Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


aspek sosial dan budaya sangat mempengaruhi pola kehidupan manusia
diera globalisasi sekarang ini degan berbagai perubahan yang begitu ekstrim
menuntut emua manusia harus memperhatikan aspek sosia budaya. Salah
satu masalah yang kini banyak merebak dikalangan masyarakat adalah
kematian ataupun kesakitan pada ibu dan anak yang sesungguhnya tidak
terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan dimasyarakat
dimana mereka berada. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan
ketentuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai pantangan, hubungan
sebab akibat antara makanan dan kondisi sehat sakit, kebiasaan dan ketidak
tauhan, sering kali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap
kesehatan ibu dan anak.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana cara melakukan pendekatan sosial budaya dalam praktik
kebidanan?
2. Apa saja aspek sosial budaya yang berkaitan dengan peran seorang
bidan?
1.3 Tujuan masalah
1. Agar dapat melakukan pendekatan sosial budaya dalam praktik
kebidanan
2. Untuk mengetahui aspek apa saja yang berkaitan dengan peran seorang
bidan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Budaya

Kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa sansekerta) buddhayah yang merupakan

bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-

hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”. Menurut EB Tylor mendefinisikan

kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,

hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang

didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan

mencakup semuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota

masyarakat. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku

yang normatif. Artinya mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan dan

bertindak (Soekanto, 2006).Setiap manusia mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri.

Kebudayaan sedikitnya mempunyai tiga wujud yaitu : wujud kebudayaan sebagai suatu

kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma, dan peraturan-peraturan, wujud

kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam

masyarakat, dan wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia

(Koentjaraningrat, 2005).

Goodenough dalam Dumatubun (2002) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah

suatu sistem kognitif yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang berada dalam

pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Ini berarti bahwa kebudayaan berada dalam

“tatanan kenyataan yang ideasional”, merupakan perlengkapan mental yang oleh anggota-

anggota masyarakat dipergunakan dalam proses-proses orientasi, transaksi, pertemuan,

perumusan gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata dalam masyarakat,

dan digunakan sebagai pedoman bagi anggota-anggota masyarakat untuk berperilaku sosial
yang baik/pantas dan sebagai penafsiran bagi perilaku orang-orang lain. Manusia dalam

menghadapi lingkungan senantiasa menggunakan berbagai model tingkah laku yang selektif

(selected behaviour) sesuai dengan tantangan yang dihadapi.

Pola perilaku tersebut didasarkan pada sistem kebudayaan yang diperoleh dan

dikembangkan serta diwariskan secara turun temurun.

Pewarisan kebudayaan adalah proses pemindahan, penerusan, pemilikan dan pemakaian

kebudayaan dari generasi ke generasi secara berkesinambungan. Pewarisan budaya bersifat

vertikal artinya budaya diwariskan dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya untuk

digunakan, dan selanjutnya diteruskan kepada generasi yang akan datang. Pewarisan

kebudayaan dapat dilakukan melalui enkulturasi dan sosialisasi. Enkulturasi atau

pembudayaan adalah proses mempelajari dan menyesuaikan pikiran dan sikap individu

dengan sistem nilai, norma, adat, dan peraturan hidup dalam kebudayaannya. Proses

enkulturasi dimulai sejak dini, yaitu masa kanak-kanak, bermula dilingkungan keluarga,

teman permainan, dan masyarakat luas (Herimanto dan Winarno, 2008).

Dalam melakukan tindakan pada suatu interaksi sosial, seseorang dipandu nilai-nilai.

Nilai-nilai tersebut adalah prinsip-prinsip yang berlaku pada suatu masyarakat tentang apa

yang baik, apa yang benar dan apa yang berharga yang harusnya dimiliki dan dicapai oleh

warga masyarakat. Sistem nilai mencakup konsep-konsep abstrak tentang apa yang dianggap

baik, dan apa yang dianggap buruk dan itulah sesungguhnya inti dari suatu kebudayaan

(Badrujaman, 2008).

Khusus dalam mengatur hubungan antar manusia, kebudayaan dinamakan pula

struktur normatif atau menurut istilah Ralp Linton designs for living (garis-garis atau

petunjuk dalam hidup). Artinya kebudayaan adalah suatu garis-garis pokok tentang perilaku

atau blue print of behaviour yang merupakan peraturan-peraturan mengenai apa yang

seharusnya dilakukan, apa yang dilarang, dan lain sebagainya.


Konsep sehat dilihat dari segi sosial yaitu berkaitan dengan kesehatan pada tingkat

individual yang terjadi karena kondisi-kondisi sosial, politik, ekonomi, serta budaya yang

melingkupi individu tersebut. Untuk sebuah kesehatan masyarakat menciptakan sebuah

strategi adaptasi baru dalam menghadapi penyakit. Strategi yang memaksa manusia untuk

menaruh perhatian utama pada pencegahan dan pengobatan penyakit. Dalam usahanya untuk

menanggulangi penyakit, manusia telah mengembangkan suatu kompleks luas dari

pengetahuan, kepercayaan, teknik, peran, norma-norma, nilai-nilai, idiologi, sikap, adat-

istiadat, upacara-upacara dan lambang-lambang yang saling berkaitan dan membentuk suatu

sistem yang saling menguatkan dan saling membantu (Anderson, 1980, dalam Badrujaman,

2008).

Perilaku terwujud secara nyata dari seperangkat pengetahuan kebudayaan. Sistem

budaya, berarti mewujudkan perilaku sebagai suatu tindakan yang kongkrit dan dapat dilihat,

yang diwujudkan dalam sistem sosial. Berbicara tentang konsep perilaku, hal ini berarti

merupakan satu kesatuan dengan konsep kebudayaan. Perilaku kesehatan seseorang sangat

berkaitan dengan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma dalam lingkungan sosialnya,

berkaitan dengan terapi, pencegahan penyakit (fisik, psikis, dan sosial) berdasarkan

kebudayaan masing-masing Dumatubun (2002).

Selain dengan pengamalan perilaku dalam konteks budaya, pengamalan perilaku

setiap individu sangat erat kaitannya dengan “belief, kepercayaan” sebagai bagian nilai

budaya masyarakat bersangkutan (Ngatimin, 2005).

Nilai-nilai sosial budaya memiliki arti penting bagi manusia dan masyarakat

penganutnya, didalamnya tercakup segala sesuatu yang mengatur hidup mereka termasuk

tatacara mencari pengobatan bila sakit. Kekurangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu

kesehatan disertai pengalaman hidup sehari-hari yang diturunkan dari satu generasi ke
generasi berikutnya membuat mereka mencari pemecahan timbulnya penyakit, penyebaran

dan cara pengobatan menuju kearah percaya akan adanya pengaruh roh halus dan tahyul.

Perilaku manusia dalam menghadapi masalah kesehatan merupakan suatu tingkah

laku yang selektif, terencana, dan tanda dalam suatu sistem kesehatan yang merupakan

bagian dari budaya masyarakat yang bersangkutan. Perilaku tersebut terpola dalam kehidupan

nilai sosial budaya yang ditujukan bagi masyarakat tersebut. Perilaku merupakan tindakan

atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan sekelompok orang untuk kepentingan atau

pemenuhan kebutuhan tertentu berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma

kelompok yang bersangkutan. Kebudayaan kesehatan masyarakat membentuk, mengatur, dan

mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial dalam

memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan baik yang berupa upaya mencegah penyakit

maupun menyembuhkan diri dari penyakit Kalangi (1994).

