akan hidup dan dapat

mencapai dewasa kelamin dalam waktu 2,5-3 bulan. Saat dewasa kelamin cacing

tanah akan menghasilkan kokon dari perkawinannya yang berlangsung selama 6-

10 hari dan masa produktifnya berlangsung selama 4-10 bulan (Pandiangan,

2017).
Cacing tanah merupakan binatang hermaprodit yang mempunyai kelamin

ganda. Tetapi di dalam kopulasi tidak dapat melakukan sendiri. Telur cacing tanah

dihasilkan dalam ovari dan lokasinya di segmen ke 30, dan testis yang

menghasilkan sperma lokasinya di segmen ke tujuh sampai sepuluh. Pada saat

melakukan perkawinan, kedua cacing saling melekat di bagian depannya dengan

posisi saling berlawanan yang diperkuat oleh setae. Lendir akan keluar dari

masing-masing cacing untuk melindungi spermatozoa yang keluar dari lubang alat

kelamin jantan masing- masing. Spermatozoa akan masuk dalam kantong

penerima sprema pasangannya. Kedua cacing melakukan perkawinan hingga

beberapa jam dan tidak terganggu oleh gerakan apa pun. Setelah masing- masing

cacing menerima spermatozoa, keduanya akan saling berpisah dan selanjutnya

cairan klitellium akan menyelubungi kokon yang bergerak ke arah mulut dan

bertemu dengan lubang saluran telur. Telur-telur itu keluar dari 17 lubang tadi dan

masuk ke selubung kokon yang akan bergerak ke arah mulut. Pada waktu

melewati lubang penerima sperma, masuklah spermatozoa ke dalam selubung

kokon dan terjadi pembuahan telur oleh spermatozoa (Sundriani, 2017).

2.2. Manfaat Cacing Tanah

Cacing jenis ini mempunyai peran yang penting bagi umat manusia. Selain

sebagai obat-obatan, cacing juga dijadikan campuran kosmetik, campuran dalam

pakan ternak seperti ayam, kambing, sapi dan sebagainya. Pemanfaatan cacing

tanah untuk antipiretik lebih aman karena komponen kimia cacing tanah tidak

menimbulkan efek toksik bagi manusia sehingga aman. dikonsumsi. Satu-satunya

efek toksik cacing tanah adalah cacing tanah dapat mengakumulasi logam berat
yang ada pada tanah dalam tubuhnya. Cacing tanah dapat menoleransi logam

berat dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Dari hasil pengujian kimia diketahui

bahwa senyawa aktif sebagai antipiretik dari ekstrak cacing tanah adalah golongan

senyawa alkaloid (Pandiangan, 2017).

Cacing tanah dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak yaitu sumber

protein hewaniuntuk subtitusi tepung ikan dan tepung daging. Kandungan gizi

pada cacing tanah sangatlah tinggi dibandingkan dengan tepung ikan. Kadar

protein cacing tanah berkisar antara 64-76%, sedangkan tepung ikan hanya

memiliki kandungan protein sekitar 58%, selain itu memiliki kadar lemak yang

cukup rendah sekitar 7-10% serta kandungan lain yang terdapat pada cacing tanah

diantarnya 0,55% kalsium, 1% fosfor, dan 1,08% serat kasar (Azis, 2015). Selain

itu cacing tanah mempunyai banyak manfaat diantaranya memperbaiki ekosistem

tanah, menyuburkan lahan pertanian, meningkatkan manfaat limbah organik,

meningkatkan daya serap air permukaan tanah, mengurangi pencemaran

lingkungan, umpan ikan, kosmetik, bahan obat dan penghasil casting. Menurut

Montes (1981); Tapiador (1981) cacing tanah dapat digunakan sebagai obat

penurun demam (antipyretic), obat pereda sakit kepala (antipyrin), penawar racun

(antidote), blood vesel shrinker, penyubur rambut, pakan burung, umpan pancing

ikan, pakan ternak dan sebagai makanan manusia di Afrika, New Guine,

Philipina, Taiwan dan Thailand (Permata, 2006).

