Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nanopartikel

Nanosains adalah salah satu penelitian yang paling penting dalam ilmu

pengetahuan modern. Nanoteknologi merupakan ilmu yang mempelajari partikel

dalam rentang ukuran 1-1000 nm (Buzea, et al., 2007). Nanoteknologi mulai

memungkinkan para ilmuwan, ahli kimia, dan dokter untuk bekerja di tingkat

molekuler dan sel untuk menghasilkan kemajuan penting di bidang ilmu

pengetahuan dan kesehatan. Penggunaan bahan nanopartikel menawarkan

keuntungan besar karena ukuran mereka yang unik dan sifat fisikokimia.

Penelitian nanopartikel sedang berkembang pesat karena dapat diaplikasikan

secara luas seperti dalam bidang lingkungan, elektronik, optis dan biomedis (Jain,

et al., 2006; Stern dan McNeil, 2008).

Nanopartikel dapat terdiri dari bahan konstituen tunggal atau menjadi

gabungan dari beberapa bahan. Nanopartikel di alam sering ditemukan dengan

bahan aglomerasi dengan berbagai komposisi, sedangkan komposisi bahan murni

tunggal dapat dengan mudah disintesis dengan berbagai metode. Berdasarkan

sifat kimia dan elektromagnetik, nanopartikel dapat tersebar seperti aerosol,

suspensi/koloid, atau dalam keadaan menggumpal. Sebagai contoh, nanopartikel

magnetik cenderung mengelompok, membentuk sebuah aglomerat, kecuali

permukaan mereka dilapisi dengan bahan non-magnetik, dan dalam keadaan

menggumpal, nanopartikel dapat berperilaku sebagai partikel yang lebih besar,

tergantung pada ukuran aglomerat tersebut (Buzea, et al., 2007).

Universitas Sumatera Utara


Sediaan nanopartikel dapat dibuat dengan berbagai metode, hingga saat ini

ada beberapa metode pembuatan nanopartikel yang sering digunakan yaitu metode

presipitasi, penggilingan (milling methods), salting out, fluida superkritis,

polimerisasi monomer, polimer hidrofilik, dan dispersi pembentukan polimer

(Soppimath, et al., 2001; Mansouri, et al., 2011).

2.1.1 Metode emulsifikasi

Metode emulsifikasi menggunakan prinsip difusi antara pelarut larut air

seperti aseton atau metanol dengan pelarut organik tidak larut air seperti

kloroform dengan penambahan polimer. Difusi yang terjadi antara dua pelarut

tersebut mengakibatkan emulsifikasi pada daerah di antara dua fase pelarut.

Partikel yang berada di antara dua fase pelarut tersebut berukuran lebih kecil dari

pada kedua fase pelarut itu sendiri (Soppimath, et al., 2001).

2.1.2 Metode presipitasi

Sebuah proses dimana bahan dilarutkan ke dalam pelarut yang cocok, lalu

dimasukkan ke dalam pelarut lain yang bukan pelarutnya dipengaruhi pH, suhu

atau perubahan pelarut kemudian segera menghasilkan presipitasi zat aktif dengan

partikel yang lebih kecil (Haskel, 2009). Metode ini menggunakan agen penahan

tegangan permukaan yang cukup besar untuk menahan agregasi. Kelemahan

metode ini adalah nanopartikel yang terbentuk harus distabilisasi untuk mencegah

timbulnya kristal berukuran mikro dan zat aktif yang hendak dibuat

nanopartikelnya harus larut setidaknya dalam salah satu jenis pelarut, sementara

diketahui bahwa banyak zat aktif memiliki kelarutan rendah baik di air maupun

pelarut organik (Junghanns dan Müller, 2008).

Universitas Sumatera Utara


2.1.3 Metode milling

Penggilingan merupakan teknik standar yang telah digunakan dalam

beragam bidang aplikasi industri untuk mengurangi ukuran partikel. Besarnya

pengurangan ukuran diatur oleh jumlah energi penggilingan, yang ditentukan oleh

kekerasan intrinsik obat, media grinding, dan penggilingan. Pengurangan ukuran

partikel lewat penggilingan dapat dijelaskan oleh tiga mekanisme kunci yang

saling mempengaruhi yakni gesekan antara dua permukaan karena tekanan yang

dihasilkan melampaui kekuatan inheren partikel sehingga mengakibatkan

frakturasi (patahan atau retakan), gaya gesek yang dihasilkan (shear force)

mengakibatkan pecahnya partikel menjadi beberapa bagian, dan deagregasi terkait

kolisi (tabrakan) antar agregat pada laju diferensial yang tinggi (Vijaykumar, et

al., 2010).