Oleh karena itu dalam memahami suatu masalah perilaku kesehatan harus dilihat

dalam hubungannya dengan kebudayaan, organisasi sosial, dan kepribadian individu-

individunya.

1. Pengertian Budaya

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan

luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-

budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Citra budaya yang bersifat

memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang

layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya

yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup

mereka. Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk
mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang

lain.

Aspek social budaya ini mencakup pada setiap trimester kehamilan dan persalinan

yang mana pada zaman dahulu banyak mitos dan budaya dalam menanggapi hal ini.Perilaku

kesehatan merupakan salah satu faktor perantara pada derajat kesehatan. Perilaku yang

dimaksud adalah meliputi semua perilaku seseorang atau masyarakat yang dapat

mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, angka kesakitan dan angka kematian. Perilaku

sakit (ilness behavior) adalah cara seseorang bereaksi terhadap gejala penyakit yang biasanya

dipengaruhi oleh pengetahuan, fasilitas, kesempatan, kebiasaan, kepercayaan, norma, nilai,

dan segala aturan (social law) dalam masyarakat atau yang biasa disebut dengan budaya.

Beberapa perilaku dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pelayanan kebidanan

di komunitas diantaranya :

1. Health Believe: Tradisi-tradisi yang diberlakukan secara turun-temurun.

2. Life Style : Gaya hidup yang berpengaruh terhadap kesehatan. Contohnya gaya hidup

kawin cerai di lombok atau gaya hidup perokok (yang juga termasuk bagian dari

aspek sosial budaya).

3. Health Seeking Behavior : Salah satu bentuk perilaku sosial budaya yang

mempercayai apabila seseorang sakit tidak perlu pelayanan kesehatan, akan tetapi

cukup dengan membeli obat di warung atau mendatangi dukun.

Budaya adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum

dan adat istiadat menurut EB Taylor sedangkan menurut Soemardjan adalah semua hasil

karya, rasa cipta, masyarakat yang berfungsi sebagai tempat berlindung, kebutuhan makanan

dan minum, pakaian dan perhiasan serta mepunyai kepribadian Syafrudin (2009). Budaya

berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berfikir, merasa, mempercayai dan

mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan,
praktek komunikasi, tindakan sosial, kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu

berdasarkan pola-pola budaya (Mulyana, 2002).

Budaya berfungsi sebagai “alat” yang paling efektif dan efisien dalam menghadapi

lingkungan kebudayaan bukan sesuatu yang dibawa bersama kelahiran, melainkan diperoleh

dari proses belajar dari lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial.

Hubungan antara manusia dengan lingkungannya dijembatani oleh kebudayaan yang

dimilikinya. Dilihat dari segi kebudayaan dapat dikatakan bersifat adaptif karena melengkapi

manusia dengan cara-cara menyesuaikan diri pada kebutuhan fisiologis dari diri mereka

sendiri, penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik geografis maupun lingkungan

sosialnya.

Kenyataan bahwa banyak kebudayaan bertahan malah berkembang menunjukkan bahwa

kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh suatu masyarakat disesuaikan dengan

kebutuhan-kebutuhan tertentu dari lingkungannya, dengan kata lain; kebiasaan masyarakat

manusia yang berlainan mungkin akan memilih cara-cara penyesuaian yang berbeda terhadap

keadaan yang sama. Kondisi seperti itulah yang menyebabkan timbulnya keaneka ragaman

budaya (Sutrisno,M. 2006).

Budaya merupakan hasil karya manusia. Budaya lahir akibat adanya interaksi dan

pemikiran manusia. Manusia akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang mereka hasilkan. Budaya manusia juga akan ikut

berkembang dan berubah dari masa ke masa. Hal ini terjadi pula pada budaya kesehatan yang

ada pada masyarakat. Budaya kesehatan akan mengalami perubahan. Dengan kemajuan ilmu

pengetahuan yang pesat dan teknologi yang semakin canggih, budaya kesehatan di masa lalu

berbeda dengan kebudayaan kesehatan di masa sekarang dan mendatang.

Perkembangan teknologi menjadi salah satu faktor perubahan budaya kesehatan dalam

masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat dahulu saat akan melakukan persalinan minta
bantuan oleh dukun bayi dengan peralatan sederhana, namun saat ini masyarakat lebih

banyak yang mendatangi bidan atau dokter kandungan dengan peralatan yang serba canggih.

Bahkan mereka bisa tahu bagaimana keadaan calon bayi mereka di dalam kandungan melalui

USG. Saat ini masyarakat lebih memaknai kesehatan. Banyaknya informasi kesehatan yang

diberikan melalui penyuluhan dan promosi kesehatan membuat masyarakat mengetahui

pentingnya kesehatan. Melalui kesehatan kita bisa melakukan berbagai macam kegiatan yang

bermanfaat, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

2. Budaya Jawa

Suku Jawa merupakan suku terbesar di Indonesia, baik dalam jumlah maupun luas

penyebarannya.Mereka sering menyebut dirinya Wong Jawi atau Tiang Jawi. Budaya jawa

adalah budaya yang berasal dari Jawa dan dianut oleh masyarakat Jawa khususnya di Jawa

Tengah, DIY dan Jawa Timur. Budaya Jawa secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 yaitu

budaya Banyumasan, budaya Jawa Tengah-DIY dan budaya Jawa Timur. Budaya Jawa

mengutamakan keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan sehari hari.

Budaya Jawa menjunjung tinggi kesopanan dan kesederhanaan. Budaya Jawa selain terdapat

di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur, juga ada di daerah perantauan orang Jawa yaitu di

Jakarta, Sumatera dan Suriname.

Budaya suku jawa secara turun temurun salah satunya adalah adat-istiadat, pantang

makanan dan kebiasaan yang sering kali mencegah orang memanfaatkan makanan yang

tersedia bagi mereka. Kebiasaan makanan beragam dalam konteks budaya, mengubah

kebiasaan, bukan hal yang mudah, mengingat dari semua kebiasaan yang paling sulit diubah

adalah kebiasaan makanan. Kepercayaan-kepercayaan kita terhadap apa yang dapat dimakan

atau tidak boleh dimakan, keyakinan yang berhubungan dengan kesehatan dan ritual, ini telah
ditanamkan sejak usia muda. Kebiasaan makan sebagaimana halnya dengan kebiasaan-

kebiasaan lain hanya dapat dimengerti dalam konteks budaya secara menyeluruh (Saptandari

P, 2012).

Budaya bagi masyarakat Suku Jawa adalah suatu hal yang penting, bahkan

diantaranya dipercaya dan menjadi pegangan hidup oleh masyarakat. Suku bangsa Jawa dapat

ditemui dibeberapa daerah Kabupaten/Kota bekas Keresidenan Sumatera Timur yang

dulunya daerah perkebunan asing pada masa Kolonial Belanda. Pada saat ini suku Jawa

tersebar hampir diseluruh daerah Sumatera Utara. Meraka disebut dengan Jawa Deli (Jadel),

Jawa Kontrak (Jakon) mulai sekitar tahun 1917, namun istilah ini dianggap merendahkan,

sehingga mereka lebih suka disebut Pujakesuma (Putra Jawa kelahiran Sumatera).

