Anda di halaman 1dari 16

Suwiyoga, I.K. 2000.

Kanker Serviks: Evaluasi Faktor Risiko Klin


is. Maj. Obstet Gi
nekol Ind,
(suppl. 5) ; 29
-32.

KANKER SERVIKS:
KAJIAN FAKTOR RISIKO

Oleh: I Ketut Suwiyoga


Sub Lab Gineko-onkologi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana
Denpasar

Abstrak
Kanker serviks adalah penyakit keganasan pada serviks uterus dan merupakan kanker tersering serta
penyebab kematian terbanyak pada kanker perempuan di Indonesia. Kejadian kanker serviks terus
meningkat. Faktor risikonya adalah umur, paritas, aktivitas seksual usia dini, merokok, status sosial-
ekonomi, infeksi virus imunodefisiensi, akseptor pil kontrasepsi, mikronutrien, dan infeksi human
papilloma virus. Infeksi human papilloma virus tipe onkogenik merupakan faktor risiko mayor.
Kata kunci: kanker serviks, faktor risiko.

Abstract
The cervical cancer is the uterine cervix malignancy and the most prevalence and mortality cause on
female cancer in Indonesia. The prevalnes of cervical cancer increase for last three dacades. The risk
factors are age, parity, early sexual intercourse activity, contraception pill, smook, social economic
state, immuno deficiency , micronutrient, other genital infection, and human papilloma virus. Human
papilloma virus infection is the major risk factor.
Key words: cervical cancer, risk factors.

Batasan
Kanker serviks adalah penyakit keganasan pada serviks uterus yang dapat berasal dari sel epitel,
fibroblast, pembuluh darah, limfe, dan campuran. Hampir 95,5% kanker serviks yang berasal dari jenis
epitelial.

Prevalensi
Insiden kanker di dunia diperkirakan enam juta per tahun dan insidennya terus meningkat dari
2,7‰ pada tahun 1972, 3,0‰ pada tahun 1989, dan 4,1‰ pada tahun 1998. Diperkirakan bahwa
terdapat 6¼ juta kematian akibat kanker pertahun dan dalam waktu 10 tahun mendatang kematian
akibat kanker mencapai 9,0 juta per tahun di mana dua pertiganya berada di negara sedang
berkembang. Sebagian besar kanker tersebut adalah kanker serviks, disusul oleh kanker payudara,
kanker kolon, dan kanker hati (WHO, 2000). Di Indonesia diperkirakan insiden kanker mencapai
1/100.000 penduduk dan kanker serviks merupakan keganasan yang paling sering serta sebagai
penyebab kematian terbesar yang berhubungan dengan kanker pada perempuan. Diperkirakan terdapat
 100.000 kasus kanker serviks baru setiap tahun (Roemwerdiadi, 1997). Laporan dari berbagai
rumahsakit pendidikan di Indonesia menyatakan bahwa prevalensi kanker serviks berkisar antara 0,5-
0,8% dari seluruh kasus Obstetri dan Ginekologi (Aziz, 1998; Nugroho, 2000). Data histopatologi
Yayasan Kanker Indonesia tahun 1990 menyatakan bahwa kanker serviks menduduki urutan pertama
diantara berbagai keganasan di Indonesia. (Sjamsudin dkk.,1985) dan relatif stabil dalam tiga dasa
warsa (Sjamsudin, 1998; Laila, 2000). Prevalensi kanker serviks di rumahsakit Cipto Mangunkusumo
antara tahun 1978-1982 adalah 73,0% dari kasus keganasan ginekologi (Harahap, 1983), di Manado
tahun 1993-1997 adalah 68,58% (Pangabean dkk., 1999), di rumahsakit Pekanbaru adalah 70,1-85,4%
(Budi dkk., 1999; Gunawan dkk., 1999), rumahsakit Dr. Kariadi Semarang adalah 67,8% (Hadiyanto
dkk., 1983), di rumahsakit Gatot Subroto tahun 1976-1981 adalah 60,1% (Lubis, 1982), dan di
rumahsakit Dr.Sardjito Yogyakarta adalah 69,8% (Mardjikoen dkk., 1983). Di rumahsakit Sanglah
Denpasar kanker serviks menempati urutan pertama dari keganasan ginekologi yaitu 73,36% disusul
oleh karsinoma ovarium (10,28%), penyakit trofoblastik gestasional ganas (9,35%), dan kanker korpus
uterus (4,21%) (Suwiyoga dan Dharmaputra, 1999).
Sebagian besar yaitu 90-95% kasus kanker serviks terdiagnosis pada stadium invasif (Nugroho, 2000)
dengan harapan hidup satu tahun sebesar ± 65%, dua tahun sebesar ± 40%, dan tiga tahun ± 23%
(Tobing, 1990; Sudirtayasa dkk., 1999). Diagnosis kanker serviks terlambat dibuat sehingga
penanganannya tidak optimal dengan harapan hidup yang rendah (Parkin et al., 1985; Bishop et al.,
1995). Dengan kemampuan, ketersediaan sarana dan penanganan memadai maka prognosis tingkat
harapan hidup 5 tahun untuk stadium 0 sebesar 90-100%, stadium I sebesar 75-80%, stadium II sebesar
45-50%, stadium III sebesar 15-25%, dan stadium IV sebesar 0-5,0% (Lusley et al., 1998; Kenneth,
2000).

Histol
ogi
Servi
ks
Permu
kaan serviks
terdiri atas dua
macam epitel
yaitu epitel
kolumner dan
epitel skuamosa
dan antara
epitel dengan
stroma dibatasi
oleh membran
basalis
(Kenneth,
2000). Epitel
kolumner
menutupi endoserviks pada kanalis serviks. Kelenjar endoserviks yang terdapat di bawahnya adalah
lipatan epitel atau kripte yang masuk ke dalam stroma dan bukan kelenjar asli. Epitel ini terdiri atas dua
macam sel yaitu sel tidak bersilia yang memproduksi lendir/mukus dan berfungsi membasahi kanalis
servikalis dan sel yang bersilia yang berfungsi membersihkan lendir. Epitel skuamosa menutupi
ektoserviks, terdiri atas empat lapis sel yaitu: 1) Lapisan yang paling dalam adalah lapisan basal atau
lapisan germinal yang berfungsi untuk regenerasi sel. Lapisan ini tersusun dari satu atau dua lapis sel
yang berbentuk lonjong dan berdiri tegak lurus terhadap membrana basal. 2) Lapisan kedua adalah
parabasal yang berfungsi untuk pertumbuhan sel. 3) Lapisan ketiga adalah lapisan intermedier yang
berfungsi untuk pematangan sel di mana sitoplasma dan glikogen semakin banyak sedangkan inti sel
tetap. 4) Paling luar adalah lapisan superfisial yaitu sel-sel pipih yang matang dengan inti piknotik agak
meninggi di tengah dan sitoplasma banyak (Reid et al., 1989). Pertemuan antara sel epitel skuamosa
ektoserviks dengan sel epitel kolumner endoserviks membentuk sambungan skuamo kolumner (SSK)
atau squamo-. columnar junction. Secara morfogenetik SSK dibedakan atas dua yaitu: 1) SSK
anatomis adalah pertemuan antara epitel skuamosa dengan epitel kolumner dan 2) SSK fungsional
adalah pertemuan antara epitel kolumner dengan epitel skuamosa metaplastik di daerah transformasi
(Cox, 1995; Icom et al., 1996). Posisi SSK berubah tergantung dari volume serviks. Estrogen dan
progesteron dapat menyebabkan perlunakan serviks dengan penimbunan air dan perubahan struktur
kolagen sehingga volume serviks meningkat dan protrusi kanalis servikalis sehingga SSK tampak
menonjol keluar. Epitel kolumner yang menonjol ini tampak sebagai daerah merah dan mengelilingi
orifisium uteri eksternum yang disebut ektropion atau ektopia atau erosi porsio uterus atau erosi
servikal (Harahap, 1983) dan oleh Herbeck disebut eritroplakia (Koutsky et al., 1992). Eversio serviks
terjadi pada saat kadar hormonal tinggi yaitu pada saat ovulasi dan pada saat hamil. Sedangkan retraksi
daerah transformasi kanalis servikalis terjadi pada saat hubungan seks, rangsangan pada leher rahim,
peningkatan aktifitas otot rahim dan panggul, pelepasan oksitosin, dan pada saat orgasmus di mana
terjadi pelepasan prostragladin. Hatch menyatakan lokasi SKK pada saat kehidupan neonatus adalah
pada ektoserviks, lokasi selanjutnya jarang menetap pada osteum uteri eksternum dan berubah-ubah
dipengaruhi rangsangan hormonal (Wright et al., 1995; Icom et al., 1996). Derajat keasaman (pH)
vagina dapat merubah epitel permukaan serviks. Derajat keasaman vagina yang rendah dapat merubah
epitel kolumner asli menjadi skuamosa yang disebut metaplasia. Perubahan tersebut dimulai dari tepi
luar epitel kolumner, berlanjut kearah kanalis serviks, dilakukan oleh sel-sel cadangan dan merupakan
hal normal (Harahap, 1993; Parkin et al., 1993). Dengan demikian batas antara epitel skuamosa
metaplastik dengan epitel kolumner menjadi sambungan skuamo-kolumner yang baru, sedangkan
sambungan skuamosa-kolumner yang lama menjadi sambungan skuamosa-skuamosa dan daerah di
mana terjadi metaplasia itu disebut daerah transformasi atau transisi (Wright, 1995) seperti pada
gambar 2.1.