2.1.4 Metode fluida superkritis

Metode fluida superkritis menggunakan senyawa yang memiliki suhu dan

tekanan di atas titik kritis. Senyawa yang termasuk dalam golongan ini antara lain

karbon dioksida, air, dan gas metan. Senyawa ini digunakan sebagai pengganti

pelarut organik yang berbahaya bagi lingkungan (Soppimath, et al., 2001).

2.1.5 Metode polimerisasi monomer

Metode polimerisasi monomer menggunakan senyawa

polialkilsianoakrilat (PACA). Metil atau etil sianoakrilat dimasukkan dalam

media asam dengan penambahan surfaktan. Monomer sianoakrilat ditambahkan

dalam campuran yang sedang diaduk dengan magnetic stirrer. Senyawa obat

ditambahkan baik sebelum penambahan monomer maupun setelah reaksi

Universitas Sumatera Utara


polimerisasi. Suspensi nanopartikel yang terbentuk dimurnikan dengan

ultrasentrifugasi (Soppimath, et al., 2001).

2.1.6 Metode polimer hidrofilik

Metode polimer hidrofilik tidak memerlukan surfaktan seperti metode

polimerisasi monomer. Polimer yang digunakan dalam metode ini merupakan

polimer larut air seperti kitosan larut air, natrium alginat dan gelatin. Nanopartikel

umumnya terbentuk secara spontan ataupun dengan penambahan pengemulsi

(Soppimath, et al., 2001).

2.2 Disolusi

Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi. Uji disolusi yaitu uji

pelarutan in vitro yaitu mengukur laju dan jumlah pelarutan obat dalam suatu

media “aqueous” dengan adanya satu atau lebih bahan tambahan yang terkandung

dalam produk obat. Pelarutan obat merupakan bagian penting sebelum kondisi

sitemik (Shargel dan Yu, 1988).

Disolusi juga didefinisikan sebagai proses suatu zat padat masuk ke dalam

pelarut yang menghasilkan suatu larutan. Disolusi merupakan salah satu kontrol

kualitas yang dapat digunakan untuk memprediksi bioavailabilitas, dan dalam

beberapa kasus dapat sebagai pengganti uji klinik untuk menilai bioekivalen

(bioequivalence). Hubungan kecepatan disolusi in vitro dan bioavailabilitasnya

dirumuskan dalam bentuk IVIVC (in vitro – in vivo corelation). Kinetika uji

disolusi in vitro memberi informasi yang sangat penting untuk meramalkan

availabilitas obat dan efek terapeutiknya secara in vivo.

Universitas Sumatera Utara


Faktor-faktor yang mempengaruhi proses disolusi dibagi atas 3 kategori

yaitu:

1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi:

a. Efek kelarutan obat

Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama dalam menentukan laju

disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju disolusi yang cepat.

b. Efek ukuran partikel

Ukuran partikel berkurang, dapat memperbesar luas permukaan obat yang

berhubungan dengan medium sehingga laju disolusi meningkat.

2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi :

a. Efek formulasi

Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila dicampur dengan

bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan penghancur yang bersifat hidrofil

dapat memberikan sifat hidrofil pada bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu

disolusi bertambah, sedangkan bahan tambahan yang hidrofob dapat mengurangi

laju disolusi.

b. Efek faktor pembuatan sediaan

Metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat-obat yang kurang

larut. Penggunaan bahan pengisi bersifat hidrofil seperti laktosa dapat menambah

hidrofilisitas bahan aktif dan menambah laju disolusi.