3. Asuhan Kehamilan Berdasarkan Aspek Budaya Jawa

Dalam konteks kehamilan dan kelahiran, setiap masyarakat memiliki cara-cara

budaya mereka sendiri untuk memahami dan menanggapi peristiwa pertumbuhan janin dan

kelahiran bayi, yang sudah dipraktekan jauh sebelum masuknya system medis di lingkungan

komuniti mereka. Berbagai kelompok masyarakat juga mempunyai cara tersendiri dalam

mengatur aktivitas mereka saat menghadapi wanita yang hamil dan bersalin (Swasono, 1998).

Menurut pendekatan biososiokultural dalam kajian antropologi, kehamilan dan

persalinan tidak hanya dilihat dari aspek biologis dan fisiologis saja, tetapi dilihat juga

sebagai proses yang mencakup seperti pandangan budaya mengenai kehamilan dan kelahiran,

wilayah kelahiran berlangsung, para pelaku/penolong persalinan, cara pencegahan bahaya

dan pusat kekuatan dalam mengambil keputusan mengenai pertolongan serta perawatan bayi

dan ibunya.
Adat-istiadat atau budaya yang dilakukan oleh masyarakat suku jawa dalam asuhan

kehamilan meliputi :

1. Melakukan Ritual (khusus pada kehamilan pertama), Masyarakat Indonesia

merupakan masyarakat yang majemuk, Diantara kebudayaan maupun adat istiadat,

ada kebiasaan yang merugikan dan ada juga yang menguntungkan bagi status

kesehatan ibu hamil. Hal ini di pengaruhi oleh ilmu pengetahuan sosial budaya yang

kurang sehingga timbulah mitos yang sering kali kita temui bahkan dipercayai dalam

kehidupan sehari-hari. Saat seorang wanita suku jawa mengandung pertama kali dan

usia kandungannya sudah mencapai tujuh bulan, mereka akan melakukan semacam

ritual selamatan yang disebut Mitoni/Tingkeban yang berarti Tutup. Hakekat mitoni

ini adalah mendoakan calon bayi serta ibu yang mengandungnya agar sehat selamat

saat kelahiran nanti (Raffles, 2014).

Menurut kepercayaan masyarakat jawa, penciptaan fisik bayi tersebut sudah sempurna

pada saat berumur tujuh bulan dalam kandungan. Upacara mitoni merupakan upacara

yang diselenggarakan ketika kandungan dalam usia tujuh bulan. Berikut ini urut-

urutan/ tata cara mitoni:

a. Siraman pada calon ibu dan calon ayah,

b. Memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain calon ibu yang dilakukan oleh

calon ayah.

c. Berganti pakaian.

d. Brojolan/memasukkan kelapa gading muda ke dalam kain calon ibu.

e. Memutus atau menggunting daun kelapa muda/janur yang melilit perut calon ibu,

maknanya adalah mematahkan segala bencana yang menghadang kelahiran bayi.

f. Kenduri/brokohan. (Bayuandhy, 2015).


2. Pantang terhadap beberapa jenis makanan. Kehamilan adalah merupakan peristiwa

penting bagi setiap wanita.Tidak hanya wanita jawa saja, namun juga wanita seluruh

Indonesia bahkan dunia. Wanita suku jawa dalam menjalani kehamilannya harus

melakukan selamatan dan Mitoni. Wanita jawa yang hamil harus mematuhi berbagai

pantangan yang ada, pantangan tersebut diantaranya : jangan makan daging kambing

karena dapat menyebabkan perdarahan saat persalinan, jangan makan ikan Lele

karena si bayi berukuran besar dan susah lahir.

ikan dempet karena dapat menyebabkan bayinya lahir dengan kembar siam, jangan

makan mangga kwueni dan durian karena dapat menyebabkan keguguran, jangan

sering bersedih dan menangis karena akan menyebabkan anaknya nanti jadi cengeng,

jangan makan atau mandi di malam hari karena dapat menyebabkan si anak kelak

mudah kena sawan, jangan menertawakan/melecehkan orang cacat, karena cacatnya

orang tersebut bias menurun pada anaknya, jangan makan dengan menggunakan

piring yang besar karena khawatir akan mempersulit persalinan dimana bayi besar

sehingga sulit untuk lahir dan jangan makan jantung pisang, karena dapat

menyebabkan anaknya nanti makin lama makin kecil (Achmad, 2014).

Pantangan dalam kehamilan ada yang masuk akal (Rasional ) dan ada juga pantangan

yang tidak masuk akal (Irasional). Sekalipun demikian pantangan-pantangan yang terkesan

irasional itu menjadi rasional apabila diterima sebagai nasihat simbolik. Dari seluruh

pantangan, terdapat pantangan yang masuk akal bila dikaji dari segi psikologis misalnya

seorang wanita hamil tidak boleh melecehkan orang cacat, mencaci maki orang, membunuh

hewan, sering bersedih dan menangis. Kepribadian atau kebiasaan yang buruk akan

berpengaruh terhadap kepribadian si bayi sewaktu masih didalam kandungan. Sebaliknya

kepribadian yang baik serta kedamaian suasana batin pada wanita hamil yang di pupuk
melalui meditasi, berdzikir, mendengarkan musik klasik dapat memberikan pengaruh positif

bagi bayi yang dikandungnya. 3) Pijat Perut saat hamil.

Terapi pijat ini dilakukan oleh si dukun pada saat kehamilan memasuki umur 5 bulan.

Pemijatan ini dilakukan secara rutin dua minggu sekali atau satu bulan sekali dimulai

kandungan berumur 5 bulan, karena janin sudah mulai bergerak, sehingga perlu dilakukan

pemijatan yang bertujuan untuk mengatur posisi janin yang normal pada saat akan dilahirkan.

Pijat perut yang diyakini oleh masyarakat suku jawa bertujuan agar posisi janin tetap

pada tempatnya, hanya saja perlakuan itu tidak sepenuhnya aman. Pijat merupakan seni

perawatan dan pengobatan yang telah dipraktekkan sejak berabad-abad silam dari awal

kehidupan manusia di dunia. Kedekatan ini disebabkan karena pijat berhubungan erat dengan

proses kehamilan dan proses kelahiran manusia (Roesli, 2001).

Secara fisiologis, pijatan merangsang dan mengatur tubuh, memperbaiki aliran darah

dan kelenjer getah bening, sehingga oksigen, zat makanan, dan sisa makanan dibawa secara

efektif ke dan dari jaringan tubuh dan plasenta.

Pijat juga bertujuan untuk mengendurkan ketegangan dan membantu menurunkan

emosi, merelaksasi dan menenangkan saraf, serta membantu menurunkan tekanan darah. Pijat

dalam kehamilan biasanya dilakukan oleh dukun yang merupakan kerjasama dengan bidan

setempat. Adapun manfaat pijat punggung dalam persalinan antara lain memberikan

kenyamanan, mengurangi rasa sakit, membantu relaksasi pada ibu saat proses persalinan,

memperbaiki sirkulasi darah, mengembalikan kemampuan berkontraksi, dan meningkatkan

kerja system organ, sehingga dapat mengeluarkan zat-zat beracun lebih lancar baik melalui

urine maupun keringat (Mufdillah, 2009).

