Anda di halaman 1dari 86

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kasus luka bakar merupakan kasus yang sering terjadi dalam beberapa

tahun terakhir. Penyebab dari luka bakar bermacam-macam bisa berupa api,

cairan panas, uap panas bahkan bahan kimia, aliran listrik dan lain-lain (Efendi,

1999). Berdasarkan data di rumah sakit anak di Inggris rata-rata terdapat sekitar

50.000 pasien luka bakar pertahunnya dan 6400 diantaranya mendapatkan

perawatan khusus di bagian unit luka bakar. Data di Indonesia tepatnya di rumah

sakit Pertamina Jakarta pada lima tahun terakhir ini menerima 33 sampai 53

penderita luka bakar derajat II dan III atau (rata-rata 40 penderita/tahunnya). Dari

data tersebut yang masuk kategori derajat III sekitar 21% dan yang paling

banyak adalah luka bakar derajat II yaitu 79% (Poerwanto, 2008). Luka bakar

derajat II merupakan luka bakar yang mengalami kerusakan (destruksi)

epidermis, lapisan atas dermis atau bagian dermis yang lebih dalam (Brunner &

Suddart, 2002). Luka bakar akan sembuh dalam waktu dua minggu dengan

pengobatan secara topikal (dioleskan dikulit) (Poerwanto, 2008).

Proses penyembuhan luka bakar mencangkup 4 (empat) fase, yaitu fase

inflamasi, destruktif, proliferasi dan maturasi. Fase inflamasi merupakan fase

alami yang harus dilewati. Proses inflamasi yang terjadi berkepanjangan dapat

mengganggu tahap penyembuhan luka selanjutnya, sehingga penyembuhan luka

dapat terjadi lebih lama. Pemberian antiinflamasi mempunyai pengaruh terhadap

fase inflamasi. Fase inflamasi yang lebih cepat penting untuk proses

penyembuhan luka selanjutnya, sehingga penyembuhan luka dapat lebih awal

pula terjadi (Morison, 2004). Gambaran makroskopik pada fase inflamasi adalah

1
2

kemerahan (rubor/eritema), panas (kalor), nyeri (dolor), bengkak (tumor), dan

perubahan fungsi (fungsiolesa) (Wilson, 2002).

Menurut Luckman & Sorensen dalam Azzam (2008), terapi luka bakar

yang digunakan dibeberapa pusat pelayanan kesehatan selama ini adalah

menggunakan bahan-bahan kimia seperti salep antibiotik: silver sulfadiazine 1%,

larutan mafenide acetat 5% dan silver nitrat yang diberikan sampai terjadi

epitelisasi. Penggunaan salep antibiotik topikal kimia memiliki kerugian seperti

rasa nyeri, pruritus, ruam pada kulit dan kolonisasi jamur. Selain penggunaan

salep antibiotik perawatan yang biasa digunakan di rumah sakit untuk perawatan

luka dan debridement adalah menggunakan normal saline 0.9% (Suriadi, 2004).

Melihat efek samping dari penggunaan obat-obatan seperti salep antibiotik

tersebut diatas perlu dikembangkan atau digali kembali pengobatan dari bahan-

bahan alami sebagai alternatif terhadap pengobatan dan penyembuhan luka

mengingat jaringan nekrosis merupakan focus reaksi inflamasi lokal yang dapat

berkembang menjadi respon inflamasi sistemik.

Jintan hitam (Nigella Sativa) merupakan salah satu tanaman obat yang

telah digunakan selama lebih dari 2000 tahun untuk mengatasi berbagai

penyakit. Penelitian menujukkan bahwa ekstrak jintan hitam berfungsi sebagai

antiinflamasi yaitu pada senyawa aktif Thimoquinone (Arifiyah, 2007). Menurut

Houghton, et al., dalam Hendrik (2007), menyatakan bahwa kandungan dari

nigellon (Nigella), yaitu suatu polimer karbonil dari thimoquinone dapat berfungsi

sebagai fasilitas antiinflamasi dengan menghambat aktifitas jalur

Cyclooxygenase (COX) dan Lipooxygenase (5-LOX) dari metabolisme

arakhidonat.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti

pengaruh pemberian ekstrak jintan hitam secara topikal terhadap lamanya fase

inflamasi pada luka bakar derajat II.


3

Menurut Kusumawati (2004), tikus putih dapat digunakan untuk mewakili

hewan dan manusia untuk mempelajari proses patofisiologi, evaluasi manfaat

dan toksisitas dari suatu materi baik obat-obatan, makanan atau penyakit yang

pada akhirnya dapat diaplikasikan pada manusia. Dalam penelitian ini ekstrak

jintan hitam digunakan sebagai salah satu pilihan untuk perawatan luka bakar

untuk mengetahui pengaruh terhadap lamanya fase inflamasi. Penelitian ini

menggunakan hewan coba tikus putih, karena pertimbangan etis, waktu yang

lama, resiko serta berbagai kesulitan bila dilakukan pada manusia.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah pemberian ekstrak jintan hitam secara topikal berpengaruh

terhadap lamanya fase inflamasi pada luka bakar derajat II ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak jintan hitam secara topikal

terhadap lamanya fase inflamasi pada luka bakar derajat II.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengukur lamanya eritema dan edema pada luka bakar derajad II yang

dilakukan perawatan menggunakan normal saline 0.9%.

2. Mengukur lamanya eritema dan edema pada luka bakar derajat II yang

dilakukan perawatan menggunakan ekstrak jintan hitam dengan

konsentrasi awal, konsentrasi setengah dan konsentrasi seperempat.

3. Mengukur perbedaan lamanya eritema dan edema pada luka bakar

derajat II pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.


4

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

1. Sebagai pengalaman ilmiah dalam mengembangkan pengetahuan,

khususnya mengenai perawatan luka bakar derajat II dengan

menggunakan ekstrak jintan hitam.

2. Memberikan masukan bagi peneliti yang lain yang ingin melakukan

penelitian dalam skala yang lebih luas yang terkait dengan judul

penelitian.

1.4.2 Bagi Klinik

Menambah khasanah ilmu keperawatan khususnya perawatan luka.

1.4.3 Bagi Profesi Keperawatan

1. Sebagai bahan pilihan alternatif dalam perawatan pasien dengan luka

bakar.

2. Meningkatkan peran perawat sebagai researcher (peneliti)

1.4.4 Masyarakat

Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai manfaat ekstrak jintan

hitam sebagai alternatif untuk perawatan luka bakar.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kulit

Kulit atau sistem integumen adalah organ tubuh yang paling luas.

Komposisi kulit mempunyai berat 1/6 dari total berat badan (Perry & Potter,

2005). Luas kulit orang dewasa 1.5 m2 dengan berat kira-kira 15% BB. Kulit

merupakan organ esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan

kehidupan (Wasitaatmadja, 2005).

2.1.1 Anatomi Kulit

2.1.1.1 Lapisan Epidermis

Epidermis yaitu lapisan luar terdiri stratum korneum atau lapisan tanduk

terdapat sel mati yang pipih mengalami kreatinisasi, serta pergantian sel

dipermukaan kulit ini mengalami deskuamasi normal serta melindungi sel dan

jaringan dibawahnya dari dehidrasi dan zat kimia tertentu, terjadinya evaporasi

air dan kulit serta absorbsi obat-obatan topikal tertentu (Perry & Potter, 2005).

Fungsi epidermis membentuk kembali permukaan luka dan memulihkan barier

sebagai pencegah masuknya organisme. Lapisan epidermis terdiri dari:

a. Stratum Korneum (Lapisan tanduk)

Adalah lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapis

sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti dan protoplasmanya berubah menjadi

kreatinin (zat tanduk) (Wasitaatmadja, 2005).

b. Stratum Lusidum

Merupakan sel gepeng tanpa inti yang jelas terlihat pada telapak kaki

dan tangan dengan ketebalan empat sampai sejajar permukaan kulit

(Setiadi, 2005).

5
6

c. Stratum Granulosum (lapisan keratohialin)

Merupakan 2 atau 3 lapis sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar

dan terdapat inti diantaranya. Mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini.

Stratum granulosum juga tampak jelas ditelapak tangan dan kaki

(Wasitaatmadja, 2005).

d. Stratum Spinosum (stratum akantosum)

Yaitu lapisan yang paling tebal dan terdiri dari banyak glikogen. Sel-sel

disebut spinosum karena sel-selnya terdiri dari sel yang bentuknya polygonal

atau banyak sudut dan mempunyai banyak tanduk (spina) dan disebut

akantosum sebab sel-selnya berduri (Setiadi, 2005).

e. Stratum Basale (germinatifum)

Terdiri sel-sel yang berbentuk kubus (kolumnar) tersusun vertikal pada

perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade). Lapisan ini

merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal ini

mengadakan mitosis dan berfungsi reproduktif. Terdiri dari 2 jenis sel:

1. Sel berbenbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong

dan besar, dihubungkan satu dengan yang lain oleh jembatan antar sel.

2. Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear sel merupakan sel-sel

berwarna muda dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap dan

mengandung butir pigmen (melanosomes) (Wasitaatmadja, 2005).

2.1.1.2 Lapisan Dermis

Dermis merupakan lapisan kulit bagian dalam. Terdiri dari serabut-serabut

kolagen (protein yang kuat berserat), elastin, retikulin, pembuluh darah dan

syaraf, sokongan mekanik, pelindung otot, tulang dan organ. Fibroblas

bertanggung jawab terhadap pembentukan kolagen, merupakan satu-satunya

jenis sel khusus yang ada dalam dermis. Dermis akan memperbaiki integritas
7

struktural (kolagen) dan sifat fisik kulit (Setiadi, 2005). Secara garis besar dibagi

dua bagian:

1. Pars Papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung

serabut saraf dan pembuluh darah.

3. Pars Retikulare, yaitu bagian dibawahnya yang menonjol ke arah

subkutan yang terdiri atas serabut-serabut penunjang seperti serabut

kolagen, elastin dan retikulin. Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblast.

Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblast membentuk ikatan (bundle)

yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat

lentur dengan bertambahnya umur menjadi kurang larut sehingga makin

stabil. Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan

mudah mengembang serta elastis (Wasitaatmadja, 2005).

2.1.1.3 Lapisan Hipodermis atau Subkutan

Lapisan subkutan merupakan lapisan yang berupa jaringan adiposa yang

memberikan bantalan antara lapisan dermis dan struktur internal seperti otot dan

tulang (Brunner & Suddarth, 2001). Dilapisan ini terdapat ujung-ujung syaraf tepi,

pembuluh darah dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama

tergantung pada lokalisasinya. Diabdomen dapat mencapai ketebalan 3 cm.

Lapisan lemak ini juga sebagai bantalan. Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2

pleksus, yaitu pleksus yang terletak di bagian atas dermis (pleksus superfisial)

dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda). Pleksus ini bergandengan

dengan pembuluh darah terdapat saluran getah bening (Wasitaatmadja, 2005).

2.1.2 Fungsi Kulit

2.1.2.1 Fungsi Pelindung

Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau mekanis,

seperti tekanan, gesekan, tarikan, gangguan kimiawi seperti: zat kimia bersifat

iritan (lisol, karbol), asam, alkali, gangguan panas, dan sebagainya. Hal tersebut
8

karena bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit dan serabut-serabut jaringan yang

sebagai pelindung terhadap gangguan fisis.

Melanosit berperan melindungi kulit terhadap pajanan sinar matahari

dengan menggandakan tanning. Proteksi rangsangan kimia terjadi karena sifat

stratum korneum impermeabel terhadap berbagai zat kimia dan air. Proses

kreatinisasi juga berperan sebagai sawar (barrier) mekanis karena sel-sel mati

melepaskan diri secara teratur (Wasitaatmadja, 2005).

2.1.2.2 Fungsi Komunikasi

Kulit sebagai alat peraba, rasa nyeri, perubahan suhu dan tekanan kulit

dari jaringan subkutan lalu ditransmisikan melalui saraf sensoris ke medula

spinalis dan otak (Setiadi, 2007).

2.1.2.3 Fungsi Pengatur Suhu Tubuh (Temoregulasi)

Kulit melakukan peranan ini dengan cara mengeluarkan keringat dan

mengkerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit. Kulit kaya akan

pembuluh darah sehingga memungkinkan kulit mendapat nutrisi cukup baik.

Tonus vaskuler dipengaruhi oleh syaraf simpatis (asetilkolin). Pada bayi biasanya

dinding pembuluh darah belum terbentuk sempurna, sehingga terjadi

ekstravaksasi cairan, karena itu kulit bayi tampak lebih edematosa karena

banyak mengandung air dan Na (Wasitaatmadja, 2005).

2.1.2.4 Fungsi Tempat Penyimpanan

Kulit bereaksi sebagai alat penampung air dan lemak, yang dapat

melepaskanya bila diperlukan. Kulit dan jaringan dibawahnya bekerja sebagai

tempat penyimpanan air, jaringan adipose dibawah kulit merupakan tempat

penyimpanan lemak yang utama pada tubuh (Setiadi, 2007).

2.1.2.5 Fungsi Absorbsi

Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat,

tetapi cairan mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun yang larut lemak.
9

Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2 dan uap air memungkinkan kulit ikut

mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorbsi kulit dipengaruhi

oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum.

Penyerapan dapat berlangsung melalui celah antara sel, menembus sel-sel

epidermis atau melalui muara saluran kelenjar tetapi lebih banyak melalui sel-sel

epidermis daripada yang melalui muara kelenjar (Wasitaatmadja, 2005).

2.1.2.6 Fungsi Ekskresi

Kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi

seperti NaCl, urea, asam urat dan ammonia. Kelenjar lemak pada fetus atas

pengaruh hormon androgen dari ibunya memproduksi sebum untuk melindungi

kulitnya terhadap cairan amnion, pada waktu lahir dijumpai sebagai vernix

caseosa. Sebum yang memproduksi melindungi kulit juga menahan evaporasi air

yang berlebihan sehingga kulit tidak menjadi kering. Produk kelenjar lemak dan

keringat di kulit menyebabkan keasaman kulit pada pH 5 – 6.5 (Wasitaatmadja,

2005).

2.1.2.7 Fungsi Persepsi

Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.

Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-badan ruffini di dermis dan

subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan-badan krause yang terletak di

papilla dermis berperan terhadap rabaan, demikian pula badan merkel ranvier

yang terletak di epidermis. Saraf-saraf sensorik tersebut lebih banyak jumlahnya

di daerah erotik (Wasitaatmadja, 2005).

2.1.2.8 Fungsi Pembentukan Vit D

Dengan mengubah 7 dihirdoksi kolesterol dengan bantuan sinar matahari.

Tetapi kebutuhan tubuh akan vitamin D tidak cukup hanya dari hal tersebut,

sehingga pemberian vitamin D sistemik masih tetap diperlukan (Wasitaatmadja,

2005).
10

2.1.2.9 Fungsi Pembentukan Pigmen

Sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di lapisan basal dan sel ini

berasal dari rigi saraf. Perbandingan jumlah sel basal : melanosit adalah 10:1.

Jumlah melanosit dan jumlah serta besarnya butiran pigmen (melanosomes)

menentukan warna kulit ras maupun individu. Melanosom dibentuk oleh alat golgi

dengan bantuan enzim tirosinase, ion Cu dan O2. Pajanan sinar matahari

mempengaruhi produksi melanosom. Pigmen disebar ke epidermis melalui

tangan-tangan dendrit sedangkan ke lapisan kulit di bawahnya dibawa oleh sel

melanofag. Warna kulit tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh pigmen kulit,

meainkan oleh tebal tipisnya kulit, reduksi Hb, oksi Hb dan karoten

(Wasitaatmadja, 2005).

2.1.2.10 Fungsi Kreatinisasi

Lapisan epidermis dewasa memiliki 3 jenis sel utama yaitu keratinosit, sel

langgerhans, melanosit. Keratinosit dimulai dari sel basal mengadakan

pembelahan, sel basal yang lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuknya

menjadi sel spinosum, makin keatas sel menjadi sel granulosum. Makin lama inti

menghilang dan keratinosit ini menjadi sel tanduk yang amorf. Proses ini

berlangsung terus-menerus seumur hidup dan sebagian sekarang belum

sepenuhnya dimengerti. Maltosy berpendapat mungkin keratinosit melalui proses

sintesis dan degenerasi menjadi lapisan tanduk. Proses ini berlangsung normal

selama kira-kira 14-21 hari, dan memberi perlindungan kulit terhadap infeksi

secara mekanis fisiologis (Wasitaatmadja, 2005).

