Anda di halaman 1dari 7

PENUGASAN BLOK IMUNOPATOLOGI (2.

1)
JOURNAL READING
HIPOTESIS KEBERSIHAN: MEKANISME IMUNOLOGIS DARI
TOLERANSI SALURAN NAFAS (THE HYGIENE HYPOTHESIS:
IMMUNOLOGICAL MECHANISM OF AIRWAY TOLERANCE)

Tutor : dr. Dimas Satya Hendarta


Penyusun :

Ardian Rizki MM (18711082)


Katon Pamungkas (18711180)
Tutorial 8

PRODI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2019
DAFTAR ISI

Daftar Isi ...................................................................................................... i


INTRODUKSI ............................................................................................. 1
Gaya hidup modern berhubungan dengan disbiosis .................................... 1
Mikroba menginduksi sel dendritik dan sel T regulator .............................. 2
Asma disebabkan oleh respon imun yang menyimpang pada jaringan
pelindung...................................................................................................... 3
Kesimpulan................................................................................................... 4
Daftar Pustaka ............................................................................................. 5

i
Hipotesis bersih bertujuan sebagai penjelasan tehadap prevalensi
pemberitahuan akan alergi dalam akhir abad ini. Ide dibalik hipotesis ini adalah
tidak adanya hubungan antara gaya hidup barat dengan infeksi dan pengurangan
konsekuensi respon imun tipe 1. Sekarang telah dipahami bahwa pembentukan
toleransi terhadap alergen bergantung pada kolonisasi mikroba dan stimulus
lingkungan pada kehidupan awal . Lingkungan tersebut memberi petunjuk atas
terintegrasinya barier epitel paru-paru dan kulit, yang mana memerintahkan sel
dendritik dan untuk meregulasi respon adaptiff sel T.
INTRODUKSI
Reaksi alergi memiliki karakteristik adanya immunoglobin E (IgE) yang
spesifik pada suatu alergen pada serum. Paparan alergen lewat jalan nafas, tertelan
ataupun kontak dengan kulit dapat menyebabkan berbagai keluhan seperti asma,
rinitis alergi, eksema dan, dalam beberapa kasus anafilaksis sistemik. Sekarang,
lebih dari 30% anak-anak terkena alergi, sekitar 10% menderita asma dana rinitis
alergi, dan 5-7% menderita alergi makanan. Penyebab banyaknya penderita asma
masih belum jelas tetapi dilihat dari sejarahnya asma sepertinya dipengaruhi oleh
perubahan lingkungan dan kebiasaan pada gaya hidup.
Gaya hidup modern berhubungan dengan disbiosis
Dalam 150 tahun terakhir, penyakit infeksi mulai jarang ditemukan akibat
dikenalkannya prinsip kebersihan, antibiotik dan vaksin. Pada 1989, Strachan
mengamati bahwa seseorang yang tinggal di keluarga yang besar dengan banyak
saudara yang lebih tua mengurangi kemungkinan terkenan rinitis alergi dan eksema.
Dia kemudian membuat postulat yaitu “keluarga kecil, penigkatan fasilitas rumah
dan meningkatnya standar kebersihan” menurunkan “ kemungkinan terkenanya
infeksi menular di keluarga yang baru. Munculnya hipotesis kebersihan yang
pertama. Hipotesis kebersihan didukung oleh beberapa studi pada hewan bahwa
paparan bakteri, virus, helminth dan produk dari mikroba dapat melindungi dari
alergi.
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi jumlah dan komposisi
mikrobiota di permukaan mukosa. Ada 2 teori yang menjelaskan pandemik alergi
saat ini yaitu hipotesis Old friend dan Biodiversity yang diajukan oleh Rook dan
Haahtela. Mereka mengatakan bahwa banyaknya kejadian alergi masa kini
disebabkan oleh berkurangnya paparan dari bakteri yang bermanfaat maupun
parasitik dan pada beberapa studi perubahan pada mikrobiota di mukosa dapat
menyebabkan gejala alergi. Pengaruh mikrobiota dalam mengontrol alergi dapat
dilihat pada tikus, pada tikus yang bersih, ia lebih mudah terkena alergi pada saluran
pernafasannya dan setelah mikrobiota pada tikus tersebut dikembangkan maka
gejalanya menghilang.
1
Mikroba menginduksi sel dendritik dan sel T regulator
Infeksi Helicobacter pylori kronis berkebalikan dengan asma pada manusia
dan pada tikus dapat mencegah asma akibat ovalbumin. Pada tikus, H. pylori
meningkatkan akumulasi sel dendritik CD103+ pada paru-paru yang kemudian
digunakan untuk proteksi. Terapi H. pylori menggeser rasio sel dendritik
CD11b+/CD103+ pada paru-paru, dan menurunkan pemrosesan antigen oleh paru-
paru dan nudus limfa sehingga menurukan alergi pada saluran nafas. Studi lain
memperlihatkan bahwa Lactococcus lactis dapat menginduksi Th1 saat RNAnya
dikenali oleh TLR.
Trompette et al. menemukan bahwa memberi tikus makanan tinggi serat
dapat mengubah komposisi mikrobiota pada paru-paru dan usus yang nanti akan
memetabolisme serat menjadi asam lemak rantai pendek (SCFA). Peningkatan
asam lemak rantai pendek melindungi tikus dari inflamasi paru akibat alergi dengan
cara mengatur prekursor sel dendritik saat disumsum tulang sehingga sel dendritik
tersebut memiliki aktivitas fagositosis yang lebih tinggi namun terganggu dalam
mengaktifkan sel Th2.
Saat terpapar oleh mikroba, sel dendritik dapat memberikan proteksi
terhadap alergi dengan cara menginduksi sel T regulator (Tregs). Kolonisasi
mikroba pada tikus umur 2 minggu memperlihatkan peningkatan PD-L1 pada sel
dendritik CD11b+ di paru-paru, dan meningkatkan jumlah sel T regulator pada
paru-paru. Blokade PD-L1 pada neonatus mengakibatkan alergi terhadap debu yang
dapat terbawa hingga dewasa sehingga PD-L1 memiliki peran dalam toleransi
imun. Di tikus lain, infeksi Helicobacter menginhibisi maturasi sel dendritik dan
memprogram ulang sel dendritik tersebut menjadi sel dendritik yang dapat
mengaktifkan sel T regulator.
Helminth atau cacing parasit dapat menurunkan reaktivitas tes tusuk kulit
dan memberikan proteksi terhadap asma. Helminth dapat mengubah respon Th2
dengan bantuan sel T regulator sehingga Th2 tersebut memiliki reaktivitas yang
lebih lemah terhadap antigen dari yang biasanya. Sebagai contoh, Protein anti
inflamasi yaitu AIP-2 yang dihasilkan oleh cacing tambang dapat menurunkan
reaksi alergi saluran nafas pada tikus dengan perantara sel T dan sel dendritik.
AvCystatin dapat menginduksi makrofag regulatoris yang melindungi dari asma
dalam sebuah eksperimen. Dalam kasus lain makrofag regulatoris yang dihasilkan
akibat infeksi virus Epstein-Barr pada tikus dapat menjadi makrofag alveolar yang
berumur panjang.

2
Asma disebabkan oleh respon imun yang menyimpang pada jaringan
pelindung
Untuk menghasilkan respon alergi, sel dendritik harus mendapatkan sinyal
dari sel epitel pelindung. Sel epitel pelindung secara terus menerus terpapar oleh
alergen yang ada dilingkungan. Sel epitel pelindung tersebut memiliki Pattern
recognition receptors (PRRs) yang jika teraktivasi akan menyebabkan sel tersebut
menghasilkan mediator inflamasi seperti IL-33, IL-25 dan TSPL. Sel dendritik
merespon sitokin tersebut dengan OX40L, upregulasi Ligand Notch dan
downregulasi IL-12 dimana kondisi sel dendritik tersebut menjadi aktif dan siap
mengaktifkan Th2.

PRR toll-like receptor 4 (TLR4) pada sel epitel saluran nafas memiliki peran
penting dalam asma yang dimediasi oleh Th2. Alergen seperti debu dapat secara
langsung mengamplifikasi siyal pada TLR4 dengan mengikat langsung TLR4.
Tetapi, TLR4 juga dapat menjadi reseptor lipopolisakarida (LPS), dapat disebut
juga endotoksin yaitu komponen dari suatu bakteri gram negatif. Pada suatu
pengamatan, tempat yang memiliki kadar endotoksin tinggi seperti tempat
perkebunan tradisional memiliki orang-orang yang terproteksi dari gejala alergi.
Proteksi ini di mediasi oleh peningkatan TNFAIP3 (A20) yang dapat menurunkan
respon sel epitel terhadap antigen dan menurunkan aktivitas dari sel dendritik.
Heligmosomoides polygyrus, merupakan suatu cacing parasit yang dapat
menghasilkan H. polygyrus alarmin release inhibitor (HpARI). Protein tersebut
dapat berikatan dengan IL-33 yang kemudian menginhibisi IL-33 tersebut. Molekul
lain yang dapat dihasikan parasit berhubungan dengan TGF-beta dan bisa
menginduksi Treg Foxp3+ yang berfungsi sebagai immunoregulator.
Alergi cenderung muncul saat awal kehidupan. Pada tikus neonatus
memperihatkan bahwa sel epitel pelindung pada paru-parunya mengeluarkan IL-33
yang disertai oleh rekrutmen Th2, pengeluaran IL-33 mencapai puncaknya saat
minggu ke-2 setelah kelahiran. Peningkatan IL-33 kemungkinan dipengaruhi oleh
pola pernafasan dan juga proses perkembangan paru-paru. Pada periode ini paparan
alergen dapat menghasilkan sensitisasi yang kuat sehingga menyebabkan alergi
dikemudian hari. Faktor eksternal seperti infeksi RSV dan asap rokok juga dapat
meningkatkan IL-33. Semua faktor resiko tersebut bekerja dengan cara
memperpanjang dan mengamplifikasi respon sitokin epitel terhadap alergen yang
pada akhirnya mengatur ambang dari aktivasi sel epitel yang final.

3
Gambar 1. Model dari toleransi saluran nafas
Kesimpulan
Efek mikroba terhadap sel T regulatori, Th1 dan respon alergen antibodi
sudah banyak diteliti. Stimulus dari lingkungan dan mikroba dapat diterima dan
diintegrasi oleh sel epitel pada paru-paru, pencernaan, kulit, yang mengaktifkan sel
dendiritik yang pada akhirnya menghasilkan inflamasi ataupun toleransi imun.
Pemahaman penuh terhadap proteksi imun, kontribusi sel dan interaksinya suatu
saat dapat memodifikasi atau membuat terapi baru yang dapat menyembuhkan
asma.

4
Daftar Pustaka
1. Haspeslagh, E. et al. (2018) ‘ScienceDirect The hygiene hypothesis :
immunological mechanisms of airway tolerance’, Current Opinion in
Immunology. Elsevier Ltd, 54, pp. 102–108. doi: 10.1016/j.coi.2018.06.007.

Anda mungkin juga menyukai