Salah dalam pengurutan bisa membahayakan kondisi ibu dan sang janin. Dokter

spesialis kebidanan dan kandungan, Firmansyah, mengatakan; pijat daerah perut saat hamil

tidak dianjurkan. “Perut tidak boleh diurut karena berisiko”. Menurutnya, banyak risiko yang
bisa timbul jika melakukan pemijatan pada perut ibu hamil. Pertama, posisi janin yang

semula sudah bagus malah bisa berbalik menjadi tidak normal, tali pusat bisa melilit hingga

mengganggu janin, serta keadaan lain yang bisa membahayakan ibu janin. Belum lagi, dalam

perut, selain rahim, ada organ-organ lain seperti usus, lambung, dan organ penting lainnya.

Dunia kedokteran juga ada tindakan untuk membalikkan posisi bayi yang sungsang,

namun saat ini tindakan itu sudah tidak direkomendasikan karena dianggap

berisiko/berbahaya. Menurut Dara (2013) mengungkapkan bahwa pijat perut ibu hamil untuk

merubah posisi janin merupakan mitos belaka, sebaiknya tindakan pijat perut ini justru akan

sangat membahayakan untuk perempuan terutama pada ibu hamil. Seluruh bagian tubuh lain

boleh di urut atau dipijat “asalkan bukan perut “, perut merupakan bagian yang sangat sensitif

bagi perempuan, karena organ-organ vital seperti usus, lambung, hati dan lain-lainnya semua

terletak di bagian perut.

Yang lebih berbahaya lagi jika ada kista di perut, karena pijatan di bagian sensitive ini

bisa menyebabkan kista pecah dan cairannya dapat menyebar ke semua bagian tubuh.

Akibatnya semua organ dalam ini akan “lengket” satu sama lain. Hal ini akan mempengaruhi

kesuburan dan metabolisme tubuh.Tindakan yang dianjurkan hanya meminta agar ibu hamil

banyak ”Melakukan sujud“ itu lebih aman (Setyanti C, 2013).

4. Penelitian Terdahulu tentang Sosial Budaya dalam Kehamilan

Faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai

berbagai pantangan, hubungan sebab akibat dan kondisi sehat sakit, kebiasaan dan

ketidaktahuan seringkali membawa dampak positif maupun negatif. Rofi’i (2013) dalam

penelitiannya yang berjudul Kepercayaan Wanita Jawa tentang Perilaku atau Kebiasaan yang

dianjurkan dan dilarang selama Hamil di Semarang menyatakan bahwa ibu hamil menyakini

dampak apabila melakukan perilaku atau kebiasaan yang dianjurkan selama hamil seperti
makan dicobek yang besar, ngepel saat hamil tua, diberi minyak kelapa, acara mitoni anak

pertama akan memberikan kesehatan dan keselamatan kepada bayi yang dikandung dan ibu

akan mudah melahirkan. Sebaliknya apabila melakukan kebiasaan yang dilarang akan

memberikan dampak yang tidak baik bagi ibu dan bayi yang dikandung seperti membunuh

binatang saat hamil akan mengakibatkan keguguran, merendam baju atau pakaian atau cucian

piring atau gelas akan mengakibatkan bayi yang dikandung akan pindah. Memotong ayam

atau menyembelih sapi saat hamil juga diyakini akan mengakibatkan kecacatan bagi bayi

yang dikandung.

Ibu hamil dan suaminya dilarang membunuh binatang karena akan menyebabkan

cacat atau gugur sesuai perlakuan yang ditimpakan kepada binatang. Faktanya secara medis

biologis cacat janin disebabkan oleh kesalahan/kekurangan gizi, penyakit, keturunan,

pengaruh radiasi (misalnya karena reaksi nuklir atau gelombang radio aktif). Sedangkan

gugurnya janin paling banyak disebabkan karena penyakit (misalnya toksoplasmosis),

gerakan ekstrem yang dilakukan oleh ibu (benturan) dan karena psikologis (misalnya shock,

stres, pingsan). Kesimpulannya membunuh atau menganiaya binatang tidak ada hubungannya

dengan kecacatan atau keguguran janin. Agama melarang menyakiti binatang atau

membunuhnya kecuali atas alasan yang hak (yang dibenarkan), baik saat hamil atau tidak

hamil (Subakti, 2007).

Begitu juga pada kebiasaan membawa gunting kecil/pisau/benda tajam lainnya di

kantung baju si Ibu agar janin terhindar dari marabahaya. Faktanya hal ini tidak ada

hubungannya dengan proses kehamilan maupun kelahiran justru lebih membahayakan

apabila benda tajam itu melukai si Ibu. Hal ini kurang lebih menyiratkan bahwa sebagai

orang hamil kita harus selalu mempersiapkan diri sebaik mungkin. Selalu membawa barang-

barang tertentu ketika bepergian yang berguna saat proses kelahiran tentunya merupakan

saran yang baik. Pada zaman dulu, mungkin gunting dianggap cukup berguna dalam proses
kelahiran, contohnya untuk menggunting kain atau tali pusar bayi ketika sudah lahir.

Bayangkan barang tersebut tak tersedia saat diperlukan, tentu akan repot sekali. Sehingga

mitos ini berlaku sampai sekarang tinggal bagaimana kita menyikapinya (Subakti, 2007).

Sebuah penelitian menunjukkan beberapa tindakan/praktik yang membawa resiko

infeksi seperti “ngolesi” (membasahi vagina dengan rninyak kelapa untuk memperlancar

persalinan), “kodok” (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan

plasenta) atau “nyanda” (setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandar dan kaki

diluruskan ke depan selama berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan

pembengkakan) (Iskandar dan Meiwita, 1996 dalam Khazanah, 2011).

Penelitian yang dilakukan Emiliana dan M Hakimi (2011) di Kecamatan Banyuurip

bahwa walaupun kuat dalam beragama dan tekun beribadah, masyarakat Bayuurip masih

melakukan patangan-pantangan makanan tertentu berkenaan dengan kehamilan. Hal serupa

juga dinyatakan oleh Fauziah (2011) yaitu perempuan hamil di Aceh harus menghormati

berbagai ketentuan misterius tertentu yang disebut pantang. Keteledoran memenuhi pantang

tersebut diyakini berakibat buruk terhadap perempuan hamil maupun calon bayi. Perempuan

hamil di Aceh diharuskan mematuhi berbagai mitos selama kehamilan disebabkan karena

perempuan akan menjadi pihak yang dipersalahkan jika terjadi gangguan kehamilan.Mitos

tentang kehamilan dipercaya mempunyai peranan positif sebagai bentuk pengawasan

terhadap kehamilan.

Devy S (2011) dalam penelitiannya tentang perawatan kehamilan dalam perspektif

budaya Madura menyatakan bahwa perawatan kehamilan yang dilakukan oleh ibu hamil

masih dikaitkan dengan unsur-unsur budaya berupa ideal, aktivitas, dan artifak, walaupun

tidak berguna menurut ilmu pengetahuan medis modern namun masih dilakukan karena

menganggab budaya dalam asuhan kehamilan sudah terbukti pada orang-orang. Perawatan

kehamilan sesuai dengan budaya Madura dapat membuat rasa aman saat masa kehamilan.
Perawatan kehamilan sesuai dengan budaya Madura dianjurkan oleh keluarga ibu hamil

(orang tua,mertua dan nenek) sehingga ibu hamil tidak berani melanggar pantangan-

pantangan yang ada.