2.3. Morfologi Cacing Tanah Lumbricus luberrus

Panjang tubuh Lumbricus rubellus antara 8-14 cm dengan jumlah segmen

antara 95-100 segmen. Warna tubuh bagian dorsal cokelat cerah sampai ungu
kemerah-merahan, warna tubuh bagian ventral krem, dan bagian ekor kekuning-

kuningan. Bentuk tubuh dorsal membulat dan ventral memipih. Klitelium terletak

pada segmen ke-27-32. Jumlah segmen pada klitelium antara 6-7 segmen. Lubang

kelamin jantan terletak pada segmen ke-14dan lubang kelamin betina pada

segmen ke 13. Gerakannya lamban dan kadar air tubuh cacing tanah berkisar

antara 70%-78% (Pandiangan, 2017). Setae berfungsi sebagai alat pencengkeram

atau pelekat kuat pada tempat cacing tanah itu berada. Setae digerakkan oleh dua

berkas otot yaitu muskulus protaktor yang berfungsi untuk mendorong setae

keluar dan muskulus retraktor yang berfungsi menarik kembali setae ke dalam

rongganya. Kedua berkas muskulus ini melekat pada ujurn setae. Sistem

pergerakan cacing tanah diatur oleh susunan syaraf (Sundriani, 2017).

Cacing tanah tidak mempunyai organ khusus pernafasan, oleh karena itu

cacing tanah bernafas dengan pembuluh kapiler di seluruh jaringan kutikula

dengan menghisap oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Jika kulit kering

akan mengakibatkan kematian. Jika oksigen berlebihan tidak akan berbahaya dan

cacing tanah akan membentuk asam asetat, namun bila kekurangan oksigen, maka

cacing tanah tidak aktif atau lemah dan kulitnya menjadi gelap (Sundriani, 2017).

Cacing tanah merupakan hewan nokturnal dan fototaksis negatif.

Nokturnal artinya aktivitas hidupnya lebih banyak pada malam hari sedangkan

pada siang harinya istirahat. Fototaksis negatif artinya cacing tanah selalu

menghindar kalau ada cahaya, bersembunyi di dalam tanah. Bernafasnya tidak

dengan paru-paru tetapi dengan permukaan tubuhnya (Gamasika, 2017). Cacing

tanah tidak mempunyai organ khusus pernafasan, oleh karena itu cacing tanah
bernafas dengan pembuluh kapiler di seluruh jaringan kutikula dengan menghisap

oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Jika kulit kering akan mengakibatkan

kematian. Jika oksigen berlebihan tidak akan berbahaya dan cacing tanah akan

membentuk asam asetat, namun bila kekurangan oksigen, maka cacing tanah tidak

aktif atau lemah dan kulitnya menjadi gelap (Sundriani, 2017).

2.4. Habitat Cacing Tanah Lunbricus luberrus

Lumbricus rubellus alami tinggal di tanah di bagian atas pada bahan

organik. Lumbricus rubellus membutuhkan media yang lembap dan cukup untuk

pertukaran gas. Menurut Aziz, (2015) syarat hidup cacing tanah dipengaruhi oleh

beberapa faktor diantaranya kelembapan, suhu, ketersediaan zat organik,

keasaman (pH). pH optimum untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing

tanah berkisar antara 6,8-7,2 sedangkan suhu optimum pemeliharaan yaitu 23-

260C. Serta kelembaban yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan

perkembangbiakan cacing tanah yaitu 28-42% (Minnich, 1977). Dampak ketidak

seimbangan dari faktor tersebut dapat mengakibatkan pertumbuhan cacing

terhambat dan bahkan menyebabkan kematian. Pada umumnya cacing tanah hidup

pada jenis bahan organik yang berasal dari pupuk kandang dan sisa-sisa

tumbuhan.

Feses Sapi

Untuk dapat memperoleh hasil optimal dalam budidaya cacing tanah

banyak faktor yang perlu diperhatikan salah satunya adalah media pemeliharaan.