2.2 Luka Bakar


Luka bakar merupakan suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan

yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti kobaran api di tubuh

(flame), jilatan api ke tubuh (flash), terkena air panas (scald), tersentuh benda
11

panas (kontak panas), sengatan listrik, bahan-bahan kimia, dan sengatan

matahari (sunburn) (Moenadjat, 2001).

Gambar 2.1 Lapisan Kulit & Derajat Luka Bakar

2.2.1 Patofisiologi

Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke

tubuh. Panas tersebut mungkin dipindahkan melalui konduksi atau radiasi

elektromagnetik. Kulit dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada

epidermis, dermis maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan

lamanya kulit kontak dengan sumber panas. Dalamnya luka bakar akan

mempengaruhi kerusakan atau gangguan integritas kulit dan kematian sel-sel

(Effendy, 1999).

Luka bakar dapat dikelompokkan menjadi luka bakar termal, radiasi atau

kimia. Destruksi jaringan terjadi akibat koagulasi, denaturasi protein atau ionisasi

sel. Dalamnya luka bakar bergantung pada agen penyebab luka bakar dan

lamanya kontak dengan agen tersebut. Pada kasus luka bakar tersiram air panas

pada orang dewasa, kontak selama 1 detik dengan air panas dari shower dengan

suhu 68,90 C dapat menimbulkan luka bakar yang merusak epidermis serta

dermis sehingga terjadi cedera derajat-tiga (Full thikness injury). Pajanan selama

15 menit dengan air panas dengan suhu 56,10C juga menyebabkan full-thikness.
12

Dan pada suhu yang kurang dari 440 C dapat ditoleransi dalam periode waktu

lama tanpa menyebabkan luka bakar (Brunner & Suddarth, 2001).

2.2.2 Klasifikasi Luka bakar

2.2.2.1 Berdasarkan Penyebab (Azzam, 2008)

1. Luka bakar karena api

2. Luka bakar karena air panas

3. Luka bakar karena bahan kimia (yang bersifat asam atau basa kuat)

4. Luka bakar karena listrik dan petir

5. Cedera akibat suhu sangat rendah (fros bite)

6. Luka bakar karena radiasi.

2.2.2.2 Berdasarkan Kedalaman Kerusakan Jaringan

1. Luka bakar derajat I:

 Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (superficial)

 Kulit kering, hiperemik berupa eritema

 Tidak dijumpai bulae

 Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi

Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 5-10 hari

(Moenadjat, 2001).

2. Luka bakar derajat II:

Gambar 2.2 Luka Bakar Derajat II

 Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi

inflamasi disertai proses eksudasi.


13

 Dijumpai bulae (bula). Bula adalah lapisan epidemis yang terlepas

dari dasarnya (dermis), merupakan suatu proses epidemolisis,

disertai dengan akumulasi eksudat membentuk suatu gelembung.

Bula terbentuk karena panas yang mengakibatkan kapiler-kapiler

darah berubah menjadi permeabel terhadap cairan dan protein.

Akibatnya air, elektrolit, protein keluar dari intravaskuler ke intertitial.

Pengeluaran ini paling pesat terjadi ± 6-8 jam pertama setelah

trauma.

 Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi.

 Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi

diatas kulit normal.

 Dibedakan dua:

a. Derajat II dangkal (superficial)

Kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis, organ-organ

kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat serta kelenjar

sebasea masih utuh, penyembuhan terjadi secara spontan dalam

waktu 10-14 hari.

b. Derajat II dalam (deep)

Kerusakan mengenai hampir seluruh dermis, organ-organ kulit

seperti folikel rambut, kelenjar keringat serta kelenjar sebasea

sebagian besar masih utuh, penyembuhan terjadi lebih lama

tergantung biji epitel yang tersisa. Biasanya penyembuhan terjadi

dalam waktu sekitar lebih dari satu bulan (Moenadjat, 2001).

3. Luka bakar derajat III:

 Kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dan lapisan yang lebih

dalam.
14

 Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar

sebasea mengalami kerusakan.

 Tidak dijumpai bulae.

 Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat. Karena kering,

letaknya lebih rendah dibandingkan kulit sekitar.

 Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal

sebagai eskar.

 Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena ujung-

ujung saraf sensorik mengalami kerusakan atau kematian.

 Penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi

spontan dasar luka (Moenadjat, 2001).

2.2.2.3 Pembagian Zona Kerusakan Jaringan (Brunner & Suddart, 2001)

1. Zona Koagulasi

Zona yang terletak di daerah dalam dan terjadi kematian seluler. Zona

ini merupakan daerah langsung yang mengalami kerusakan (koagulasi

protein) akibat pengaruh panas.

2. Zona Stasis

Zona yang mengalami gangguan suplai darah, inflamasi dan cedera

jaringan. Daerah ini masih bisa diselamatkan sampai derajat tertentu

dengan resusitasi cairan yang baik.

3. Zona Hiperemia

Zona hiperemia merupakan luka bakar derajat I yang dapat sembuh

dalam waktu satu minggu. Zona ini lebih khas untuk cedera terbakar

atau tersengat arus listrik daripada akibat cairan panas.

2.2.3 Klasifikasi Luas Luka Bakar

Permukaan tubuh yang terbakar disederhanakan dengan menggunakan

rumus sembilan (Rule of Nines). Rumus sembilan merupakan cara yang cepat
15

untuk menghitung luas daerah yang terbakar. Menggunakan prosentase dalam

kelipatan sembilan terhadap permukaan tubuh yang luas. Metode telapak tangan

(palm method) adalah metode yang dipakai untuk memperkirakan prosentase

luka bakar. Lebar telapak tangan pasien kurang lebih sebesar 1% luas

permukaan tubuhnya. Lebar telapak tangan dapat dapat digunakan untuk menilai

luas luka bakar. Wallace membagi tubuh atas bagian atau kelipatan 9 yang

dikenal rule of nine:

1. Kepala dan leher : 9%

2. Lengan masing-masing 9% : 18%

3. Badan depan 18%, badan belakang 18% : 36%

4. Tungkai masing-masing 18% : 36%

5. Genetalia : 1% (Total: 100%)

(Irna Bedah RSUD Dr.Soetomo, 2001)

2.2.4 Klasifikasi Luka Bakar Berdasarkan Berat Ringannya

Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa

faktor antara lain :

1. Persentasi area (luas) luka bakar pada permukaan tubuh

2. Kedalaman luka bakar

3. Anatomi lokasi luka bakar

4. Umur klien

5. Riwayat pengobatan yang lalu

6. Trauma yang menyertai (Irna Bedah RSUD Dr. Soetomo, 2001).

2.2.5 Klasifikasi menurut American College of Surgeon :

1. Berat (critical)

a) Derajat II : 30% atau lebih

b) Derajat III : 10% atau lebih

c) Derajat III pada tangan, kaki dan wajah


16

d) Komplikasi pernafasan, jantung, fraktur jaringan lunak yang luas

2. Sedang (moderate):

a) Tingkat II : 15 – 30%

b) Tingkat III : 1 – 10%

3. Ringan – (minor):

a) Tingkat II : Kurang 15%

b) Tingkat III : Kurang 1%

(Irna Bedah RSUD Dr. Soetomo, 2001)

Tabel 2.1 Karakteristik Luka Bakar Menurut Kedalamannya

DERAJAT LUKA BAKAR PERTIMBANGAN PENGOBATAN


Luka Bakar Derajat Pertama
1. Berwarna merah muda sampai 1. Epidermis mengelupas dalam 5
merah, edema ringan , hilang dengan hari.
cepat. 2. Kulit gatal dan berwarna merah
2. Nyeri dapat berlangsung 48 jam, reda muda selama sekitar 1 minggu.
dengan pendinginan. 3. Jaringan parut tidak terjadi
4. Penyembuhan secara spontan
dalam 10 hari sampai 2 minggu
tanpa infeksi.
Luka Bakar Derajat Kedua
1. Superfisial. 1. Memerlukan beberapa minggu
a. Berwarna merah muda atau untuk sembuh.
merah; pembentukan vesikel 2. Jaringan parut dapat terjadi
berair, edema.
b. Lapisan kulit superficial rusak;
luka nyeri, lembab
2. Dermal bagian dalam.
a. Bercorak warna merah dan putih;
area edema yang kemerahan
memutih pada tekanan.
b. Dapat kekuningan, lunak dan
elastik terhadap sentuhan;
sensitive terhadap udara dingin.
Luka Bakar Derajat Tiga
1. Kerusakan epidermis, dermis, lemak, 1. Eskar harus dibersihkan dengan
otot dan tulang. debridement. Jaringan granulasi
2. Area kemerahan tidak dapat memutih terbentuk pada epithelium yang
dengan tekanan.Luka tidak nyeri; tidak paling dekat dari tepi luka atau
elastic; warna bervariasi dari putih lilin tandur penompang.
ke coklat (jaringan devitalisasi kulit 2. Penanduran diperlukan untuk area
eskar). yang lebih besar dari 3 samapi 5 cm.
3. Tunggu jaringan parut dan
kehilangan fungsi kulit.

(Nettina, 1997)
17

2.3 Proses Penyembuhan Luka

2.3.1 Proses Fisiologis Penyembuhan Luka

Beragam proses seluler yang saling tumpang tindih dan terus-menerus

memberikan konstribusi terhadap pemulihan luka yaitu: regenerasi sel, proliferasi

sel dan pembentukan kolagen. Respon jaringan terhadap cedera melewati

beberapa fase: inflamasi, destruksi, proliferasi dan maturasi.

Tabel 2.2 Fisiologi Penyembuhan Luka


Fase Lama Peristiwa
Inflamatori (Juga disebut fase lag 1- 4 hari Terbentuk bekuan darah
atau eksudatif). Luka menjadi edema
Debris dan jaringan yang rusak dan
bekuan darah difagositosis.

Proliferatif (juga disebut fase 5-20 hari Terbentuk koolagen


fibroblastik atau jaringan ikat). Terbentuk jaringan granulasi
Kekuatan tegangan luka meningkat

Maturasi (juga disebut fase 21 hari Fibroblas meninggalkan luka


diferensiasi, resoptif, remodeling sampai Kekuatan tegangan luka meningkat
atau plateu). sebulan Serat-serat kolagen disusun kembali
atau dan dikuatkan untuk mengurangi
bahkan ukuran jaringan parut.
tahunan
(Smeltzer, 2001)

2.3.1.1 Fase Inflamasi

Fase inflamasi merupakan reaksi tubuh terhadap luka yang dimulai sejak

terjadinya luka sampai hari kelima (Perry & Potter, 2005). Fase inflamasi

merupakan fase alami yang harus dilewati. Akan tetapi proses inflamasi yang

terjadi berkepanjangan akan mengganggu tahap penyembuhan luka selanjutnya.

Fase inflamasi yang lebih cepat menyebabkan proses penyembuhan luka

selanjutnya bisa lebih awal terjadi. Sebaliknya fase inflamasi yang terlalu lama

dapat menyebabkan penyembuhan luka akan lebih lama (Morison, 2004).

Peran proses inflamasi adalah membawa dan mengisolasi trauma,

memusnahkan mikrooragnisme penyebab infeksi, menginaktifkan toksin, serta

untuk mencapai penyembuhan dan perbaikan. Inflamasi juga mempunyai potensi


18

merugikan, yaitu menyebabkan reaksi hipersensitif, kerusakan organ yang

progresif serta menimbulkan jaringan parut (Robbins, 1996). Eritema adalah

tanda kemerahan pada kulit akibat vasodilatasi pembuluh darah kecil dan

peningkatan aliran darah arteri superfisial ke daerah yang mengalami kerusakan

(Sims, 1995). Kulit yang mengalami trauma mengalami perubahan secara

berturut-turut, yaitu terjadi garis keputihan akibat vasokontriksi yang terjadi

sementara, kemerahan diikuti garis pudar akibat dilatasi kapiler, merah menyala

dengan bentuk yang ireguler, mengelilingi daerah cidera, dan edema akibat

eksudasi cairan ke dalam ruang ekstravaskuler (Underwood, 1999).

Perubahan yang ditemukan pada cedera yang dibentuk oleh komponen

vaskuler dari reaksi radang akut, sebagaimana dijelaskan oleh Lewis pada tahun

1927 tentang tiga respon terhadap cedera yaitu kemerahan, menyala dan

bengkak. Apabila sebuah benda tumpul digesekkan dengan keras pada kulit

akan terjadi perubahan berturut-turut yaitu: terjadi garis keputihan yang bersifat

sementara, segera setelah benturan. Ini sebagai akibat vasokonstriksi arteriol.

Kontraksi otot polos arteriol terjadi sebagai respon langsung dari cedera. Kedua

terjadi kemerahan diikuti garis merah pudar akibat dilatasi kapiler. Lalu membara

timbulnya daerah merah menyala, ireguler mengelilingi daerah cedera, akibat

dilatasi arteriol. Disamping itu faktor syaraf dan kimiawi ikut berperan dalam

perubahan vaskuler. Terakhir terjadi bengkak pada daerah edema timbul akibat

eksudasi cairan ke dalam ruang ekstravaskuler.

Gambaran makroskopik inflamasi yaitu kemerahan (rubor / eritema),

panas (kalor), nyeri (dolor), pembengkakan (tumor), dan perubahan fungsi

(fungsio laesa) adalah:

3. Kemerahan (rubor/eritema)

Merupakan tanda pertama yang terlihat di daerah yang mengalami

peradangan. Reaksi inflamasi dimulai dengan vasodilatasi akibat pelepasan


19

mediator kimia seperti histamin. Peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan

cairan yang mengandung protein ke luar, masuk ke dalam daerah cidera. Kapiler

yang semula kosong, secara cepat terisi oleh darah. Keadaan ini disebut dengan

hiperemia yang menyebabkan warna kemerahan (Wilson, 2005). Eritema

merupakan bagian dari fase vasodilatasi (hiperemi aktif), yang terjadi setelah 15

menit setelah jejas sampai dengan beberapa jam (Underwood, 1999). Waktu dan

kecepatan vasodilatasi dan perubahan aliran darah tergantung dari berat ringan

cidera. Secara eksperimental pada hewan coba marmut dibuktikan bahwa jejas

yang ringan menimbulkan perubahan satu sampai dua menit setelah pemberian

panas, dan akan berkurang setelah 15 sampai 30 menit. Jejas yang lebih parah

menyebabkan respon tertunda yang berkepanjangan. Pada keadaan ini

peningkatan permeabilitas tertunda beberapa saat, 30 menit – 10 jam dan

mencapai puncaknya antara 4 sampai 24 jam setelah jejas. (Robins & Kumar,

1995).

Kulit yang mengalami trauma mengalami perubahan secara berturut-turut,

yaitu terjadi garis keputihan akibat vasokontriksi yang terjadi sementara,

kemerahan diikuti garis pudar akibat dilatasi kapiler, merah menyala dengan

bentuk yang ireguler, mengelilingi daerah cedera, dan edema akibat eksudasi

cairan ke dalam ruang ekstravaskuler. Eritema bisa disebabkan oleh sengatan

luka bakar, demam, alergi, sengatan matahari, karena infeksi bakteri,

konjungtifitis dan sebagainya (Underwood, 1999).

4. Panas (kalor)

Terjadi bersamaan dengan rubor. Peningkatan suhu hanya terlihat pada

bagian perifer atau tepi tubuh seperti kulit. Peningkatan suhu ini diakibatkan oleh

meningkatnya aliran darah (hiperemia) melalui daerah tersebut, mengakibatkan

sistem vaskuler dilatasi dan mengalirkan darah yang hangat pada daerah

tersebut. Daerah perdangan dikulit ini menjadi lebih hangat dari sekelilingnya
20

karena lebih banyak darah (suhu 370 C) dialirkan dari dalam tubuh kepermukaan

yang terkena dibandingkan dengan daerah yang normal (Underwood, 1999).

3. Nyeri (dolor)

Dolor atau nyeri ditimbulkan dalam berbagai cara. Perubahan pH lokal

atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf.