3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan faktor disolusi, meliputi :

a. Tegangan permukaan medium disolusi

Tegangan permukaan mempunyai pengaruh terhadap laju disolusi bahan

obat. Surfaktan dapat menurunkan sudut kontak, oleh karena itu dapat

Universitas Sumatera Utara


meningkatkan proses penetrasi medium disolusi ke matriks. Formulasi tablet dan

kapsul konvensional juga menunjukkan penambahan laju disolusi obat-obat yang

sukar larut dengan penambahan surfaktan ke dalam medium disolusi.

b. Viskositas medium

Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil laju disolusi bahan obat

c. pH medium disolusi

Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih cepat dibandingkan

dengan air, oleh karena itu mempercepat laju disolusi (Gennaro, 1990). Obat-obat

asam lemah disolusinya kecil dalam medium asam, karena bersifat nonionik,

tetapi disolusinya besar pada medium basa karena terionisasi dan pembentukan

garam yang larut (Martin, et al., 1993; Sulaiman, 2007).

2.3 Nyeri

Nyeri didefenisikan sebagai perasaan sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan sehubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial yang

menyebabkan kerusakan jaringan. Nyeri terjadi bersamaan dengan terjadinya

proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik dan

pengobatannya. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan bagi banyak orang

dari pada penyakit apapun (Brunner dan Suddarth, 2002).

Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh, dapat timbul bila ada

jaringan tubuh yang rusak, hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan

cara memindahkan stimulus nyeri. Nyeri pada umumnya terjadi akibat adanya

kerusakan jaringan yang nyata. Beberapa jenis sel saraf dalam proses

penghantaran nyeri yaitu sel saraf eferen atau neuron motorik, sel saraf aferen atau

Universitas Sumatera Utara


neuron sensori dan serabut konektor atau interneuron. Sel-sel saraf ini mempunyai

reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sumsum

tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai

impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-reseptor yang

berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor (Sudiono, 2003).

Mediator nyeri antara lain mengakibatkan reaksi radang yang

mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf di kulit, mukosa dan jarigan

lainnya (Mansjoer, 1999). Nosiseptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ

tubuh, kecuali di sistem saraf pusat, dari sini rangsangan disalurkan ke otak

melalui jaringan dari tajuk-tajuk neuron dengan sinaps yang banyak melalui

sumsum tulang belakang, sumsum tulang lanjutan dan otak tengah. Selanjutnya

dari talamus impuls diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls

dirasakan sebagai nyeri. Stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor

untuk melepaskan zat-zat kimia yang terdiri dari prostaglandin, histamin,

bradikinin, leukotrien, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan mensensitasi

ujung saraf dan menyampaikan impuls ke otak (Sudiono, 2003). Adanya stimulus

dari luar menyebabkan adanya kerusakan membran sel. Membran sel yang rusak

akan mengalami labilisasi lisosomes dan menyebabkan pelepasan enzim

fosfolipase yang akan menghidrolisa fosfolipid dari membran sel untuk

menghasilkan asam arakidonat. Prostaglandin disintesis dari asam lemak tak jenuh

rantai panjang, yaitu asam arakidonat melalui jalur siklooksigenase. Proses

pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat dengan bantuan COX,

ditunjukkan oleh persamaan reaksi di bawah ini Gambar 2.1.

Universitas Sumatera Utara


Fosfolipida (membran sel)

Fosfolipase

Kortikosteroid

Asam Arakinodat

AINS

Siklooksigenase Lipooksigenase

Endoperoksida O2 Asam peroksida

Radikal bebas
COX-1
COX-2
Leukotrien

Tromboksan Prostasiklin Prostaglandin LTB4 LTC4-LTD4-LTE4

- Peradangan - Vasokonstriksi
- Vasokonstriksi - Proteksi Lambung - Peradangan
- Permeabilitas meningkat
- Bronkokonstriksi - Vasodilatasi
- Agregasi - Anti Agregasi

Gambar 2.1. Bagan mekanisme terjadinya nyeri (Katzung, 2002)

Tipe prostaglandin yang dapat menimbulkan respon nyeri adalah

prostaglandin E2 (PGE2) dan prostasiklin (PGI2). Kehadiran obat penghilang rasa

sakit seperti obat-obat analgesik dapat menghambat proses pembentukan molekul

ini dengan cara menghambat kerja enzim COX (Katzung, 2002; Odendaal, 2010).

2.4 Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan berdasarkan

pada tempat, sifat, dan waktu serangannya.

Universitas Sumatera Utara


2.4.1. Nyeri berdasarkan tempatnya

a. Pheriperal pain

Pheriperal pain adalah nyeri yang terasa pada permukaan tubuh, termasuk

nyeri pada kulit dan permukaan kulit. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan

nyeri di kulit dapat berupa rangsangan mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik.