Tradisi budaya Jawa seperti minum jamu, pantang makanan tertentu, pijat untuk

kebugaran ibu setelah melahirkan masih dijalankan. Nuansa budaya Jawa tercermin dalam

berbagai ritual budaya yang diwarnai oleh agama (islam) yaitu mulai dari mitoni (munari),

krayanan (brokohan), resikan (walikan) dan kekahan (aqiqah). Kelalain orang tua mematuhi

pantangan tertentu akan berdampak yang tidak baik bagi janin yang dikandung seperti bibir

sumbing dikaitkan dengan perilaku orang tua yang tidak baik sebelum hamil (Suryawati,

2007).

Sri Handayani dalam penelitiannya yang berjudul Aspek sosial budaya pada

kehamilan, persalinan dan nifas di Indonesia menuliskan berbagai pantangan dan kebiasaaan

saat hamil diantaranya pada masyarakat Kerinci Jambi, wanita hamil dilarang makan sayur

rebung agar bayinya tidak berbulu sepeti rebung. Mereka juga dilarang makan jantung pisang

agar anaknya lahir tidak terlalu kecil, atau mengonsumsi jendawa/jamur karena akan

menyebabkan placenta menjadi kembar sehingga mengalami kesulitan waktu melahirkan,

alasan ini merupakan keyakinan budaya.

Keyakinan lain pada masyarakat Keruak Lombok timur, wanita hamil dilarang makan

gurita, cumi, kepiting, udang dan ikan pari. Ikan gurita dan cumi dianggap mempunyai kaki

yang lekat dan mencengkeram, hal ini diasosiasikan ari-ari bayi akan lekat dan

mencengkeram rahim ibu sehingga bayi susah lahir.

Makan udang yang bentuknya melengkung dianggap akan menyebabkan bayi

berbentuk serupa sehingga mempersulit kelahiran. Penduduk setempat juga percaya bahwa

pada saat hamil harus makan sebanyak-banyaknya dalam arti kuantitas, bukan kualitas. Sri

Handayani (2010) juga menuliskan kebiasaan pada masyarakat Biak Numfor (Irian), suami
isteri yang tengah menantikan kelahiran bayinya dilarang makan daging hewan tertentu

diantaranya kura-kura.

Pantangan yang hubungannya dengan asosiatif atau adat memantang yang

berhubungan dengan pantangan perbuatan atas dasar keyakinan sifat ghoib, karena terdapat

sejumlah pantangan perbuatan yang melarang wanita hamil dan suaminya melakukan hal-hal

tertentu yang secara ghoib diaggap dapat berakibat buruk bagi bayi mereka, sebagai contoh di

Kemantan Kabupaten Kebalai, seorang wanita hamil pantang masuk hutan karena akan

diintai harimau, pantang keluar waktu maghrib akan menyebabkan beranak hantu, pantang

menjalin rambut bila keluar rumah akan menyebabkan leher bayi terlilit tali pusatnya sendiri,

pantang duduk di tanah atau di batu, akan sulit melahirkan, pantang bernadzar yang hebat-

hebat karena kelak air liur bayinya akan meleleh terus.

Budaya pantang makana pada ibu hamil sebenarnya justru merugikan kesehatan ibu

hamil dan janin yang dikandungnya. Misalnya ibu hamil dilarang makan telur dan daging,

padahal telur dan daging justru sangat diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan gizi ibu hamil

dan janin.

Berbagai pantangan tersebut akhirnya menyebabkan ibu hamil kekurangan gizi seperti

anemia dan kurang energi kronis (KEK). Dampaknya, ibu mengalami pendarahan pada saat

persalinan dan bayi yang dilahirkan memiliki berat badan rendah (BBLR) yaitu bayi lahir

dengan berat kurang dari 2.5 kg. Tentunya hal ini sangat mempengaruhi daya tahan dan

kesehatan si bayi. (Khazanah 2011) Hasil penelitian menunjukkan makanan pantangan dari

golongan hewani (udang, cumi dan ikan pari) termasuk makanan yang mengandung zat besi

golongan hem yaitu zat besi yang berasal dari haemoglobin dan mioglobin. Zat besi pada

pangan hewani lebih tinggi penyerapannya yaitu 20-30%, sedangkan dari sumber nabati

hanya 1-6%. (Arief, 2008)


Penelitian di University of Tsukuba, Jepang bahkan membuktikan kandungan sulfur pada

durian bisa menghambat metabolisme alkohol dan bisa memicu kematian. Semua itu bahaya

yang ada pada durian jika memakannya terlalu banyak atau dibarengi dengan makanan tinggi

kolesterol lainnya seperti daging atau alkohol (Boy,2011 dalam Khairunnisa, 2011).

Durian juga mengandung kalori yang tinggi. Buah durian bersifat panas sehingga

pasien diabetes atau ibu hamil sangat tidak dianjurkan makan durian. Selain itu dalam 100

gram durian terkandung 147 Kkal. Itu artinya ketika seseorang makan 1 kg durian, jumlah

kalori yang didapatkan 1.470 Kkal atau sudah sebanding dengan porsi makannya selama satu

hari. Durian juga banyak mengandung gula meski ada kandung mangan yang bisa menjaga

kadar gula tetap stabil. Bagi ibu hamil, durian diyakini tidak baik karena mengandung banyak

gula dan sedikit alkohol. (Khairunnisa, 2011).

2.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesehatan Ibu Hamil

1. Faktor Fisik

a) Status Kesehatan

Selama kehamilan seorang wanita mengalami perubahan secara fisik

seperti uterus akan membesar karena didalamnya telah tumbuh janin, tentunya

dengan adanya perubahan tersebut keadaan kesehatan ibu akan berubah pula

karena tubuh ibu dipersiapkan untuk mendukung perkembangan dari kehidupan

yang baru dan untuk menyiapkan janin hidup di luar kandungan. Keadaan ini

dapat diperberat dengan adanya status yang buruk atau penyakit yang diderita

klien seperti penyakit jantung, asma dan diabetes. Ibu hamil rawan mengalami

kenaikan kadar gula darah yang tidak pernah dialami sebelum hamil. Karena

gangguan ini juga bisa dialami ibu hamil yang sebelumnya tidak punya riwayat

diabetes. Gejala diabetes terhadap kehamilan dapat menyebabkan janin


mengalami kelainan kongenital, partus prematurus, hidramnion, preeklamsia

(Rukiah dan Yulianti, 2014).

b) Status Gizi

Status gizi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kahamilan.

Banyak wanita yang tidak mengetahui manfaat gizi bagi hamil (diet ibu hamil).

Masalah inilah yang menjadi tugas seorang bidan untuk menerangkannya di

setiap ibu berkunjung. Kebutuhan ibu hamil akan nutrisi lebih tinggi

dibandingkan saat sebelum hamil dan kebutuhan tersebut semakin bertambah

pada saat ibu menyusui bayinya. Kecukupan gizi ibu hamil dan pertumbuhan

kandungannya dapat diukur berdasarkan kenaikan berat badannya. Untuk

memenuhi kebutuhan akan nutrisi maka ibu harus makan makanan yang banyak

mengandung gizi karena makanan tersebut diperlukan untuk pertumbuhan janin,

plasenta, buah dada dan kenaikan metabolisme dan apabila kekurangan dapat

menyebabkan terjadinya abortus (pada kehamilan trimester I) atau terjadiya partus

premeturus atau kelahiran anak pertama.