Media yang cocok untuk budidaya cacing tanah haruslah media yang mirip

dengan media aslinya. Kotoran hewan merupakan habitat utama cacing tanah dan
hampir secara keseluruhan sesuai (cocok), baik sebagai bahan pakan maupun

sebagai media, seperti feses sapi. Aziz (2015) mengemukakan bahwa feses sapi

memiliki banyak zat organik sehingga bagus untuk pertumbuhan cacing. Terdapat

kendala apabila feses sapi langsung dipakai tanpa melewati proses pengeringan.

Selain kotoran hewan, limbah industri dan pertanian seperti serbuk gergaji,

serutan, kayu, kompos sampah, dedak.

Menurut Azis (2015), kotoran sapi memiliki banyak zat organik sehingga

bagus untuk pertumbuhan cacing tanah. Media kotoran sapi lebih disukai cacing

tanah dibandingkan kotoran hewan ternak yang lain karena mengandung unsur

nitrogen yang tinggi, tetapi ada kendala apabila langsung digunakan tanpa

dilakukan pengeringan. Pengeringan kotoran sapi dilakukan dengan tujuan

menghilangkan kandungan amonia yang beresiko meracuni cacing tanah sehingga

dapat menyebabkan kematian (Dani, 2017).

Penggunaan kotoran sapi sebagai media perlu dicampur bahan lain seperti

sayur -sayuran, buah-buahan dan potongan rumput karena mengandung selulosa

dan vitamin yang dibutuhkan untuk pertumbuhan Lumbricus luberrus.

Pencampuran kotoran sapi dengan bahan tambahan dilakukan untuk memperbaiki

porositas karena tekstur kotoran sapi yang relatif padat (Permata,2006).

Daun Gamal (Gliricidia sepium)

Pemanfaatan daun gamal sebagai pakan ternak sangat menguntungkan,

cara penanaman yang mudah, kandungan protein yang tinggi, masih tetap

berproduksi baik meskipun musim kemarau, memperbaiki kesuburan tanah baik

dari guguran daun maupun pengakarannya, dan banyak lagi manfaat dari
penanaman pohon gamal ini. Gamal merupakan pakan ternak sumber protein yang

baik mudah dicernakan sehingga cocok untuk pakan ternak. Hijauan gamal

mengandung protein kasar 20-30 % BK, serat kasar 15%, dan kecernaan in vitro

bahan kering 60-65 %. Gamal mengandung protein kasar (CP) 18 – 24 % pada

waktu musim hujan dan 17 – 22 % pada waktu musim kemarau. Sebelum

diberikan ke ternak, sebaiknya daun gamal dilayukan terlebih dahulu kira-kira 12-

24 jam untuk meningkatkan kuantitas asupan pakan (Natalia, 2009).

Kelemahan gamal sebagai pakan ternak yaitu mengandung zat racun.

Pertama dicoumerol, suatu senyawa yang mengikat vitamin K dan dapat

menganggu serta menggumpalkan darah. Senyawa racun yang kedua adalah HCN

(Hydro Cyanic Acid) sering disebut juga Prusic Acid atau Asam Sianida. Dalam

gamal juga terdapat zat anti nutrisi, tanin walaupun dalam konsentrasi yang cukup

rendah dibandingkan Kaliandra (Calliandra cathrysus). Zat lain yang perlu

diwaspadai adalah nitrat (NO3). Sebenarnya nitrat tidak beracun terhadap ternak,

namun jika dalam jumlah banyak dapat menyebabkan penyakit yang disebut

keracunan nitrat (nitrate poisoning). Nitrat yang secara alamiah terdapat pada

tanaman di ubah menjadi nitrit oleh proses pencernaan lalu nitrit dikonversi

menjadi amonia. Cara mengatasi zat antinutrisi dalam gamal yaitu dengan

pemanasan, pelayuan, pencucian dan fermentasi (Natalia, 2009).

Daun Lamtoro(Leucaena leucocephala)

Lamtoro adalah salah satu jenis polong-polongan serbaguna yang paling

banyak ditanam dalam pola pertanaman campuran (wanatani). Hasil analisis kimia

daun lamtoro mengandung protein kasar 24,2%, abu 7,5%, energi metabolisme
2450 kkal/kg, serat kasar 21,5%, kalsium 1,68%, dan posfor 0,21%. Daun

lamtoro memiliki nilai gizi yang tinggi, dengan asam amino yang terdapat dalam

proporsi yang seimbang dan dapat menjadi sumber vitamin yang melimpah.

