Chapter II PDF
Chapter II PDF
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nanopartikel
Nanosains adalah salah satu penelitian yang paling penting dalam ilmu
memungkinkan para ilmuwan, ahli kimia, dan dokter untuk bekerja di tingkat
keuntungan besar karena ukuran mereka yang unik dan sifat fisikokimia.
secara luas seperti dalam bidang lingkungan, elektronik, optis dan biomedis (Jain,
ada beberapa metode pembuatan nanopartikel yang sering digunakan yaitu metode
seperti aseton atau metanol dengan pelarut organik tidak larut air seperti
kloroform dengan penambahan polimer. Difusi yang terjadi antara dua pelarut
Partikel yang berada di antara dua fase pelarut tersebut berukuran lebih kecil dari
Sebuah proses dimana bahan dilarutkan ke dalam pelarut yang cocok, lalu
dimasukkan ke dalam pelarut lain yang bukan pelarutnya dipengaruhi pH, suhu
atau perubahan pelarut kemudian segera menghasilkan presipitasi zat aktif dengan
partikel yang lebih kecil (Haskel, 2009). Metode ini menggunakan agen penahan
metode ini adalah nanopartikel yang terbentuk harus distabilisasi untuk mencegah
timbulnya kristal berukuran mikro dan zat aktif yang hendak dibuat
nanopartikelnya harus larut setidaknya dalam salah satu jenis pelarut, sementara
diketahui bahwa banyak zat aktif memiliki kelarutan rendah baik di air maupun
pengurangan ukuran diatur oleh jumlah energi penggilingan, yang ditentukan oleh
partikel lewat penggilingan dapat dijelaskan oleh tiga mekanisme kunci yang
saling mempengaruhi yakni gesekan antara dua permukaan karena tekanan yang
frakturasi (patahan atau retakan), gaya gesek yang dihasilkan (shear force)
kolisi (tabrakan) antar agregat pada laju diferensial yang tinggi (Vijaykumar, et
al., 2010).
tekanan di atas titik kritis. Senyawa yang termasuk dalam golongan ini antara lain
karbon dioksida, air, dan gas metan. Senyawa ini digunakan sebagai pengganti
dalam campuran yang sedang diaduk dengan magnetic stirrer. Senyawa obat
polimer larut air seperti kitosan larut air, natrium alginat dan gelatin. Nanopartikel
2.2 Disolusi
Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi. Uji disolusi yaitu uji
pelarutan in vitro yaitu mengukur laju dan jumlah pelarutan obat dalam suatu
media “aqueous” dengan adanya satu atau lebih bahan tambahan yang terkandung
dalam produk obat. Pelarutan obat merupakan bagian penting sebelum kondisi
Disolusi juga didefinisikan sebagai proses suatu zat padat masuk ke dalam
pelarut yang menghasilkan suatu larutan. Disolusi merupakan salah satu kontrol
beberapa kasus dapat sebagai pengganti uji klinik untuk menilai bioekivalen
dirumuskan dalam bentuk IVIVC (in vitro – in vivo corelation). Kinetika uji
yaitu:
Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama dalam menentukan laju
a. Efek formulasi
Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila dicampur dengan
bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan penghancur yang bersifat hidrofil
dapat memberikan sifat hidrofil pada bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu
laju disolusi.
