Anda di halaman 1dari 2

Sejak Juli 1997 telah terjadi krisis ekonomi moneter yang menggoncang perekonomi dan politik

nasional. Bagi perbankan, krisis telah menimbulkan kesulitan likuiditas yang luar biasa akibat
hancurnya Pasar Uang antar Bank (PUAB). Sebagai lender of the last resort BI harus membantu
mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan pembayaran untuk mempertahankan
kelangsungan ekonomi nasional. Nilai tukar Rupiah terus merosot tajam, pemerintah melakukan
tindakan pengetatan Rupiah melalui kenaikan suku bunga yang sangat tinggi dan pengalihan dana
BUMN/yayasan dari bank-bank ke BI (SBI) serta pengetatan anggaran Pemerintah. Memasuki 1998
keadaan ekonomi semakin memburuk, nilai Rupiah terhadap Dollar tertekan hingga Rp 16.000 hal
tersebut disebabkan pasokan barang yang menurun dengan tajam karena kegitan produksi
berkurang dan jalur distribusi terganggu karena rusaknya sentra-sentra perdagangan karena
kerusuhan Mei 1998. Pada 15 Januari 1998 Pemerintah mempercepat program stabilisasi dan
reformasi ekonomi dengan LoI kedua. LoI kedua diikuti dengan LoI ketiga 8 April 1998 yang
mencakup program stabilisasi Rupiah, pembekuan 7 bank dan penempatan nya pada BPPN serta
penyelsaian hutang swasta dengan Pemerintah sebagai mediator. Kemudian LoI keempat pada 25
Juni 1998 yang mencakup revisi atas target-target ekonomi dan penyediaan Jaringan Pengaman
Sosial (JPS).

Ada beberepa sebab terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek yang telah
menciptakan “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan
cenderung mengabaikan, dari para menteri dibidang ekonomi maupun masyarakat perbankan
sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.Pemerintah sama sekali
tidak memiliki mekanisme pengawasan terhadap hutang yang dibuat oleh sector swasta Indonesia.
Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi
masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan
hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Mengapa demikian?
Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan
(swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja
terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem
perdagangan terbuka.

2. Banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik


perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan
dalam negeri.

3. Tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang
menjadi persoalan ekonomi pula.

4. Perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya
memperbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.

5. Miss government.

6. Faktor utama yang menyebabkan krisis moneter tahun 1998 yaitu faktor politik. Pada tahun 1998
krisis ekonomi bercampur kepanikan politik luar biasa saat rezim Soeharto hendak tumbang. Begitu
sulitnya merobohkan bangunan rezim Soeharto sehingga harus disertai pengorbanan besar berupa
kekacauan (chaos) yang mengakibatkan pemilik modal dan investor kabur dari Indonesia. Pelarian
modal besar-besaran (flight for safety) karena kepanikan politik ini praktis lebih dahsyat daripada
pelarian modal yang dipicu oleh pertimbangan ekonomi semata (flight for quality). Karena itu, rupiah
merosot amat drastis dari level semula Rp 2.300 per dollar AS (pertengahan 1997) menjadi level
terburuk Rp17.000 per dollar AS (Januari 1998).

8. Banyaknya utang dalam valas, proyek jangka panjang yang dibiayai dengan utang jangka pendek,
proyek berpenghasilan rupiah dibiayai valas, pengambilan kredit perbankan yang jauh melebihi nilai
proyeknya, APBN defisit yang tidak efisien dan efektif, devisa hasil ekspor yang disimpan di luar
negeri, perbankan yang kurang sehat, jumlah orang miskin dan pengangguran yang relative masih
besar, dan seterusnya.

9. Krisis moneter dimulai dari gejala/kejutan keuangan pada juli 1997, menurunnya nilai tukar rupiah
secara tajam terhadap valas, diukur dengan dolar Amerika Serikat yang merupakan pencetus/trigger
point. Meskipun tidak ada depresiasi tajam baht(mata uang Thailan), Krismon tetap akan terjadi di
Negara tercinta ini. Kenapa? karena gejolak sosial dan politik Indonesia yang memanas. Oleh karena
itu penyebab krismon 98 bisa dikatakan campuran dari unsur-unsur eksternal dan domestik(J.
Soedrajad Djiwandono).

10. Diabaikannya early warning system merupakan penyebab mengapa krismon 97 melanda
Inonesia. Adapun early system warningnya adalah: meningkatnya secara tajam deficit transaksi
berjalan sehingga pada saat terjadinya krisis, defisit transaksi berjalan Inonesia sebesar 32.5% dari
PDB. Utang luar negeri baik pemerintah maupun swasta yang tinggi. Boomingnya sektor properti
dan financial yang mengabaikan kebijakan kehati-hatian dalam pemberian kredit perbankan
diperuntukan untuk membiayai proyek-proyek besar yang disponsori pemerintah dan tidak semua
proyek besar itu visibel. Tata kelola yang buruk(bad governence) dan tingkat transpalasi yang rendah
baik sektor publik maupun swasta(Marie Muhamad).

11. Argument bahwa pasar financial internasional tidak stabil secara inheren yang kemudian
mengakibatkan buble ekonomi dan cenderung bergerak liar. Bahkan sejak tahun 1990-an pasar
financial lebih tidak stabil lagi. Hal ini dikarenakan tindakan perbankan negara-negara maju
menurunkan suku bunga mereka. Sehingga mendorong dana-dana masuk pasar global. Maka pada
tahun 1990-an dana asing melonjak dari $9 Miliar menjadi lebih dari $240 Miliar.

12. Kegagalan manajemen makro ekonomi tercermin dari kombinasi nilai tukar yang kaku dan
kebijakan fiskal yang longgar, inflasi yang merupakan hasil dari apresiasi nilai tukar efectif riil, deficit
neraca pembayaran dan pelarian modal.

13. Kelemahan sector financial yang over gradueted, but under regulete dan masalah moral hazar.

14. Semakin membesarnya cronycapitalism dan sistem politik yang otoriter dan sentralistik(M. Fadhil
Hasan). Jika diartikan secara ekonomis teknis, krisis bisa disebut sebagai titik balik pertumbuhan
ekonomi yang menjadi merosot. Dan penyebabnya jika ditinjau dari teori konjungtur, ada dua
karakteristik krisis 1). krisis disebabkan tidak sepadannya kenaikan konsumsi ketimbang kenaikan
kapasitas produksi atau underconsumption crisis. 2). Krisis disebabkan terlampau besarnya investasi
yang dipicu modal asing karena tabungan nasional sudah lebih dari habis untuk berinvestasi. Krisis
seperti ini disebut overinvestment, dan ini yang terjadi di Indonesia(Kwik Kian Gie)

Anda mungkin juga menyukai