Kebutuhan ibu hamil akan nutrisi lebih tinggi dibandingkan saat sebelum hamil

dan kebutuhan tersebut semakin bertambah pada saat ibu menyusui bayinya.

Kecukupan gizi ibu hamil dan pertumbuhan kandungannya dapat diukur

berdasarkan kenaikan berat badannya. Fase pemenuhan gizi ibu dan bayi yang

paling efektif harus dimulai sebelum masa kehamilan dan kemudian berfokus

pada 12 minggu pertama masa kehamilan. (Wibowo, 2012 dalam Sulistiyanti,

2013).

Kebutuhan energi dan zat gizi pada tubuh akan meningkat karena kondisi

kehamilan mengakibatkan terjadinya peningkatan metabolisme energi pada ibu

hamil. Pada dasarnya semua zat gizi memerlukan tambahan ketika seseorang

mengalami kondisi hamil. Namun kekurangan energi dari protein dan beberapa
mineral seperti zat besi dan kalsium seringkali terjadi pada ibu hamil. Kekurangan

energi kronik yang diderita oleh ibu hamil mempunyai resiko yang tinggi dan

komplikasi pada kehamilan. Resiko dan komplikasi meliputi anemia, pendarahan,

berat badan ibu tidak bertambah secara normal dan mudah terkena penyakit

infeksi (Lubis, 2003).

c) Gaya Hidup

 Subtance abuse, perokok, hamil diluar nikah, kehamilan tidak diharapkan.

Cara hidup yang serba sibuk dan terburu-buru seperti yang banyak dijalani

oleh para wanita pada masa kini, dapat memperbesar kemungkinan bahkan

kadang-kadang langsung menyebabkan salah satu gejala kehamilan yang

tidak enak yaitu rasa mual di pagi hari, keletihan, sakit punggung, dan

gangguan pencernaan.

 Subtance abuse (Konsumsi alkohol). Beberapa jenis obat-obatan bisa

menghambat terjadinya kehamilan atau membahayakan bayi dalam

kandungan. Pada hakekatnya semua wanita tahu tentang akibat dari meminum

alkohol. Resiko dari minum alkohol yang terus-memerus, tentunya juga

berhubungan dengan dosis yang akan menyebabkan berbagai masalah yang

serius seperti meningkatkan resiko keguguran, lahir prematur, berat lahir

rendah, komplikasi selama masa persiapan kelahiran, persalinan. Di Amerika

Serikat, penggunaan alkohol selama kehamilan merupakan penyebab terbesar

dari keterbelakangan mental dan cacat lahir. Makin cepat seorang peminum

menghentikan kebiasaanya selama kehamilan akan lebih kecil resikonya pada

bayi.

 Merokok . Terdapat bukti kuat bahwa ibu hamil yang merokok dapat

langsung mempengaruhi dan merusak perkembangna janin dalam rahim

seperti; Berat Badan Lahir Rendah ( BBLR), apneu dan kemungkinan


meninggal karena SIDS ( Sudden Infant Death Sindrome) atau Crib Death

atau kematian diranjang bayi. Asap rokok dapat menyebabkan suplai Oksigen

dan nurisi kepada janin melalui plasenta berkurang.

 Hamil diluar Nikah/Kehamilan tidak diharapkan. Hamil tidak diharapkan

adalah kehamilan yang oleh karena suatu sebab maka keberadaanya tidak

diinginkan oleh salah satu pihak ataupun keduanya. Najman (1991)

menemukan bahwa kecemasan post partum dan depresi lebih banyak terjadi

pada kehamilan yang tidak direncanakan atau tidak diharapkan. Ryan dan

Dunn (1988) melakukan penelitian tentang begaimanakah penyelesaian

terhadap kehamilan diluar nikah.

2. Faktor Psikologis

a. Stresor Internal dan Eksternal. Kehamilan merupakan krisis maternitas yang dapat

menimbulkan stres tetapi berharga karena menyiapkan wanita tersebut untuk memberi

perawatan dan mengemban tugas yang lebih berat. Apabila wanita saat hamil berubah

menjadi cepat naik darah atau yang rajin menjadi malas hal tersebut merupakan hal

yang wajar karena wanita tersebut mengalami perubahan emosi.

Macam-macam stressor atau stres ketika kehamilan :

 - Stressor internal. Stressor internal meliputi faktor-faktor pemicu stress ibu

hamil yang berasal dari diri ibu sendiri. Adanya beban psikologis yang

ditanggung oleh ibu dapat menyebabkan gangguan perkembangan bayi yang

nantinya akan terlihat ketika bayi lahir. Anak akan tumbuh menjadi seseorang

dengan kepribadian yang tidak baik, bergantung pada kondisi stress yang

dialami oleh ibunya, seperti anak yang menjadi temperamental, autis atau

orang yang terlalu rendah diri (minder), ini tentu saja tidak diharapkan. Oleh

karena itu, pemantauan kesehatan psikologis pasien sangat perlu dilakukan.


 Stressor eksternal. Pemicu stress yang berasal dari luar bentuknya sangat

bervariasi, misalnya masalah ekonomi, konflik keluarga, pertengkaran dengan

suami, tekanan dari lingkungan (respon negative dari lingkungan pada

kehamilan lebih dari 5 kali) dan masih banyak kasus yang lain.

b. Support Keluarga. Setiap tahap usia kehamilan, ibu akan mengalami perubahan baik

yang bersifat fisik maupun psikologis. Ibu harus melakukan adaptasi pada setiap

perubahan yang terjadi dimana sumber stress terbesar terjadi dalam rangka melakukan

adaptasi terhadap kondisi tertentu. Dalam menjalani proses itu ibu hamil sangat

membutuhkan dukungan yang intensif dari keluarga dengan cara menunjukkan

perhatian dan kasih sayang.

Menurut Suryawati (2007) yang mengutip pendapat Muis (1996) dalam penelitiannya

di Kota Semarang menyebutkan bahwa para orang tua/mertua sangat berperan dalam

menentukan, menasehati dan menyarankan anaknya/menantunya untuk periksa hamil

pada bidan atau memilih dukun bayi sebagai penolong persalinan.

c. Subrainstormingtan Abuse. Kekerasan yang dialami oleh ibu hamil di masa kecil akan

sangat membekas dan sangat memengaruhi kepribadiannya. Ini perlu diperhatikan

karena pada klien yang mengalami riwayat ini, tenaga kesehatan harus lebih

maksimal dalam menempatkan diri sebagai teman atau pendamping yang bisa

dijadikan tempat bersandar bagi klien dalam masalah kesehatan. Klien dengan

riwayat ini biasanya tumbuh dengan kepribadian yang tertutup.

d. Partner Abuse. Kekerasan dapat terjadi baik secara fisik, psikis, ataupun sexual

sehingga dapat terjadi rasa nyeri dan trauma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

korban kekerasan terhadap perempuan adalah wanita yang telah bersuami. Setiap

bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pasangan harus selalu diwaspadai oleh tenaga

kesehatan jangan sampai kekerasan yang terjadi akan membahayakan ibu dan

bayinya.. Efek kekerasan pada ibu hamil bisa dalam bentuk langsung maupun tidak
langsung, yang langsung antara lain: trauma dan kerusakan fisik pada ibu dan bayinya

misalnya solutio plasenta, fraktur tulang, ruptur uteri dan perdarahan. Sedangkan efek

yang tidak langsung adalah reaksi emosional, peningkatan kecemasan, depresi, rentan

terhadap penyakit. Trauma pada kehamilan juga dapat menyebabkan nafsu makan

yang menurun dan peningkatan frekuensi merokok serta meminum alkohol.