Lamtoro dapat digunakan untuk makanan ternak dan mempunyai potensi besar

untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan karena lamtoro mudah ditanam, cepat

tumbuh, produksi tinggi dan komposisi asam amino yang seimbang (Kiay, 2014).

Daun lamtoro mempunyai zat antinutrisi mimosin. Mimosin dapat

menghambat pertumbuhan alat reproduksi dan produksi telur. Toksin mimosin

juga menyebabkan defisiensi glysin untuk sintesis asam empedu, sehingga

menyebabkan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. Berbagai usaha yang

dilakukan untuk menurunkan daya racun mimosin dalam daun lamtoro adalah

dengan pemanasan, penambahan garam sulfat, penambahan senyawa analog

mimosin, pencucian, dan mendapatkan varietas baru yang rendah (Kiay, 2014).

Daun Kalopo(Calopogonium caeruleum)

Calopogonium adalah leguminosa yang bersifat memanjat dan merambat,

di atas tanah dapat membentuk hamparan setebal kurang lebih 50 cm. Batang

seolah olah terbagi kedalam dua bagian, bagian bawah menjalar sedangkan bagian

atas memanjang. Berdaun tiga pada suatu tangkai, helai daun berbentuk oval

ditutupi bulu-bulu halus coklat keemasan di kedua permukaannya, berbunga

kupu-kupu tersusun seperti tandan berwarna kebiruan. Kegunaan Calopogonium

sebagai pakan ternak, jarang dilaporkan. Hampir sebagian literatur mengatakan

bahwa calpogonium mempunyai tingkat palatabilitas yang rendah. Namun ada


beberapa laporan penelitian yang menunjukkan bahwa calopogonium masih baik

digunakan sebagai pakan ternak (Fanindi, 2014).

Calopogonium caeruleum mempunyai kandungan diantara 2,1–3,4% N,

0,17–0,29% P, 2,4–2,6% K dan 0,91–1,05%. 16% BK, 0,25% phospor serta 1%

calsium. Kandungan protein ini relatif tinggi dan dapat dijadikan sebagai tanaman

sumber protein. Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa calopogonium

tidak memiliki zat yang bersifat racun pada tanamannya sehingga dapa

dikonsumsi oleh ternak. Calopogonium dapat digunakan sebagai hijauan pakan

ternak terutama ketika musim kemarau. Tanaman ini juga merupakan tanaman

penutup tanah yang penting pada perkebunan (Fanindi, 2014).

2.5. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

1. Herayani, Yanti tahun 2001, dengan judul “Pertumbuhan Dan

Perkembangbiakan Cacing Tanah Lumbricus rubellus Dalam Media Kotoran

Sapi Yang Mengandung Tepung Daun Murbei (Morus multicaulis). Dari hasil

penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian tepung daun murbei

sebanyak 10% dan 20% pada media memberikan efek pertumbuhan cacing

tanah sebagai kontrol, namun perlakuan media tersebut kurang memberikan

efek yang positif terhadap perkembangbiakan cacing tanah.

2. Sundariani, N. 2017 dengan judul Pemanfaatan Eceng Gondok (Eicchornia

crassipes) Sebagai Pakan Cacing Tanah (Lumbricus rubellus). Penelitian ini

menggunakan metode eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak

Lengkap (RAL). Cacing tanah (Lumbricus rubellus) usia 2 bulan sebanyak


480g dibagi kedalam 4 kelompok perlakuan dengan 6 kali pengulangan.

Perlakuan terdiri dari pakan eceng gondok sebesar 5g, 10g, 20g dan 30g.

Parameter yang diukur adalah pertambahan berat cacing. Data hasil peneitian

menunjukan bahwa pemanfaatan eceng gondok sebagai pakan cacing tanah

dapat meningkatkan pertambahan berat cacing tanah dengan volume pakan

ideal sebesar 20g-30g untuk cacing tanah seberat 20g.