Pelepasan zat-zat kimia bioaktif lain dapat merangsang saraf. Selain itu

pembengkakan jaringan yang meradang menyebabkan peningkatan tekanan

lokal yang dapat menimbulkan nyeri (Wilson, 2005). Beberapa mediator kimiawi

pada radang akut termasuk bradikinin, prostaglandin dan serotonin, diketahui

dapat mengakibatkan rasa sakit (Underwood, 1999).

4. Pembengkakan (edema)

Edema diartikan sebagai peningkatan volume cairan intertisial yang dapat

berkembang hingga beberpa liter banyaknya sebelum terlihat kelainan secara

klinis (Horison, 1999). Pembengkakan lokal dihasilkan oleh cairan dan sel-sel

yang berpindah dari aliran darah ke jaringan intertitial. Campuran cairan dan sel-

sel ini yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat. Pada awal

peradangan sebagian besar eksudat adalah cairan seperti terlihat secara cepat

di dalam lepuhan setelah luka bakar ringan pada kulit. Kemudian sel-sel darah

putih atau leukosit, meninggalkan aliran darah dan tertimbun sebagai bagian

eksudat (Wilson, 2005).

Patogenesis:

Sekitar 1/3 cairan tubuh total terdapat di ruangan estraseluler.

Kompartemen ini terdiri dari volume plasma dan ruangan intertisial. Normalnya,

volume plasma mewakili 25 persen ruang ekstraseluler dan sisanya adalah

intertisiel. Tekanan hidrostatik dalam sistem vaskuler dan tekanan onkotik koloid

cairan intertisial cenderung menyebabkan gerakan cairan dari vaskuler ke ruang

esktravaskuler. Sebaliknya tekanan hidrostatik onkotik koloid disalurkan oleh


21

protein plasma dan tekanan hidrostatik dalam cairan intertisial, menyebabkan

gerakan cairan dan bahan terklarut berdifusi dari ruang vaskuler pada ujung

arteriola kapiler. Tekanan ini biasanya seimbang sehingga keadaan menetap ada

pada besaran kompartemen intertisial dan intravaskuler. Tetapi jika ada

perubahan mencolok pada salah satu tekanan onkotik atau hidrostatik maka

terjadi edema akibat perubahan dalam gaya Starling, sehingga terdapat

pergerakan murni cairan dari sistem vaskuler ke dalam intertisisiel. Edema

disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan

perpindahan protein ke dalam kompartemen intertisiel. Trauma pada dinding

kapiler disebabkan oleh bahan-bahan kimia atau bakteri, trauma mekanis atau

termal. Kerusakan pada endotel kapiler bertanggung jawab terjadi edema

inflamasi yang biasanya nonpitting, lokalisata dan disertai tanda inflamasi lain

kemerahan, panas dan nyeri tekan (Horison, 1999).

5. Perubahan fungsi (fungsiolaesa)

Kehilangan fungsi merupakan konsekuensi dari suatu proses radang,

yang dikemukakan Virchow (1821-1902), merupakan tambahan gejala pada

daftar gejala yang dikemukakan Celsus. Gerakan secara sadar ataupun secara

reflek akan mengalami hambatan oleh rasa sakit, pembengkakan yang hebat

secara fisik mengakibatkan berkurangnya gerak jaringan (Underwood, 1999).

2.3.1.2 Fase Destruksi

Destruksi adalah proses pembersihan terhadap jaringan mati atau yang

mengalami devitalisasi oleh polimorfonuklear (PMN) dan makrofag. Makrofag

merupakan fagosit yang hidup lebih lama daripada PMN. Aktivitas dari makrofag

bertahan hanya singkat, tetapi proses penyembuhan luka dapat terus

berlangsung walaupaun tanpa ada makrofag. Makrofag tidak hanya mampu

menghancurkan bakteri dan mengeluarkan jaringan yang mengalami devitalisasi


22

serta fibrin yang belebihan, tetapi juga mampu merangsang pembentukan

fibroblas, yaitu sel yang mensintesis kolagen (Perry & Potter, 2005).

2.3.1.3 Fase Proliferasi

Proliferasi adalah proses pembentukan sel-sel dalam jaringan, sehingga

jumlahnya bertambah banyak (hiperplasia). Proliferasi fibroblas membentuk

subtansi dasar, serabut-serabut kolagen dan pembuluh darah baru. Kolagen

yang telah terbentuk akan terjadi peningkatan yang cepat pada kekuatan

regangan luka. Proses angiogenesis terjadi apabila kapiler-kapiler terbentuk oleh

endothelial. Bekuan fibrin yang dihasilkan pada fase I dikeluarkan begitu kapiler

baru menyediakan enzim yang diperlukan. Tanda-tanda inflamasi mulai

berkurang, jaringan yang dibentuk dari kapiler baru, yang menopang kolagen dan

subtansi dasar, disebut jaringan granulasi karena penampakannya yang

granular, dan warnanya merah terang. Durasi waktu fase proliferasi adalah 3-24

hari (Morison, 2004).

2.3.1.4 Fase Maturasi

Maturasi merupakan tahap akhir dari proses penyembuhan luka. Jaringan

kolagen melakukan reorganisasi secara terus menerus dan akan menguat

setelah beberapa bulan. Luka yang telah sembuh tidak mempunyai elastisitas

yang sama dengan jaringan yang digantikannya. Serat kolagen mengalami

remodeling sebelum mencapai bentuk yang normal. Jaringan kolagen

mengandung lebih sedikit sel melanosit sehingga warnanya lebih terang daripada

warna kulit normal. Fase maturasi memerlukan waktu lebih dari satu tahun,

tergantung pada kedalaman dan luasnya luka (Perry & Potter, 2005).

2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Proses Inflamasi

1. Faktor Sistemik

a. Usia
23

Pada usia lanjut proses penyembuhan luka lebih lama dibandingkan

dengan usia muda. Faktor ini karena kemungkinan adanya degenerasi,

tidak adekuatnya pemasukan makanan, menurunya kekebalan dan

menurunya sirkulasi.

b. Nutrisi

Faktor nutrisi sangat penting dalam proses penyembuhan luka.

Hasil penelitian membuktikan bahwa gangguan proliferasi fibroblast,

neoangiogenesis, sintesis kolagen dan remodeling pada luka dikarenakan

adanya kekurangan protein. Selain itu protein dapat mempengaruhi

mekanisme kekebalan dan fungsi leukosit sebagai fagosit. Selain protein,

vitamin A, E, C, Zinc juga mempengaruhi dalam proses penyembuhan

luka. Vitamin A diperlukan untuk sintesis kolagen dan epitelisasi pada

proses penyembuhan luka.

Kekurangan vitamin A menyebabkan berkurangnya produksi

macrofag yang rentan terhadap infeksi, retardasi epitelisasi, dan sintesis

kolagen. Defisiensi vitamin E mempengaruhi produksi kolagen. Vitamin C

berguna untuk sintesis kolagen dan meningkatkan resistensi terhadap

infeksi. Defisiensi vitamin C menyebabkan kegagalan fibroblast untuk

memproduksi kolagen, mudah terjadi ruptur pada kapiler dan rentan

terjadi infeksi. Zinc pada jaringan membantu sintesis protein dan pada

luka berperan dalam sintesis kolagen.

c. Isufisiensi Vaskuler

Isufisiensi vaskuler merupakan faktor penghambat proses

penyembuhan luka. Seringkali pada kasus luka ekstrimitas bawah seperti

luka diabetic dan pembuluh arteri dan semuanya akan berdampak pada

penurunan atau gangguan sirkulasi darah.


24

d. Obat-Obatan

Terutama pada pasien menggunakan terapi steroid, kemoterapi dan

imunosupresi.

2. Faktor Lokal

a. Suplai darah

b. Infeksi

Infeksi sistemik atau lokal dapat menghambat penyembuhan luka.

c. Nekrosis

Luka dengan jaringan yang mengalami nekrosis dan eskar akan dapat

menjadi faktor penghambat untuk perbaikan luka.

d. Benda asing pada luka (Suriadi, 2004)

2.3.3 Penatalaksanaan Luka Bakar

2.3.3.1 Penanganan

Penanganan luka sangat penting dalam menangani kasus luka bakar

dengan tujuan untuk mencegah terjadinya infeksi, diantaranya:

1. Pendinginan Luka

Sifat kulit adalah sebagai tempat penyimpanan panas yang terbaik (heat

restore). Pada pasien luka bakar, tubuh masih tetap menyimpan energi panas

sampai beberapa menit setelah terjadinya trauma panas. Sebab itu, tindakan

pendinginan luka perlu dilakukan untuk mencegah pasien pada zona luka bakar

lebih dalam. Tindakan ini juga dapat mengurangi perluasan kerusakan fisik sel,

mencegah dehidrasi dan membersihkan luka sekaligus mengurangi nyeri.

2. Debridemen

Tindakan debridement bertujuan untuk membersihkan luka dari jaringan

nekrosis atau bahan lain yang menempel pada luka. Tindakan ini bisa dilakukan

pada saat pendinginan luka, penggantian balutan atau pada saat pembedahan.
25

Tindakan debridement penting dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi luka

dan mempercepat proses penyembuhan luka.

3. Terapi Isolasi dan Manipulasi Lingkungan

Luka bakar mengakibatkan imunosupresi (penekanan system imun) tubuh

selama tahap awal cedera. Oleh karenanya pasien luka bakar memerlukan

ruangan khusus dengan suhu ruangan yang dapat diatur, udara bersih, serta

terpisah dari pasien lain yang bisa menimbulkan infeksi silang. Perawat

menggunakan masker, gaun dan sarung tangan steril setiap kali melakukan

tindakan (Donna dalam Effendy, 1999).

2.3.3.2 Perawatan

Tujuan perawatan luka bakar secara umum adalah mencakup:

 Mengurangi rasa sakit

 Mencegah infeksi

 Mencegah komplikasi

 Penyembuhan luka

 Pemenuhan kebutuhan nutrisi yang adekuat

 Mengkaji kebutuhan penyembuhan luka

 Mencegah/mengurangi kecacatan

 Meningkatkan kemandirian

Sedangkan tindakan keperawatan utama dalam merawat pasien luka

bakar yaitu berupa: perawatan luka, pengaturan posisi, pemenuhan kebutuhan

nutrisi yang adekuat, pencegahan komplikasi dan rehabilitasi. Terdapat dua jenis

perawatan luka diantaranya:

1. Perawatan terbuka

Adalah luka yang telah diberi obat topikal dibiarkan terbuka tanpa

balutan dan diberi pelindung crandle bed.


26

Biasanya juga dilakukan pada daerah yang sulit dibalut seperti wajah, perineum,

lipat paha.

 Keuntungan perawatan terbuka:

Waktu yang dibutuhkan lebih singkat, lebih praktis dan effisien, bila

terdapat infeksi mudah terdeteksi.

 Kerugianya:

Pasien merasa tidak nyaman, dari segi etika kurang

2. Perawatan tertutup

Adalah penutupan luka dengan balutan kassa steril setelah diberikan

obat topikal.

 Keuntungan perawatan tertutup:

Luka tidak langsung berhubungan dengan udara ruangan (mengurangi

kontaminasi) dan pasien lebih nyaman.

 Kerugianya:

Balutan seringkali membatasi gerakan pasien, biaya perawatan lebih

bertambah, butuh waktu perawatan lebih lama, pasien merasa nyeri saat balutan

dibuka (Effendy, 1999).

2.3.3.3 Prosedur Perawatan Luka Bakar

1. Pembersihan Luka

Pembersihan luka bakar dilakukan satu kali sekali. Eskar mulai terpisah

dari jaringan di bawahnya kurang lebih 1 hingga 2 minggu pasca luka bakar,

sehingga tindakan pembersihan dan debrideman harus sering dilakukan. Pada

saat membersihkan luka, semua bagian kulit diinspeksi untuk memeriksa setiap

tanda kemerahan, keretakan atau infeksi lokal pada kulit. Bula yang utuh tetap

dibiarkan, sedangkan carian bula diaspirasi dengan jarum suntik.


27

2. Terapi Antibiotik topikal

Terapi antibakteri topikal hanya berfungsi untuk mengurangi jumlah

mikroba yang ada di luka. Penggunaan berbagai preparat antibiotik digunakan

setelah dilakukan pembersihan luka.

Kriteria untuk pemilihan preparat antibiotik mencakup hal-hal berikut:

a. Efektif terhadap mikroorganisme gram-negatif (Pseudomonas aeruginosa,

Staphylococcus aureus), jamur dan sudah teruji secara klinis

b. Dapat menembus jaringan eskar tetapi secara sistemik tidak bersifat toksik

c. Cost-effective, mudah diperoleh dan terjangkau oleh pasien

d. Mudah dipakai sehingga meminimalkan waktu yang dipakai untuk merawat

luka.

e. Penggantian Balutan.

Sebelum diganti balutan, diberikan analgesik terlebih dahulu untuk

mencegah nyeri. Pembalut luar digunting dengan gunting verban, sedangkan

balutan yang menempel pada luka dilepas tanpa menimbulkan rasa sakit jika

sebelumnya dibasahi dengan larutan salin. Luka dibersihakan dan didebrideman

untuk menghilangkan debris, preparat antibiotik, eksudat dan kulit yang mati.

Selama prosedur ini, luka dan kulit disekitarnya diinspeksi dengan teliti.

Warna, bau, ukuran, eksudat, tanda-tanda reepitelisasi dan karakteristik luka

serta eskar. Luka yang telah bersih diberi preparat antibiotik topikal kemudian

dibalut dengan kassa. Pemasangan kassa pembalut yang melingkar harus

dilakukan dari arah distal ke arah proksilmal (Brunner & Suddarth, 2002).

2.3.3.4 Penggunaan obat-obatan topikal

Perawatan luka bakar memerlukan obat-obat topikal. Pemberian obat-

obat antimicrobial bertujuan untuk tidak mensterilkan luka tetapi untuk menekan

pertumbuhan mikroorganisme dan mengurangi kolonisasi. Obat-obat yang dipilih

sebaiknya yang bersifat:


28

1. Mampu mengatsi kuman pathogen

2. Non toksik lokal dan maupun sistemik

3. Mudah digunakan

4. Memberi kenyamanan pasien (tidak menimbulkan nyeri)

5. Tidak iritatif

6. Harga terjangkau (Effendy, 1999).

2.4 Tinjauan Jintan Hitam

2.4.1 Toksonomi Jintan Hitam

Tanaman jantan hitam (habbatus sauda) memiliki nama ilmiah atau nama

latin Nigella sativa, yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Traceabionta

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida dicotyledon

Subkelas : Magnoliidae

Famili : Ranunculalceae (buttercup)

Genus : Nigella L.

Spesies : Nigella sativa L (Yulianti dan Junaedi, 2006).

Gambar 2.3 Bunga dan Biji Jintan Hitam


29

Nigella sativa dikenal dengan nama yang berbeda-beda di berbagai tempat yaitu:

Indonesia : Jintan Hitam Inggris : Fennel Flower/Black Seed

Mesir : Habat Et Baroka Itali : Nigela

Arab : Habbatussauda Perancis : Nigelle

Amerika : Black Cumin Eropa : Black Caraway

Pakistan : Habbet el-baraka Afrika : Kalonji (Katzer, 2006)

2.4.2 Morfologi Tanaman

Tanaman jintan hitam termasuk tanaman setahun. Berbatang tegak dan

biasanya berusuk, serta berbulu kasar yang terkadang rapat atau jarang. Bulu-

bulu yang ada dibatang ini umumnya berkelenjar. Tanaman jintan hitam

mempunyai panjang sampai 12-18 inchi. Tanaman ini memiliki bagian-bagian

sebagai berikut:

a. Batang

Jintan hitam (Nigella Sativa) mempunyai batang tegak, lunak, beralur dan

berwarna hijau kemerahan. Panjang batang ini bisa mencapai tinggi sekitar 30

cm (Katzer, 2006). Batang ini biasanya berusuk, serta berbulu kasar yang

terkadang rapat atau jarang. Bulu-bulu yang ada dibatang ini umumnya

berkelenjar (Yulianti dan Junaedi, 2006).