larut. Penggunaan bahan pengisi bersifat hidrofil seperti laktosa dapat menambah
obat. Surfaktan dapat menurunkan sudut kontak, oleh karena itu dapat
b. Viskositas medium
Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil laju disolusi bahan obat
c. pH medium disolusi
dengan air, oleh karena itu mempercepat laju disolusi (Gennaro, 1990). Obat-obat
asam lemah disolusinya kecil dalam medium asam, karena bersifat nonionik,
tetapi disolusinya besar pada medium basa karena terionisasi dan pembentukan
2.3 Nyeri
Rasa nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh, dapat timbul bila ada
jaringan tubuh yang rusak, hal ini akan menyebabkan individu bereaksi dengan
cara memindahkan stimulus nyeri. Nyeri pada umumnya terjadi akibat adanya
kerusakan jaringan yang nyata. Beberapa jenis sel saraf dalam proses
penghantaran nyeri yaitu sel saraf eferen atau neuron motorik, sel saraf aferen atau
tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai
impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-reseptor yang
lainnya (Mansjoer, 1999). Nosiseptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ
tubuh, kecuali di sistem saraf pusat, dari sini rangsangan disalurkan ke otak
melalui jaringan dari tajuk-tajuk neuron dengan sinaps yang banyak melalui
sumsum tulang belakang, sumsum tulang lanjutan dan otak tengah. Selanjutnya
dari talamus impuls diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls
bradikinin, leukotrien, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan mensensitasi
ujung saraf dan menyampaikan impuls ke otak (Sudiono, 2003). Adanya stimulus
dari luar menyebabkan adanya kerusakan membran sel. Membran sel yang rusak
menghasilkan asam arakidonat. Prostaglandin disintesis dari asam lemak tak jenuh
Fosfolipase
Kortikosteroid
Asam Arakinodat
AINS
Siklooksigenase Lipooksigenase
Radikal bebas
COX-1
COX-2
Leukotrien
- Peradangan - Vasokonstriksi
- Vasokonstriksi - Proteksi Lambung - Peradangan
- Permeabilitas meningkat
- Bronkokonstriksi - Vasodilatasi
- Agregasi - Anti Agregasi
ini dengan cara menghambat kerja enzim COX (Katzung, 2002; Odendaal, 2010).
a. Pheriperal pain
Pheriperal pain adalah nyeri yang terasa pada permukaan tubuh, termasuk
nyeri pada kulit dan permukaan kulit. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan
nyeri di kulit dapat berupa rangsangan mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik.
Apabila hanya kulit yang terlibat, nyeri sering dirasakan sebagai menyengat,
b. Deep pain
Deep pain adalah yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam
(nyeri somatik) atau pada organ tubuh visceral (nyeri visceral). Nyeri somatis
mengacu pada nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum dan tulang sendi.
Stuktur-stuktur ini memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri
sering tidak jelas. Demikian juga pada nyeri visceral, lokalisasinya tidak dapat
d. Central pain
Central pain adalah nyeri yang terjadi karena perangsangan pada sistem
saraf pusat, spinal cord, batang otak, talamus dan lain-lain (Price dan Wilson,
2006).
a. Incidental Pain
dan ini terjadi pada pasien yang mengalami nyeri kanker tulang (Taylor, 2008).
Steady pain adalah nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam
waktu yang lama. Pada distensi kapsul ginjal dan ginjal akut iskemik merupakan
salah satu jenis steady pain. Tingkatan nyeri yang konstan pada obstruksi dan
c. Proximal Pain
Proximal pain adalah nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat
sekali, biasanya menetap 10-15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul lagi.
Nyeri ini terjadi pada pasien yang mengalami Carpal Tunnel Syndrome (Taylor,
2008).
a. Nyeri akut
singkat (kurang dari 6 bulan) dan menghilang apabila faktor internal dan eksternal
yang merangsang reseptor nyeri dihilangkan. Durasi nyeri akut berkaitan dengan
faktor penyebabnya dan umumnya dapat diperkirakan (Price dan Wilson, 2006).
Cedera atau penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat sembuh secara
spontan atau dengan pengobatan. Sebagai contoh, jari yang tertusuk biasanya
sembuh dengan cepat. Pada kasus yang lebih berat seperti fraktur ekstremitas,
katekolamin. Kekakuan otot lokal juga mungkin terjadi, dalam suatu gerakan
involunter agar daerah yang cedera tidak bergerak (Price dan Wilson, 2006).
b. Nyeri kronis
Nyeri kronis adalah nyeri yang berlangsung terus menerus selama 6 bulan
atau lebih. Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan yang diperkirakan
dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik (Brunner
Nyeri kronis ini berbeda dengan nyeri akut dan menunjukkan masalah
baru. Pada sindrom nyeri kronis dapat disebabkan oleh faktor penyakit atau proses
patologi yang persisten, tetapi nyeri kronis juga merupakan penyakit itu sendiri.