3. Robin Elni Rusad ,Slamet Santosaa, Zohra Hasyima Jurusan Biologi,

Universitas Hasanuddin, Makassar pada tahun 2016. Penelitian dengan judul

“Pemanfaatan Limbah Sayur Kubis Brassica oleracea dan Buah Pepaya

Carica papaya Sebagai Pakan Cacing Tanah Lumbricus rubellus”. Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan cacing tanah pada tiga jenis

pakan yaitu kotoran sapi, limbah sayur kubis, dan limbah buah papaya.

Limbah sayur kubis dan limbah buah papaya difermentasikan selama tujuh

hari. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan Rancangan Acak

Lengkap (RAL), tiga perlakuan dan lima ulangan. Pengamatan dilakukan

setiap dua minggu selama delapan minggu.. Hasil penelitian menunjukkan

perlakuan dari limbah buah papaya mempunyai nilai pertumbuhan berat 0.16

– 0.20 g, limbah sayur kubis dengan berat 0.12-0.14 g, dan kotoran sapi

dengan berat 0.10 – 0.12 g. Pertumbuhan panjang dari limbah buah papaya

yaitu 0.9 -1.2 cm, limbah sayur kubis dengan panjang 0.89 – 0.99 cm, dan

kotoran sapi 0.63 – 0.90 cm. Penggunaan limbah buah pepaya memberikan

hasil terbaik dengan pertumbuhan berat 0.16 – 0.20 g dan panjang 0.9 -1.2

cm.
III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium unit ternak pototng dan satwa

harapan jurusan peternakan fakultas peternakan, Universitas halu oleo Penelitian

ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu November 2019-Desember 2019.

3.2. Materi Penelitian

Cacing tanah

Cacing tanah digunakan dalam penelitian ini adalah cacing tanah jenis

Lumbricus rubellus sebanyak 2 kg sebagai objek penelitian. Setiap ulangan dalam

media terdiri atas 300 gram cacing tanah.

Media hidup cacing tanah

Media tumbuh cacing tanah yaitu kotoran sapi. Kotoran sapi yang

digunakan yaitu kotoran sapi yang telah kering.

Peralatan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah box plastik sebagai

wadah pemeliharaan, thermometer untuk mengukur suhu, sarung tangan sebagai

alat pelindung tangan saat melakukan kerja, sekop kecil untuk mengaduk tanah,

kamera untuk mendokumentasikan kegiatan, timbangan elektrik untuk

menimbang bobot cacing, ayakan tanah untuk mengayak tanah dan alat tulis untuk

mencatat data penelitian.


3.3. Posedur Penelitian

Persiapan Media Tumbuh

Media tumbuh cacing tanah yaitu kotoran sapi. Kotoran sapi yang

digunakan yaitu kotoran sapi yang telah kering. Ketebalan media dalam setisp

wadah yaitu 5-10 cm dan dibiarkan selama 2 jam untuk proses penyesuaian

(Badruzzaman, 2016).

Persiapan Pakan

Pakan yang digunakan yaitu daun gamal, lamtoro dan kalopo. Untuk

mengurangi kandungan air dan menghilangkan zat anti nutrisi daun dicacah

kemudian dilayukan.

Persiapan Bibit Cacing Tanah

Cacing tanah digunakan dalam penelitian ini adalah cacing tanah jenis

Lumbricus rubellus sebanyak 2 kg sebagai objek penelitian. Kemudian cacing

tanah ditimbang sebanyak 300 gram dan diteletakan pada masing-masing media

tumbuh.

Budidaya cacing tanah

Setiap media tumbuh diberikan cacing tanah sebanyak 300 gram.

Selanjutnya dilakukan pemeliharaan media cacing tanah yaitu dengan cara

menjaga kegemburan media. Pakan diberikan sesuai dengan berat cacing tanah

yang dipelihara. Kegemburan media dilakukan dengan cara pengadukan dengan

sendok yang khusus. Pengadukan ini bertujuan untuk menjaga pasokan oksigen
dan sirkulasi udara dalam media.. Selain pengadukan dilakukan pula

penyemprotan menggunakan sprayer untuk menjaga suhu dan kelembaban media.