Apabila hanya kulit yang terlibat, nyeri sering dirasakan sebagai menyengat,

tajam, meringis, atau seperti terbakar (Taylor, 2008).

b. Deep pain

Deep pain adalah yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam

(nyeri somatik) atau pada organ tubuh visceral (nyeri visceral). Nyeri somatis

mengacu pada nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum dan tulang sendi.

Stuktur-stuktur ini memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri

sering tidak jelas. Demikian juga pada nyeri visceral, lokalisasinya tidak dapat

ditentukan. Nyeri visceral ini meliputi apendisitis akut, cholecysitis, penyakit

kardiovaskular, dan gagal ginjal (Price dan Wilson, 2006).

d. Central pain

Central pain adalah nyeri yang terjadi karena perangsangan pada sistem

saraf pusat, spinal cord, batang otak, talamus dan lain-lain (Price dan Wilson,

2006).

2.4.2 Nyeri berdasarkan sifat

a. Incidental Pain

Incidental pain adalah nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang

dan ini terjadi pada pasien yang mengalami nyeri kanker tulang (Taylor, 2008).

Universitas Sumatera Utara


b. Steady Pain

Steady pain adalah nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam

waktu yang lama. Pada distensi kapsul ginjal dan ginjal akut iskemik merupakan

salah satu jenis steady pain. Tingkatan nyeri yang konstan pada obstruksi dan

distensi (Taylor, 2008).

c. Proximal Pain

Proximal pain adalah nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat

sekali, biasanya menetap 10-15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul lagi.

Nyeri ini terjadi pada pasien yang mengalami Carpal Tunnel Syndrome (Taylor,

2008).

2.4.3 Nyeri berdasarkan waktu serangan

a. Nyeri akut

Nyeri akut merupakan nyeri yang mereda setelah intervensi atau

penyembuhan, biasanya mendadak dan berkaitan dengan masalah spesifik yang

memicu individu untuk segera bertindak menghilangkan nyeri. Nyeri berlangsung

singkat (kurang dari 6 bulan) dan menghilang apabila faktor internal dan eksternal

yang merangsang reseptor nyeri dihilangkan. Durasi nyeri akut berkaitan dengan

faktor penyebabnya dan umumnya dapat diperkirakan (Price dan Wilson, 2006).

Cedera atau penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat sembuh secara

spontan atau dengan pengobatan. Sebagai contoh, jari yang tertusuk biasanya

sembuh dengan cepat. Pada kasus yang lebih berat seperti fraktur ekstremitas,

pengobatan dibutuhkan untuk menurunkan nyeri sejalan dengan penyembuhan

tulang (Brunner dan Suddarth, 2002).

Universitas Sumatera Utara


Pasien dengan nyeri akut memperlihatkan respon neurologik yang terukur

dan disebabkan oleh stimulasi simpatis yang disebut sebagai hiperaktivitas

autonom. Perubahan-perubahan ini mencakup takikardia, takipnea, meningkatnya

aliran darah perifer, meningkatnya tekanan darah, dan dibebaskannya

katekolamin. Kekakuan otot lokal juga mungkin terjadi, dalam suatu gerakan

involunter agar daerah yang cedera tidak bergerak (Price dan Wilson, 2006).

b. Nyeri kronis

Nyeri kronis adalah nyeri yang berlangsung terus menerus selama 6 bulan

atau lebih. Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan yang diperkirakan

dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik (Brunner

dan Suddarth, 2002).

Nyeri kronis ini berbeda dengan nyeri akut dan menunjukkan masalah

baru. Pada sindrom nyeri kronis dapat disebabkan oleh faktor penyakit atau proses

patologi yang persisten, tetapi nyeri kronis juga merupakan penyakit itu sendiri.

Nyeri kronis mempengaruhi seluruh aspek kehidupan pasien (Price dan Wilson,

2006). Pasien dengan nyeri kronis tidak atau kurang memperlihatkan

hiperaktivitas autonom tetapi memperlihatkan gejala irritabilitas, kehilangan

semangat dan gangguan kemampuan berkonsentrasi. Nyeri kronis ini sering

mempengaruhi semua aspek kehidupan penderitanya, menimbulkan stres,

peningkatan emosi, dan mengganggu fungsi fisik dan sosial (Potter dan Perry,

2005).