Nyeri kronis mempengaruhi seluruh aspek kehidupan pasien (Price dan Wilson,
peningkatan emosi, dan mengganggu fungsi fisik dan sosial (Potter dan Perry,
2005).
Nyeri kronis dibagi menjadi dua yaitu nyeri kronik non malignan dan
malignan (Potter dan Perry, 2005). Nyeri kronis non malignan merupakan nyeri
yang timbul akibat cedera jaringan yang tidak progresif atau yang menyembuh,
yang didasari atas kondisi kronis, misalnya osteoarthritis (Bushra dan Aslam,
2010). Sementara nyeri kronik malignan yang disebut juga nyeri kanker memiliki
penyebab nyeri yang dapat diidentifikasi yaitu terjadi akibat perubahan pada saraf,
perubahan ini dapat terjadi karena penekanan pada saraf akibat metastasis sel-sel
kanker maupun pengaruh zat-zat kimia yang dihasilkan oleh kanker itu sendiri
(Taylor, 2008).
mengurangi rasa sakit atau nyeri diakibatkan oleh berbagai rangsangan pada tubuh
kerusakan pada jaringan yang memicu pelepasan mediator nyeri seperti bradikinin
dan prostaglandin yang akhirnya mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan
diteruskan ke otak. Secara umum analgetika dapat dibagi dalam dua golongan,
yaitu analgetika narkotik dan analgetika non narkotik (Tjay dan Rahardja. 2002).
menimbulkan adiksi, maka usaha untuk mendapatkan suatu analgetika yang ideal
masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapatkan analgetika yang sama kuatnya
dengan morfin tanpa bahaya adiksi. Ada 3 golongan obat analgetika narkotik yaitu
berakibat meredanya rasa nyeri selama periode yang bermakna. Sebagian besar
Obat AINS mempunyai efek analgesik, antipiretik dan pada dosis yang
satu bentuk keluhan reumatik. Pasien-pasien ini sering diberi resep AINS yakni
tablet aspirin, ibuprofen dan parasetamol sebagai tambahan yang dibeli bebas
untuk terapi sendiri pada sakit kepala dan nyeri gigi, berbagai gangguan
muskoskeletal dan lain-lain. Obat-obat ini tidak efektif pada terapi nyeri viseral
(misalnya infark miokardia, kolik renal, dan abdomen akut) yang membutuhkan
analgesik opioid. Akan tetapi, AINS efektif pada nyeri hebat tipe tertentu
AINS adalah asam lemah, dengan pKa dari 3 - 5, obat-obat ini sangat
terikat pada albumin dan dimetabolisme oleh hati dengan salah satu dari konjugasi
atau oksidasi. Ekskresi terjadi terutama melalui ginjal dan pada tingkat lebih
rendah, oleh hati melalui empedu. Volume distribusi mendekati volume plasma.
Obat antiinflamasi non steroid dapat digunakan dalam pengobatan peradangan dan
nyeri dalam berbagai macam gangguan. Obat antiinflamasi non steroid merupakan
2.6 Ibuprofen
arthritis gout akut (Stoelting dan Hillier, 2006). Ibuprofen sering diresepkan
dalam dosis rendah yang bersifat analgesik tetapi mempunyai efek antiinflamasi
rendah (Trevor dan Katzung, 2005). Perubahan struktur minor pada ibuprofen
Rumus bangun ibuprofen dapat dilihat pada Gambar 2.2 dibawah ini.
Secara umum ibuprofen beserta turunannya sangat cepat dan sangat efektif
diserap setelah pemberian peroral dengan bioavailabilitas lebih besar dari 85%.