(Rusad, 2016).

3.3. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4

perlakuan dan 5 ulangan. Berdasarkan pendapat ini maka ditetapkan perlakuan

yang dilakukan adalah sebagai berikut:

P0 : Media feses sapi

P1 : media feses sapi + pakan daun gamal

P2 : media feses sapi + pakan daun lamtoro

P3 : media feses sapi + pakan daun kalopo

3.4. Parameter Penelitian

Parameter yang diukur yaitu jumlah dan berat indukan cacing, jumlah dan

serta jumlah. Pengukuran parameter dilakukan dalam satu kali siklus bertelur

yaitu dua minggu sekali.

3.5. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis sidik ragam (Anova) dan

apabila terdapat pengaruh parlakuan akan diuji lebih lanjut dengan Duncan Mean

Range Test (DMRT).


DAFTAR PUSTAKA

Aziz, A. A, Maulida. 2015. Budidaya Cacing Tanah Unggul Ala Adam Cacing.
Penerbit PT Agro Media. Jakarta Selatan.

Badruzzaman, D. Z. I. W. Juanda. Y. A. Hidayati. 2016. Kajian Kualitas Kascing


Pada Vermikomposting Dari Campuran Feses Sapi Perah dan Jerami Padi.
Jurnak Ilmu Ternak. Vol. 6. (2).

Dani, I. R., Jarmuji, J., Pratama, A. W. N., & Nugraha, D. A. 2017. Kolaborasi
Messessaba (Media Feses Sapi dan Feses Domba) terhadap Respon Cacing
Tanah (Pheretima Sp). Jurnal Sain Peternakan Indonesia, 12(3), 308-316.

Fanindi, A., & Prawiradiputra, B. R. 2014. Karakteristik dan Pemanfaatan Kalopo


(Callopogonium Sp). JITV, 19(1).

Gamasika, F. 2016. Populasi Dan Biomassa Cacing Tanah Pada Berbagai


Vegetasi Di Setiap Kemiringan Lereng Di Laboratorium Lapang Terpadu
Fakultas Pertanian UNILA. Skripsi. Universitas lampung.

Herayani, Y. 2001. Pertumbuhan Dan Perkembangbiakan Cacing Tanah


Lumbricus rubellus Dalam Media Kotoran Sapi Yang Mengandung
Tepung Daun Murbei (Morus multicaulis). Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor.

Kiay, M. Z. 2014. Level Penambahan Tepung Daun Lamtoro (Leucaena


leucocephala) dalam Ransum untuk Meningkatkan Kualitas Kuning Telur
Puyuh. Skripsi. Universitas Negeri Gorontalo).

Natalia, H., Delly, N., dan Sri, H. 2009. Keunggulan Gamal Sebagai Pakan
Ternak. Sembawa: BPTU Sembawa.

Pandiangan, A. S. P. 2017. Pertumbuhan dan Perkembangbiakan Cacing Tanah


Lumbricus rubellus dalam Media Feses Babi yang Mengandung Limbah
Sawi Putih. Skripsi (S1). Univsersitas Sumatera Utara.

Permata, D. 2006. Reproduksi Cacing Tanah (Eisenia foetida) dengan


Memanfaatkan Daun dan Pelepah Kimpul (Xanthosoma sagittifolium)
pada Media Kotoran Sapi Perah. Skripsi. Fakultas Peternakan Institute
Pertanian Bogor.

Rosad, R. E., Santosa, S., & Hasyim, Z. 2016. Pemanfaatan Limbah Sayur Kubis
Brassica Oleracea dan Buah Pepaya Carica Papaya sebagai Pakan Cacing
Tanah Lumbricus Rubellus. BIOMA: JURNAL BIOLOGI MAKASSAR,
1(1).
Sundariani, N. (2017). Pemanfaatan Eceng Gondok (Eicchornia Crassipes)
Sebagai Pakan Cacing Tanah (Lumbricus rubellus). Skripsi. FKIP Unpas.

Anda mungkin juga menyukai