Dosen Pembimbing :
Seri Wahyuni, SST, M.Kes.
Disusun Oleh :
Natalia
NIM : PO.62.24.2.16.079
Obesitas adalah masalah gizi yang disebabkan kelebihan kalori dan ditandai dengan akumulasi
jaringan lemak secara berlebihan di seluruh tubuh, dimana terdapat penimbunan lemak yang
berlebihan dari yang diperlukan untuk fungsi tubuh.
Obesitas berarti berat badan (BB) yang melebihi BB rata-rata. Seseorang yang memiliki berat
badan 20% lebih besar dari nilai tengah kisaran berat badannya yang normal berarti mengalami
obesitas.
Obesitas sendiri digolongkan menjadi 3 kelompok:
• Obesitas ringan: kelebihan berat badan 20-40%;
• Obesitas sedang: kelebihan berat badan 41-100%; dan
• Obesitas berat: kelebihan berat badan >100%.
Apa perbedaan obesitas dan overweight? Obesitas (kegemukan) adalah suatu keadaan dimana
terjadi penumpukan lemak tubuh yang berlebih, yang membuat BB seseorang jauh di atas normal
dan dapat membahayakan kesehatan. Sementara overweight (kelebihan berat badan) adalah
keadaan dimana BB seseorang melebihi BB normal, dengan perbedaan yang tidak terlalu jauh.
Obesitas seharusnya disorot sebagai masalah kelebihan gizi yang cukup akut sehingga
dikategorikan sebagai Gizi Buruk. Tidak hanya kekurangan gizi, kelebihan gizi pun berdampak
negatif bagi kesehatan seseorang.
Dari perkiraan 210 juta penduduk Indonesia pada tahun 2000, jumlah penduduk yang overweight
diperkirakan mencapai 76.7 juta jiwa (17.5%) dan pasien obesitas berjumlah lebih dari 9.8 juta
jiwa (4.7%). Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa overweight dan obesitas di
Indonesia telah menjadi masalah besar yang memerlukan penanganan secara serius.Mengapa
seseorang dapat mengalami obesitas?
Berikut beberapa penyebab utama:
a) Faktor genetik
Seseorang dapat mengalami obesitas karena sudah merupakan keturunan dari orangtuanya,
sehingga secara genetik hal tersebut tidak dapat dihindari. Di dalam suatu keluarga, sudah pasti
ditemukan kesamaan pola makan dan gaya hidup antara orangtua dan anak. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa rata-rata faktor genetik memberikan pengaruh sebesar 33% terhadap berat
badan seseorang.
b) Faktor lingkungan
Ternyata lingkungan seseorang pun memegang peranan cukup berarti dalam membentuk
keobesitasan pada tubuh seseorang. Termasuk di antaranya adalah perilaku atau pola hidup,
contohnya makanan yang dikonsumsi, aktivitas fisik yang dilakukan, dan lain-lain.
c) Faktor psikis
Stres, depresi, kelelahan yang amat sangat, seringkali mempengaruhi kebiasaan makan dan pola
hidup seseorang. Biasanya makan akan menjadi tidak teratur atau justru terlalu banyak makan
makanan kurang bergizi seperti junk food, ditambah kurangnya konsumsi zat bermanfaat seperti
sayur mayur dan buah-buahan.
Banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk. Menurut UNICEF ada dua
penyebab langsung terjadinya gizi buruk, yaitu:
1. Kurangnya asupan gizi dari makanan. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah makanan yang
dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial
dan ekonomi yaitu kemiskinan.
2. Akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi. Hal ini disebabkan oleh rusaknya
beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik
Faktor lain yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk yaitu:
1. Faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat
2. Perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh anak
3. Pengelolaan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada 3 faktor penyebab gizi buruk pada balita,
yaitu:
1. Keluarga miskin
2. Ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak
3. Faktor penyakit bawaan pada anak, seperti: jantung, TBC, HIV/AIDS, saluran pernapasan
dan diare.
Penanganan gizi buruk sangat terkait dengan strategi sebuah bangsa dalam menciptakan
sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan produktif. Upaya peningkatan sumber daya
manusia yang berkualitas dimulai dengan cara penanganan pertumbuhan balita sebagai bagian
dari keluarga dengan asupan gizi dan perawatan yang baik. Dengan lingkungan keluarga yang
sehat, maka hadirnya infeksi menular ataupun penyakit masyarakat lainnya dapat dihindari. Di
tingkat masyarakat faktor-faktor seperti lingkungan yang higienis, ketahanan pangan keluarga,
pola asuh dan pelayanan kesehatan primer sangat menentukan dalam membentuk balita yang
tahan gizi buruk.
Sebagai langkah awal penanggulangan masalah gizi buruk diatas, diperlukan sistem
kewaspadaan dini dengan indikator dan alat ukur yang sensitif. Dalam kaitan ini diperlukan
sebuah sistem surveilance gizi buruk. Menurut WHO, survailans gizi merupakan kegiatan
pengamatan keadaan gizi, dalam rangka untuk membuat keputusan yang berdampak pada
perbaikan gizi penduduk dengan menyediakan informasi yang terus menerus tentang keadaan
gizi penduduk, berdasarkan pengumpulan data langsung sesuai sumber yang ada, termasuk data
hasil survei dan data yang sudah ada (Mason et al., 1984). Sementara menurut Keputusan
Menteri Kesehatan nomor: 1116/Menkes/SK/VI II/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Surveilans Epidemiologi Kesehatan dan Penyakit salah satu kegiatannya adalah pelaksanaan
SKD KLB. SKD KLB merupakan kewaspadaan terhadap penyakit berpotensi KLB serta faktor-
faktor yang mempengaruhinya dengan menerapkan teknologi surveilans epidemiologi dan
dimanfaatkan untuk meningkatkan sikap tanggap kesiapsiagaan, upaya pencegahan dan tindakan
penanggulangan KLB yang cepat dan tepat (Depkes RI, 2004). Beberapa prinsip melaksanakan
SKD-KLB gizi buruk tersebut antara lain: Kajian epidemiologi secara rutin; Peringatan
kewaspadaan dini; Peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan.
Sedangkan berbagai upaya yang dapat dilakukan dalam upaya penanggulangan masalah
gizi buruk menurut Depkes RI (2005) dirumuskan dalam beberapa kegiatan berikut :
a. Meningkatkan cakupan deteksi dini gizi buruk melalui penimbangan bulanan balita di
posyandu.
b. Meningkatkan cakupan dan kualitas tata laksana kasus gizi buruk di puskesmas / RS dan
rumah tangga.
c. Menyediakan Pemberian Makanan Tambahan pemulihan (PMT-P) kepada balita kurang gizi
dari keluarga miskin.
d. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu dalam memberikan asuhan gizi kepada
anak (ASI/MP-ASI).
e. Memberikan suplemen gizi (kapsul vitamin A) kepada semua balita.
Sumber :