Histopatogenesis Kanker Serviks


Pada proses metaplasia skuamosa dibedakan atas 2 fase, yaitu:
1. Fase aktif atau fase dinamik yang terdiri dari tiga tahap.
Tahap pertama, tampak sel cadangan sub kolumner menjadi beberapa lapis, belum berdiferensiasi
biasanya dimulai dari puncak vili.
Tahap kedua, tampak pembentukan beberapa lapis sel yang belum berdiferensiasi meluas ke
bawah dan ke samping vili sehingga menjadi satu.
Tahap ketiga, terlihat penyatuan beberapa vili menjadi lengkap sehingga didapatkan daerah
yang licin.
2. Fase pematangan atau maturasi, terjadi setelah fase dinamik tahap ketiga lengkap, sel- sel
mengalami pematangan sehingga terbentuk epitel skuamosa metaplastik.
Jika terdapat mutagen pada serviks seperti sperma, virus papova, atau bahan lain yang mengandung
DNA mutagenik pada saat fase aktif atau fase awal dari metaplasia, maka sel-sel metaplastik dapat
berubah menjadi sel yang berpotensi ganas, dengan demikian dapat terjadi displasia. Displasia dimulai
dari bentuk ringan, sedang, dan berat, selanjutnya dapat berkembang menjadi kanker invasif jika daya
tahan tubuh tidak mampu mengatasi sel-sel tersebut (Reid, 1994; Hempling, 1996).

FAKTOR RISIKO
Secara epidemiologi dilaporkan beberapa faktor dapat meningkatkan insiden kanker serviks
adalah umur, paritas, jumlah pasangan seksual, aktifitas seksual usia dini, merokok, kontrasepsi oral,
dan sosial ekonomi rendah (Cox, 1995). Hempling tahun 1996, memasukkan infeksi HPV dan suami
yang mempunyai banyak pasangan seksual sebagai faktor risiko kanker serviks.
 Early sexual activity(before age 17)
 Multiple sexualpartners
 Make sexual partnerhas multiple partners
 Human papilloma virusinfection of the cervix
 Smoking
 Humanimmunodeficiency virus

Tabel 1. Faktor risiko kanker serviks (Hempling, 1998)

1. Umur
Pada dekade 70-an dilaporkan bahwa umur merupakan faktor risiko kanker serviks. Data dari
beberapa rumahsakit pusat pendidikan menyatakan bahwa umur pasien kanker serviks terbanyak
adalah 55-58 tahun (Nugroho, 2000). Penelitian lain di rumahsakit Hasan Sadikin Bandung
mendapatkan umur terbanyak adalah 59-62 tahun (Theuw, 1982), rumahsakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta 57-62 tahun (Azis, 1980), rumahsakit Kariadi Semarang 57- 61 tahun (Sutoto, 1980), dan
rumahsakit Soetomo Surabaya 57-61 tahun (Nasrun, 1979). Pada dekade 80-an laporan faktor risiko
kanker serviks umur 47-58 tahun (Nugroho, 2000). Laporan penelitian lain di rumahsakit Hasan
Sadikin Bandung mendapatkan umur terbanyak 48-59 tahun (Herman, 1982), rumahsakit Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta 51-55 tahun (Azis,1989), rumahsakit Dr. Kariadi Semarang 53-57 tahun
(Adiyono, 1987), dan rumahsakit Dr. Soetomo Surabaya 53-57 tahun (Nasrun, 1987). Pada dekade 90-
an umur kasus kanker serviks terbanyak antara 43-47 tahun seperti yang dilporkan oleh rumahsakit Dr.
Hasan Sadikin Bandung mendapatkan umur terbanyak 45-59 tahun (Herman, 1998), rumahsakit Dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta 43-45 tahun (Sjamsudin, 1998), rumahsakit Dr.Kariadi Semarang 42-52
tahun (Adiyono, 1990), rumahsakit Dr. Soetomo Surabaya 45-49 tahun (Pujo, 1999), rumahsakit Dr.
Pirngadi Medan 45-53 tahun (Harahap, 1998), rumahsakit Labuan Baji Ujung pandang 45-56 tahun
(Arifuddin, 1998), dan rumahsakit Sanglah Denpasar 41-48 (Darmaputra dan Suwiyoga, 2000).

2. Paritas
Paritas meningkatkan insiden kanker serviks, lebih banyak merupakan refleksi dari aktifitas
seksual dan saat mulai kontak seks pertama kali dari pada akibat trauma persalinan. Brinton et al.
1993, menyatakan bahwa paritas hanya menyebabkan perubahan NIS yang tidak tergantung HPV.
Sementara peneliti lain Bosch et al. tahun 1992, melaporkan bahwa umur pada kehamilan pertama
lebih berperan dibandingkan dengan jumlah persalinan, tetapi bagaimana pun jumlah persalinan juga
merupakan faktor prognostik. Pada wanita dengan paritas 6 atau lebih mempunyai risiko untuk menjadi
kanker serviks 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita dengan paritas tiga atau kurang. Eversi
epitel kolumner selama kehamilan menyebabkan dinamika baru epitel metaplastik imatur sehingga
meningkatkan risiko transformasi sel. Schneider et al. tahun 1989, membuktikan dengan suatu studi
kohort bahwa infeksi HPV lebih mudah ditemukan pada wanita hamil dibandingkan yang tidak hamil.
Purtilo et al. tahun 1972, melaporkan terjadinya penurunan kekebalan seluler pada wanita hamil. Mital
et al. tahun 1993, membuktikan bahwa pada kehamilan progesteron dapat menginduksi onkogen HPV
menjadi stabil sehingga terjadi integrasi DNA virus ke dalam genom penjamu dan menurunnya
kekebalan mukosa zona transformasi. Hal ini dapat menjelaskan peningkatan risiko neoplasia serviks
pada paritas yang semakin tinggi (Cox, 1995).