Puncak konsentrasi plasma terjadi antara 0,5 sampai 3 jam (Sinatra, et al., 1992).
hidroksil atau konjugasi karboksil dan kurang dari 1% obat ditemukan dalam urin
relatif rendah (0,1 sampai 0,12 L/kg). Waktu paruh eliminasinya berkisar antara 2
2.6.2 Farmakodinamik
granulosit, basofil, dan sel mast. Penurunan kepekaan terhadap bradikinin dan
2.6.3 Dosis
dosis dewasa peroral yaitu 400 mg untuk (nyeri haid), untuk arthritis rheumatoid
400-800 mg, untuk demam pada anak-anak 5 mg/kgbb, untuk nyeri pada anak-
anak 10 mg/kgbb, untuk arthritis juvenil 30-40 mg/kg berat badan/hari (Anderson,
sedang (Trevor dan Katzung, 2005). Ibuprofen digunakan secara luas dalam
pengobatan artritis gout dalam 72 jam. Pada dosis sekitar 2400 mg sehari setara
1993). Sekitar 1% dari rheumatoid arthritis (RA) pasien yang menerima AINS
lambung telah diamati pada 10 - 32% pasien (Coussement, 1996; Stoelting and
Hillier, 2006).
2. Sakit gigi
Ibuprofen merupakan salah satu obat yang paling efektif dan banyak
digunakan dalam pengobatan nyeri gigi. Para dokter gigi telah mengandalkan
ibuprofen dan AINS lainnya untuk mengatasi nyeri orofacial akut dan kronis.
demam, terutama untuk indikasi akut, seperti demam atau sakit kepala
et al., 2006). Pada studi dosis tunggal ibuprofen lebih efektif dibandingkan dengan
parasetamol dalam menurunkan suhu pada 4-5 jam pertama setelah pemberian
dosis dan dengan demikian harus dianggap sebagai agen antipiretik dalam
ginjal pada pasien dengan kelainan ginjal yang mana prostaglandin diperlukan
menimbulkan suatu reaksi alergi pada pasien yang hipersensitif. Efek terhadap
ginjal dapat berupa gagal ginjal akut, nefritis interstisialis, dan sindrom nefrotik
pusing, nyeri kepala, cemas, meningitis aseptik, dan retensi cairan di samping efek
2.7 Biofarmasetika
yang mempengaruhi pelepasan obat dan absorpsi dari bentuk sediaan. Sifat-sifat
fisika kimia dari obat dan bahan-bahan tambahan menetapkan laju pelepasan obat
dalam tubuh. Penyampaian optimal dari pusat aktif ke tempat aksi tergantung
dari dosis obat yang mencapai sirkulasi sistemik, yang merupakan salah satu
bagian dari aspek farmakokinetik obat. Defenisi tersebut dapat diartikan bahwa
jika obat diberikan melalui rute pemberian lain (seperti melalui oral)
ukuran dari obat aktif secara terapetik yang mencapai sirkulasi sistemik,
merupakan hasil dari obat yang diabsorpsi melalui rute pemberian selain intravena
yang dibandingkan dengan pemberian secara intravena pada obat yang sama
(Bailey, et al., 2000). Pada penentuan bioavailabilitas absolut obat, suatu studi
vs waktu obat setelah pemberian secara intravena dan yang selain intravena
(Bailey, et al., 2000). Bioavailabilitas absolut merupakan dosis koreksi dari area di
bawah kurva (AUC) pemberian selain iv dibagi dengan AUC pemberian secara iv.
Sebagai contoh, rumus untuk menghitung F suatu obat yang diatur oleh rute
pemberian oral (po) adalah seperti rumus di bawah ini (Dupuy, et al., 2003;
kemutlakan bioavailabilitas 1 (F=1) sementara obat yang diberi oleh rute lain pada
hewan percobaan adalah metode panas. Sebagai penyebab rasa nyeri dapat
digunakan lempeng yang dipanaskan atau hot plate, panas diberikan pada bagian
tubuh hewan percobaan. Hewan yang diberi suatu zat analgetika akan mengalami
diberikan oleh mencit yang ditempatkan pada lempeng panas dapat digunakan
lempeng yang dipanaskan pada temperatur 50ºC memberikan respon tidak teratur
selama 20 detik dan lainnya membutuhkan waktu yang lebih lama. Pada
nyeri yang ditunjukkan oleh mencit mula-mula duduk dengan kaki belakang
apabila terasa lebih panas mencit menedangkan kaki belakangnya, berputar dan
berusaha keluar dari tempat uji (Domer, 1971; Sopan, et al., 2012).