Kebanyakan wanita hamil yang mengalami kekerasan adalah karena pendidikan yang

rendah, umur yang terhitung masih muda dan hamil diluar nikah (Rukiah dan

Yulianti, 2014).

3. Faktor Lingkungan, Sosial Budaya dan Ekonomi

a. Kebiasaan dan Adat Istiadat. Ada beberapa kebiasaan adat istiadat yang merugikan

kesehatan ibu hamil. Tenaga kesehatan harus dapat menyikapi hal ini dengan bijaksana

jangan sampai menyinggung “kearifan lokal” yang sudah berlaku di daerah tersebut.

Penyampaian mengenai pengaruh adat dapat melalui berbagai teknik, misalnya melalui

media masa, pendekatan tokoh masyarakat dan penyuluhan yang menggunakan media

efektif. Namun, tenaga kesehatan juga tidak boleh mengesampingkan adanya kebiasaan

yang sebenarnya menguntungkan bagi kesehatan. Jika menemukan adanya adat yang

sama sekali tidak berpengaruh buruk terhadap kesehatan, tidak ada salahnya memberikan

respon yang positif dalam rangka menjalin hubungan yang sinergis dengan masyarakat

(Rukiah dan Yulianti, 2014).

Faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai

berbagai pantangan, hubungan sebab akibat dan kondisi sehat sakit, kebiasaan dan

ketidaktahuan seringkali membawa dampak positif maupun negatif. Rofi’i (2013) dalam

penelitiannya yang berjudul Kepercayaan Wanita Jawa tentang Perilaku atau Kebiasaan

yang dianjurkan dan dilarang selama Hamil di Semarang menyatakan bahwa ibu hamil

menyakini dampak apabila melakukan perilaku atau kebiasaan yang dianjurkan selama
hamil seperti makan dicobek yang besar, ngepel saat hamil tua, minum jamu ditaruh daun

lambu, diberi minyak kelapa, acara mitoni anak pertama akan memberikan kesehatan dan

keselamatan kepada bayi yang dikandung dan ibu akan mudah melahirkan. Sebaliknya

apabila melakukan kebiasaan yang dilarang akan memberikan dampak yang tidak baik

bagi ibu dan bayi yang dikandung seperti membunuh binatang saat hamil akan

mengakibatkan keguguran, merendam baju atau pakaian atau cucian piring atau gelas

akan mengakibatkan bayi yang dikandung akan pindah. Memotong ayam atau

menyembelih sapi saat hamil juga diyakini akan mengakibatkan kecacatan bagi bayi yang

dikandung.

b. Fasilitas Kesehatan. Adanya fasilitas kesehatan yang memadai akan sangat

menguntungkan kualitas pelayanan kepada ibu hamil. Deteksi dini terhadap kemungkinan

adanya penyulit akan lebih tepat, sehingga langkah antisipatif akan lebih cepat diambil.

Fasilitas kesehatan ini sangat menentukan atau berpengaruh terhadap upaya penurunan

angka kesehatan ibu (AKI). Untuk mencapai suatu kondisi yang sehat diperlukan adanya

sarana dan prasarana (fasilitas kesehatan) yang memadai (Rukiah dan Yulianti, 2014).

Di daerah pedesaan, orang Jawa kebanyakan masih mempercayai dukun beranak untuk

menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Beberapa penelitian yang pernah

dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat praktik-praktik persalinan oleh dukun

yang dapat membahayakan si ibu. Sebuah penelitian menunjukkan beberapa

tindakan/praktik yang membawa resiko infeksi seperti “ngolesi” (membasahi vagina

dengan rninyak kelapa untuk memperlancar persalinan), “kodok” (memasukkan tangan ke

dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan plasenta) atau “nyanda” (setelah persalinan,

ibu duduk dengan posisi bersandar dan kaki diluruskan ke depan selama berjam-jam yang

dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan) (Iskandar dan Meiwita, 1996 dalam

Khazanah, 2011).
c. Ekonomi. Faktor ekonomi juga merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam

kehidupan keluarga, terutama kehamilan, karena di mana-mana, kapan dan siapa saja

memerlukan kesiapan ekonomi, disamping kesiapan fisik, mental pada ibu hamil dan

kesiapan persalinan serta kepentingan bayinya. Tingkat sosial ekonomi terbukti sangat

berpengaruh terhadap kondisi kesehatan fisik dan psikologis ibu hamil. Pada ibu hamil

dengan tingkat sosial yang baik otomatis akan mendapatkan kesejahteraan fisik dan

psikologis yang baik pula. Status gizi pun akan meningkat karena nutrisi yang didapatkan

berkualitas, selain itu ibu tidak akan terbebani secara psikologis mengenai biaya

persalinan dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari setelah bayinya lahir. Ibu akan lebih

fokus untuk mempersiapkan fisik dan mentalnya sebagai seorang ibu. Sementara pada ibu

hamil dengan kondisi ibu hamil yang lemah akan mendapatkan banyak kesulitan terutama

masalah pemenuhan kebutuhan primer (Rukiah dan Yulianti, 2014).

5. Landasan Teori

Hendrik L.Bloom (1974) mengatakan ada empat faktor yang mempengaruhi status

kesehatan masyakarat yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Dari

uraian tersebut bahwa faktor yang paling mempengaruhi derajat kesehatan adalah faktor

lingkungan, kemudian disusul oleh faktor perilaku, pelayanan kesehatan dan terakhir

keturunan. Merujuk pada teori Bloom ini, status kesehatan ibu hamil sangat dipengaruhi oleh

lingkungan yaitu lingkungan fisik (sosial, kebudayaan, pendidikan dan ekonomi). Perilaku

ibu juga sangat mempengaruhi status kesehatan ibu hamil. Perilaku sesuai dengan teori

Bloom dipengaruhi oleh faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar baik fisik maupun non

fisik seperti iklim, sosial ekonomi, kebudayaan dan sebagainya. Dalam penelitian ini Budaya

Jawa tercermin di dalam lingkup lingkungan dan Perilaku. Menurut Ramona T Marcer

(2003),Teori ini lebih fokus pada stress antepartum (sebelum melahirkan) dalam pencapaiaan

peran ibu, marcer membagi teorinya menjadi dua pokok bahasan:


a. Efek stress Anterpartum. Stress Anterpartum adalah komplikasi dari resiko kehamilan

dan pengalaman negatif dari hidup seorang wanita. Penilitian mercer menunjukkan ada

enam faktor yang berhubungan dengan status kesehatan ibu yaitu:

1. Hubungan Interpersonal,

2. Peran keluarga,

3. Stress anterpartum,

4. Dukungan social,

5. Rasa percaya diri,

6. Penguasaan rasa takut, ragu dan depresi.

Maternal role menurut mercer adalah bagaimana seorang ibu mendapatkan identitas baru

yang membutuhkan pemikiran dan penjabaran yang lengkap dengan dirinya sendiri.

b. Pencapaian peran ibu. Peran ibu dapat di capai bila ibu menjadi dekat dengan bayinya

termasuk mengekspresikan kepuasan dan penghargaan peran, lebih lanjut mercer

menyebutkan tentang stress anterpartum terhadap fungsi keluarga, baik yang positif

ataupun yang negative. Bila fungsi keluarganya positif maka ibu hamil dapat mengatasi

stress anterpartum, stress anterpartum karena resiko kehamilan dapat mempengaruhi

persepsi terhadap status kesehatan, dengan dukungan keluarga dan bidan maka ibu dapat

mengurangi atau mengatasi stress anterpartum.

c. Perubahan yang terjadi pada ibu hamil selama masa kehamilan (Trisemester I, II dan III)

merupakan hal yang fisiologis sesuai dengan filosofi asuhan kebidanan bahwa menarche,

kehamilan, nifas, dan monopouse merupakan hal yang fisiologis. Perubahan yang di

alami oleh ibu, selama kehamilan terkadang dapat menimbulkan stress anterpartum,

sehingga bidan harus memberikan asuhan kepada ibu hamil agar ibu dapat menjalani

kehamilannya secara fisiologis (normal), perubahan yang di alami oleh ibu hamil antara

lain adalah:
 Ibu cenderung lebih tergantung dan lebih memerlukan perhatian sehingga dapat

berperan sebagai calon ibu dan dapat memperhatikan perkembangan bayinya,

 Ibu memerlukan sosialisasi,

 Ibu cenderung merasa khawatir terhadap perubahan yang terjadi pada tubuhnya,

 Ibu memasuki masa transisi yaitu dari masa menerima kehamilan kehamilan ke

masa menyiapkan kelahiran dan menerima bayinya.

Empat tahapan dalam melaksanakan peran ibu menurut Mercer:

1. Anticipatory. Saat sebelum wanita menjadi ibu, di mana wanita mulai melakukan

penyesuaian social dan psikologis dengan mempelajri segala sesuatuyang di butuhkan

untuk menjadi seorang ibu.

2. Formal. Wanita memasuki peran ibu yang sebenarnya, bimbingan peran di butuhkan

sesuai dengan kondisi system social

3. Informal. Di mana wanita telam mampu menemukan jalan yang unik dalam

melaksanakan perannya

4. Personal. Merupakan peran terakhir, di mana wanita telah mahir melakukan perannya

sebagai ibu. Sebagai bahan perbandingan, Reva Rubin menyebutkan peran ibu telah di

mulai sejak ibu menginjak kehamilan pada masa 6 bulan setelah melahirkan, tetapi

menurut Mercer mulainya peran ibu adalah setelah bayi bayi lahir 3-7 bulan setelah

dilahirkan.

Wanita dalam menjalankan peran ibu di pengaruhi oleh 3 faktor sebagai berikut:

1. Faktor ibu :

a). Umur ibu pada saat melahirkan,

b). Persepsi ibu pada saat melahirkan pertama kali,

c).Stress social,

d).Memisahkan ibu pada anaknya secepatnya,


e).Dukungan social,

f).Konsep diri,

g).Sifat pribadi,

h).Sikap terhadap membesarkan anak,

i).Status kesehatan ibu.

2. Faktor bayi:

a).Temperament,

b).Kesehatan bayi.

3 Faktor-faktor lainnya:

a).Latar belakang etnik,

b).Status perkawinan,

3).Status ekonomi.

Suatu hal yang sangat menarik yang dikemukakan oleh Mercer adalah

penekanannya pada pengaruh bayi (infant personality) pada waktu ibu melaksanakan

perannya sebagai ibu. Dengan mengambil faktor sosial suppprt, Mercer mengidentifikasi

4 faktor pendukung:

1. Emotional support, yaitu perasaan mencintai, penuh perhatian, percaya dan

mengerti

2. Informational support yaitu Memberikan informasi yang sesuai dengan

kebutuhan ibu sehingga dapat membantu ibu untuk menolong dirinya sendiri,

3. Physical support. Misalnya dengan membantu merawat bayi dan memberikan

tambahan dana,

4. Appraisal support. Ini memungkinkan individu mampu mengevaluasi dirinya

sendiri dan pencapaiaan peran ibu. Mercer menegaskan bahwa umur, tingkat

pendidikan, ras, status perkawinan, status ekonomi dan konsep diri adalah faktor-
faktor yang sangat berpengaruh dalam pencapaiaan peran ibu.Tujuan teori ini:

Memberikan dukungan selama hamil untuk mengurangi lemahnya lingkungan,

dukungan sosial serta kurangnya kepercayaan diri, agar tercipta peran bidan yang

di harapkan oleh mercer dalam teorinya yaitu membantu wanita dalam

melaksanakan tugas dan adaptasi peran dan mengidentifikasi faktor-faktor yang

mempengaruhi pencapaiaan peran ibu dan kontribusi dari stress antepartum

(Asrinah, shinta, dkk, 2010).

2.6. Kerangka Pikir

Asuhan Kehamilan : Budaya Jawa:


1. Timbang Berat badan 1. Mitos Batasan makan
2. Ukur Tekanan Darah
2. Pantang Makanan yang
3. Ukur Tinggi Fundus Uteri
4. Pemberian Zat Besi menaikkan tekanan darah
5. Pemberian Tetanus Toxoid 3. Larang jenis makanan
6. Temu Wicara tertentu
7. Pemeriksaan Penyakit 4. Kebiasaan Pijat Perut
Menular seksual 5. Kebiasaan Ritual Tujuh
bulanan
6. Pantang
perilaku/perbuatan ibu
hamil dan suami
7. Sumber informasi/ nasehat
tentang kehamilan
KESIMPULAN

Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang

normatif. Artinya mencakup segala cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan dan

bertindak (Soekanto, 2006).Setiap manusia mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri.

Kebudayaan sedikitnya mempunyai tiga wujud yaitu : wujud kebudayaan sebagai suatu

kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma, dan peraturan-peraturan, wujud

kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam

masyarakat, dan wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia

(Koentjaraningrat, 2005).

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan

luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-

budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

Beberapa perilaku dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pelayanan kebidanan

di komunitas diantaranya :

1. Health Believe: Tradisi-tradisi yang diberlakukan secara turun-temurun.

2. Life Style : Gaya hidup yang berpengaruh terhadap kesehatan.

3. Health Seeking Behavior : Salah satu bentuk perilaku sosial budaya yang

mempercayai apabila seseorang sakit tidak perlu pelayanan kesehatan, akan tetapi

cukup dengan membeli obat di warung atau mendatangi dukun.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesehatan Ibu Hamil

1. Faktor Fisik

a) Status Kesehatan

b) Status Gizi
DAFTAR PUSTAKA

Sumber : Asrinah 2010;Mercer 2003;Bloom (1974); Rukiah dan Yulianti (2014).

Anda mungkin juga menyukai