Gambar 2.4 Tanaman Jintan Hitam


30

b. Daun

Daun tanaman ini tunggal, bentuk lonjong dengan ujung dan pangkal

runcing, tepinya bergerigit, pertulangan daun menyirip dan berwarna hijau. Daun

tumbuh bersebrangan secara berpasangan. Daun jintan hitam berbentuk lanset

dan bergaris dengan panjang 1.5 – 2 cm, pada ujungnya meruncing, serta

memiliki tiga tulang daun yang berbulu. Daun bagian bawah bertangkai dan

bagian atas duduk. Terdapat daun pembalut bunga relatif kecil (Katzer, 2006).

c. Bunga

Bunga jintan hitam memiliki lima kelopak bunga dengan bentuk bulat

telur, ujung agak meruncing sampai agak tumpul. Pada pangkal mengecil

membentuk sudut yang pendek dan besar. Mahkota bunga umumnya ada

delapan dengan bentuk agak memanjang, lebih kecil daripada kelopak bunga,

serta berbulu jarang dan pendek. Bibir bunga ada dua buah. Bibir bunga bagian

atas pendek, lanset dan ujung memanjang berbentuk benang. Ujung bibir bunga

bagian bawah tumpul. Benang sari banyak dan gundul. Kepala sari jorong dan

sedikit tajam dengan warna kuning (Yulianti dan Junaedi, 2006).

d. Buah

Bagian tanaman yang biasa dimanfaatkan orang adalah bijinya. Biji jintan

hitam kecil dan pendek (panjangnya hanya 1 – 3 mm), berwarna hitam,

berbentuk trigonal (bersudut tiga tidak beraturan), berkelenjar dan tampak seperti

batu api jika diamati dengan mikroskop. Biji – biji ini berada didalam buah yang

berbentuk bulat telur atau agak bulat (Yulianti dan Junaedi, 2006).

2.4.3 Kandungan Jintan Hitam

Kandungan utama pada jintan hitam adalah Thymoquinone (TQ),

Dithymoquinone (DTQ), Thymohidroquinone (THQ), dan Thymol (THY).

Komposisi zat-zat kimia alami ((natural biochemical substance) yang terkandung

dalam biji-biji jintan hitam secara umum terdiri dari sekitar 40% minyak konstan
31

(fatty oil content), 1,5% minyak esensial (essential oil contents), 15 asam amino

(alanine, arginine, isoleucine, lycine, tryptopane, thyrosine, threonine, aspargine,

cystine, glycine, glutamic acid, metionine, dan proline), protein, ion kalsium

(Ca2+), zat besi (Fe), ion sodium (Na+) dan potassium (K+). Sifat kimiawi dan

efek farmakologis dari jintan hitam adalah sebagai antiinflamasi atau

peradangan, antipiretik, antibiotik, antihistamin, antioksidan penting untuk

membantu penyembuhan dan pengeringan luka-luka terbuka, antiasma dan

pencegahan kanker (Hendrik, 2007).

Tabel 2.3 Kandungan Kimia Jintan Hitam

Nilai Nutrisi Kandungan Jintan US RDAB % of US INQ%


Hitam per 100 gram RDAB

Energi (kkal (MJ)) 531 (222) 2.300 (9,63) 23,1 1


Protein (gram) 20,8 65 32 1.4
Tiamin (mg) 1,5 1.5 100 4.3
Ribloflavin (mg) 0,1 1.7 5.9 0.3
Pyridokxin (mg) 0,5 2 25 1.1
Niasin (mg) 5,7 20 28.5 1.2
Kalsium (mg) 185,9 1000 18.6 0.8
Besi (mg) 10,5 18 58.3 2.5
Tembaga (mg) 1,8 2 90 3.9
Seng (mg) 6 15 40 1.7
Fosfor (mg) 526,5 1000 52.7 2.3
Folasin (mg) 0,061 0.4 15.3 0.7
(Yulianti dan Junaedi, 2006)

Keterangan :
RDAB = Recommended Dietary Allowences for Bodybuilders
INQ = Index of Nutritional Quality

2.4.4 Mekanisme Kandungan Jintan Hitam Terhadap Inflamasi

Respon inflamasi dikendalikan oleh mediator kimiawi yang bekerja secara

lokal. Reaksi inflamasi dimulai dengan vasodilatasi akibat pelepasan mediator

kimia yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler (Wilson, 2005).

Kandungan Thymoquinone dalam jintan hitam mempunyai efek melawan

inflamasi dalam menghambat generasi eukosanoid dan membran lemak


32

peroksidase melalui menghambat jalur cyclooxgenase dan 5 lypoxygenase dari

metabolisme arakhidonat yang berguna sebagai aktifitas antiinflamasi (Gilani,

2004).

Hasil penelitian pada hewan uji tikus oleh Houghton, et al., bahwa

minyak Nigella Sativa (dengan zat aktif Thymoquinone) dapat menghambat

aktifitas jalur Cyclooxygenase (COX) dan Lipooxygenase (5-LOX) dari

metabolisme arakhidonat sel-sel lekosit peritonealnya. Dan studi ini kemudian

dilanjutkan oleh Mutabagani, EL-Mahdi dan Al-Ghamdi yang memperkuat hasil

studinya dan hasilnya relative sebanding dengan efek dari penggunaan

indometacine dan aspirine (keduanya termasuk obat anti inflamasi non steroid

atau OAINS). Indikasi penggunaan jintan hitam ini juga sebagai pengobatan

topikal (pengobatan melalui jaringan kulit) untuk mengatasi keluhan nyeri dan

kekakuan pada sendi-sendi tulang tubuh (Hendrik, 2007). Luka bakar pada

derajat II terjadi proses inflamasi, sehingga pemberian anitiinflamasi yang

terkandung dalam ekstrak jintan hitam dapat diharapkan atau digunakan sebagai

salah satu terapi perawatan untuk luka bakar.

2.5 Normal Saline 0,9%

Normal saline 0,9% merupakan cairan fisiologis dan tidak akan

membahayakan jaringan luka (Potter, 2005). Normal saline mempunyai rumus

kimia NaCl juga dikenal dengan garam dapur atau halit. Normal saline sering

digunakan sebagai larutan atau agen pembersih dalam perawatan luka (Suriadi,

2004).

Normal saline adalah larutan fisiologis yang ada diseluruh tubuh karena

alasan ini tidak ada reaksi hipersensitifitas dari normal saline. Normal saline

aman digunakan untuk kondisi apapun serta normal saline ini mempunyai Na dan

Cl yang sama seperti plasma dan larutan ini tidak mempengaruhi sel darah
33

merah. Normal saline tersedia dalam beberapa konsentrasi dan yang paling

sering digunakan adalah 0.9%. Normal saline ini merupakan larutan isotonis

aman untuk tubuh, tidak iritasi, melindungi granulasi jaringan dari kondisi kering,

menjaga kelembaban sekitar luka dan membantu luka menjalani proses

penyembuhan, serta mudah didapat dan harga relatif murah (Liley & Auker

dalam Ismail, 2008).

2.5.1 Kandungan Normal Saline 0,9%

Gambar 2.5 Normal Saline 0.9%

NaCl 0,9% artinya 0,9 gram NaCl dalam 100ml larutan infus. Osmolaritas

308 mOsm/L setara dengan ion-ion: Na+ 154 mEq/l dan ion Cl+ 154 mEq/l

(Aziyah, 2003).

2.5.2 Indikasi Normal Saline 0,9%

NaCl 0,9% (normal saline) diindikasikan untuk resusitasi, kehilangan Na >

Cl seperti diare, sindrom yang berkaitan dengan kehilangan natrium (asidosis

dibetikum, isufisiensi adrenokortikal, luka bakar (Otsuka, 2008). Menurut

Morison, 2004 bahwa agen pembersih pilihan untuk perawatan luka dapat

menggunakan air steril atau larutan garam 0,9%. Larutan sederhana tersebut

telah digunakan selama 2000 tahun terakhir, selain itu larutan tersebut bersifat

non-toksik.
34

2.6 Tinjauan Tikus Putih

2.6.1 Data Biologis Tikus

Penelitian ini akan menggunakan hewan coba tikus putih (Rattus

Norvegikus Strain Wistar). Hewan coba tikus putih adalah sebagai media yang

akan diberi perlakuan atau sebagai media yang akan diamati dalam sebuah

penelitian dengan memiliki karakteristik sebagai berikut:

Galur : Rattus Norvegikus Strain Wistar


Lama hidup (tahun) : 2,5 – 3
Berat Badan:
a. Jantan (gram) : 300 – 400
b. Betina (gram) : 250 – 300
Temperatur tubuh : 37,5
Kebutuhan air (ml/100g BB) : 8 – 11
Kebutuhan makanan (g/100g BB) : 5
Systolik (mmHg) : 84 – 184
Diastolik (mmHg) : 58 – 145
Frekuensi jantung (per menit) : 330 – 480
Frekuensi respirasi (per menit) : 66 – 114
Sistem kulit tikus : Kulit tikus tertutupi oleh dua lapisan yaitu
epidermis dan dermis. Lapisan kulit ini
terdiri bulu-bulu (feathers), memiliki kuku
(claws), kelenjar-kelenjar dan organ perasa
kulit.
(Kusmawati, 2004)

2.6.2 Perawatan Tikus Putih

2.6.2.1 Kandang

Prinsip kandang tikus laboratorium yaitu ditempatkan pada kotak yang

mudah dibersihkan, tahan lama, tahan digigit dan tikus tidak mudah lepas.

Sistem kandang harus dilengkapi makanan dan minuman yang mudah dicapai

oleh tikus. Ukuran kandang yang dianjurkan adalah 900 cm2 untuk sepasang

tikus bibit dan 1800 cm2 cukup untuk seekor induk dengan anak. Jumlah tikus
35

harus sesuai atau tidak terlalu banyak karena bila tikus berdesak-desakan akan

menyebabkan suhu badan meningkat diatas normal sehingga mengalami

hipertermi. Cara membersihkan kandang yaitu dengan mengganti alas misalnya:

sekam atau serbuk gergaji, sekam diganti 3 hari sekali agar tetap kering dan

tidak lembab (Mangkoewidjojo, 1988).

2.6.2.2 Lingkungan

Persyaratan yang penting adalah menjaga lingkungan tetap kering dan

bersih, suhu memadai dan memberi ruang yang cukup untuk bergerak dengan

bebas dalam berbagai posisi (Mangkoewidjojo, 1988). Selain itu perlu

pertimbangkan kenyamanan kehidupan hewan agar kandang terbebas dari

kebisingan, polusi, air yang menggenang, jauh dari gangguan. Faktor-faktor yang

dapat menimbulkan gangguan pada hewan coba yaitu:

a. Hewan pengganggu seperti rodentia liar

b. Hewan coba itu sendiri

c. Makanan dan alas kandang

d. Sistem ventilasi

e. Suplai air

f. Pekerja yang menangani hewan coba tersebut (Kusmawati, 2004).

2.6.3 Makanan dan Minuman Tikus

Bahan dasar makan tikus dapat bervariasi misalnya protein 20%-25%,

lemak 5%, pati 5-50%, serat kasar 5%, vitamin dll. Setiap hari tikus dewasa

makan antara 12-20 gram makanan. Keperluan mineral dalam makanan tikus

adalah kalsium 0.5%, fosfor 0.4%, magnesium 400 mg/Kg, kalium 0,36%,

natrum, tembaga, seng. Tikus minum air lebih banyak sehingga minuman harus

selalu tersedia, maka dapat digunakan botol yang dipakai untuk air minum. Air

minum tikus dewasa yang disediakan setiap hari sekitar 20-45 ml air

(Mangkoewidjojo, 1988).
36

2.6.4 Penggunaan Hewan Coba Tikus Sebagai Model

Hewan coba adalah hewan yang dapat digunakan untuk tujuan suatu

penelitian. Hewan-hewan ini meliputi hewan laboratorium (hewan khusus

dipelihara di laboratorium). Hipotesis mengenai proses terjadinya penyakit atau

tentang pengaruh positif dan negatif materi-materi tertentu pada hewan dan

manusia sering tidak dapat langsung digunakan atau diberikan. Sebab itu

terdapat beberapa spesies hewan seperti: mencit, tikus putih, kelinci, kera, atau

domba, sering diperlukan untuk mempelajari dan menjelaskan informasi proses-

proses patofisiologi dan evaluasi manfaat serta toksisitas materi baik berupa

obat, makanan atau tentang penyakit-penyakit yang pada akhirnya dapat

diaplikasikan pada manusia (Kusmawati, 2004).

Beberapa penelitian sering menggunakan tikus karena memiliki jenis kulit

dan jaringan organ yang mirip dengan manusia, sehingga proses fisiologisnya

hampir sama. Dengan demikian, efek yang seharusnya dapat diamati pada

manusia dapat diamati dengan lebih mudah pada tikus. Ukuran tikus lebih besar

dari pada mencit dan tikus putih ini tergolong hewan yang mudah dipegang,

sehingga tikus lebih disukai untuk berbagai penelitian (Kusmawati, 2004).

2.6.5 Cara Handling

Gambar 2.6 Cara Memegang Tikus

Pertama ekor dipegang sampai pangkal ekor. Kemudian telapak tangan

menggenggam melalui bagian belakang tubuh dengan jari telunjuk dan jempol

secara perlahan diletakkan disamping kiri dan kanan leher. Tangan lainya
37

membantu dengan menyangga dibawahnya atau tangan lainya dapat digunakan

untuk menyuntik ( Wikipedia, 2006).

2.6.6 Penandaan (Identifikasi) Hewan Laboratorium

Beberapa cara penandaan hewan coba laboratorium dilakukan untuk

mengetahui kelompok hewan yang diperlakukan berbeda dengan kelompok lain.

Penandaan ini dapat dilakukan secara permanen untuk penelitian jangka

panjang, sehingga tanda tersebut tidak mudah hilang, yaitu dengan cara-cara

memasang ear tag (anting bernomor), tatoo pada ekor, cat berwarna, melubangi

daun telinga dan elektronik transponder ( Wikipedia, 2006).

2.6.7 Anestesi Pada Hewan Coba

Analgesik adalah obat untuk menghasilkan rasa sakit atau nyeri. Terdapat

dua kelompok analgesik klasik yaitu narkotik (misal: morhine) dan non-narkotik

(misal: aspirin). Macam-macam stimulasi sebelum pemberian anestesi, meliputi

stimulasi elektrik, panas, tekanan dan kimiawi. Hewan yang dapat dipakai adalah

tikus, kelinci, anjing dan kera. Lokasi yang sering dipakai untuk suntikan

subkutan adalah daerah punggung atau leher. Teknik yang umum adalah

dengan memegang lipatan kulit dengan satu tangan sementara jarum

dimasukkan dibawah lipatan kulit pada dasar lipatanya. Rasa sakit setelah

penyuntikan dapat diatasi dengan teknik penyuntikan perlahan atau volume tidak

terlalu banyak dan yang harus dihindari adalah komplikasi adanya kemungkinan

jarum mengenai pembuluh darah (Kusmawati, 2004).

2.6.7.1 Teknik Anestesi

Terdapat tiga teknik anestesi:

1. General anestesi (anestesi umum)

Termasuk disini adalah teknik TIVA (Total Intravena Anestesi), face mask

atau anestesi dengan sungkup muka.


38

2. Regional anestesi

Termasuk disini adalah teknik subaracnoid blok (spinal anestesi) yaitu

anestesi dengan memasukkan obat anestesi lokal keruang epidural di vertebra

yang dikehendaki dan blok regional.

3. Anestesi lokal

Yaitu memberikan obat anestesi lokal secara infiltrasi disekitar daerah

yang akan dilakukan pembedahan. Salah satu obat anestesi lokal adalah lidokain

2% yang dapat diberikan secara topikal maupun suntikan. Pemberian lidokain

dosis 0,5-1 ml akan menimbulkan pati rasa kira-kira 1-2 menit dan akan

berlangsung selama ± 1 (satu) jam. Efek samping penggunaan lidokain jarang

menimbulkan efek samping (Syamsyudin, 1993).