3. Aktifitas Seksual Dini


Berbagai penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara lesi prakanker dan
kanker serviks dengan aktifitas seksual usia dini, khususnya sebelum umur 16 tahun. Faktor risiko ini
dihubungkan dengan karsinogen pada zona transformasi yang sedang berkembang dan paling
berbahaya apabila terpajan HPV dalam 5-10 tahun setelah menars (Wright et al., 1995). Jumlah
pasangan seksual menimbulkan konsep pria berisiko tinggi sebagai vektor yang dapat menimbulkan
infeksi dan hubungan antara lesi prakanker dan kanker serviks dengan penyakit hubungan seksual
(PHS) secara epidemiologis terbukti. Satu dekade terakhir perhatian difokuskan pada HPV sebagai
agen etiologi primer patogenesis lesi prakanker serviks (Wright et al., 1995; Icom et al., 1996). Tahun
1983, Galloway dan Mac Dougall mengemukakan hipotesis a hit and run untuk menjelaskan
mekanisme transformasi sel tanpa selalu ditemukan keberadaan HSV-2. Diduga virus ini bekerja secara
sinergis sebagai inisiator atau promotor pada saat HPV mengadakan transformasi seluler. Integrasi
antara DNA-HPV dengan DNA sel penjamu difasilitasi oleh sel yang telah diinfeksi oleh HSV-2
(Lorinz and Reid, 1989; Icom and Widahl, 1996).
4. Akseptor Pil Kontrasepsi
Penggunaan kontrasepsi oral dilaporkan meningkatkan insiden NIS meskipun secara tidak
langsung, diduga mempercepat perkembangan progresivitas lesi. Pendapat ini masih kontroversi sebab
penelitian lain tidak menemukan hubungan yang jelas antara kontrasepsi oral dengan NIS. Beral et al.
tahun 1988, melaporkan suatu studi kohort di mana terjadi peningkatan risiko kanker serviks pada
wanita yang memakai pil kontrasepsi lebih dari 6 tahun dan Brock et al. tahun 1997, melaporkan
terdapat peningkatan risiko kanker serviks 2 kali pada pemakai pil kontrasepsi lebih dari 6 tahun.
Peranan pil kontrasepsi sebagai faktor risiko kanker serviks didasarkan atas (Cox, 1995):
1. Dengan mengaktivasi proses metaplasia, yaitu kontrasepsi oral menginduksi eversi epitel kolumner
sehingga meningkatkan atipia pada beberapa wanita.
2. Kontasepsi oral menurunkan kadar asam folat darah sehingga terjadi perubahan megaloblastik pada sel
epitel serviks.
Hormon tersebut meningkatkan efek ekspresi onkoprotein virus. Beta estradiol dapat meningkatkan
transkripsi E6 HPV-16 dan E7 ORFs sampai delapan kali. Progesteron juga meningkatkan efisiensi
dan frekuensi transformasi sel tikus yang terinfeksi HPV-16. Progesteron dan glukokortikoid dapat
menginduksi ekspresi gen HPV pada serviks. Perubahan epitel serviks terlihat setelah pemakaian pil
kontrasepsi 5 tahun berturut-turut (Roemwerdiniadi, 2002).

5. Merokok
Secara epidemiologi, merokok mempunyai kontribusi dalam perkembangan kanker serviks,
dengan risiko 2 kali dibandingkan dengan yang bukan perokok. Merokok berhubungan dengan
intensifitas dan lama menjadi kofaktor terhadap NIS III. Ada dua postulat yang diajukan:
1. Ditemukan cotinine, nikotine, phenol, hydrocarbon dan tar dengan konsentrasi tinggi pada mukus
serviks wanita perokok, di mana bahan-bahan tersebut adalah karsinogen kimia (Sciffman et al., 1987;
Hellberg et al., 1988).
2. Perokok berhubungan dengan penurunan yang bermakna pada densitas dan fungsi sel Langerhans yang
berperan penting terhadap imunitas seluler. Pada keadaan ini intervensi HPV menyebabkan
perkembangan NIS semakin mudah (Barton et al., 1988).

6. Status Sosial-ekonomi
Status sosial-ekonomi rendah meningkatkan insiden kanker serviks yang berhubungan
dengan status gizi. Status gizi berhubungan dengan daya tahan tubuh terhadap infeksi maupun
kemampuan melawan keganasan. Kiviat et al. tahun 1992, menduga mungkin infeksi HPV genitalia
merupakan penyakit hubungan seksual yang paling umum. Dengan metoda polymerase chain reaction
(PCR) pada kelompok social-ekonomi rendah didapatkan lebih dari 80% wanita normal positif
terinfeksi HPV-16 (Cox, 1995). Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Indonesia
membedakan status sosial-ekonomi berdasarkan tingkat kesejahteraan suatu keluarga menjadi 5
kelompok. Status gizi dan peranan mikronutrien seperti Zink, Cuprum, asam folat juga diduga sebagai
faktor risiko kanker serviks.

7. Pajanan Virus Imuno Defisiensi


Human immunodefisiensi virus (HIV) diduga berhubungan dengan lesi prakanker dan kanker
serviks atas dasar sistem imunitas berperan penting pada proses keganasan yang multi faktorial. Sistem
imunitas yang tertekan merupakan predisposisi infeksi virus onkogenik, apalagi dengan keadaan
mekanisme regulator sel yang sudah terganggu akan mempercepat perkembangan keganasan. Vermund
et al. tahun 1991, mendapatkan insiden NIS meningkat pada kasus HIV. Insiden NIS didapatkan
sebanyak 13% pada HIV sero-negatif, 17% pada HIV positif tanpa AIDS dan 42% pasien HIV positif
dengan AIDS (Woodworth et al., 1990; Wright et al., 1995).

8. Pajanan HPV
Herald Zur Hansen tahun 1970, berpendapat bahwa ada hubungan antara HPV dengan lesi
prakanker. Pendapat ini didasarkan atas penemuan Koss dan Durfee tahun 1956 yang disebut atipia
koilositik (Wright, 1995). Istilah koilositik tersebut digunakan untuk menggambarkan sel epitel
skuamous abnormal yang ditandai oleh vakuolisasi perinuklear yang banyak pada sediaan sitologi
kasus displasia dan kanker serviks. Hingga kini, lebih dari 77 tipe HPV sudah berhasil diidentifikasi
dan HPV tipe onkogenik risiko tinggi dideteksi pada 90-95% lesi prakanker dan kanker serviks
(Wright, 1995). Berbagai penelitian akhir-akhir ini, melaporkan adanya hubungan yang bermakna
secara kliniko-patologis antara HPV dengan lesi intra epitelial skuamosa. Dengan diketahuinya sifat-
sifat virus HPV tipe onkogenik, adanya spektrum morfologi yang berkaitan dengan infeksi HPV sub
klinik dengan lesi intra epitel skuamosa (LIS) serta terdeteksinya HPV pada kanker serviks maka
diduga bahwa pajanan HPV adalah cikal bakal kanker serviks (Meisels et al., 1984, Wright et al.,
1995). Dengan tehnik biomolekuler dilaporkan bahwa HPV tipe onkogenik risiko tinggi didapatkan 90-
95% pada kanker serviks yang invasif (Schiffman et al., 1993).

KESIMPULAN
Kanker serviks merupakan penyakit keganasan pada serviks uterus dan dalam tiga decade tetap
menempatti urutan pertama dan sebagai penyebab kematian utama pada kanker perempuan.
Faktor risiko kanker serviks adalah umur, paritas, hubungan seksual dibawah umur 16 tahun, berganti-
ganti pasangan seksual, merokok 10 batang sigaret per hari, akseptor pil konrasepsi lebih dari 5 tahun,
infeksi virus human defisiensi, infeksi kronis vagina, dan malnutrisi serta beberapa factor lain yang
sluruhnya dikelompokkan ke dalam faktor risiko minor.
Faktor risiko major kanker serviks adalah infeksi human papilloma virus kelompok onkogenk.

DAFTAR RUJUKAN
Agus SL, Rumanouw L. 1982. Beberapa karateristik penderita kanker serviks di RSPAD Gatot
Soebroto tahun 1976-1981. Bagian Obstetri Ginekologi RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.

Arifuddin J,2000. Kanker serviks dan permasalahan registrasi. Majalah Obstetri dan Giekologi
Indonesia edisi sup: 20-25.

Azis F,2001. Masalah kanker serviks dan upaya penanganan. Pertemuan Forum ilmiah penelitian
kanker serviks di Indonesia, Bandung. hal:23-26.

Aziz F,1998.Kanker serviks di RSCM dan penanganannya. Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia
.22:56-60.

