CASE Epistaksis Puput
CASE Epistaksis Puput
EPISTAKSIS
Dilaporkan oleh:
dr. Nuraini Syahputri
Pembimbing:
dr. Syafridawati
I. LATAR BELAKANG
Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan,
tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat
anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian
belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup
besar, antara lain dari arteri sphenopalatina.4
Epistaksis berasal dari Bahasa Yunani yaitu epistazio yang berarti hidung
berdarah. Epistaksis merupakan perdarahan spontan yang berasal dari dalam hidung.
Epistaksis dapat terjadi pada segala umur, dengan puncaknya terjadi pada anak-anak
dan orang tua. Kebanyakan kasus ditangani pada pelayanan kesehatan primer, dan
kecil kemungkinan pasien dibawa ke rumah sakit dan spesialis THT. Epistaksis
diperkirakan terjadi pada 60% warga dunia selama hidupnya dan 6% dari mereka
mencari penanganan medis. Prevalensi epistaksis meningkat pada anak-anak usia
dibawah 10 tahun dan meningkat kembali di usia 35 tahun ke atas. Tidak ada
perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bukan suatu
penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir 90% dapat berhenti
sendiri. Walaupun kebanyakan kasus yang terjadi ringan dan bersifat self-limiting,
ada beberapa kasus yang berat dan mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang
serius. Penting sekali mencari asal perdarahan dan menghentikannya, disamping
perlu juga menemukan dan mengobati penyebab yang mendasarinya.1,2
Epistaksis, yaitu perdarahan dari hidung, dapat berupa perdarahan anterior dan
perdarahan posterior. Perdarahan anterior merupakan perdarahan yang berasal dari
septum bagian depan (pleksus kiesselbach atau arteri etmoidalis anterior). Epistaksis
bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak-anak dan dewasa muda, sementara
epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau
arteriosclerosis. Prevalensi yang sesungguhnya dari epistaksis tidak diketahui karena
pada beberapa kasus epistaksis sembuh spontan dan hal ini tidak dilaporkan.2
1
II. TUJUAN LAPORAN
Sebagai sarana diskusi dan tinjauan ulang mengenai aplikasi definisi, tatacara
diagnosis, dan tatalaksana kasus Epistaksis pada praktik klinis dokter umum sehari-
hari.
III. MANFAAT
Laporan kasus ini diharapkan dapat membantu penulis dan pembaca dalam
upaya pengembangan ilmu kedokteran berkelanjutan terutama mengenai manajemen
kasus klinis Epistaksis.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 74 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan
Status : Cerai Mati
Tanggal Masuk IGD : 25 Maret 2019
3
4. Riwayat pengobatan
Disangkal
5. Riwayat alergi
Disangkal
D. Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat penyakit
serupa, darah tinggi ataupun kencing manis.
4
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah Rutin, Kimia Darah, Elektrolit 16-03-2019
Komponen Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 12,1 12-15 g/dl
Hematokrit 35.9 37-54%
Leukosit 7.940 4.000-11.000/ul
Trombosit 328.000 150.000-400.000/ul
Gula Darah Sewaktu 131 <200 mg/dl
Ureum 22 10-50 mg/dl
Creatinine 0.7 0.5-0.9 mg/dl
V. DIAGNOSIS
Epistaksis Posterior
VI. TATALAKSANA
a. Medikamentosa
- IVFD RL 14 tpm makro
- Inj. Vit K 1 amp
- Inj. Transamin 1 amp
- Inj. Ranitidin 1 amp
- Captopril 25 mg SL
- Tampon anterior hidung kiri
c. Observasi IGD
- Perdarahan berhenti
- Pasien diperbolehkan pulang dan apabila mimisan kembali
berulang pasien dianjurkan kontrol ke poli THT atau kembali ke
IGD
Obat pulang:
- As. Traneksamat 3 x 500 mg
- Vit K 3 x 10 mg
- Amlodipine 1 x 5 mg
- Ranitidine 2 x 150 mg
5
VII. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. DEFINISI
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung atau
nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit lain
yang kebanyakan ringan dan dapat berhenti sendiri. Walaupun jarang, epistaksis
yang berat merupakan masalah kegawatdaruratan yang dapat berakibat fatal bila
tidak segera ditangani.6
Epistaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin hampir 90% dapat
berhenti dengan sendirinya (spontan) atau dengan tindakan sederhana yang
dilakukan oleh pasien sendiri dengan jalan menekan hidungnya.3
3.2 ETIOLOGI
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput
mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah
Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian
anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang
kaya anastomosis. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum
atau kelainan sistemik.6,10
Lokal
a. Trauma
7
epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma
pembedahan.