Nyeri kronis dibagi menjadi dua yaitu nyeri kronik non malignan dan

malignan (Potter dan Perry, 2005). Nyeri kronis non malignan merupakan nyeri

yang timbul akibat cedera jaringan yang tidak progresif atau yang menyembuh,

Universitas Sumatera Utara


bisa timbul tanpa penyebab yang jelas misalnya nyeri pinggang bawah, dan nyeri

yang didasari atas kondisi kronis, misalnya osteoarthritis (Bushra dan Aslam,

2010). Sementara nyeri kronik malignan yang disebut juga nyeri kanker memiliki

penyebab nyeri yang dapat diidentifikasi yaitu terjadi akibat perubahan pada saraf,

perubahan ini dapat terjadi karena penekanan pada saraf akibat metastasis sel-sel

kanker maupun pengaruh zat-zat kimia yang dihasilkan oleh kanker itu sendiri

(Taylor, 2008).

2.5 Obat Analgetika

Analgetika merupakan suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk

mengurangi rasa sakit atau nyeri diakibatkan oleh berbagai rangsangan pada tubuh

misalnya rangsangan mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan

kerusakan pada jaringan yang memicu pelepasan mediator nyeri seperti bradikinin

dan prostaglandin yang akhirnya mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan

diteruskan ke otak. Secara umum analgetika dapat dibagi dalam dua golongan,

yaitu analgetika narkotik dan analgetika non narkotik (Tjay dan Rahardja. 2002).

2.5.1 Obat analgetika narkotik

Analgetika narkotik merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat

seperti opium atau morfin. Meskipun memperlihatkan berbagai efek

farmakodinamik yang lain, golongan obat ini terutama digunakan untuk

meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Semua analgetika narkotik

menimbulkan adiksi, maka usaha untuk mendapatkan suatu analgetika yang ideal

masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapatkan analgetika yang sama kuatnya

dengan morfin tanpa bahaya adiksi. Ada 3 golongan obat analgetika narkotik yaitu

Universitas Sumatera Utara


obat yang berasal dari opium-morfin, senyawa semisintetik morfin dan senyawa

sintetik yang berefek seperti morfin (Ganiswarna, 1995).

2.5.2 Obat analgetika non narkotik

Penggunaan obat-obat antiinflamasi non steroid (AINS) seringkali

berakibat meredanya rasa nyeri selama periode yang bermakna. Sebagian besar

dari nonopioid analgesik juga mempunyai efek antiinflamasi, sehingga tepat

digunakan untuk pengobatan inflamasi akut maupun kronis (Katzung, 2002).

Obat AINS mempunyai efek analgesik, antipiretik dan pada dosis yang

lebih tinggi bersifat antiinflamasi. Obat-obat ini banyak digunakan di Inggris

hampir seperempat pasien yang berkonsultasi dengan dokter umum mempunyai

satu bentuk keluhan reumatik. Pasien-pasien ini sering diberi resep AINS yakni

tablet aspirin, ibuprofen dan parasetamol sebagai tambahan yang dibeli bebas

untuk terapi sendiri pada sakit kepala dan nyeri gigi, berbagai gangguan

muskoskeletal dan lain-lain. Obat-obat ini tidak efektif pada terapi nyeri viseral

(misalnya infark miokardia, kolik renal, dan abdomen akut) yang membutuhkan

analgesik opioid. Akan tetapi, AINS efektif pada nyeri hebat tipe tertentu

misalnya kanker tulang. (Neal, 2005; Odendaal, 2010).

AINS adalah asam lemah, dengan pKa dari 3 - 5, obat-obat ini sangat

terikat pada albumin dan dimetabolisme oleh hati dengan salah satu dari konjugasi

atau oksidasi. Ekskresi terjadi terutama melalui ginjal dan pada tingkat lebih

rendah, oleh hati melalui empedu. Volume distribusi mendekati volume plasma.