Barrasso R. 1998. Human papillomavirus infection in the male. In: Cancer and precancr of the cervix,
Luesley MD, Barrasso R, Lippincott-Raven Publishers, pp. 265-274.

Blomfield PI, Garland S. 1992. Viral infections and cervical neoplasia. In: Cancer And Pre-cancer Of
The Cervix. Luesley DM, Barrasso R. Chapman & Hall Medical, pp.133-152.

Budi SG, Santoso T, Sulin D. 1999. Gambaran kasus ginekologi selama dua tahun (1997-1999) di
RSUD Pekan Baru. Lab/UPF Obstetri dan Ginekolgi FK Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil,
Padang.

Cox JT, 1995. Epidemiology of cervical intraepitelial neoplasm: the role of human papilloma virus.
Bailliere’s clin obstet gynaecol; 9:1-37

Cuzick J. 1998. The role of human papillomavirus testing. In: Cancer and precancr of the cervix,
Luesley MD, Barrasso R, Lippincott-Raven Publishers, pp. 85-100.

Darmaputra IGN, Suwiyoga K. 2001 Kanker serviks uteri di RSUP Denpasar periode 1 Januari 1996-
31 Desember 1998. Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RSUP Denpasar.

Djasarito, Efendi Y, Saleh AZ. 1995. Gambaran dan faktor yang berpengaruh pada kanker leher rahim
di RSU Palembang tahun 1992-1996. Dibacakan pada PIT POGI IX, Surabaya.

Dorphianan, L Syahrul R, Ariffudin HAD. 1999. Karakteristik kanker ginekologi pada beberapa rumah
sakit di Ujung Pandang selama 5 tahun (periode Agustus1994-April 1999). Bagian/SMF Obstetri
Ginekologi FK UNHAS RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Ujung pandang. Dibacakan pada PIT XI
POGI, Semarang:Juli, 1999.

Faizal Y, Azari H, Agustria ZS, Azrol B. 1993. Kanker serviks di RSUP Palembang selama 5 tahun
(1988-1992). Dibacakan pada KOGI IX Jakarta.

Hacker FN. 2000. Cervical Cancer. In: Practical Gynecologic Oncology, Third ed., Berek S J, Hacker
FN, (eds). Lippincott Williams & Wilikins, pp. 345-406.

Hagensee ME, Human PapillomaVirus Vaccine CME. http:/ www. medscape. com/ SCP/IIU/
1999/v12.n01/ u4578.hage/u4578. Hage-01.html

Hickman ES, Davies RC, Vousden KH. 1996. Human papillomaviruses and cancer of the cervix. In :
Molecular Biology for Oncologist Second Edition. Yarnold JR, Stratton MR, McMillan TJ. Chapman
& Hall, pp. 83-91.

Howly PM, Ganem D, Kieff E, 2001. DNA viruses in:Cancer principle & practice of oncology,
Lippincott Williams & Wilkins Philadelphia 161-168.

Hutabarat H, Oei Seng Ham. 1968. Carsinoma serviks uteri di RSUP Medan. Bagian Bagian Ilmu
Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK Universitas Sumatra Utara/RSUP Medan, Medan

Irmansyah F, Indarti J, Sianturi M. 1998. Hubungan antara infeksi HPV dengan kejadian LIS serviks
dan karsinoma. Maj Obstet Ginekol Indones, vol. 22, no 2 : 92-6

Lestadi J. 1990. Angka kejadian lesi prakanker serviks dan infeksi human papilloma virus pada
pemeriksaan sitologi ginekologik (pap smear) di Departemen Patologi Anatomi RSPAD Gatot Subroto
Jakarta. Obstet Ginekol Indones, vol.16 , no. 3 : 165-76.

Lubis AS. 1982. Beberapa karakteristik penderita kanker serviks di RS PAD Gatot Subroto tahun
1976-1981. RS PAD Gatot Subroto. Dibacakan pada PIT Ke II POGI, Batu-Malang, 29-30 Juli.

Lubis M dan Soepardiman HM. 1986. Infeksi human papillomavirus pada lesi prakanker dan kanker
serviks di RS Dr. Cipto Mangunkusumo : Penilaian secara sitologik. Obstet Ginekol Indones, vol.12 ,
no. 3 : 166-73

Mardjikoen HP dan Warsito B. 1983. Deteksi dini kanker ginekologik. Bagian Obstetri dan
Ginekologi FK Universitas Gajah Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Dibacakan pada PIT Ke II
POGI, Batu-Malang, 29-30 Juli.

Middeldorp JM. 2001. Human oncogenic viruses. Presented at 3 rd Course On Immunology : Mucosal
Immunologi, Yogyakarta, May 8-12.

Nasrun,1999. Kanker serviks uteri , suatu pandangan masa depan. Pertemuan Ilmiah Tahunan X POGI
Semarang: 14-17.

Nugroho K, 2000. Penangenan kanker masa depan. Kumpulan kuliah utama Kongres Perkumpulan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia ke XI Denpasar, 34-41.

Pangabean CH, Mewengkang RAA, Rarung M, Sondakii H. Tinjauan kasus leher rahim di RSUP
Manado periode 1 januari 1993 s/d 31 desember 1997, 1999.Bagian / SMF Obsetri dan Ginekologi
RSUP Manado/FK UNSRAT Manado.

Schiffman MH, Bauer HM, Hoover RN, 1993. Epidemiologic evidence showing that human papiloma
virus infection causes most cervical intraepitelial neoplasia. J Nat I Cancer Inst; 85: 958-63

Sindhu IB, Suwiyoga K. 1993. Evaluasi respon terapi radiasi pada kanker servisk di RSUP Denpasar.
Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RSUP Denpasar.
Sjamsudin S, 1998. Kanker serviks di RSCM dan penanganannya. Majalah Obstetri dan Ginekologi
Indonesia .22:56-60.

Soebagijo S, Shidarta S, Sutoto, Soetjondro. 1975. Hasil external radiation pada carsinoma cervisitis
uteri. (laporan sementara). Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Undip/RS Dr. Kariadi, Semarang.

Soerohardjo M, Sukardono B, Warsito B. 1975. Carsinoma serviks uteri. Bagian Obstetri dan
Ginekologi FK UGM/RS Mangkuyudan, Yogyakarta.

Sudirtayasa W, Dasuki D, Warsito D. 1999. Harapan hidup penderita adenokarsinoma serviks uteri :
analisis faktor prognostik. Bagian Obstetri Ginekologi FK UGM-RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Tesis.

Susanto H, Peters AAW. 1997. Epidemiological study on cervical cancer patient admited to Dr. Hasan
Sadikin Hospital in Bandung, Indonesia, with emphasis on HPP-DNA typing. Dept. of Obstetrics and
Gynaecology Padjajaran University Faculti of Medicine, Bandung.

Sutoto,1982. Karsinoma serviks uterus di RS Dr. Karyadi Semarang.Kumpulan naskah lengkap KOGI
IV : 124-126.

Suwiyoga K,1987. Kanker serviks di RSUP Sanglah Denpasar. Pertemuan Ilmiah Tahunan POGI ke
VII Medan : 134-137.

Suwiyoga K,1998. Profil kanker serviks di RS Sanglah Denpasar. Majalah Obstetri dan Ginekologi
Indonesia edisi sup: 234-235.

Suwiyoga K,2000. Kanker serviks ,evaluasi faktor risiko klinis. Majalah Obstetri dan Giekologi
Indonesia edisi sup: 29-32.

Thaw J,1982. Profil kanker serviks uteri di RSPAD Bandung.Kumpulan naskah lengkap KOGI IV :
124-126.

Wartiman M, Susanto H, Haryanto Y. 1999. Tinjauan epidemiologi penderita kanker serviks di enam
belas rumah sakit pemerintah di Jawa Barat periode Januari-Desember 1998. Bagian/SMF Obstetri dan
Ginekologi FK Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

Wright TC, Kurman RJ, Ferenczy A. Precancerous lessions of the cervix. In: Kurman RJ, ed.
Blaustein’s pathology of the female genital tract, 4th ed. Berlin : Pringer-Verlag, 1995; 229-61.