.
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Proses Penyembuhan Luka


Perawatan luka dengan
Luka bakar derajat II, ekstrak jintan hitam, yang Inflamasi terjadi:
karakteristik: mempunyai kandungan
 Nyeri sebagai: Rubor/ eritema
 Eritema  Antiinflamasi Tumor/ edema Lamanya inflamasi
 Edema  Antipiretik >> cepat

30

 Eksudasi cairan Antibiotik Kalor/ panas disekitar luka


Dalam konsentrasi yang Dolor/ nyeri
berbeda. Tumor/ edema
Penurunan fungsi jaringan

Faktor perancu: Destruksi


 Umur
 Nutrisi Proliferasi
 Infeksi
 Sirkulasi dan
oksigenasi
Maturasi
40

Keterangan :

= Tidak diteliti

= Diteliti

3.2 Hipotesa Penelitian


Ekstrak jintan hitam (Nigella sativa) mempunyai pengaruh terhadap

lamanya fase inflamasi pada luka bakar derajat II..


BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan eksperimental murni laboratorium untuk

mengetahui pengaruh pemberian ekstrak jintan hitam (nigella sativa) secara

topikal dalam memperpendek fase inflamasi luka bakar derajat II. Pengambilan

data ini dilakukan pada akhir penelitian baik pada kelompok kontrol (normal

saline 0,9%) maupun kelompok perlakuan menggunakan extrak jintan hitam

awal, setengah dan seperempat.

4.2 Sampel Penelitian

4.2.1 Cara Pemilihan dan Jumlah Sampel

Sampel penelitian ini menggunakan tikus putih (strain wistar). Cara

pemilihan sampel menggunakan cara simple random sampling. Penelitian ini

diperlukan 2 kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan

menggunakan ekstrak jintan hitam dengan perhitungan sampel sebagai berikut

(Sudigdo S, 1995):

4 (n-1) ≥ 15
P (n-1) ≥ 15
4n – 4 ≥ 15

4n ≥ 15 + 4

4n ≥ 19

n ≥ 19
4
n = 4,75

41
42

Keterangan: “p” adalah jumlah perlakuan dan “n” adalah banyaknya

sampel. Jadi dalam penelitian ini diperlukan sejumlah sampel minimal 5 tikus

putih pada masing-masing kelompok, sehingga total jumlahnya 20 ekor tikus

putih.

4.2.2 Kriteria Sampel

Sampel penelitian ini terdiri 20 ekor tikus dengan kriteria sebagai berikut :

1. Sehat dengan ciri tikus aktif, mata jernih, telapak kaki dan kulit tidak

mengalami cacat, luka atau peradangan.

2. Jenis kelamin betina, karena pergerakannya kurang lincah bila dibandingkan

dengan jenis kelamin jantan sehingga mudah dilakukan perawatan luka.

3. Berat badan antara 150–200gr .

4. Usia 2 bulan (usia pertumbuhan)

5. Mendapatkan nutrisi yang sama.

6. Tikus ditempatkan pada kandang yang sama yaitu dengan dilapisi sekam dan

diganti tiap 3 hari sekali agar tetap kering dan ditempatkan 1 tikus 1 kandang

supaya tikus tidak berkelahi dan menimbulkan luka baru.

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Malang. Waktu penelitian dimulai pada tanggal 28 Januari sampai 2 Februarii

2009.

4.4 Alat dan Bahan Penelitian

4.4.1 Alat dan Bahan Pembuatan Extrak Jintan Hitam

a. Alat:

 Oven
43

 Timbangan (1)

 Gelas Erlenmeyer (2)

 Corong gelas (1)

 Kertas saring (1)

 Labu evaporator (1)

 Labu penampung etanol (1)

 Evaporator (1)

 Pendingin spiral / rotary evaporator (1)

 Selang water pump (1)

 Water pump

 Water bath

 Vacum pump (1)

 Botol hasil ekstraksi

b. Bahan:

 Jintan hitam 100 gr

 Etanol 96%

 Aquades

4.4.2 Alat dan Bahan Pembuatan Luka Bakar

a. Alat:

 Penggaris

 Obat anestesi (lidokain 0,1cc)

 Aquadest 1cc

 Spuit (5 cc) dan jarum

 Kassa steril

 Jam tangan
44

 Pisau cukur dan ganggangnya

 Sarung tangan steril (2 pasang)

 Bengkok (1 buah)

 Kom steril

 Perlak

 Gunting plester

 Pinset anatomi (Nawangsari, 2008)

b. Bahan:

 Tikus wistar

 Air panas suhu 1000 c

 Alkohol 70%

4.4.3 Alat dan Bahan Perawatan Luka Bakar

a. Alat:

 Bak instrument

 Pinset anatomi (2 buah)

 Sarung tangan steril

 Kassa steril

 Plester dan gunting plester

 Bengkok

 Korentang dan tempatnya

 Kom steril (Zulfa, 2006)

b. Bahan:

 Ekstrak jintan hitam

 Normal saline 0.9%

 Aquabides
45

4.5 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional

4.5.1 Identifikasi Variabel

1) Variabel Independen

Ekstrak jintan hitam (konsentrasi awal, setengah, seperempat).

2) Variabel Dependen

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah lamanya fase inflamasi.


4.5.2 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional Parameter Skala


Penelitian
1. Independen:
Ekstrak jintan Sediaan yang diperoleh dari hasil ekstraksi 100gr jintan 1.Konsentrasi awal
hitam hitam dengan metode soklet dingin dengan pelarut etanol 2.Konsentrasi setengah -
konsentrasi 900ml dan didapatkan hasil ekstraksi ± 35 ml (Lab. 3.Konsentrasi seperempat
awal Farmakologi).

Estrak jintan Sediaan yang diambil dari konsentrasi awal sebanyak 15


hitam gr/ml dan diencerkan dua kalinya dengan pelarut NaCl
konsentrasi 0.9% sebanyak 15 cc.
setengah

Ekstrak jintan Sediaan yang diambil dari konsentrasi setengah sebanyak


hitam 15 gr/ml dan diencerkan dua kalinya dengan pelarut NaCl
konsentrasi 0.9% sebanyak 15 cc.
seperempat

2. Dependen:
Lama fase Waktu yang diperlukan atau jumlah hari yang diperlukan
inflamasi. untuk proses fase inflamasi pada luka bakar derajat II Hari Interval
yang diobservasi dari penurunan eritema dan edema.

Variable terkait:
a. Eritema Adalah warna kemerahan yang timbul sebagai akibat dari  Eritema (4.Merah terang; -
reaksi peradangan. 3.Merah muda; 2.Merah
pucat; 1.Eritema hilang)
b. Edema Pembengkakan lokal yang dihasilkan oleh cairan dan sel-  Edema (4.Edema 75 – -
sel yang berpindah dari aliran darah ke jaringan interstitial 100%, 3. Edema 50 -
dengan karakteristik membentuk seperti lepuhan setelah 75%, 2. Edema 25 -50%,
luka bakar (Wilson, 2005). 1. Edema 0 – 25%)

3. Luka Bakar Luka yang dibuat dengan cara: kassa steril dicelupkan
derajat II. kedalam air mendidih 1000C selama 3 menit dan
ditempelkan ke punggung tikus sepanjang 1x2 cm selama - -
±30 detik dengan penekanan minimal, kemudian tunggu
sampai kulit lembab, merah berbintik atau merah muda
lepuh sebagian memucat (4-24 jam). Luka kemudian
dikompres kassa steril yang dicelupkan pada air dingin
steril untuk mengurangi derajat luka bakar lebih dalam
(Nawangsari, 2008)

47
48

4.6 Prosedur Penelitian

4.6.1 Penimbangan Tikus

Sebelum pelaksanakan dilakukan, maka terlebih dulu mengukur berat

badan tikus dengan menggunakan timbangan tikus (sartorius).

4.6.2 Adaptasi Tikus

Tikus diadaptasikan di Laboratorium Farmakologi fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya selama 7 hari dengan tujuan agar tikus dapat beradaptasi

dan menerima kondisi laboratorium atau pada lingkungan yang baru.

4.6.3 Randomisasi Tikus Penelitian

Tikus dikekompokkan secara acak (random) dengan metode simpel

random sampling dan sebanyak 20 ekor tikus yang homogen dibagi dalam 4

kelompok. Pembagian kelompok tersebut sebagai berikut:

a. Kelompok I (P1): Kelompok kontrol luka bakar derajat II yang merupakan

kelompok yang akan diberikan perawatan standar dengan menggunakan

normal saline 0,9%.

b. Kelompok II (PII): Kelompok perlakuan dengan luka bakar derajat II yang

akan diberikan perawatan menggunakan ekstrak jintan hitam konsentrasi

awal.

c. Kelompok III (PIII): Kelompok perlakuan dengan luka bakar derajat II yang

akan diberikan perawatan menggunakan ekstrak jintan hitam konsentrasi

setengah.

d. Kelompok IV (PIV): Kelompok perlakuan dengan luka bakar derajat II

yang akan diberikan perawatan menggunakan ekstrak jintan hitam

konsentrasi seperempat.
49

4.6.4 Penandaan (Kodefikasi) Tikus Putih

Penandaan tikus dalam penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk

mengidentifikasi atau membuat perbedaan pada dan masing masing tikus lalu

diberikan pewarnaan tubuh hewan coba dengan kriteria sebagai berikut :

Tabel 4.6 Kodefikasi Kelompok Tikus

TANDA PADA TIKUS

KELOMPOK TELINGA TELINGA KAKI


KEPALA KAKI KIRI
KANAN KIRI KANAN

P1 (Kontrol)
1 2 3 4 5
(Merah)

P2 (Perlakuan )
1 2 3 4 5
(Biru)

P3 (Perlakuan)
1 2 3 4 5
(Kuning)

P4 (Perlakuan)
1 2 3 4 5
(Hijau)

Contoh keterangan:

P1.1 = Kelompok kontrol menggunakan Normal Saline 0.9% nomor tikus 1

(Merah, kepala)

P2.2 = Kelompok perlakuan konsentrasi awal menggunakan ekstrak jintan hitam

dengan nomor tikus 2 (Biru dan telinga kanan)

P3.3 = Kelompok perlakuan konsentrasi setengah menggunakan ekstrak jintan

hitam dengan nomor tikus 3 (Hitam dan telinga kiri)

P4.4 = Kelompok perlakuan konsentrasi seperempat menggunakan ekstrak

jintan hitam dengan nomor tikus 4 (Hijau dan kaki kanan)


50

4.6.5 Pelaksanaan Penelitian

4.6.5.1 Pembuatan Ekstrak Jintan Hitam

Metode yang digunakan pembuatan ekstrak jintan ini adalah

menggunakan metode ekstraksi dingin. Metode ini merupakan salah satu cara

untuk memisahkan campuran padat-cair. Ekstrak jintan hitam merupakan hasil

pemisahan senyawa-senyawa dari campuran bahan lain dengan menggunakan

pelarut etanol 96% yang dibuat menggunakan alat ekstraktor. Pembuatan

ekstrak jintan hitam ini mengikuti standard pembuatan ekstrak dari bagian

Farmakologi Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, meliputi:

1. Proses pengeringan:

Pertamakali cuci bersih jintan hitam yang akan dikeringkan kemudian

oven dengan suhu 800C atau dengan panas matahari sampai kering (bebas

kandungan air).

2. Proses ekstraksi:

Setelah biji jintan hitam kering, dihaluskan menggunakan blender sampai

halus atau berbentuk bubuk. Selanjutnya ditimbang sebanyak 100 gr, sample

yang kering lalu dimasukkan ke dalam gelas Erlenmeyer ukuran 1lt. Kemudian

direndam dengan etanol sampai volume 900 ml. Kocok sampai benar-benar

tercampur (± 30 menit). Setelah terkocok rata didiamkan 1 malam sampai

mengendap. Hasil yang didapatkan kemudian dievaporasi (untuk memisahkan

ekstrak jintan hitam dengan pelarut etanol).

3. Proses evaporasi:

Pisahkan campuran diatas dengan mengambil lapisan atas campuran

etanol dengan zat aktif yang sudah terambil. Masukkan dalam labu evaporasi 1lt.

Pasang labu evaporasi pada evaporator. Evaporastor dipasang pada statis agar
51

tergantung dengan kemiringan 30-400 terhadap meja percobaan. Hasil rendaman

etanol dipindahkan ke labu pemisah eksatraksi lalu dipasangkan pada bagian

bawah evaporator. Evaporator juga dihubungkan dengan pendingin spiral pada

bagian atasnya dan penampung pelarut pada bagian sampingnya. Pendingin

spiral dihubungkan dengan vakum melaui selang plastik dan dihubungkan pula

dengan water pump juga melalui selang plastik. Water pump diletakkan di atas

bak yang berisi aquades (atur sampai 900C) kemudian dihubungkan dengan

sumber listrik sehingga aquades mengalir memenuhi pendingin spiral, ditunggu

hingga air mengalir merata. Biarkan larutan etanol memisah dengan zat aktif

yang sudah ada dalam labu. Tunggu sampai aliran etanol berhenti menetes pada

labu penampung (± 1,5 sampai 2 jam untuk 1 labu). Hasil yang diperoleh kira-kira

1/3 dari bahan alam kering. Tuangkan hasil kedalam cavum penguap lalu oven

suhu 60-700C. Masukkan hasil ekstraksi dalam botol plastik. Hasil evaporasi

berupa cairan kental. Dalam penelitian ini hasil evaporasi dianggap konsentrasi

100%. Simpan dalam freezer sampai bahan digunakan (Staf Lab.Farmakologi).

Perhitungan Larutan Ekstrak Jintan Hitam sebagai berikut:

1. Konsentrasi awal

 Jumlah cairan yang dapat diserap kassa (pada luas luka 1x2cm): 0.5 cc

 Satu kelompok tikus terdiri: 5 ekor tikus

 Lama perawatan: 5 hari

0,5 cc x 5 x 5 hr = 12,5 cc

 Sehingga ± dibutuhkan 15cc untuk konsentrasi awal

2. Konsentrasi setengah

 15cc diambil dari konsentrasi awal


52

 Ditambah 15cc NaCl 0.9% (pengencer)

 Sehingga didapatkan 30mg/lt larutan ekstrak jintan hitam

3. Konsentrasi seperempat

 15cc diambil dari konsentrasi setengah

 Ditambah 15cc NaCl 0.9% (pengencer)

 Sehingga didapatkan 30mg/lt larutan ekstrak jintan hitam

4.6.5.2 Pembuatan Luka Bakar

1. Perlak atau pengalas dipasang dibawah tubuh tikus

2. Tentukan daerah yang akan dibuat luka bakar, yaitu didaerah punggung

sebelah kanan tikus.

3. Posisi tikus diatur sehingga memudahkan pelaksanaan tindakan dengan

cara tikus di fiksasi yaitu dimasukkan dalam semacam tabung plastik

(sangkar) dengan lubang pada bagian depan dan belakangnya dengan

sedikit meruncing bagian kepala, tepat dibagian punggung terdapat

lubang yang sesuai ukuran yang akan digunakan untuk mencukur.

Tujuannya agar tikus tidak bergerak-gerak, sehingga memudahkan pada

waktu dilakukan pencukuran dan anastesi.

4. Hilangkan bulu dengan mencukurnya sesuai luasnya luka yang diinginkan

dan dari sekitar kulit yang akan dibuat luka bakar (± 2-3cm dari tepi luka).

5. Cuci tangan dan memakai sarung tangan

6. Desinfeksi area kulit yang telah dicukur dengan kapas alkohol 70%

7. Lakukan anastesi pada area kulit yang akan di buat luka bakar dengan

dosis 0,1cc lidokain dalam 1cc aquades dengan suntikan secara SC

(subkutan) sampai kedalam subkutan dengan teknik infiltrasi.


53

8. Potong kassa sesuai dengan luas luka bakar (1x2 cm) dan bentuk sesuai

cetakan.

9. Kassa dicelupkan kedalam air mendidih (1000C) selama 3 menit.

10. Kassa ditempelkan pada kulit tikus yang telah disiapkan dengan

menggunakan korentang.

11. Tunggu sampai terbentuk bula (30 detik).

12. Angkat kassa lalu kompres dengan air dingin selama 1 menit untuk

mencegah luka bakar lebih dalam.