Obat antiinflamasi non steroid dapat digunakan dalam pengobatan peradangan dan

nyeri dalam berbagai macam gangguan. Obat antiinflamasi non steroid merupakan

berbagai kelompok bahan kimia dan dikelompokkan menurut struktur kimianya,

Universitas Sumatera Utara


dengan berbagai sifat terapeutik yang sama. Berbagai macam obat antiinflamasi

non steroid yang tersedia (Odendaal, 2010) yaitu:

− Turunan salisilat: aspirin, metil salisilat;

− Turunan asam arilalkanoat: indometasin, sulindac, diklofenak;

− Turunan asam 2-arilpropionat (profens): ibuprofen, ketoprofen, naproxen;

− Turunan asam N-arilantranilik: asam mefenamat;

− Turunan oksikam: lornoxicam, piroksikam, meloxicam;

− Turunan sulfonanilida: nimesulide;

− Turunan koksib: celecoxib, valdecoxib, etoricoxib.

2.6 Ibuprofen

Ibuprofen turunan asam propionat dengan efek analgesik, antipiretik dan

antiinflamasi yang menonjol, mencerminkan suatu penghambatan dari sintesis

prostaglandin. Turunan asam propionat sama bergunanya dengan salisilat dalam

mengobati berbagai bentuk arthritis termasuk osteoarthritis, rheumatoid arthritis,

arthritis gout akut (Stoelting dan Hillier, 2006). Ibuprofen sering diresepkan

dalam dosis rendah yang bersifat analgesik tetapi mempunyai efek antiinflamasi

rendah (Trevor dan Katzung, 2005). Perubahan struktur minor pada ibuprofen

menghasilkan fenoprofen, ketoprofen dan flurbiprofen (Sinatra, et al., 1992).

Rumus bangun ibuprofen dapat dilihat pada Gambar 2.2 dibawah ini.

Gambar 2.2. Rumus bangun ibuprofen (Bushra dan Aslam, 2010)

Universitas Sumatera Utara


2.6.1 Farmakokinetik

Secara umum ibuprofen beserta turunannya sangat cepat dan sangat efektif

diserap setelah pemberian peroral dengan bioavailabilitas lebih besar dari 85%.

Puncak konsentrasi plasma terjadi antara 0,5 sampai 3 jam (Sinatra, et al., 1992).

Ibuprofen dieliminasi terutama melalui metabolisme secara luas di hati menjadi

hidroksil atau konjugasi karboksil dan kurang dari 1% obat ditemukan dalam urin

dan keadaan tidak dimetabolisme. Ibuprofen memiliki volume distribusi yang

relatif rendah (0,1 sampai 0,12 L/kg). Waktu paruh eliminasinya berkisar antara 2

hingga 4 jam (Sinatra, et al., 1992; Stoelting and Hillier, 2006).

2.6.2 Farmakodinamik

Mekanisme kerja ibuprofen melalui inhibisi sintesis prostaglandin dengan

menghambat Cyclooxygenase I (COX I) dan Cyclooxygenase II (COX II). Namun

tidak seperti aspirin, hambatan yang diakibatkan olehnya bersifat reversibel.

Pengobatan dengan ibuprofen menyebabkan penurunan pelepasan mediator dari

granulosit, basofil, dan sel mast. Penurunan kepekaan terhadap bradikinin dan

histamin mempengaruhi produksi limfokin dari limfosit T, melawan vasodilatasi

dan menghambat agregasi platelet (Sinatra, et al., 1992; Moore, 2007).

2.6.3 Dosis

Dosis ibuprofen untuk mengurangi nyeri ringan hingga sedang digunakan

dosis dewasa peroral yaitu 400 mg untuk (nyeri haid), untuk arthritis rheumatoid

400-800 mg, untuk demam pada anak-anak 5 mg/kgbb, untuk nyeri pada anak-

anak 10 mg/kgbb, untuk arthritis juvenil 30-40 mg/kg berat badan/hari (Anderson,

Universitas Sumatera Utara


et al., 2002). Dosis ibuprofen dewasa dan anak-anak dapat dilihat pada Tabel 2.1

(Bushra dan Aslam, 2010).