b. Infeksi
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Selain itu
dapat menyebabkan turbulensi udara yang dapat menyebabkan
terbentuknya krusta. Pembuluh darah mengalami ruptur bahkan oleh trauma
yang sangat ringan seperti menggosok-gosok hidung.
8
f. Pengaruh lingkungan
Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau
lingkungan udaranya sangat kering. Kelembaban udara yang rendah dapat
menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis sering terjadi pada udara yang
kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa
nasal, selain itu bisa disebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif
yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh darah
gampang pecah.
Sistemik
a. Kelainan darah
9
darah merah (berfungsi membawa oksigen kedalam tubuh) dan trombosit
(bagian kecil sel darah yang membantu proses pembekuan darah). Pada
Leukemia terjadi peningkatan pembentukan sel leukosit sehingga
menyebabkan penekanan atau gangguan pembentukan sel-sel darah yang
lain di sumsum tulang termasuk trombosit, sehingga terjadi keadaan
trombositpenia yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi. Obat-obatan
seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula
mempredisposisi epistaksis berulang. Aspirin mempunyai efek antiplatelet
yaitu dengan menginhibisi produksi tromboksan, yang pada keadaan
normal akan mengikat molekul-molekul trombosit untuk membuat suatu
sumbatan pada dinding pembuluh darah yang rusak. Aspirin dapat
menyebabkan peoses pembekuan darah menjadi lebih lama sehingga dapat
terjadi perdarahan. Oleh karena itu, aspirin dapat menyebabkan epistaksis.
b. Penyakit kardiovaskuler
10
c. Diabetes mellitus
e. Alkoholisme
11
3.3 PATOFISIOLOGI
Pada orang yang berusia menengah dan lanjut, pemeriksaan arteri kecil dan
sedang terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media
menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial
sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut
memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot
tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama.6
Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah
terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan
dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.7
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang
sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari
bagian anterior dan posterior.4
1. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach/ Little’s area,
merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai pada anak-anak.
Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti
sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.
12
3.4 DIAGNOSIS11
Anamnesis
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan
belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal
terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak
mengeluarkan darah. Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma
yang disebabkan oleh mengorek hidung menahun atau mengorek krusta
yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan. Penting
mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat pengobatan atau
penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari. Banyak pasien minum
aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin merupakan penghambat
fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan atau perdarahan.
Pemeriksaan Fisik
13
Pemeriksaan Penunjang10
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI Rontgen sinus dan CT-Scan atau
MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi. Endoskopi hidung untuk
melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya.
3.5 PENATALAKSANAAN
14
Epistaksis posterior lebih sulit diatasi karena biasanya perdarahan hebat dan
sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Dapat dilakukan
pemasangan tampon posterior atau yang disebut tampon Bellocg. Tampon ini
terbuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada
tampon ini terikat 3 buah benang, 2 di satu sisi dan 1 di sisi yang lain. Sebagai
pengganti tampon Bellocg, dapat digunakan kateter Folley dengan balon.