13. Rapikan peralatan kembali dan cuci tangan.

4.6.5.3 Perawatan luka Bakar

Perawatan luka dilakukan setiap hari yaitu satu kali sehari sampai pada

hari ke-5. Semua kelompok dibersihkan dengan aquades lalu diberikan

perawatan pada masing-masing kelompok:

Kelompok I: Diberikan perawatan dengan normal saline 0.9% sebanyak

0,5 cc

Kelompok II: Diberikan perawatan dengan ekstrak jintan hitam dengan

konsentrasi awal sebanyak 0,5cc

Kelompok III: Diberikan perawatan dengan ekstrak jintan hitam dengan

konsentrasi setengah sebanyak 0,5cc

Kelompok IV:Diberikan perawatan dengan ekstrak jintan hitam dengan

konsentrasi seperempat sebanyak 0,5cc

Prosedur yang dilakukan :

1. Persiapan alat:

 Siapkan peralatan

 Dekatkan alat-alat
54

 Cuci tangan

 Buka pembungkus dan penutup steril

 Tuangkan normal saline 0.9%, extrak jintan hitam, aquades pada

masing-masing tempat yang steril, serta alkohol.

2. Melepas balutan:

 Pasang perlak dan alasnya

 Dekatkan bengkok dan tempat sampah dan berikan alkohol pada tepi

perekat dengan menggunakan kapas alkohol

 Buka bagian pinggir perekat dengan pinset bersih

 Buka seluruh balutan dengan cara menggulung kearah luari

(proksimal ke distal)

 Buang balutan ke bengkok

4. Membersihkan luka:

 Pakai sarung tangan steril

 Kaji dan inspksi keadaan luka

 Masukkan pada hasil pengamatan pada lembar penilaian

 Bersihkan luka dengan aquades

5. Memasang balutan:

 Ukur kassa yang digunakan sesuai luas luka

 Lipat kassa ke arah dalam

 Untuk kelompok kontrol kassa diberi normal saline 0,9% dan

kelompok perlakuan diberi ekstrak jintan hitam pada masing-masing

konsentrasi sebanyak 0,5 cc sampai semua cairan terserap.

 Letakkan kassa penutup pada bagian luar dengan lipatanya dibagian

dalam lalu plester bagian pinggir luka.


55

4.7 Teknik Sterilisasi

Teknik sterilisasi pada penelitian ini adalah teknik perebusan, untuk

sterilisasi alat-alat logam menggunakan autokalf. Temperatur 1000C dapat

membunuh bakteri pada kultur, suhu 1210C selama 15 menit dapat membunuh

spora. Secara umum digunakan uap karena bakteri lebih cepat terbunuh jika

basah dan uap dapat mendistribusikan panas ke seluruh bejana sterilisasi.

Sedangkan untuk sterilisasi non logam (misalnya kassa, sarung tangan

dan lainnya) menggunakan teknik panas kering yaitu udara panas oven listrik

pada suhu 160-1700C selama 1 jam atau lebih (Brooks G, 2001).

4.8 Pengumpulan Data

4.8.1 Teknik Pengumpulan Data

Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan panduan lembar

observasi dan mulai pengamatan pada hari ke-1 sampai pada hari ke-6 setelah

diberi perlakuan pada semua kelompok. Data yang diperoleh pada penelitian ini

diantaranya adalah menilai penurunan inflamasi.

4.9 Penyajian Data

Hasil dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel dan diagram line

(plot) yang diimplementasikan.


56

4.8 Alur Penelitian

Etical Clearens

Memilih sampel tikus dengan teknik simple


random sampling, yang sesuai kriteria.
20 sample tikus putih (Strain Wistar)

Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV


(KI): (PII): (PIII): (PIV):
5 sampel 5 sampel 5 sampel 5 sampel

Pembuatan luka bakar derajat II

Perlakuan Rawat Luka


Luka dibersihkan dengan aquades, kemudian:
1.Untuk kelompok kontrol diberikan normal saline 0.9%.
2.Untuk kelompok perlakuan diberikan ekstrak jintan hitam dengan
konsentasi yang berbeda-beda yaitu: konsentrasi awal, setengah
dan seperempat.

Lakukan penilaian terhadap inflamasi

Pengamatan lama fase inflamasi menggunakan lembar observasi. Lalu


diukur dari penurunan tanda inflamasi yaitu warna eritema dan edema.

Analisa Data

Pengambilan Kesimpulan

Gambar: 4.1 Alur Penelitian


57

4.9 Analisa Data

Analisis data untuk pengujian statistik yang digunakan pada penelitian ini
diuji menggunakan one way-analisis of varaiance (ANOVA) yaitu dengan meneliti
pengaruh pemberian ekstrak jintan hitam terhadap lamanya fase inflamasi untuk
berbagai kelompok perlakuan serta mempertimbangkan hari pengamatan.
Semua analisis statistik menggunakan software SPSS 15.
Sebelum melakukan analisis data dengan menggunakan one way
ANOVA (sebagai salah stu uji statistik Parametrik), maka diperlukan pemenuhan
atas beberapa asumsi data, yaitu dengan syarat data harus mempunyai sebaran
(distribusi) normal, mempunyai ragam yang homogen, terdapat lebih dari dua
variabel tidak berpasangan (bebas).
Distribusi normal merupakan distribusi teoritis dari variabel random yang
kontinyu. Kurva yang menggambarkan distribusi normal adalah kurva normal
yang berbentuk simetris. Untuk menguji apakah sampel penelitian meruapakan
jenis distribusi normal, maka digunakan pengujian Kolmogorov-Smirnov
Goodness of Fit Test terhadap masing-masing variabel.
H0 : data berdistribusi normal
H1 : data tidak berdistribusi normal
Kriteria pengujian:
 Angka signifikasi p(value) > 0.05, maka data berdistribusi
normal.
 Angka signifikasi p(value) < 0.05, maka data tidak berdistribusi
normal
Hipotesis penelitian:
Ekstrak jintan hitam (Nigella sativa) mempunyai pengaruh terhadap

lamanya fase inflamasi pada luka bakar derajat II..

Setelah didapatkan distribusi normal, kemudian dilakukan pengujian


homogenitas. Kemudian dengan pengujian ANOVA one-way.
59

BAB V

HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN

5.1 Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang telah dilakukan dalam menilai lama inflamasi pada

luka bakar derajat II. Pada penyembuhan luka bakar derajat II terdapat reaksi

inflamasi dimana akan timbul eritema dan edema. Penilaian ini dilakukan pada

semua kelompok tikus baik kelompok kontrol maupun perlakuan. Penilaian

inflamasi (eritema dan edema) pada observasi semakin rendah nilainya maka

inflamasi semakin menghilang, yang berarti proses penyembuhan akan semakin

membaik dengan kata lain lamanya inflamasi akan lebih cepat terlewati. Hasil

pengolahan data rata-rata lama inflamasi (eritema) dimulai hari pertama sampai

hari ke-6 disajikan pada tabel dan gambar dibawah ini:

5.1.1 Masa Inflamasi (Eritema).

Tabel 5.1 Kelompok Perlakuan, Hari Dan Rata-Rata Inflamasi (Eritema)

KELOMPOK PERLAKUAN H1 H2 H3 H4 H5 H6

Normal Saline 0,9% 3,8 3 2,2 1 1 1

JH Konsentrasi Awal 3,8 2,8 1,8 1 1 1

JH Konsentrasi Setengah 4 3 2,6 2,2 1,6 1

JH Konsentrasi Seperempat 4 3 2,6 2,2 1,8 1,2


60

ERITEMA

4
3,5
rata-rata lama eritema

H1
3
H2
2,5
H3
2
H4
1,5
H5
1
H6
0,5
0
Normal saline 0,9% jintan hitam jintan hitam jintan hitam
konsentrasi awal konsentrasi konsentrasi
setengah seperempat

Gambar 5.1 Rata-Rata Penurunan Inflamasi ( Eritema ) Berdasarkan Hari Pada Masing-
Masing Kelompok Perlakuan.

ERITEMA

4
3,5
Rata-rata lama eritema

Normal saline 0,9%


3
2,5 jintan hitam konsentrasi
2 awal
1,5 jintan hitam konsentrasi
setengah
1
jintan hitam konsentrasi
0,5 seperempat
0
H1 H2 H3 H4 H5 H6

Gambar 5.2 Rata-Rata Penurunan Inflamasi ( Eritema ) Pada Masing-Masing Kelompok


Perlakuan.

Berdasarkan tabel & gambar 5.1 secara umum diketahui bahwa eritema

pada hari ke-1 (rentang antara 3,8 – 4) sampai hari ke-3 (antara1,8 – 2,6) pada

semua kelompok baik perlakuan maupun kontrol tidak berbeda (hampir sama).

Pada hari ke-4 terdapat perbedaan antara kelompok kontrol dengan kelompok

perlakuan yaitu eritema pada kelompok kontrol (Normal Saline 0,9%) hilang pada

hari ke-4. Pada kelompok perlakuan jintan hitam konsentrasi awal hilang pada
61

hari ke-4, sedangkan konsentrasi setengah hilang pada hari ke-5 dan

konsentrasi seperempat lebih lama hilang eritemanya yaitu melebihi hari ke-6.

Berdasarkan data diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ekstrak jintan hitam

dengan semakin meningkatnya konsentrasi yang diberikan maka mempunyai

pengaruh dalam memperpendek terhadap lamanya inflamasi pada luka bakar

derajat II.

5.1.2 Masa Inflamasi (Edema)

Tabel 5.2 Kelompok Perlakuan, Hari Dan Rata-Rata Inflamasi (Edema)

KELOMPOK PERLAKUAN H1 H2 H3 H4 H5 H6

Normal Saline 0,9% 4 3 2,2 1,2 1,2 1

JH Konsentrasi Awal 3,8 2,8 2 1 1 1

JH Konsentrasi Setengah 4 3 2,6 2,2 1,6 1

JH Konsentrasi Seperempat 4 3 1,8 2 1,4 1,2

EDEMA

4
3,5
rata-rata lama edema

3
H1
2,5
2 H2
1,5 H3
1 H4
0,5 H5
0 H6
Normal jintan hitam jintan hitam jintan hitam
saline 0,9% konsentrasi konsentrasi konsentrasi
awal setengah seperempat
62

Gambar 5.3 Rata-Rata Penurunan Inflamasi ( Eritema ) Berdasarkan Hari Pada Masing-
Masing Kelompok Perlakuan.

EDEMA

4
3,5
Rata-rata lama edema

Normal saline 0,9%


3
2,5 jintan hitam konsentrasi
2 awal
1,5 jintan hitam konsentrasi
setengah
1
jintan hitam konsentrasi
0,5 seperempat
0
H1 H2 H3 H4 H5 H6

Gambar 5.4 Rata-Rata Penurunan Inflamasi ( Eritema ) Pada Masing-Masing Kelompok


Perlakuan.

Berdasarkan pada tabel dan gambar diatas pada kelompok kontrol

edema hilang pada hari ke-6 sedangkan pada kelompok perlakuan jintan hitam

konsentrasi awal edema hilang pada hari ke-4, pada konsentrasi setengah

edema hilang pada hari ke-6 dan konsentrasi seperempat edema hilang melebihi

hari ke-6. Dapat disimpulkan bahwa rata-rata kelompok kontrol dan perlakuan

konsentrasi setengah dan seperempat lebih lama hilangnya dibanding

konsentrasi awal.

5.2 Analisis Data

Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan software SPSS versi 15

dengan menggunakan uji one-way ANOVA. Sebelum dilakukan uji ANOVA

terlebih dahulu dilakukan uji nnormalitas untuk mengetahui bahwa data yang

diperoleh berasal dari varian yang homogen. Pengambilan keputusan pada uji
63

normalitas dan uji homogenitas didasarkan pada nilai ”p”. Bila p > 0,05 berarti

data normal dan semua varian homogen.

Pada lampiran untuk pengujian normalitas data digunakan Kolmogrov

Smirnov Normality Test dengan selang kepercayaan 95%. Dari hasil pengujian

20 data lamanya penyembuhan fase inflamasi yaitu didapat dari hilangnya

eritema dan edema, dapat disimpulkan bahwa nilai p > 0.05 dengan kata lain

terima Ho atau memiliki sebaran normal. Untuk menguji kehomogenan data

digunakan Test of Homogenity of Variances dengan selang kepercayaan 95%.

Dari uji tersebut didapatkan hasil signifikansi (p) > 0.05 = data mempunyai ragam

(varians) yang relatif homogen. Dapat disimpulkan bahwa data yang akan

digunakan masih mempunyai ragam yang homogen (p>0.05).

Dari hasil uji one way ANOVA pada ketiga konsentrasi dan kontrol,

menunjukkan nilai p (value) 0.000 < 0,05 sehingga Ho diterima, yang berarti ada

pengaruh yang signifikan antara ketiga konsentrasi dan kontrol terhadap

lamanya fase inflamasi pada luka bakar derajat II. Berarti ada pengaruh terhadap

lamanya fase inflamasi luka bakar derajat II. Uji Post Hoc Tukey HSD yang

terdapat pada lampiran untuk mengetahui kelompok mana yang mempunyai rata-

rata sama atau berbeda secara bermakna terhadap lamanya fase inflamasi.
64

BAB VI

PEMBAHASAN

Penelitian ini telah dilakukan untuk membuktikan pengaruh ekstrak

jintan hitam (nigella sativa) dalam memperpendek fase inflamasi luka bakar

derajat II pada tikus putih (Rattus Norvegikus Strain Wistar). Dalam penelitian ini

perawatan menggunakan ekstrak jintan hitam sebagai kelompok perlakuan dan

perawatan menggunakan normal saline 0,9% sebagai kelompok kontrol.

6.1 Lamanya Eritema dan Edema Luka Bakar Derajat II pada kelompok

Kontrol Normal Saline 0,9%

Pada penelitian ini menggunakan Normal Saline 0,9% karena sering

digunakan untuk perawatan dalam proses penyembuhan luka dan melakukan

debriment luka. Normal Saline 0,9% merupakan larutan fisiologis yang ada

diseluruh tubuh seta tidak ada reaksi hipersensitifitas. Normal saline melindungi

granulasi jaringan dari kondisi kering dan menjaga kelembaban sekitar luka dan

membantu dalam menjalani proses penyembuhan luka (Liley & Auker dalam

Ismail, 2008).

Kecepatan penyembuhan luka pada perawatan luka menggunakan

Normal Saline 0,9% (sebagai kelompok kontrol) ditandai dengan lamanya

hilangnya inflamasi dengan indikator eritema dan edema. Sebagaimana telah

dijelaskan pada Bab 5, bahwa masa inflamasi (eritema) hilang pada hari ke-4

sedangkan pada edema hilang pada hari ke-6. Normal saline 0.9% selain

sebagai bahan pembersih juga digunakan sebagai debridemen luka.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, kelompok kontrol Normal Saline


65

0.9% juga memberikan pengaruh terhadap lamanya masa inflamasi eritema dan

edema pada luka bakar derajat II. Kelompok kontrol mengalami penurunan

eritema pada hari ke-4 yang berarti tidak melebihi waktu normal inflamasi,

meskipun pada edema hilang pada hari ke-6. Pada kelompok kontrol ini

menujukkan hasil yang hampir sama dengan kelompok perlakuan konsentrasi

jintan hitam awal.

6.2 Lamanya Eritema dan Edema Luka Bakar Derajat II menggunakan

konsentrasi awal, setengah dan seperempat.

Dari hasil penelitian terbukti bahwa ekstrak jintan dapat memperpendek

lamanya fase inflamasi (eritema dan edema) luka bakar derajat II pada tikus,

karena didalam ekstrak jintan hitam terdapat zat yang diduga mendukung proses

penyembuhan luka (fase inflamasi) yaitu zat aktifnya thimoquinone yang memiliki

efek melawan inflamasi dalam menghambat generasi eukosanoid dan membran

lemak peroksidase melalui cara dengan menghambat jalur cyclooxigenase dan 5

lypooxigenase dari metabolisme arakhidonat yang berguna sebagai antiinflamasi

(Gilani, 2004). Selain itu efek farmakologis kandungan lain selain antiinflamsi dari

ekstrak jintan hitam adalah antipiretik, antibiotik antihistamin, antioksidan (zinc)

yang penting untuk membantu mempercepat penyembuhan dan pengeringan

luka (Hendrik, 2007).