Tabel 2.1 Dosis ibuprofen dewasa dan anak-anak

Pasien Ibuprofen Dosis

Analgesik 200-400 mg setiap 4-6 jam

Dewasa 300 mg setiap 6-8 jam atau


Antiinflamasi 400-800 mg 3-4 kali dalam
sehari

5-10 mg/kg berat badan


Antipiretik setiap 6 jam (maksimum 40
Anak-anak mg/kg berat badan per hari)

20-40 mg/kg berat badan/hari


Antiinflamasi
dalam 3-4 dosis terbagi

2.6.4 Penggunaan klinis

Ibuprofen dapat digunakan untuk mengurangi nyeri yang ringan hingga

sedang (Trevor dan Katzung, 2005). Ibuprofen digunakan secara luas dalam

pengelolaan gangguan inflamasi, rematik dan muskuloskeletal karena sangat

efektif dan memiliki toksisitas minimal. Beberapa penggunaan klinis utama

ibuprofen adalah sebagai berikut:

1. Arthritis dan osteoarthritis

Ibuprofen 2400 mg per hari menghasilkan peningkatan yang cepat dalam

pengobatan artritis gout dalam 72 jam. Pada dosis sekitar 2400 mg sehari setara

dengan 4 g aspirin. Osteoarthritis sangat umum diobati dengan pengobatan yang

melibatkan AINS terutama ibuprofen, dan untuk mengendalikan gejala sendi,

diklofenak, ibuprofen dan naproxen tolmetin sama-sama efektif (Hollingworth,

1993). Sekitar 1% dari rheumatoid arthritis (RA) pasien yang menerima AINS

Universitas Sumatera Utara


rentan untuk perdarahan pada gastrointestinal, dan dengan ibuprofen, perdarahan

lambung telah diamati pada 10 - 32% pasien (Coussement, 1996; Stoelting and

Hillier, 2006).

2. Sakit gigi

Ibuprofen merupakan salah satu obat yang paling efektif dan banyak

digunakan dalam pengobatan nyeri gigi. Para dokter gigi telah mengandalkan

ibuprofen dan AINS lainnya untuk mengatasi nyeri orofacial akut dan kronis.

(Moore dan Hersh, 2011).

3. Demam dan sakit kepala

Ibuprofen berguna untuk mengatasi nyeri, sakit ringan dan mengurangi

demam, terutama untuk indikasi akut, seperti demam atau sakit kepala

(ketegangan jenis sakit kepala). Telah dilaporkan bahwa penggunaan gabungan

parasetamol dan ibuprofen menurunkan demam sangat cepat (Erlewyn-lajeunesse

et al., 2006). Pada studi dosis tunggal ibuprofen lebih efektif dibandingkan dengan

parasetamol untuk pengobatan demam diatas 38°C karena malaria falciparum

tidak menimbulkan komplikasi. Ibuprofen secara signifikan lebih efektif daripada

parasetamol dalam menurunkan suhu pada 4-5 jam pertama setelah pemberian

dosis dan dengan demikian harus dianggap sebagai agen antipiretik dalam

pengelolaan infeksi falcifarum tanpa komplikasi dan tidak ada kontraindikasi

penggunaannya (Krishna, et al., 1995).

2.6.5 Efek samping

Secara umum semua turunan asam propionat memiliki efek iritasi

gastrointestinal dan ulserasi yang lebih kecil dibandingkan dengan pemberian

salisilat. Fungsi platelet mungkin dipengaruhi dan bervariasi dari masing-masing

Universitas Sumatera Utara


turunannya. Inhibisi dari sintesis prostaglandin dapat memperburuk disfungsi

ginjal pada pasien dengan kelainan ginjal yang mana prostaglandin diperlukan

untuk mempertahankan aliran darah ginjal. Disamping itu dapat juga

menimbulkan suatu reaksi alergi pada pasien yang hipersensitif. Efek terhadap

ginjal dapat berupa gagal ginjal akut, nefritis interstisialis, dan sindrom nefrotik

(Stoelting dan Hillier, 2006).

Efek samping dari ibuprofen dapat berupa kemerahan, pruritus, tinitus,

pusing, nyeri kepala, cemas, meningitis aseptik, dan retensi cairan di samping efek

gastrointestinal (dapat diubah dengan pemberian bersama makanan). Pemberian

ibuprofen dalam jangka waktu yang lama berhubungan dengan agranulositosis

dan aplasia sumsum tulang granulositik (Katzung, 1995).