15
Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah arteri faringeal asendens,
terutama apabila epistaksis berasal dari bagian posterior hidung atau
nasofaring. Arteri karotis eksterna diligasidengan benang 3/0 silk atau linen.
b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan
transantral. Pendekatan ini dilakukan dengan anastesi lokal atau umum, lalu
dilakukan insisi Caldwell – Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah
dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang dinding sinus posterior
dengan menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari bagian inferior
dan medial untuk menghindari trauma orbita. Setelah terbentuk jendela
(window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium posterior. Dengan
operatin microscope pada daerah itu lakukan observasi untuk melihat adanya
pulsasi yang menandakan letak arteri. Jaringan lemak dan jaringan ikat pada
fosa pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan hemostat, alligator clips,
bayonet forcep dengan bipolarelectrocauter dan nervehook. Setelah arteri
maksila interna diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan menggunakan
nervehook dan identifikasi cabang-cabangnya. Dibuat nasoantral window
dan masukkan tampon yang telah diberi antibiotik selama 24 jam.
c. Ligasi Arteri Etmoidalis
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik
diterapi dengan ligasi arteri etmoidalis anterior atau posterior, atau
keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat arteri keluar melalui foramen
etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada sutura frontoetmoid.
Foramen etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista
lakrimalis posterior. Foramen etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm.
sebelah anterior nervus optikus. Insisi etmoid eksterna dilakukan untuk
mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi
periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah
posterior disepanjang garis sutura pada lamina subperiosteal. Dua klem
arteri diletakkan pada arteri etmoidalis anterior, dan rongga hidung
dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, arteri etmoidalis posterior
jangan diganggu untuk menghindari trauma nervus optikus. Tetapi bila
perdarahan persisten, arteri etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem.
16
3.6 KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksis itu sendiri atau
sebagai akibat dari upaya penanggulangan epistaksis yang dilakukan. Perdarahan
yang hebat dapat menyebabkan aspirasi darah kedalam saluran napas bawah,
juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah
secara mendadak dapat menyebabkan hipoksia, edema serebri, insufisiensi
koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan.8
Pemasangan tampon anterior dapat menyebabkan rino-sinusitis, bloodytears
(akibat darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis), dan
septikemia atau toxic shock syndrome. Pemasangan tampon posterior dapat
menyebabkan otitis media, hemotimpanum (akibat darah mengalir melalui tuba
Eustachius), dan laserasi palatum mole atau sudut bibir jika benang yang keluar
dari mulut terlalu ketat dilekatkan di pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak
boleh di pompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung
atau septum.8
Pada pasien yang di pasang tampon harus selalu diberikan antibiotik dan
setelah 2-3 hari, tampon harus di cabut. Bila perdarahan masih berlanjut, pasang
tampon baru.9
3.7 PROGNOSIS
Prognosis epistaksis baik tetapi bervariasi. Dengan terapi yang adekuat dan
kontrol penyakit yang teratur, sebagian besar pasien tidak mengalami
perdarahan ulang. Pada beberapa penderita, epistaksis dapat sembuh spontan
tanpa pengobatan. Hanya sedikit penderita yang memerlukan pengobatan yang
lebih agresif.9
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Abelson, TI. Epistaksis dalam: Scaefer SD. Rhinology and Sinus Disease
Aproblem-Oriented Aproach. St, Louis, Mosby Inc, 1998: 43-9.
7. Munir, D.Y., Haryono, A., Rambe, AYM., 2006. Epistaksis. Vol. 39 (3), 274-
277.
10. Gilyoma, Japhet M dan Phillipo L Chalya. Etiological profile and treatment
outcome of epistaxis at a tertiary care hospital in Northwestern Tanzania: a
18
prospective review of 104 cases. Tanzania: BMC Ear, Nose and Throat.
2011;1-6.
11. Viewhug, Tate L, dan Jhon B Roberson. Epistaxis: Diagnosis and Treatment.
USA: American Association of Oral and Maxillofacial Surgeons. 2006;511-
8.
19