Berdasarkan table 5.1 bahwa dari 3 kelompok perlakuan konsentrasi

jintan hitam didapatkan hasil pengaruh yang berbeda-beda, pada konsentrasi

jintan hitam awal fase inflamasi (eritema, edema) rata-rata hilang pada hari ke-4,

sedangkan pada konsentrasi setengah eritema hilang lebih lama yaitu pada hari

ke-6, untuk edema juga hilang pada hari ke-6. Konsentrasi seperempat eritema
66

hilang pada hari ke-6 dan edema hilang pada hari ke-5. Berdasarkan data

tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kelompok perlakuan jintan hitam

konsentrasi setengah dan seperempat memiliki proses penyembuhan yang lebih

lama dibanding konsentrasi awal.

Setiap kerusakan jaringan (dalam penelitian dibuat luka bakar derajat II)

akan memicu respon seluler maupun respon fisiologis tubuh untuk memperbaiki

kerusakan tersebut. Respon tersebut dikenal dengan proses penyembuhan luka

(seperti dijelaskan pada bab IV yang meliputi 4 fase yaitu respon pertama kali

muncul adalah inflamasiyang ditandai eritema, edema, hangat, nyeri lokal dan

gangguan fungsi. Selanjutnya diikuti fase destruksi yang ditandai munculnya

granulasi dan maturasi yang ditandai dengan epitelisasi (Perry&Potter, 2005).

Berdasarkan bab. 5 rata-rata eritema pada kelompok konsentrasi awal

hilang pada hari ke-4, kelompok konsentrasi setengah hilang pada hari ke-6

begitupun juga konsentrasi seperempat. Sehingga dapat disimpulkan ekstrak

jintan hitam konsentrasi awal memiliki pengaruh optimal terhadap lamannya

masa inflamasi eritema dan edema pada luka bakar derajat II.

Pemberian ekstrak jintan hitam mempunyai pengaruh terhadap lamanya

fase inflamasi pada luka bakar derajat pada tikus karena menurut teori didalam

ekstrak jintan hitam mengandung zat yang telah disebutkan sebelumnya yaitu

thimoquinone serta kandungan lain seperti saponin, vitamin A, B, protein,

kalsium, ribloflavin serta mempunyai zat sebagai antibiotik (anti bakteri),

antiinflamasi (anti radang) dan analgesik (anti nyeri) yang juga diduga membantu

dalam proses penyembuhan luka terutama pada fase inflamasi. Pada proses

penyembuhan luka diawali dengan proses inflamasi, hal ini disebabkan terjadi

fasodilatasi aktif (hyperemia aktif), dapat terjadi dari 15 menit sampai beberapa
67

jam dan tergantung dari berat ringannya cidera (Underwood, 1999). fase

inflamasi merupakan reaksi tubuh terhadap luka yang dimulai sejak terjadi luka

sampai hari kelima (Perry&Potter, 2005). Setelah cedera jaringan yang rusak dan

sel mast mensekresi histamin, yang menyebabkan vasodilatasi kapiler

disekitarnya dan mengluarkan serum dan sel darah putih ke dalam jaringan yang

rusak. Hal ini menyebabkan eritema dan edema, hangat dan nyeri lokal.

Kandungan thimoquinone dalam ekstrak jintan hitam ini diduga mempunyai efek

utama mengurangi gejala inflamasi yaitu menghambat eritema dan edema

dengan menghambat pembentukan enzim lipooxigenase dan 5 cyclooxigenase

(Hendrik, 2007).

Berdasarkan hal diatas secara keseluruhan dapat dijelaskan bahwa

konsentrasi setengah dan konsentrasi seperempat mempunyai kandungan zat

yang kurang bila digunakan untuk perawatan luka bakar derajat II. Untuk

konsentrasi awal mempunyai pengaruh memperpendek terhadap lamanya masa

inflamasi. Luka bakar dapat sembuh secara spontan dalam waktu 10-14 hari

tanpa pengobatan, tetapi pengobatan secara topikal penting diberikan untuk

mencegah terjadinya infeksi sekunder pada luka bakar.

6.3 Perbedaan Eritema dan Edema Luka Bakar Derajat II Menggunakan

Ekstrak Jintan Hitam dan Normal Saline 0,9%.

Pada bab 5, dijelaskan bahwa lama hilangnya masa inflamasi (eritema)

pada perawatan dengan menggunakan Normal Saline 0,9% terjadi pada hari ke-

4 tetapi pada edema lamanya hilang pada hari ke-6. Pada penggunaan jintan

hitam konsentrasi awal, lamanya penurunan eritema sama dengan penggunaan

Normal Saline 0,9% yaitu pada hari ke-4 dan edema juga pada hari ke-4. Hal ini
68

ditandai dengan lama hilangnya eritema dan edema yang hampir sama.

Selanjutnya pada penggunaan jintan hitam dengan konsentrasi setengah dan

konsentrasi seperempat juga memberikan pengaruh terhadap lamanya

penurunan masa inflamasi eritema dan edema yang sama, yakni pada hari ke-6

fase, sehingga dapat disimpulkan pada kedua konsentrasi ini penurunan masa

inflamasi eritema dan edema lebih lama.

Normal Saline 0,9% dan jintan hitam sama-sama mempunyai pengaruh

terhadaplamanya masa inflamasi eritema dan edema. Untuk mengetahui

perbedaan kecepatan proses penyembuhan antara dua kelompok tersebut,

dilakukan pengujian secara statistik dengan menggunakan uji one way ANOVA.

Pada Bab 5, telah dijelaskan bahwa terdapat perbedaan terhadap lamanya

masa inflamasi yang dilihat pada eritema dan edema. Hal ini membuktikan

bahwa kelompok kontrol memberikan pengaruh yang hampir sama dengan

kelompok perlakuan, atau dengan kata lain, bahwa lamanya fase inflamasi

dengan menggunakan Normal Saline 0,9% sama dengan lamanya penurunan

eritema dan edema yang menggunakan jintan hitam konsentrasi awal.

6.4 Implikasi Keperawatan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan hasil uji statistik

yang digunakan, maka implikasi keperawatan untuk melakukan pada luka bakar

derajat II salah satunya dapat diharapkan dapat digunakan sebagai pengobatan

alternatif dengan menggunakan ekstrak jintan hitam dengan konsentrasi awal,

akan tetapi konsentrasi awal pada penelitian ini masih pada batas mengetahui

pengaruhnya tahap proses inflamasi belum sampai pada penyembuhan

sehingga belum diketahui pengaruh terhadap penyembuhannya.


69

6.5 Hambatan dan Keterbatasan Penelitian

1. Penilaian yang dilakukan kurang akurat untuk menentukan konsentrasi

dalam pengekstrakan jintan hitam (Nigella Sativa) yang efektif untuk

perawatan luka serta dalam penelitian ini tidak dilakukan uji toksisitas.

2. Waktu penelitian sangat pendek pada penelitian ini hanya 6 hari,

sehingga hasil yang didapatkan kurang maksimal.

3. Eksplorasi konsentrasi tidak dilakukan karena keterbatasan waktu

penelitian.

4. Data yang diperoleh berasal dari observasi sehingga dapat bersifat

subyektif.
BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Kelompok control normal saline mempunyai pengaruh yang hampir sama

denga kelompok perlakuan jintan hitam konsentrasi awal yang dapat dilihat

dari lamanya masa inflamasi yang diukur pada pada eritema dan edema.

2. Kelompok perlakuan konsentrasi jintan hitam awal mempunyai pengaruh

yang lebih signifikan terhadapa lamanya masa inflamasi eritema dan edema

pada luka bakar derajat II dibandingkan dengan kelompok perlakuan

konsentrasi setengah maupun seperempat.

3. Semakin murni atau tinggi konsentrasi maka semakin mempunyai pengaruh

dalam memperpendek/ mempercepat terhadap lamanya fase inflamasi.

7.2 Saran

1. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai konsentrasi yang tepat dan dapat

menimbulkan efek terhadap penyembuhan luka bakar derajat II.

2. Perlu penelitian lebih lanjut tentang macam-macam zat aktif lain yang

ditemukan pada biji jintan hitam yang dapat digunakan sebagai perawatan

atau sebagai pencegahan.

3. Diperlukan alat ukur yang lebih baku lagi untuk menilai fase inflamasi eritema

maupun edema.

66
67

DAFTAR PUSTAKA

Arifiyah. 2007. The Wonderful Black Seed (Jintan Hitam) (online).


(Http://www.asiamaya.com/jintanhitam-nigellasativa.htm). Diakses 30 Juli
2008.

Arikunto S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Ed: revisi V.


Jakarta: Rineka Cipta

Azzam R. 2008. Asuhan Keperawatan Pasien Luka Bakar (online).


(Http://medicalbedah-rohmanazzam.blogspot.com/2008/02/asuhan-
keperawatan-klien-luka-bakar.html). Diakses pada tanggal 2 Oktober
2008

Brook GF, Butel JS, Morse SA. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Diterjemahkan:
Bagian Mikrobiologi FK UNAIR. Jakarta: Salemba Medika

Dajan A. 1995. Pengantar Metode Statistik. Jilid I. Jakarta: Pustaka LP3ES

Effendy C. 1999. Perawatan Pasien Luka Bakar. Jakarta: EGC

Harrison. 1999. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Vol.1 Ed:13. Jakarta: EGC.
Hal: 213-214

Hassan AG, Jabeeb Q, and Asad MUK. 2004. A Review of Medical Uses and
Pharmacoloical Aktivities of Nigella sativa. The Aga Khan University
Medical College: Pakistan Journal of Biological Science

Hendrik. 2007. Habbatus Sauda: Tibbun Nabawiy. Surakarta: Pustaka Al-Ummat.

Horne MM. 2001. Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Asam-Basa. Alih bahasa:
Monica Ester. Ed.2. Jakarta: EGC

Irna Bedah RSUD Dr.Soetomo. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Pasien


Dengan Luka Bakar (Combustio) (Online). (Http://www.keperawatan-
gun.blogspot.com/search/label/luka%20BAKAR). Diakses pada tanggal
15 November 2008

Irmansyah BS. 2003. Biji Jintan Hitam Bisa Atasi Berbagai Penyakit.
(Http://www.sinarharapan.co.id/berita/0610/06/ipt03.html). Diakses pada
tanggal 12 November 2008

Ismail. 2007. Luka dan Perawatanya. (Online).


(http://images.mailmkes.multiply.com). Diakses pada tanggal 14 Mei 2008

Katzer G. 2006. Nigella Sativa, (online). (Http://www.Uni-graz.at/-


katzer/engl/Nige-sat.htm). Diakses pada 27 agustus 2008
68

Kusmawati D. 2004. Bersahabat dengan hewan coba. Gajah Mada Universitas


Press: Yogyakarta

Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan Pembiakan dan Penggunaan Hewan


Percobaan Didaerah Tropis. Jakarta: Universitas Indonesia Press

Moenadjat Y. 2001. LUKA BAKAR: Pengetahuan Klinis Praktis Edisi Revisi.


Jakarta: FKUI. Hal: 1-7

Morison, MJ. 2003. Manajemen Luka. Sari Kurnianingsih (Penerjemah). EGC:


Jakarta

Nawangsari A. 2008. Perbedaan Efek Perawatan Luka Menggunakan Lumatan


Daun Mahkota Dewa(Plaleria macrocarpa) Dalam Mempercepat Proses
Penyembuhan Luka Bakar Derajat II Dangkal Pada Tikus Wistar (Rattus
Norvegikus). Tugas Akhir. Malang: Universitas Brawijaya

Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Otsuka. 2006. Otsu-NS (online).


(http://www.Otsuka.co.id/content=article_detail&id=23&lang=id). Diakses
pada tanggal 14 November 2008

Poerwanto DP. 2008. Serba Serbi Luka Bakar & Tata Laksana Mutakhir (online).
(Http://www.lukabakar.net/site/cat=7). Diakses pada tanggal 2 Oktober
2008

Potter, PA. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: konsep, proses, dan
praktik. Ed: 4. Jakarta: EGC

Robbins SL, Kumar V, Cotran RS. 1995. Buku Ajar Patologi Robbins. Alih
bahasa: Brahm U. Ed:4. Jakarta: EGC

Santoso S. 2004. Buku Statistik Parametrik. Ed: 4. Jakarta: Penerbit PT Elex


Media Komputindo

Setiadi. 2007. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Ed.I. Graha Ilmu: Yogyakarta

Smeltzer S and Suzanne C. 2001. Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical


Surgical Nursing, 8th Edition, Agung Waluyo (penerjemah). Jakarta: EGC.
Hal: 1912-1917

Staf Lab Farmakologi (tanpa tahun). Ekstraksi Bahan Alami. Malang:


Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Sudigdo S. 1995. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Binarupa


Aksara
69

Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Ed: 8. Bandung: Alfabeta

Suriadi. 2004. Perawatan Luka. Ed.1. Sagung seto: Jakarta

Syamsudin U, Fatma DS, Susanto SH. 1993. Perbandingan Mula Kerja Dua
anestesi lokal lidokain Pada Kasus Pencabutan Gigi Molar Satu Atau Dua
Rahang Bawah (Cermin Dunia Kedokteran).
(Http://www.kalbe.co.id/files/cdk_059_tanaman_obat_(ii)). PDF. Diakses
pada tanggal 2-01-2009.

Underwood JCE. 1999. Patologi dan Sistemik. Ed: 2. Jakarta: EGC Yulianti S,
Junaedi E. 2008. Sembuhkan Penyakit Dengan Habbatus Sauda.
Jakarta: Agramedia Pustaka

Wikipedia. 2006. Pengenalan Hewan Coba.


(Http://www.geocities.com/kuliah_farm/praktkum/hewan_coba.doc).
Diakses pada tanggal 3-1-2009.

Wilson ML, Anderson S. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC

Wasitaatmadja SM. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed:4. Jakarta: FKUI

Zulfa A. 2006. Efek Daun Pegagan (Centella asiatica) Dalam Mempercepat


Proses Penyembuhan Luka Bakar Derajat II Pada Marmut. Tugas Akhir.
Malang: Universitas Brawijaya
faktor eritema hari ke 1

Tukey HSD
Subset for
alpha =
.05

faktor eritema N 1
NS 0,9 % 5 3,800
JH Awal 5 3,800
JH 1/2 5 4,000
JH 1/4 5 4,000
Sig. ,752
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

faktor eritema hari ke 3

Tukey HSD
Subset for
alpha =
.05

faktor eritema N 1
JH Awal 5 1,800
NS 0,9 % 5 2,200
JH 1/2 5 2,600
JH 1/4 5 2,600
Sig. ,093
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

faktor eritema hari ke 4

Tukey HSD
Subset for alpha = .05
faktor eritema N 1 2
NS 0,9 % 5 1,000
JH Awal 5 1,000
JH 1/2 5 2,200
JH 1/4 5 2,200
Sig. 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.
faktro eritema hari ke 5

Tukey HSD
Subset for alpha = .05
faktor eritema N 1 2
NS 0,9 % 5 1,000
JH Awal 5 1,000
JH 1/2 5 1,600 1,600
JH 1/4 5 1,800
Sig. ,070 ,808
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

faktor eritema hari ke 6

Tukey HSD
Subset for
alpha =
.05

faktor eritema N 1
NS 0,9 % 5 1,000
JH Awal 5 1,000
JH 1/2 5 1,000
JH 1/4 5 1,200
Sig. ,509
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.

Lampiran 3

LAMPIRAN DATA ERITEMA & EDEMA BERDASARKAN OBSERVASI


KELOMPOK KONTROL NS 0,9%

Tikus 1

NO. HARI/TANGGAL BB WAKTU ERITEMA EDEMA


TIKUS PEMBUATAN WAKTU SCORE WAKTU SCORE
LUKA BAKAR
1 RABU, 28/1/09 170 08.30 12.30 4 12.30 4
2 KAMIS, 29/1/09 170 - 08.30 3 08.30 3
3 JUMAT, 30/1/09 175,5 - 08.30 3 08.30 2
4 SABTU, 31/1/09 178 - 08.30 1 08.30 1
5 MINGGU, 1/2/09 178 - 08.30 1 08.30 2
6 SENIN, 2/2/09 180 - 08.30 1 08.30 1
Tikus 2

NO. HARI/TANGGAL BB WAKTU ERITEMA EDEMA


TIKUS PEMBUATAN WAKTU SCORE WAKTU SCORE
LUKA BAKAR
1 RABU, 28/1/09 163 08.40 12.33 4 12.33 4
2 KAMIS, 29/1/09 162 - 08.36 3 08.36 3
3 JUMAT, 30/1/09 160,5 - 08.36 2 08.36 2
4 SABTU, 31/1/09 165,5 - 08.37 1 08.37 1
5 MINGGU, 1/2/09 165 - 08.36 1 08.36 1
6 SENIN, 2/2/09 165 - 08.35 1 08.35 1
Tikus 3

NO. HARI/TANGGAL BB WAKTU ERITEMA EDEMA


TIKUS PEMBUATAN WAKTU SCORE WAKTU SCORE
LUKA BAKAR
1 RABU, 28/1/09 167 08.50 12.36 4 12.36 4
2 KAMIS, 29/1/09 167 - 08.43 3 08.43 3
3 JUMAT, 30/1/09 168 - 08.42 2 08.42 3
4 SABTU, 31/1/09 170 - 08.44 1 08.44 2
5 MINGGU, 1/2/09 171 - 08.43 1 08.43 2
6 SENIN, 2/2/09 170 - 08.40 1 08.40 1
Tikus 4

NO. HARI/TANGGAL BB WAKTU ERITEMA EDEMA


TIKUS PEMBUATAN WAKTU SCORE WAKTU SCORE
LUKA BAKAR
1 RABU, 28/1/09 160 09.00 12.40 4 12.40 4
2 KAMIS, 29/1/09 160 - 08.51 3 08.51 3
3 JUMAT, 30/1/09 158 - 08.48 2 08.48 2
4 SABTU, 31/1/09 160 - 08.50 1 08.50 1
5 MINGGU, 1/2/09 165 - 08.51 1 08.51 1
6 SENIN, 2/2/09 165 - 08.47 1 08.47 1

Tikus 5
NO. HARI/TANGGAL BB WAKTU ERITEMA EDEMA
TIKUS PEMBUATAN WAKTU SCORE WAKTU SCORE
LUKA BAKAR
1 RABU, 28/1/09 168 09.10 12.43 3 12.43 4
2 KAMIS, 29/1/09 170 - 08.57 3 08.57 3
3 JUMAT, 30/1/09 170 - 08.55 2 08.55 2
4 SABTU, 31/1/09 174,5 - 08.57 1 08.57 1
5 MINGGU, 1/2/09 170 - 08.57 1 08.57 1
6 SENIN, 2/2/09 170 - 08.54 1 08.54 1

KELOMPOK PERLAKUAN JINTAN HITAM KONSENTRASI AWAL


Tikus 1

NO. HARI/TANGGAL BB WAKTU ERITEMA EDEMA


TIKUS PEMBUATAN WAKTU SCORE WAKTU SCORE
LUKA BAKAR
1 RABU, 28/1/09 170 09.20 12.46 4 12.46 4
2 KAMIS, 29/1/09 175 - 09.02 3 09.02 3
3 JUMAT, 30/1/09 178,5 - 09.01 2 09.01 2
4 SABTU, 31/1/09 200 - 09.03 1 09.03 1
5 MINGGU, 1/2/09 200 - 09.02 1 09.02 1
6 SENIN, 2/2/09 200 - 09.01 1 09.01 1
Tikus 2

NO. HARI/TANGGAL BB WAKTU ERITEMA EDEMA


TIKUS PEMBUATAN WAKTU SCORE WAKTU SCORE
LUKA BAKAR
1 RABU, 28/1/09 153 09.30 12.49 4 12.49 4
2 KAMIS, 29/1/09 153 - 09.07 3 09.07 3
3 JUMAT, 30/1/09 155,5 - 09.06 2 09.06 2
4 SABTU, 31/1/09 156 - 09.09 1 09.09 1
5 MINGGU, 1/2/09 160 - 09.07 1 09.07 1
6 SENIN, 2/2/09 160 - 09.08 1 09.08 1
Tikus 3

NO. HARI/TANGGAL BB WAKTU ERITEMA EDEMA


TIKUS PEMBUATAN WAKTU SCORE WAKTU SCORE
LUKA BAKAR
1 RABU, 28/1/09 163,5 09.40 12.52 4 12.52 4
2 KAMIS, 29/1/09 163,5 - 09.13 3 09.13 3
3 JUMAT, 30/1/09 163 - 09.12 2 09.12 2
4 SABTU, 31/1/09 165 - 09.15 2 09.15 2
5 MINGGU, 1/2/09 168 - 09.13 1 09.13 1
6 SENIN, 2/2/09 168 - 09.14 1 09.14 1

Tikus 4
NO. HARI/TANGGAL BB WAKTU ERITEMA EDEMA
TIKUS PEMBUATAN WAKTU SCORE WAKTU SCORE
LUKA BAKAR
1 RABU, 28/1/09 163 09.50 12.55 3 12.55 3
2 KAMIS, 29/1/09 165 - 09.20 2 09.20 2
3 JUMAT, 30/1/09 165,5 - 09.18 1 09.18 2
4 SABTU, 31/1/09 165,5 - 09.21 1 09.21 1
5 MINGGU, 1/2/09 166 - 09.20 1 09.20 1
6 SENIN, 2/2/09 166 - 09.20 1 09.20 1
Tikus 5

NO. HARI/TANGGAL BB WAKTU ERITEMA EDEMA


TIKUS PEMBUATAN WAKTU SCORE WAKTU SCORE
LUKA BAKAR
1 RABU, 28/1/09 171 10.00 12.58 4 12.58 4
2 KAMIS, 29/1/09 170 - 09.26 3 09.26 3
3 JUMAT, 30/1/09 170,5 - 09.25 2 09.25 2
4 SABTU, 31/1/09 170,5 - 09.27 1 09.27 1
5 MINGGU, 1/2/09 170 - 09.26 1 09.26 1
6 SENIN, 2/2/09 172 - 09.26 1 09.26 1

KELOMPOK PERLAKUAN JINTAN HITAM KONSENTRASI SETENGAH


Tikus 1

NO. HARI/TANGGAL BB WAKTU ERITEMA EDEMA


TIKUS PEMBUATAN WAKTU SCORE WAKTU SCORE
LUKA BAKAR
1 RABU, 28/1/09 178 10.10 13.03 4 13.03 4
2 KAMIS, 29/1/09 180 - 09.33 3 09.33 3
3 JUMAT, 30/1/09 180 - 09.32 3 09.32 3
4 SABTU, 31/1/09 182 - 09.34 3 09.34 3
5 MINGGU, 1/2/09 180 - 09.33 2 09.33 2
6 SENIN, 2/2/09 180 - 09.32 1 09.32 1
Tikus 2

NO. HARI/TANGGAL BB WAKTU ERITEMA EDEMA


TIKUS PEMBUATAN WAKTU SCORE WAKTU SCORE
LUKA BAKAR
1 RABU, 28/1/09 158,5 10.20 13.06 4 13.06 4
2 KAMIS, 29/1/09 160 - 09.40 3 09.40 3
3 JUMAT, 30/1/09 162 - 09.38 2 09.38 2
4 SABTU, 31/1/09 160 - 09.41 2 09.41 2
5 MINGGU, 1/2/09 170 - 09.40 1 09.40 1
6 SENIN, 2/2/09 171 - 09.39 1 09.39 1

Tikus 3
NO. HARI/TANGGAL BB WAKTU ERITEMA EDEMA
TIKUS PEMBUATAN WAKTU SCORE WAKTU SCORE
LUKA BAKAR
1 RABU, 28/1/09 170 10.30 13.10 4 13.10 4
2 KAMIS, 29/1/09 173 - 09.46 3 09.46 3
3 JUMAT, 30/1/09 170,5 - 09.45 2 09.45 2
4 SABTU, 31/1/09 175 - 09.47 2 09.47 2
5 MINGGU, 1/2/09 175 - 09.46 1 09.46 1
6 SENIN, 2/2/09 175 - 09.45 1 09.45 1
Tikus 4

NO. HARI/TANGGAL BB WAKTU ERITEMA EDEMA


TIKUS PEMBUATAN WAKTU SCORE WAKTU SCORE
LUKA BAKAR
1 RABU, 28/1/09 158 10.40 13.13 4 13.13 4
2 KAMIS, 29/1/09 160 - 09.52 3 09.52 3
3 JUMAT, 30/1/09 160 - 09.51 3 09.51 3
4 SABTU, 31/1/09 162 - 09.53 2 09.53 2
5 MINGGU, 1/2/09 169,5 - 09.52 2 09.52 2
6 SENIN, 2/2/09 169 - 09.51 1 09.51 1
Tikus 5

NO. HARI/TANGGAL BB WAKTU ERITEMA EDEMA


TIKUS PEMBUATAN WAKTU SCORE WAKTU SCORE
LUKA BAKAR
1 RABU, 28/1/09 176 10.55 13.16 4 13.16 4
2 KAMIS, 29/1/09 176 - 09.58 3 09.58 3
3 JUMAT, 30/1/09 176 - 09.57 3 09.57 3
4 SABTU, 31/1/09 178 - 10.00 2 10.00 2
5 MINGGU, 1/2/09 178,5 - 09.58 2 09.58 2
6 SENIN, 2/2/09 178 - 09.57 1 09.57 1

KELOMPOK PERLAKUAN JINTAN HITAM KONSENTRASI SEPEREMPAT


Tikus 1

NO. HARI/TANGGAL BB WAKTU ERITEMA EDEMA


TIKUS PEMBUATAN WAKTU SCORE WAKTU SCORE
LUKA BAKAR
1 RABU, 28/1/09 165 11.10 13.19 4 13.19 4
2 KAMIS, 29/1/09 166 - 10.05 3 10.05 3
3 JUMAT, 30/1/09 168 - 10.03 3 10.03 3
4 SABTU, 31/1/09 170 - 10.06 3 10.06 2
5 MINGGU, 1/2/09 167,5 - 10.05 2 10.05 2
6 SENIN, 2/2/09 166 - 10.04 2 10.04 2
Tikus 2

NO. HARI/TANGGAL BB WAKTU ERITEMA EDEMA


TIKUS PEMBUATAN WAKTU SCORE WAKTU SCORE
LUKA BAKAR
1 RABU, 28/1/09 172 11.20 13.22 4 13.22 4
2 KAMIS, 29/1/09 172 - 10.12 3 10.12 3
3 JUMAT, 30/1/09 172,5 - 10.11 2 10.11 2
4 SABTU, 31/1/09 173 - 10.13 2 10.13 2
5 MINGGU, 1/2/09 170 - 10.12 2 10.12 1
6 SENIN, 2/2/09 174 - 10.10 1 10.10 1
Tikus 3

NO. HARI/TANGGAL BB WAKTU ERITEMA EDEMA


TIKUS PEMBUATAN WAKTU SCORE WAKTU SCORE
LUKA BAKAR
1 RABU, 28/1/09 165 11.30 13.25 4 13.25 4
2 KAMIS, 29/1/09 169 - 10.18 3 10.18 3
3 JUMAT, 30/1/09 169 - 10.17 3 10.17 2
4 SABTU, 31/1/09 168 - 10.20 2 10.20 2
5 MINGGU, 1/2/09 168,5 - 10.18 2 10.18 1
6 SENIN, 2/2/09 168 - 10.16 1 10.16 1
Tikus 4

NO. HARI/TANGGAL BB WAKTU ERITEMA EDEMA


TIKUS PEMBUATAN WAKTU SCORE WAKTU SCORE
LUKA BAKAR
1 RABU, 28/1/09 164,5 11.45 13.28 4 13.28 4
2 KAMIS, 29/1/09 166 - 10.24 3 10.24 3
3 JUMAT, 30/1/09 166 - 10.23 2 10.23 2
4 SABTU, 31/1/09 167 - 10.26 2 10.26 2
5 MINGGU, 1/2/09 167,5 - 10.24 1 10.24 2
6 SENIN, 2/2/09 167 - 10.22 1 10.22 1
Tikus 5

NO. HARI/TANGGAL BB WAKTU ERITEMA EDEMA


TIKUS PEMBUATAN WAKTU SCORE WAKTU SCORE
LUKA BAKAR
1 RABU, 28/1/09 150 11.55 13.32 4 13.32 4
2 KAMIS, 29/1/09 150 - 10.30 3 10.30 3
3 JUMAT, 30/1/09 150 - 10.28 3 10.28 2
4 SABTU, 31/1/09 152,5 - 10.32 2 10.32 2
5 MINGGU, 1/2/09 153 - 10.30 2 10.30 1
6 SENIN, 2/2/09 153 - 10.29. 1 10.29. 1

Lampiran 4
ALAT DAN BAHAN

Timbangan Sartorius

1. 2. 3.

Sediaan Ekstrak Jintan Hitam: (1) Konsentrasi Awal, (2) Konsentrasi Setengah
Dan (3) Konsentrasi Seperempat.

Peralatan Perawatan Luka


Pembuatan Luka Bakar Derajat II

Perawatan Luka Tertutup

Lampiran 5
DOKUMENTASI FOTO LUKA BAKAR DERAJAT II

Foto Luka Bakar Derajat II:

5. Kelompok Kontrol

H1 H2 H3 H4

H5 H6

6. Kelompok Perlakuan Ekstrak Jintan Hitam Konsentrasi Awal

H1 H2 H3 H4

H5 H6

7. Kelompok Perlakuan Ekstrak Jintan Hitam Konsentrasi Setengah

H1 H2 H3 H4

H5 H6
8. Kelompok Perlakuan Ekstrak Jintan Hitam Konsentrasi Seperempat

H1 H2 H3 H4

H5 H6

Lampiran 6
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Eni Cahyani

NIM : 0710722042

Jurusan: Ilmu Keperawatan

Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini

hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan tulisan atau pikiran

orang lain yang saya aku sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dii

kemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan,

maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Malang, 12 Maret 2009

Yang Membuat Pernyataan

Eni Cahyani
NIM. 0710722042
Lampiran 7

LEMBAR PENILAIAN OBSERVASI TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGIKUS STRAIN WISTAR)

Kelompok :
Tikus ke :

HARI/TANGGAL BB TIKUS WAKTU ERITEMA EDEMA Ket.


PEMBUATAN WAKTU: SKOR WAKTU: SKOR
LUKA BAKAR

Keterangan:

1. Eritema: 2. Edema:
4. Merah terang 4. Edema 75 – 100%
3. Merah muda 3. Edema 50 – 75%
2. Merah mucat 2. Edema 25 – 50%
1. Eritema hilang 1. Edema 0 – 25%
Lampiran 2

No. Kelompok Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6


Tikus
Eritema Edema Eritema Edema Eritema Edema Eritema Edema Eritema Edema Eritema Edema
1. 1 4 4 3 3 3 2 1 1 1 1
2. 1 4 4 3 3 2 2 1 1 1 1 1 1
3. 1 4 4 3 3 2 3 1 1 1 2 1 1
4. 1 4 4 3 3 2 2 1 1 1 1 1 1
5. 1 3 4 3 3 2 2 1 1 1 1 1 1
6. 2 4 4 3 3 2 2 1 1 1 1 1 1
7. 2 4 4 3 3 2 2 1 1 1 1 1 1
8. 2 4 4 3 3 2 2 1 1 1 1 1 1
9. 2 3 3 2 2 1 2 1 1 1 1 1 1
10. 2 4 4 3 3 2 3 1 3 1 1 1 1
11. 3 4 4 3 3 3 3 3 2 2 2 1 1
12. 3 4 4 3 3 2 2 2 2 1 1 1 1
13. 3 4 4 3 3 2 2 2 2 1 1 1 1
14. 3 4 4 3 3 3 3 2 2 2 2 1 1
15. 3 4 4 3 3 3 3 2 2 2 2 1 1
16. 4 4 4 3 3 2 3 3 2 2 2 2 2
17. 4 4 4 3 3 3 2 2 2 2 1 1 1
18. 4 4 4 3 3 2 2 2 2 2 1 1 1
19. 4 4 4 3 3 2 2 2 2 1 2 1 1
20. 4 4 4 3 3 3 2 2 2 2 1 1 1

Anda mungkin juga menyukai