KANKER SERVIKS:
KAJIAN FAKTOR RISIKO

Oleh: I Ketut Suwiyoga


Sub Lab Gineko-onkologi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana
Denpasar

Abstrak
Kanker serviks adalah penyakit keganasan pada serviks uterus dan merupakan kanker tersering serta
penyebab kematian terbanyak pada kanker perempuan di Indonesia. Kejadian kanker serviks terus
meningkat. Faktor risikonya adalah umur, paritas, aktivitas seksual usia dini, merokok, status sosial-
ekonomi, infeksi virus imunodefisiensi, akseptor pil kontrasepsi, mikronutrien, dan infeksi human
papilloma virus. Infeksi human papilloma virus tipe onkogenik merupakan faktor risiko mayor.
Kata kunci: kanker serviks, faktor risiko.

Abstract
The cervical cancer is the uterine cervix malignancy and the most prevalence and mortality cause on
female cancer in Indonesia. The prevalnes of cervical cancer increase for last three dacades. The risk
factors are age, parity, early sexual intercourse activity, contraception pill, smook, social economic
state, immuno deficiency , micronutrient, other genital infection, and human papilloma virus. Human
papilloma virus infection is the major risk factor.
Key words: cervical cancer, risk factors.

Batasan
Kanker serviks adalah penyakit keganasan pada serviks uterus yang dapat berasal dari sel epitel,
fibroblast, pembuluh darah, limfe, dan campuran. Hampir 95,5% kanker serviks yang berasal dari jenis
epitelial.

Prevalensi
Insiden kanker di dunia diperkirakan enam juta per tahun dan insidennya terus meningkat dari
2,7‰ pada tahun 1972, 3,0‰ pada tahun 1989, dan 4,1‰ pada tahun 1998. Diperkirakan bahwa
terdapat 6¼ juta kematian akibat kanker pertahun dan dalam waktu 10 tahun mendatang kematian
akibat kanker mencapai 9,0 juta per tahun di mana dua pertiganya berada di negara sedang
berkembang. Sebagian besar kanker tersebut adalah kanker serviks, disusul oleh kanker payudara,
kanker kolon, dan kanker hati (WHO, 2000). Di Indonesia diperkirakan insiden kanker mencapai
1/100.000 penduduk dan kanker serviks merupakan keganasan yang paling sering serta sebagai
penyebab kematian terbesar yang berhubungan dengan kanker pada perempuan. Diperkirakan terdapat
 100.000 kasus kanker serviks baru setiap tahun (Roemwerdiadi, 1997). Laporan dari berbagai
rumahsakit pendidikan di Indonesia menyatakan bahwa prevalensi kanker serviks berkisar antara 0,5-
0,8% dari seluruh kasus Obstetri dan Ginekologi (Aziz, 1998; Nugroho, 2000). Data histopatologi
Yayasan Kanker Indonesia tahun 1990 menyatakan bahwa kanker serviks menduduki urutan pertama
diantara berbagai keganasan di Indonesia. (Sjamsudin dkk.,1985) dan relatif stabil dalam tiga dasa
warsa (Sjamsudin, 1998; Laila, 2000). Prevalensi kanker serviks di rumahsakit Cipto Mangunkusumo
antara tahun 1978-1982 adalah 73,0% dari kasus keganasan ginekologi (Harahap, 1983), di Manado
tahun 1993-1997 adalah 68,58% (Pangabean dkk., 1999), di rumahsakit Pekanbaru adalah 70,1-85,4%
(Budi dkk., 1999; Gunawan dkk., 1999), rumahsakit Dr. Kariadi Semarang adalah 67,8% (Hadiyanto
dkk., 1983), di rumahsakit Gatot Subroto tahun 1976-1981 adalah 60,1% (Lubis, 1982), dan di
rumahsakit Dr.Sardjito Yogyakarta adalah 69,8% (Mardjikoen dkk., 1983). Di rumahsakit Sanglah
Denpasar kanker serviks menempati urutan pertama dari keganasan ginekologi yaitu 73,36% disusul
oleh karsinoma ovarium (10,28%), penyakit trofoblastik gestasional ganas (9,35%), dan kanker korpus
uterus (4,21%) (Suwiyoga dan Dharmaputra, 1999).
Sebagian besar yaitu 90-95% kasus kanker serviks terdiagnosis pada stadium invasif (Nugroho, 2000)
dengan harapan hidup satu tahun sebesar ± 65%, dua tahun sebesar ± 40%, dan tiga tahun ± 23%
(Tobing, 1990; Sudirtayasa dkk., 1999). Diagnosis kanker serviks terlambat dibuat sehingga
penanganannya tidak optimal dengan harapan hidup yang rendah (Parkin et al., 1985; Bishop et al.,
1995). Dengan kemampuan, ketersediaan sarana dan penanganan memadai maka prognosis tingkat
harapan hidup 5 tahun untuk stadium 0 sebesar 90-100%, stadium I sebesar 75-80%, stadium II sebesar
45-50%, stadium III sebesar 15-25%, dan stadium IV sebesar 0-5,0% (Lusley et al., 1998; Kenneth,
2000).

Histologi Serviks
Permu
kaan serviks
terdiri atas dua
macam epitel
yaitu epitel
kolumner dan
epitel skuamosa
dan antara
epitel dengan
stroma dibatasi
oleh membran
basalis
(Kenneth,
2000). Epitel
kolumner
menutupi
endoserviks
pada kanalis
serviks.
Kelenjar
endoserviks
yang terdapat
di bawahnya
adalah lipatan epitel atau kripte yang masuk ke dalam stroma dan bukan kelenjar asli. Epitel ini terdiri
atas dua macam sel yaitu sel tidak bersilia yang memproduksi lendir/mukus dan berfungsi membasahi
kanalis servikalis dan sel yang bersilia yang berfungsi membersihkan lendir. Epitel skuamosa menutupi
ektoserviks, terdiri atas empat lapis sel yaitu: 1) Lapisan yang paling dalam adalah lapisan basal atau
lapisan germinal yang berfungsi untuk regenerasi sel. Lapisan ini tersusun dari satu atau dua lapis sel
yang berbentuk lonjong dan berdiri tegak lurus terhadap membrana basal. 2) Lapisan kedua adalah
parabasal yang berfungsi untuk pertumbuhan sel. 3) Lapisan ketiga adalah lapisan intermedier yang
berfungsi untuk pematangan sel di mana sitoplasma dan glikogen semakin banyak sedangkan inti sel
tetap. 4) Paling luar adalah lapisan superfisial yaitu sel-sel pipih yang matang dengan inti piknotik agak
meninggi di tengah dan sitoplasma banyak (Reid et al., 1989). Pertemuan antara sel epitel skuamosa
ektoserviks dengan sel epitel kolumner endoserviks membentuk sambungan skuamo kolumner (SSK)
atau squamo-. columnar junction. Secara morfogenetik SSK dibedakan atas dua yaitu: 1) SSK
anatomis adalah pertemuan antara epitel skuamosa dengan epitel kolumner dan 2) SSK fungsional
adalah pertemuan antara epitel kolumner dengan epitel skuamosa metaplastik di daerah transformasi
(Cox, 1995; Icom et al., 1996). Posisi SSK berubah tergantung dari volume serviks. Estrogen dan
progesteron dapat menyebabkan perlunakan serviks dengan penimbunan air dan perubahan struktur
kolagen sehingga volume serviks meningkat dan protrusi kanalis servikalis sehingga SSK tampak
menonjol keluar. Epitel kolumner yang menonjol ini tampak sebagai daerah merah dan mengelilingi
orifisium uteri eksternum yang disebut ektropion atau ektopia atau erosi porsio uterus atau erosi
servikal (Harahap, 1983) dan oleh Herbeck disebut eritroplakia (Koutsky et al., 1992). Eversio serviks
terjadi pada saat kadar hormonal tinggi yaitu pada saat ovulasi dan pada saat hamil. Sedangkan retraksi
daerah transformasi kanalis servikalis terjadi pada saat hubungan seks, rangsangan pada leher rahim,
peningkatan aktifitas otot rahim dan panggul, pelepasan oksitosin, dan pada saat orgasmus di mana
terjadi pelepasan prostragladin. Hatch menyatakan lokasi SKK pada saat kehidupan neonatus adalah
pada ektoserviks, lokasi selanjutnya jarang menetap pada osteum uteri eksternum dan berubah-ubah
dipengaruhi rangsangan hormonal (Wright et al., 1995; Icom et al., 1996). Derajat keasaman (pH)
vagina dapat merubah epitel permukaan serviks. Derajat keasaman vagina yang rendah dapat merubah
epitel kolumner asli menjadi skuamosa yang disebut metaplasia. Perubahan tersebut dimulai dari tepi
luar epitel kolumner, berlanjut kearah kanalis serviks, dilakukan oleh sel-sel cadangan dan merupakan
hal normal (Harahap, 1993; Parkin et al., 1993). Dengan demikian batas antara epitel skuamosa
metaplastik dengan epitel kolumner menjadi sambungan skuamo-kolumner yang baru, sedangkan
sambungan skuamosa-kolumner yang lama menjadi sambungan skuamosa-skuamosa dan daerah di
mana terjadi metaplasia itu disebut daerah transformasi atau transisi (Wright, 1995) seperti pada
gambar 2.1.
Histopatogenesis Kanker Serviks
Pada proses metaplasia skuamosa dibedakan atas 2 fase, yaitu:
1. Fase aktif atau fase dinamik yang terdiri dari tiga tahap.
Tahap pertama, tampak sel cadangan sub kolumner menjadi beberapa lapis, belum berdiferensiasi
biasanya dimulai dari puncak vili.
Tahap kedua, tampak pembentukan beberapa lapis sel yang belum berdiferensiasi meluas ke
bawah dan ke samping vili sehingga menjadi satu.
Tahap ketiga, terlihat penyatuan beberapa vili menjadi lengkap sehingga didapatkan daerah
yang licin.
2. Fase pematangan atau maturasi, terjadi setelah fase dinamik tahap ketiga lengkap, sel- sel
mengalami pematangan sehingga terbentuk epitel skuamosa metaplastik.
Jika terdapat mutagen pada serviks seperti sperma, virus papova, atau bahan lain yang mengandung
DNA mutagenik pada saat fase aktif atau fase awal dari metaplasia, maka sel-sel metaplastik dapat
berubah menjadi sel yang berpotensi ganas, dengan demikian dapat terjadi displasia. Displasia dimulai
dari bentuk ringan, sedang, dan berat, selanjutnya dapat berkembang menjadi kanker invasif jika daya
tahan tubuh tidak mampu mengatasi sel-sel tersebut (Reid, 1994; Hempling, 1996).