2.7 Biofarmasetika

Biofarmasetika adalah pengkajian faktor-faktor fisiologis dan farmasetik

yang mempengaruhi pelepasan obat dan absorpsi dari bentuk sediaan. Sifat-sifat

fisika kimia dari obat dan bahan-bahan tambahan menetapkan laju pelepasan obat

dari bentuk sediaan dan transport berikutnya melewati membran-membran

biologis, sedangkan fisiologis dan kenyataan biokimia menentukan nasibnya

dalam tubuh. Penyampaian optimal dari pusat aktif ke tempat aksi tergantung

pada pengertian dari interaksi spesifik antara variabel-variabel formulasi dan

variabel-variabel biologis (Aiache, 1993).

Universitas Sumatera Utara


2.8 Bioavailabilitas

Pada farmakologi, bioavailabilitas digunakan untuk menggambarkan fraksi

dari dosis obat yang mencapai sirkulasi sistemik, yang merupakan salah satu

bagian dari aspek farmakokinetik obat. Defenisi tersebut dapat diartikan bahwa

obat yang diberikan secara intavena bioavailabilitasnya mencapai 100%. Namun,

jika obat diberikan melalui rute pemberian lain (seperti melalui oral)

bioavailabilitasnya berkurang (karena absorpsi yang tidak sempurna dan

metabolisme lintas pertama) (Chereson, 1996). Bioavailabilitas merupakan salah

satu unsur penting dalam farmakokinetik, dan harus dipertimbangkan saat

menghitung dosis untuk rute pemberian selain intravena. Bioavailabilitas adalah

ukuran dari obat aktif secara terapetik yang mencapai sirkulasi sistemik,

disimbolkan dengan huruf ‘F’ (Gunaratna, 2001). Bioavailabilitas absolut

merupakan hasil dari obat yang diabsorpsi melalui rute pemberian selain intravena

yang dibandingkan dengan pemberian secara intravena pada obat yang sama

(Bailey, et al., 2000). Pada penentuan bioavailabilitas absolut obat, suatu studi

farmakokinetik harus dilakukan untuk memperoleh konsentrasi obat dalam plasma

vs waktu obat setelah pemberian secara intravena dan yang selain intravena

(Bailey, et al., 2000). Bioavailabilitas absolut merupakan dosis koreksi dari area di

bawah kurva (AUC) pemberian selain iv dibagi dengan AUC pemberian secara iv.

Sebagai contoh, rumus untuk menghitung F suatu obat yang diatur oleh rute

pemberian oral (po) adalah seperti rumus di bawah ini (Dupuy, et al., 2003;

Toutain dan Bousquet-Me´lou, 2004):

Universitas Sumatera Utara


Suatu obat yang diberikan secara intravena akan mempunyai suatu

kemutlakan bioavailabilitas 1 (F=1) sementara obat yang diberi oleh rute lain pada

umumnya mempunyai bioavailabilitas absolut kurang dari satu (Toutain dan

Koritz, 1997; Bailey, et al., 2000; Toutain dan Bousquet-Me´lou, 2004).

2.9 Metode Pengujian Analgetika

Metode yang paling umum digunakan sebagai pengujian analgetika pada

hewan percobaan adalah metode panas. Sebagai penyebab rasa nyeri dapat

digunakan lempeng yang dipanaskan atau hot plate, panas diberikan pada bagian

tubuh hewan percobaan. Hewan yang diberi suatu zat analgetika akan mengalami

perpanjangan waktu reaksi terhadap rangsangan panas. Waktu reaksi yang

diberikan oleh mencit yang ditempatkan pada lempeng panas dapat digunakan

untuk pengujian efek analgetika. Beberapa mencit yang ditempatkan pada

lempeng yang dipanaskan pada temperatur 50ºC memberikan respon tidak teratur

selama 20 detik dan lainnya membutuhkan waktu yang lebih lama. Pada

temperatur 55ºC semua mencit memberikan respon dalam waktu 20 detik

sedangkan pada temperatur 60ºC akan memberikan respon 20 detik. Respons

nyeri yang ditunjukkan oleh mencit mula-mula duduk dengan kaki belakang

sambil menjilat-jilat kaki depan sebagai usaha untuk mendinginkannya kemudian

apabila terasa lebih panas mencit menedangkan kaki belakangnya, berputar dan

berusaha keluar dari tempat uji (Domer, 1971; Sopan, et al., 2012).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai