TINJAUAN PUSTAKA
Insulin disintesis sebagai suatu prepohormon (berat molekul sekitar 11.500) dan
merupakan prototipe untuk peptida yang diproses dari molekul prekursor yang
lebih besar. Rangkaian “pemandu” yang bersifat hidrofobik dengan 23 asam
amino mengarahkan molekul tersebut ke dalam sisterna retikulum endoplasma
dan kemudian dikeluarkan. Proses ini menghasilkan proinsulin dengan berat
molekul 9000 yang menyediakan bentuk yang diperlukan bagi pembentukkan
jembatan disulfida yang sempurna. Penyusunan proinsulin, yang dimulai dari
bagian terminal amino, adalah rantai B – peptida C penghubung – rantai A.
Molekul proinsulin menjalani serangkaian pemecahan peptida tapak-spesifik
sehingga terbentuk insulin yang matur dan peptida C dalam jumlah ekuimolar dan
disekresikan dari granul sekretorik pada sel beta pankreas (Granner, 2003).
b. Sekresi Insulin
Glukosa merupakan kunci regulator sekresi insulin oleh sel beta pankreas,
walaupun asam amino, keton dan nutrien lainnya juga mempengaruhi sekresi
insulin. Kadar glukosa > 3,9 mmol/L (70 mg/dl) merangsang sintesis insulin.
Glukosa merangsang sekresi insulin dengan masuk ke dalam sel beta melalui
transporter glukosa GLUT 2. Selanjutnya di dalam sel, glukosa mengalami proses
fosforilasi oleh enzim glukokinase dan glikolisis yang akan membebaskan
molekul ATP (Powers, 2005).
c. Aksi Insulin
Kerja insulin dimulai ketika hormon tersebut terikat dengan sebuah reseptor
glikoprotein yang spesifik pada permukaan sel target. Reseptor insulin terdiri dari
dua heterodimer yang terdiri atas dua subunit yang diberi simbol α dan β.
Subunit α terletak pada ekstrasel dan merupakan sisi yang berikatan dengan
insulin. Subunit β merupakan protein transmembran yang melaksanakan fungsi
Pada prinsipnya resistensi insulin dapat terjadi di tingkat reseptor insulin atau di
salah satu jalur sinyal pascareseptor. Pada DM tipe II jarang terjadi defek
kualitatif dan kuantitatif pada reseptor insulin. Oleh karena itu, resistensi insulin
diperkirakan terutama berperan dalam pembentukan sinyal pascareseptor (Clare-
Salzler, et al., 2007). Polimorfisme pada IRS-1 mungkin berhubungan dengan
intoleransi glukosa, meningkatkan kemungkinan bahwa polimorfisme dalam
berbagai molekul postreceptor dapat menyebabkan resistensi insulin. Patogenesis
resistensi insulin saat ini berfokus pada defek sinyal PI-3-kinase, yang
menurunkan translokasi GLUT 4 pada membran plasma, diantara kelainan lainnya
(Powers, 2005).
Asam lemak bebas juga memberikan kontribusi pada patogenesis DM tipe II.
Asam lemak bebas menurunkan ambilan glukosa pada adiposit dan otot serta
meningkatkan keluaran glukosa hepatik yang terkait dengan resistensi insulin
(Thẻvenod, 2008).
Mekanisme lain kegagalan sel beta pada DM tipe II dilaporkan berkaitan dengan
pengendapan amiloid di islet. Pada 90% pasien DM tipe II ditemukan endapan
amiloid pada autopsi. Amilin, komponen utama amiloid yang mengendap ini,
secara normal dihasilkan oleh sel beta pankreas dan disekresikan bersama dengan
insulin sebagai respons terhadap pemberian glukosa. Hiperinsulinemia yang
disebabkan resistensi insulin pada fase awal DM tipe II menyebabkan peningkatan
produksi amilin, yang kemudian mengendap sebagai amiloid di islet. Amiloid
yang mengelilingi sel beta mungkin menyebabkan sel beta agak refrakter dalam
menerima sinyal glukosa. Yang lebih penting, amiloid bersifat toksik bagi sel beta
2.1.5. Diagnosa
Diagnosis klinik DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikenakan pasien adalah lemah,
kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae
pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu≥ 200
mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa≥ 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM.
Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang
baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.
Diperlukan pemastian yang lebih lanjut dengan dengan mendapat sekali lagi
≥ 126 mg/dl, kadar glukosa
angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa
darah sewaktu≥ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil t es toleransi
≥ 200 mg/dl
glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah postprandial
seperti ditunjukkan oleh gambar 2.3 (Gustaviani, 2006) .
Beberapa peneliti menyarankan HbA1C (Hemoglobin A1C) sebagai salah satu uji
diagnosa pada diabetes melitus. Walaupun HbA1C memiliki hubungan yang kuat
dengan peningkatan glukosa plasma tetapi hubungan antara glukosa darah puasa
dengan HbA1C pada individu yang toleransi glukosanya normal atau intoleransi
glukosa ringan masih belum jelas dan penggunaan HbA1C dalam diagnosa
diabetes melitus tidak dianjurkan (Powers, 2005)
Untuk diagnosis dan klasifikasi ada indeks tambahan yang dapat dibagi atas 2
bagian:
1. Indeks penentuan derajat kerusakan sel beta
Hal ini dapat dinilai dengan pemeriksaan kadar insulin, pro-insulin, dan sekresi
peptide penghubung (C-peptide). Nilai-nilai “Glycosilated haemoglobin” (WHO
2.2.2. Pengukuran
Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai pengukur
pengganti dipakai body mass index (BMI) untuk menentukan berat badan lebih
dan obesitas pada orang dewasa. BMI merupakan indikator yang paling sering
digunakan dan praktis untuk mengukur tingkat populasi berat badan lebih dan
obes pada orang dewasa (Sugondo, 2006). Berdasarkan indikasi WHO, BMI
dihitung dengan membagi berat badan dengan tinggi badan kuadrat (Shandu, et
al., 2008).
2.2.3 Klasifikasi
Tabel 2.1. merupakan klasifikasi yang ditetapkan World Health Organization
(WHO), niai BMI 30 kg/m2 dikatakan sebagai obesitas dan nilai BMI 25 - 29,9
kg/m2, sebagai “Pra Obese”. Meta-analisis beberapa kelompok etnik yang
berbeda, dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama,
menunjukkan etnik Amerika berkulit hitam memiliki BMI lebih tinggi 1,3 kg/m2
dan etnik polinesia memiliki BMI lebih tinggi 4,5 kg/m2 dan etnik kaukasia.
Sebaliknya nilai BMI pada bangsa China, Ethiopia, Indonesia dan Thailand adalah
1,9, 4,6, 3,2, dan 2,9 kg/m2 lebih rendah daripada etnik Kaukasia. Hal itu
memperlihatkan adanya nilai cutoff BMI untuk obesitas yang spesifik untuk
populasi tertentu. Wilayah Asia Pasifik saat ini telah mengusulkan kriteria dan
klasifikasi obesitas sendiri yang ditunjukkan pada tabel 2.2 (Sugondo, 2006).
Tabel 2.2. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT
Menurut Kriteria Asia Pasifik
Klasifikasi BMI (Kg/m2)
Berat Badan Kurang < 18,5
Kisaran Normal 18,5 - 22,9
Berat Badan Lebih ≥ 23,0
Beresiko 23,0 - 24,9
Obes Tingkat I 25,0 - 29,9
Obes Tingkat II ≥ 30,0
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006
Asam lemak, dalam bentuk trigliserida dan asam lemak yang terikat pada albumin
didapat dari asupan makanan atau hasil sintesa lemak di hati. Trigliserida yang
dibentuk dari kilomikron atau lipoprotein akan dihidrolisis menjadi gliserol dan
asam lemak bebas oleh enzim lipoprotein lipase (LPL) yang dibentuk oleh
adiposit dan disekresi ke dalam endothelial yang berdekatan dengannya
(adjacent). Aktivasi LPL dilakukan oleh apoprotein C-II yang dikandung oleh
kilomikron dan lipoprotein (VLDL). Kemudian asam lemak bebas akan diambil
oleh sel adiposit sesuai dengan derajat konsentrasinya oleh suatu protein transport
transmembran. Bila asam lemak bebas sudah masuk ke dalam adiposit maka akan
membentuk pool asam lemak. Pool ini akan mengandung asam lemak yang
berasal baik dari yang masuk maupun yang akan keluar seperti yang ditunjukkan
pada gambar 2.4 (Sugondo, 2006).
Insulin juga mempunyai efek jangka panjang pada gen lipogenik, mungkin
melalui faktor transkripsi Sterol Regulatory Element Binding Protein-1 (SREBP-
1). Selain itu insulin menyebabkan SREBP-1 meningkatkan ekspresi dan kerja
enzim glukokinase, dan sebagai akibatnya meningkatkan konsentrasi metabolit
glukosa yang dianggap menjadi perantara dari efek glukosa pada ekspresi gen
lipogenik. Hormon pertumbuhan (growth hormone/ GH) menurunkan lipogenesis
di jaringan adipose secara dramatis, sehingga terjadi penurunan lemak yang
bermakna, dan berhubungan dengan penambahan massa otot. Efek tersebut
diperantarai dua jalur:
- Hormon pertumbuhan menurunkan sensitivitas insulin sehingga terjadi down-
regulation ekspresi enzim sintetase asam lemak di jaringan adiposa.
Mekanisme tersebut masih belum jelas, namun GH mungkin mempengaruhi
sinyal insulin di tingkat post-receptor.
b. Lipolisis
Lipolisis merupakan suatu proses dimana terjadi dekomposisi kimiawi dan
pelepasan lemak dari jaringan lemak. Bilamana diperlukan energi tambahan maka
lipolisis merupakan proses yang predominan terhadap proses lipogenesis. Enzim
hormone Sensitive Lipase (HSL) akan menyebabkan terjadinya hidrolisis
trigliserida manjadi asam lemak bebas dan gliserol (gambar 2.4). Asam lemak
yang dihasilkan akan masuk ke dalam pool asam lemak, dimana akan terjadi
proses re-esterifikasi, beta oksidasi atau asam lemak tersebut akan dilepas masuk
ke dalam sirkulasi darah untuk menjadi substrat bagi otot skelet, otot jantung dan
hati. Asam lemak akan dibentuk menjadi ATP melalui proses betaoksidasi dan
asam lemak akan dibawa ke luar jaringan lemak melalui sirkulasi darah untuk
kemudian menjadi sumber energi bagi jaringan yang membutuhkan (Sugondo,
2006).
c. Transportasi lipid
Metabolisme lipoprotein mempunyai 2 fungsi yang amat penting yaitu memasok
trigliserida ke jaringan lemak dan otot untuk bahan dan penyimpanan energi,
kemudian mengangkut kolesterol untuk pembentukan membran sel, hormone
steroid, dan sintesis asam empedu. Transportasi lipid mempunyai 2 jalur yaitu: 1)
jalur eksogen, dan 2) jalur endogen, yang dimulai dari produksi kolesterol VLDL
oleh hati.
1. Jalur eksogen
Trigliserida yang berasal dari makanan dihidrolisis oleh lipase pankreas di dalam
lumen intestinal dan mengalami emulsifikasi dengan garam empedu untuk
membentuk misel. Kolesterol dan retinol dari bahan makanan diesterifikasi
(dengan penambahan asam lemak) di dalam enterosit untuk membentuk kolesterol
ester dan retinol ester. Asam lemak rantai panjang yang tergabung dalam
trigliserida dan dikemas bersama dengan apo B-48, kolesterol ester, retinol ester,
2. Jalur endogen
Trigliserida dan kolesterol yang disintesis di hati dan di sekresi ke dalam sirkulasi
sebagai lipoprotein VLDL. Apolipoprotein yang terkandung dalam VLDL adalah
apolipoprotein B-100 (Adam, 2006).
Kira-kira 70% LDL yang ada dalam sirkulasi dibersihkan lewat endositosis
melalui reseptor LDL dalam hati (Rader dan Hobs, 2005). Jika jumlah reseptor
Jumlah kolesterol yang akan teroksidasi tergantung dari kadar kolesterol yang
terkandung di LDL. Beberapa sediaan mempengaruhi tingkat oksida seperti:
Meningkatnya jumlah LDL kecil padat (small dense LDL) seperti pada sindrom
metabolik dan diabetes mellitus dan kadar kolesterol HDL, makin tinggi kadar
kolesterol HDL akan bersifat protektif terhadap oksidasi LDL (Adam, 2006).
Selanjutnya sebagian kolesterol ester yang dibawa oleh HDL akan mengambil dua
jalur. Jalur pertama ialah ke hati dan ditangkap oleh scavenger receptor class B
type 1 dikenal dengan SR-B1 (Gambar 2.6). Jalur kedua ialah kolesterol ester
dalam HDL akan dipertukarkan dengan trigliserid dari VLDL dan IDL dengan
bantuan cholesterol ester transfer protein (CETP). Dengan demikian fungsi HDL
sebagai “penyerap” kolesterol dari makrofag mempunyai dua jalur yaitu langsung
ke hati dan jalur tidak langsung melalui VLDL dan IDL untuk membawa
kolesterol kembali ke hati (Adam, 2006).
Dalam sirkulasi trigliserid yang banyak di VLDL akan bertukar dengan kolesterol
ester dari kolesterol LDL, yang mana akan menghasilkan LDL yang kaya akan
trigliserid tetapi kurang kolesterol ester (cholesterol ester depleted LDL).
Trigliserid yang dikandung oleh LDL akan dihidrolisis oleh enzim lipase hepatik
(yang biasanya meningkat pada resistensi insulin) sehingga menghasilkan LDL