FAKTOR RISIKO
Secara epidemiologi dilaporkan beberapa faktor dapat meningkatkan insiden kanker serviks
adalah umur, paritas, jumlah pasangan seksual, aktifitas seksual usia dini, merokok, kontrasepsi oral,
dan sosial ekonomi rendah (Cox, 1995). Hempling tahun 1996, memasukkan infeksi HPV dan suami
yang mempunyai banyak pasangan seksual sebagai faktor risiko kanker serviks.
 Early sexual activity(before age 17)
 Multiple sexualpartners
 Make sexual partnerhas multiple partners
 Human papilloma virusinfection of the cervix
 Smoking
 Humanimmunodeficiency virus

Tabel 1. Faktor risiko kanker serviks (Hempling, 1998)

1. Umur
Pada dekade 70-an dilaporkan bahwa umur merupakan faktor risiko kanker serviks. Data dari
beberapa rumahsakit pusat pendidikan menyatakan bahwa umur pasien kanker serviks terbanyak
adalah 55-58 tahun (Nugroho, 2000). Penelitian lain di rumahsakit Hasan Sadikin Bandung
mendapatkan umur terbanyak adalah 59-62 tahun (Theuw, 1982), rumahsakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta 57-62 tahun (Azis, 1980), rumahsakit Kariadi Semarang 57- 61 tahun (Sutoto, 1980), dan
rumahsakit Soetomo Surabaya 57-61 tahun (Nasrun, 1979). Pada dekade 80-an laporan faktor risiko
kanker serviks umur 47-58 tahun (Nugroho, 2000). Laporan penelitian lain di rumahsakit Hasan
Sadikin Bandung mendapatkan umur terbanyak 48-59 tahun (Herman, 1982), rumahsakit Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta 51-55 tahun (Azis,1989), rumahsakit Dr. Kariadi Semarang 53-57 tahun
(Adiyono, 1987), dan rumahsakit Dr. Soetomo Surabaya 53-57 tahun (Nasrun, 1987). Pada dekade 90-
an umur kasus kanker serviks terbanyak antara 43-47 tahun seperti yang dilporkan oleh rumahsakit Dr.
Hasan Sadikin Bandung mendapatkan umur terbanyak 45-59 tahun (Herman, 1998), rumahsakit Dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta 43-45 tahun (Sjamsudin, 1998), rumahsakit Dr.Kariadi Semarang 42-52
tahun (Adiyono, 1990), rumahsakit Dr. Soetomo Surabaya 45-49 tahun (Pujo, 1999), rumahsakit Dr.
Pirngadi Medan 45-53 tahun (Harahap, 1998), rumahsakit Labuan Baji Ujung pandang 45-56 tahun
(Arifuddin, 1998), dan rumahsakit Sanglah Denpasar 41-48 (Darmaputra dan Suwiyoga, 2000).

2. Paritas
Paritas meningkatkan insiden kanker serviks, lebih banyak merupakan refleksi dari aktifitas
seksual dan saat mulai kontak seks pertama kali dari pada akibat trauma persalinan. Brinton et al.
1993, menyatakan bahwa paritas hanya menyebabkan perubahan NIS yang tidak tergantung HPV.
Sementara peneliti lain Bosch et al. tahun 1992, melaporkan bahwa umur pada kehamilan pertama
lebih berperan dibandingkan dengan jumlah persalinan, tetapi bagaimana pun jumlah persalinan juga
merupakan faktor prognostik. Pada wanita dengan paritas 6 atau lebih mempunyai risiko untuk menjadi
kanker serviks 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita dengan paritas tiga atau kurang. Eversi
epitel kolumner selama kehamilan menyebabkan dinamika baru epitel metaplastik imatur sehingga
meningkatkan risiko transformasi sel. Schneider et al. tahun 1989, membuktikan dengan suatu studi
kohort bahwa infeksi HPV lebih mudah ditemukan pada wanita hamil dibandingkan yang tidak hamil.
Purtilo et al. tahun 1972, melaporkan terjadinya penurunan kekebalan seluler pada wanita hamil. Mital
et al. tahun 1993, membuktikan bahwa pada kehamilan progesteron dapat menginduksi onkogen HPV
menjadi stabil sehingga terjadi integrasi DNA virus ke dalam genom penjamu dan menurunnya
kekebalan mukosa zona transformasi. Hal ini dapat menjelaskan peningkatan risiko neoplasia serviks
pada paritas yang semakin tinggi (Cox, 1995).

3. Aktifitas Seksual Dini


Berbagai penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara lesi prakanker dan
kanker serviks dengan aktifitas seksual usia dini, khususnya sebelum umur 16 tahun. Faktor risiko ini
dihubungkan dengan karsinogen pada zona transformasi yang sedang berkembang dan paling
berbahaya apabila terpajan HPV dalam 5-10 tahun setelah menars (Wright et al., 1995). Jumlah
pasangan seksual menimbulkan konsep pria berisiko tinggi sebagai vektor yang dapat menimbulkan
infeksi dan hubungan antara lesi prakanker dan kanker serviks dengan penyakit hubungan seksual
(PHS) secara epidemiologis terbukti. Satu dekade terakhir perhatian difokuskan pada HPV sebagai
agen etiologi primer patogenesis lesi prakanker serviks (Wright et al., 1995; Icom et al., 1996). Tahun
1983, Galloway dan Mac Dougall mengemukakan hipotesis a hit and run untuk menjelaskan
mekanisme transformasi sel tanpa selalu ditemukan keberadaan HSV-2. Diduga virus ini bekerja secara
sinergis sebagai inisiator atau promotor pada saat HPV mengadakan transformasi seluler. Integrasi
antara DNA-HPV dengan DNA sel penjamu difasilitasi oleh sel yang telah diinfeksi oleh HSV-2
(Lorinz and Reid, 1989; Icom and Widahl, 1996).
4. Akseptor Pil Kontrasepsi
Penggunaan kontrasepsi oral dilaporkan meningkatkan insiden NIS meskipun secara tidak
langsung, diduga mempercepat perkembangan progresivitas lesi. Pendapat ini masih kontroversi sebab
penelitian lain tidak menemukan hubungan yang jelas antara kontrasepsi oral dengan NIS. Beral et al.
tahun 1988, melaporkan suatu studi kohort di mana terjadi peningkatan risiko kanker serviks pada
wanita yang memakai pil kontrasepsi lebih dari 6 tahun dan Brock et al. tahun 1997, melaporkan
terdapat peningkatan risiko kanker serviks 2 kali pada pemakai pil kontrasepsi lebih dari 6 tahun.
Peranan pil kontrasepsi sebagai faktor risiko kanker serviks didasarkan atas (Cox, 1995):
1. Dengan mengaktivasi proses metaplasia, yaitu kontrasepsi oral menginduksi eversi epitel kolumner
sehingga meningkatkan atipia pada beberapa wanita.
2. Kontasepsi oral menurunkan kadar asam folat darah sehingga terjadi perubahan megaloblastik pada sel
epitel serviks.
Hormon tersebut meningkatkan efek ekspresi onkoprotein virus. Beta estradiol dapat meningkatkan
transkripsi E6 HPV-16 dan E7 ORFs sampai delapan kali. Progesteron juga meningkatkan efisiensi
dan frekuensi transformasi sel tikus yang terinfeksi HPV-16. Progesteron dan glukokortikoid dapat
menginduksi ekspresi gen HPV pada serviks. Perubahan epitel serviks terlihat setelah pemakaian pil
kontrasepsi 5 tahun berturut-turut (Roemwerdiniadi, 2002).

5. Merokok
Secara epidemiologi, merokok mempunyai kontribusi dalam perkembangan kanker serviks,
dengan risiko 2 kali dibandingkan dengan yang bukan perokok. Merokok berhubungan dengan
intensifitas dan lama menjadi kofaktor terhadap NIS III. Ada dua postulat yang diajukan:
1. Ditemukan cotinine, nikotine, phenol, hydrocarbon dan tar dengan konsentrasi tinggi pada mukus
serviks wanita perokok, di mana bahan-bahan tersebut adalah karsinogen kimia (Sciffman et al., 1987;
Hellberg et al., 1988).
2. Perokok berhubungan dengan penurunan yang bermakna pada densitas dan fungsi sel Langerhans yang
berperan penting terhadap imunitas seluler. Pada keadaan ini intervensi HPV menyebabkan
perkembangan NIS semakin mudah (Barton et al., 1988).

6. Status Sosial-ekonomi
Status sosial-ekonomi rendah meningkatkan insiden kanker serviks yang berhubungan
dengan status gizi. Status gizi berhubungan dengan daya tahan tubuh terhadap infeksi maupun
kemampuan melawan keganasan. Kiviat et al. tahun 1992, menduga mungkin infeksi HPV genitalia
merupakan penyakit hubungan seksual yang paling umum. Dengan metoda polymerase chain reaction
(PCR) pada kelompok social-ekonomi rendah didapatkan lebih dari 80% wanita normal positif
terinfeksi HPV-16 (Cox, 1995). Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Indonesia
membedakan status sosial-ekonomi berdasarkan tingkat kesejahteraan suatu keluarga menjadi 5
kelompok. Status gizi dan peranan mikronutrien seperti Zink, Cuprum, asam folat juga diduga sebagai
faktor risiko kanker serviks.

7. Pajanan Virus Imuno Defisiensi


Human immunodefisiensi virus (HIV) diduga berhubungan dengan lesi prakanker dan kanker
serviks atas dasar sistem imunitas berperan penting pada proses keganasan yang multi faktorial. Sistem
imunitas yang tertekan merupakan predisposisi infeksi virus onkogenik, apalagi dengan keadaan
mekanisme regulator sel yang sudah terganggu akan mempercepat perkembangan keganasan. Vermund
et al. tahun 1991, mendapatkan insiden NIS meningkat pada kasus HIV. Insiden NIS didapatkan
sebanyak 13% pada HIV sero-negatif, 17% pada HIV positif tanpa AIDS dan 42% pasien HIV positif
dengan AIDS (Woodworth et al., 1990; Wright et al., 1995).

8. Pajanan HPV
Herald Zur Hansen tahun 1970, berpendapat bahwa ada hubungan antara HPV dengan lesi
prakanker. Pendapat ini didasarkan atas penemuan Koss dan Durfee tahun 1956 yang disebut atipia
koilositik (Wright, 1995). Istilah koilositik tersebut digunakan untuk menggambarkan sel epitel
skuamous abnormal yang ditandai oleh vakuolisasi perinuklear yang banyak pada sediaan sitologi
kasus displasia dan kanker serviks. Hingga kini, lebih dari 77 tipe HPV sudah berhasil diidentifikasi
dan HPV tipe onkogenik risiko tinggi dideteksi pada 90-95% lesi prakanker dan kanker serviks
(Wright, 1995). Berbagai penelitian akhir-akhir ini, melaporkan adanya hubungan yang bermakna
secara kliniko-patologis antara HPV dengan lesi intra epitelial skuamosa. Dengan diketahuinya sifat-
sifat virus HPV tipe onkogenik, adanya spektrum morfologi yang berkaitan dengan infeksi HPV sub
klinik dengan lesi intra epitel skuamosa (LIS) serta terdeteksinya HPV pada kanker serviks maka
diduga bahwa pajanan HPV adalah cikal bakal kanker serviks (Meisels et al., 1984, Wright et al.,
1995). Dengan tehnik biomolekuler dilaporkan bahwa HPV tipe onkogenik risiko tinggi didapatkan 90-
95% pada kanker serviks yang invasif (Schiffman et al., 1993).

KESIMPULAN
Kanker serviks merupakan penyakit keganasan pada serviks uterus dan dalam tiga decade tetap
menempatti urutan pertama dan sebagai penyebab kematian utama pada kanker perempuan.
Faktor risiko kanker serviks adalah umur, paritas, hubungan seksual dibawah umur 16 tahun, berganti-
ganti pasangan seksual, merokok 10 batang sigaret per hari, akseptor pil konrasepsi lebih dari 5 tahun,
infeksi virus human defisiensi, infeksi kronis vagina, dan malnutrisi serta beberapa factor lain yang
sluruhnya dikelompokkan ke dalam faktor risiko minor.
Faktor risiko major kanker serviks adalah infeksi human papilloma virus kelompok onkogenk.

DAFTAR RUJUKAN
Agus SL, Rumanouw L. 1982. Beberapa karateristik penderita kanker serviks di RSPAD Gatot
Soebroto tahun 1976-1981. Bagian Obstetri Ginekologi RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.

Arifuddin J,2000. Kanker serviks dan permasalahan registrasi. Majalah Obstetri dan Giekologi
Indonesia edisi sup: 20-25.

Azis F,2001. Masalah kanker serviks dan upaya penanganan. Pertemuan Forum ilmiah penelitian
kanker serviks di Indonesia, Bandung. hal:23-26.

Aziz F,1998.Kanker serviks di RSCM dan penanganannya. Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia
.22:56-60.
Barrasso R. 1998. Human papillomavirus infection in the male. In: Cancer and precancr of the cervix,
Luesley MD, Barrasso R, Lippincott-Raven Publishers, pp. 265-274.

Blomfield PI, Garland S. 1992. Viral infections and cervical neoplasia. In: Cancer And Pre-cancer Of
The Cervix. Luesley DM, Barrasso R. Chapman & Hall Medical, pp.133-152.

Budi SG, Santoso T, Sulin D. 1999. Gambaran kasus ginekologi selama dua tahun (1997-1999) di
RSUD Pekan Baru. Lab/UPF Obstetri dan Ginekolgi FK Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil,
Padang.

Cox JT, 1995. Epidemiology of cervical intraepitelial neoplasm: the role of human papilloma virus.
Bailliere’s clin obstet gynaecol; 9:1-37

Cuzick J. 1998. The role of human papillomavirus testing. In: Cancer and precancr of the cervix,
Luesley MD, Barrasso R, Lippincott-Raven Publishers, pp. 85-100.

Darmaputra IGN, Suwiyoga K. 2001 Kanker serviks uteri di RSUP Denpasar periode 1 Januari 1996-
31 Desember 1998. Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RSUP Denpasar.

Djasarito, Efendi Y, Saleh AZ. 1995. Gambaran dan faktor yang berpengaruh pada kanker leher rahim
di RSU Palembang tahun 1992-1996. Dibacakan pada PIT POGI IX, Surabaya.

Dorphianan, L Syahrul R, Ariffudin HAD. 1999. Karakteristik kanker ginekologi pada beberapa rumah
sakit di Ujung Pandang selama 5 tahun (periode Agustus1994-April 1999). Bagian/SMF Obstetri
Ginekologi FK UNHAS RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Ujung pandang. Dibacakan pada PIT XI
POGI, Semarang:Juli, 1999.

Faizal Y, Azari H, Agustria ZS, Azrol B. 1993. Kanker serviks di RSUP Palembang selama 5 tahun
(1988-1992). Dibacakan pada KOGI IX Jakarta.

Hacker FN. 2000. Cervical Cancer. In: Practical Gynecologic Oncology, Third ed., Berek S J, Hacker
FN, (eds). Lippincott Williams & Wilikins, pp. 345-406.

Hagensee ME, Human PapillomaVirus Vaccine CME. http:/ www. medscape. com/ SCP/IIU/
1999/v12.n01/ u4578.hage/u4578. Hage-01.html

Hickman ES, Davies RC, Vousden KH. 1996. Human papillomaviruses and cancer of the cervix. In :
Molecular Biology for Oncologist Second Edition. Yarnold JR, Stratton MR, McMillan TJ. Chapman
& Hall, pp. 83-91.

Howly PM, Ganem D, Kieff E, 2001. DNA viruses in:Cancer principle & practice of oncology,
Lippincott Williams & Wilkins Philadelphia 161-168.

Hutabarat H, Oei Seng Ham. 1968. Carsinoma serviks uteri di RSUP Medan. Bagian Bagian Ilmu
Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK Universitas Sumatra Utara/RSUP Medan, Medan

Irmansyah F, Indarti J, Sianturi M. 1998. Hubungan antara infeksi HPV dengan kejadian LIS serviks
dan karsinoma. Maj Obstet Ginekol Indones, vol. 22, no 2 : 92-6

Lestadi J. 1990. Angka kejadian lesi prakanker serviks dan infeksi human papilloma virus pada
pemeriksaan sitologi ginekologik (pap smear) di Departemen Patologi Anatomi RSPAD Gatot Subroto
Jakarta. Obstet Ginekol Indones, vol.16 , no. 3 : 165-76.

Lubis AS. 1982. Beberapa karakteristik penderita kanker serviks di RS PAD Gatot Subroto tahun
1976-1981. RS PAD Gatot Subroto. Dibacakan pada PIT Ke II POGI, Batu-Malang, 29-30 Juli.

Lubis M dan Soepardiman HM. 1986. Infeksi human papillomavirus pada lesi prakanker dan kanker
serviks di RS Dr. Cipto Mangunkusumo : Penilaian secara sitologik. Obstet Ginekol Indones, vol.12 ,
no. 3 : 166-73
Mardjikoen HP dan Warsito B. 1983. Deteksi dini kanker ginekologik. Bagian Obstetri dan
Ginekologi FK Universitas Gajah Mada/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Dibacakan pada PIT Ke II
POGI, Batu-Malang, 29-30 Juli.

Middeldorp JM. 2001. Human oncogenic viruses. Presented at 3 rd Course On Immunology : Mucosal
Immunologi, Yogyakarta, May 8-12.

Nasrun,1999. Kanker serviks uteri , suatu pandangan masa depan. Pertemuan Ilmiah Tahunan X POGI
Semarang: 14-17.

Nugroho K, 2000. Penangenan kanker masa depan. Kumpulan kuliah utama Kongres Perkumpulan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia ke XI Denpasar, 34-41.

Pangabean CH, Mewengkang RAA, Rarung M, Sondakii H. Tinjauan kasus leher rahim di RSUP
Manado periode 1 januari 1993 s/d 31 desember 1997, 1999.Bagian / SMF Obsetri dan Ginekologi
RSUP Manado/FK UNSRAT Manado.

Schiffman MH, Bauer HM, Hoover RN, 1993. Epidemiologic evidence showing that human papiloma
virus infection causes most cervical intraepitelial neoplasia. J Nat I Cancer Inst; 85: 958-63

Sindhu IB, Suwiyoga K. 1993. Evaluasi respon terapi radiasi pada kanker servisk di RSUP Denpasar.
Lab/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RSUP Denpasar.

Sjamsudin S, 1998. Kanker serviks di RSCM dan penanganannya. Majalah Obstetri dan Ginekologi
Indonesia .22:56-60.

Soebagijo S, Shidarta S, Sutoto, Soetjondro. 1975. Hasil external radiation pada carsinoma cervisitis
uteri. (laporan sementara). Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Undip/RS Dr. Kariadi, Semarang.

Soerohardjo M, Sukardono B, Warsito B. 1975. Carsinoma serviks uteri. Bagian Obstetri dan
Ginekologi FK UGM/RS Mangkuyudan, Yogyakarta.

Sudirtayasa W, Dasuki D, Warsito D. 1999. Harapan hidup penderita adenokarsinoma serviks uteri :
analisis faktor prognostik. Bagian Obstetri Ginekologi FK UGM-RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Tesis.

Susanto H, Peters AAW. 1997. Epidemiological study on cervical cancer patient admited to Dr. Hasan
Sadikin Hospital in Bandung, Indonesia, with emphasis on HPP-DNA typing. Dept. of Obstetrics and
Gynaecology Padjajaran University Faculti of Medicine, Bandung.

Sutoto,1982. Karsinoma serviks uterus di RS Dr. Karyadi Semarang.Kumpulan naskah lengkap KOGI
IV : 124-126.

Suwiyoga K,1987. Kanker serviks di RSUP Sanglah Denpasar. Pertemuan Ilmiah Tahunan POGI ke
VII Medan : 134-137.

Suwiyoga K,1998. Profil kanker serviks di RS Sanglah Denpasar. Majalah Obstetri dan Ginekologi
Indonesia edisi sup: 234-235.

Suwiyoga K,2000. Kanker serviks ,evaluasi faktor risiko klinis. Majalah Obstetri dan Giekologi
Indonesia edisi sup: 29-32.

Thaw J,1982. Profil kanker serviks uteri di RSPAD Bandung.Kumpulan naskah lengkap KOGI IV :
124-126.

Wartiman M, Susanto H, Haryanto Y. 1999. Tinjauan epidemiologi penderita kanker serviks di enam
belas rumah sakit pemerintah di Jawa Barat periode Januari-Desember 1998. Bagian/SMF Obstetri dan
Ginekologi FK Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
Wright TC, Kurman RJ, Ferenczy A. Precancerous lessions of the cervix. In: Kurman RJ, ed.
Blaustein’s pathology of the female genital tract, 4th ed. Berlin : Pringer-Verlag, 1995; 229-61.

Anda mungkin juga menyukai